Senin, 25 April 2022

Ya Ndak Tauk ...

"'Bro!' sang Keledai menyapa sang Kuda, kala mereka bertemu di sebuah Sabana," Rembulan memulai pembicaraannya, usai mengucapkan Basmalah dan Salam. 'Ketika engkau bersama komunitasmu, adakah sesuatu yang paling mengesankan, menurutmu, di antara mereka?' Sang Jaran tak langsung menjawab, ia diam sejenak, matanya melihat ke atas, seolah berpikir. 'Kurasa, selagi aku bersama mereka, rasanya, menakjubkan!'
'Dan ... mengapa?' sang Himar kepo. 'Aku tak begitu memahami, kenapa,' jawab sang Aswa, 'tapi, bila kami sedang merumput, para Senior, selalu mendidik dan membimbing kaum-muda. Pada suatu hari, ada seekor kuda-muda, menuturkan sebuah cerita yang pernah ia dengar, dan bertanya, apa pesan moralnya.
Di zaman Romawi kuno, ada seorang Lelaki yang Dengki, pernah memanjatkan doa kepada Jupiter, pada saat yang sama dan di tempat yang sama, bersama koleganya, yang Serakah, pake banget.
Jupiter mengutus Apollo, agar menelaah manfaat permohonan mereka, dan memberikan jalan-keluar, yang menurutnya, pantas.
Lantas, Apollo memulai tugasnya, dan menyampaikan kepada mereka, bahwa agar menyederhanakan masalah, apapun, yang, salah seorang minta terlebih dahulu, yang b'lakangan, 'kan digandakan perolehannya. Atas hal ini, sang Serakah, yang telah mempersiapkan ribuan permintaan, menahan-diri agar tak mengajukan permohonannya terlebih dahulu, berharap menerima hasil berlipat-ganda; sebab ia berasumsi, bahwa segala kehendak manusia, berpihak pada hasratnya sendiri.
Dalam keadaan seperti ini, di sisi lain, sang Dengki, punya kesempatan melampiaskan Kebenciannya, dan dengan menggunakan permohonannya, yang didahulukan, mencapai apa yang ditujunya; sehingga, tanpa ragu-ragu, ia bermohon, agar salah satu matanya, diambil, yang maknanya, bahwa, koleganya, bakalan jadi buta.
Salah satu Senior kami, menjelaskan, 'Fabel ini, ditujukan pada dua nafsu yang sangat memuakkan, yang merendahkan akal-budi manusia. Dalam pandangan ekstrem mereka yang antisosial, Kedengkian beroleh tempat Kebahagiaanya, dalam Kesengsaraan dan Kenestapaan orang lain, dan akan merasa Kesal dan Kecewa, bila orang lain Bahagia; sedangkan Keserakahan, bagai kabut yang menangkup musim-semi, tak pernah terpuaskan, kecuali ia bisa mendapatkan segalanya, demi dirinya sendiri, walau hasratnya, yang tak terpuaskan, sekaligus tak dapat dipertanggungjawabkan, menyengsarakan, dan absurd.
Oleh karena itu, duhai adik-adikku, marilah kita singkirkan kedua sifat-buruk ini, dari dalam diri kita, dan semoga dapat menjadi salah satu jalan kita, menuju Masyarakat Madani, yang Adil dan Beradab.'

'Dan bagaimana denganmu?' sang Kuda balik-nanya. 'Aku tak punya apapun!' jawab sang Himar. 'Dan ... mengapa?' tanya sang Jaran. 'Aku tak begitu memahami, kenapa, tapi, aku tahu ada sebuah cerita!' sang Keledai berupaya mengungkapkan pikirannya. 'T'rus, t'rus?' tanya sang Kuda p'nasaran, Sang Keledai berkata, ''B'gini c'ritanya,
Di sebuah negeri, kita sebut saja, Negeri Antah Berantah, memerintah seorang Raja, yang, menurut para pencari berita, punya sebuah kalimat, yang mereka sebut, kalimat Legendaris. Bermula ketika para Pewarta, mengajukan beberapa pertanyaaan, dan sang Raja, agar mengelabui mereka, berkata, 'Ya ndak tauk, kok tanya saya? Eh sebentar, itu anunya!' seraya menjauh dari mereka. Sejak saat itu, mereka menyebut kata-kata tersebut, sebagai kalimat Legendarissebutan yang sopan, namun sebuah satire. 
Kata-kata ini, menjadi mantra sapu-jagat sang Raja.
Sewaktu ditanya mengapa lebih menyukai Mao Zedong daripada George Washington, ia berdalih, 'Ya ndak tauk, kok tanya saya?'
Bila ditanya tentang Kelayakan Infrastruktur, ia menjawab, 'Ya ndak tauk, kok tanya saya?'
Kala ditanya tentang tentang Tol Laut, yang memberi peluang bagi negeri tertentu, ia menjawab, 'Ya ndak tauk, kok tanya saya?'
Bila ditanya tentang mengapa lebih memilih Oligarki dibanding Demokrasi, ia memberikan jawaban, 'Ya ndak tauk, kok tanya saya?'
Andai ditanya tentang tingkat pertumbuhan ekonomi, jawabannya, sama, 'Ya ndak tauk, kok tanya saya?'
Manakala ditanya tentang mengapa lebih banyak impor barang dan jasa, dijawab, 'Ya ndak tauk, kok tanya saya?'
Tatkala ditanya mengapa hutang bertambah banyak, alasannya, 'Ya ndak tauk, kok tanya saya?'
Bila ditanya mengapa Lapangan-kerja, terbuka bagi Warga Negara Asing, khususnya dari negeri Beruang Putih, tapi tidak bagi Tenaga Kerja Lokal, ia berkilah, 'Ya ndak tauk, kok tanya saya?'
Ketika ditanya mengapa lebih memilih Kartel dibanding Anti-Monopoli, ia menjawab, 'Ya ndak tauk, kok tanya saya?'
Ketika ditanya mengapa Kebijakan Pelarangan Ekspor Batubara, cuma seumur jagung, ia menjawab, 'Ya ndak tauk, kok tanya saya?'
Saat ditanya mengapa Harga-harga melambung tinggi, ia berdalih, 'Ya ndak tauk, kok tanya saya?'
Dan jika ditanya, sampai kapan Pelarangan Ekspor Minyak Goreng Kelapa Sawit, ia berseru, 'Ya ndak tauk, kok tanya saya?'
Akhirnya, bila ditanya, mengapa jawabannya 'kok gitu,' ia menyimpulkan dengan, 'Ya ndak tauk, kok tanya saya?'
'Giituu katanya!' sang Himar mengakhiri kisahnya, dan kedua satwa famili Equidae tersebut, ngakak. 'Senja 'kan berganti, yuk kita pulang,' ajak sang Aswa.
Kemudian, keduanya melangkah pulang, sambil bersenandung,
Tiba-tiba, kamu berubah
Tak ada ujan, tak ada angin
Sakit hati, sakit
Padahal udah setia, kok diginiin?

Abis minum apa, kok jadi begini?
Tiba-tiba, kau ingin pergi
Kesurupan apa, kok aneh begini?
Tak kusangka, ke lain hati *)
Sebelum pergi, Rembulan menutup dengan, "Yoo mmbooh, kok takon aqqoo? ... Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Thomas Bewick, Bewick's Select Fables, Bickers & Sons
*) "Abis Minum Apa" karya Yogi Rph