Jumat, 16 September 2022

Hanoman Obhong : Pelakon Utama

"Saat engkau membaca cerita atau nonton film, terdapat empat tokoh utama: korban, penjahat, pahlawan [atau pemeran-utama atau sang jagoan], dan pemandu. Sang korban melakonkan tokoh yang merasa tak punya jalan keluar. Sang penjahat melakonkan tokoh yang meremehkan karakter yang lain. Sang pahlawan melakonkan tokoh yang menghadapi tantangan dan bertransformasi. Sang pemandu melakonkan tokoh yang menolong sang pahlawan. Engkau merasa simpati kepada sang korban, engkau mendukung sang pahlawan, engkau membenci sang penjahat, dan engkau menghormati sang pemandu. Keempat tokoh ini, ada dalam cerita, tak semata lantaran mereka ada di dunia nyata, melainkan karena mereka, ada di dalam dirimu dan diriku," lanjut sang Purnama. “Adakalanya, dalam hidup kita, setiap hari, kita memerankan keempat pelakon tersebut. Jika kita dihadapkan pada tantangan yang tak berimbang, kita biasanya melakonkan korban barang sebentar, mengasihani diri-sendiri. Manakala kita dianiaya, kita membayangkan tentang balas-dendam, bagaikan lakon sang penjahat. Dikala kita punya gagasan yang bagus dan ingin mewujudkannya, kita beralih ke lakon jagoan guna berbuat sesuatu, dan bila seseorang memanggil kita dan membutuhkan nasehat, kita melakonkan sang pemandu. Masalahnya, para pelakon ini, tak sama. Dua membantu kita merasakan makna yang mendalam, dan dua yang lain, mengarah pada akhir-hidup kita.
Suka atau tak suka, hidup yang kita jalani ini, cerita atau lelakon. Hidup kita, ada bagian awal, pertengahan, dan akhir, dan di dalam ketiga bagian tersebut, kita memainkan banyak peran. Kita melakonkan kakak dan adik, saudara lelaki dan saudari perempuan, putra dan putri, ibu dan ayah, rekan satu tim, kekasih, teman, dan berlimpah lagi. Bagi banyak dari kita, lelakon yang kita jalani, terasa bermakna, menarik, dan bahkan mungkin menginspirasi. Bagi yang lain, hidup serasa bagaikan sang penulis yang telah kehilangan alur-ceritanya. Terlepas dari siapa yang menulis cerita kita, akanlah sangat bermanfaat bila meyakini bahwa, kitalah penulis cerita kita sendiri. Tatkala kita lelah akan hidup ini, yang benar-benar lelah itu, lelakon yang kita jalani. Dan hal yang dahsyat tentang rasa-letih terhadap lelakon kita ialah, cerita bisa diedit. Cerita boleh diperbaiki. Cerita dapat berubah dari membosankan menjadi menarik, dari bertele-tele menjadi terfokus, dan yang dari menjemukan bila dibaca, menjadi keceriaan.
Yang perlu kita ketahui guna memperbaiki lelakon kita ialah, prinsip-prinsip yang membuat cerita jadi bermakna. Lalu, jika kita menerapkan prinsip-prinsip itu, dalam hidup kita, dan berhenti menyerahkan pena kita, begitu saja tanpa berikhtiar sama sekali, pada nasib, kita dapat mengubah pengalaman pribadi kita, dan pada gilirannya, merasakan rasa-syukur atas keindahannya, ketimbang merasa kesal oleh ketidakbermaknaannya.

Satu hal yang akan merusak cerita dengan cepat, apabila sang pahlawan—karakter yang ada dalam cerita itu—berlakon seperti sang korban. Para pahlawan sama sekali tak kuat dan mampu; mereka hanyalah korban, yang melalui proses transformasi. Engkau tak boleh punya pemeran-utama dalam cerita, yang bertindak seperti sang korban. Ini betul dalam cerita dan betul pula dalam kehidupan. Faktanya, ini benar dalam cerita karena, ini benar dalam kehidupan. Alasan mengapa seorang pahlawan yang bertingkah seperti korban, bakal merusak cerita, sebab sebuah cerita, seyogyanya bergerak maju, agar menarik. Sang pahlawan pasti menginginkan sesuatu yang sulit, dan bahkan mungkin, pencapaiannya ngeri-ngeri sedep. Alur-cerita inilah, di hampir setiap lakon inspiratif, yang pernah engkau baca.

Seorang korban, di sisi lain, tak bergerak maju atau menerima tantangan. Sebaliknya, seorang korban pasrah, lantaran mereka percaya bahwa mereka telah ditakdirkan demikian. Kalau dipikir-pikir, maka, seseorang yang menyerahkan hidupnya pada nasib—dalam konteks ini, antara pasrah bongkoan, tanpa ikhtiar, kepada takdir, berbeda dengan, menyerahkan hidup kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala—ialah, esensi dari seorang korban. Dengan memasrahkan lelakon mereka kepada nasib, mereka membiarkan takdir memutuskan, apakah mereka berhasil dalam karier, mengalami keintiman, menumbuhkan rasa syukur, atau memberi contoh bagi anak-anak mereka. Lalu, takdir melakukan pekerjaan yang dahsyat dalam mengelola suasana, namun cuma sedikit mendorong ke depan, alur-cerita sang pahlawan. Pekerjaan itulah sebenarnya tugas sang pahlawan dan ia tak melakukannya. Mungkin kita semua mengenal satu atau dua orang yang hidupnya, tampak seperti ini. Atau lebih buruk lagi, kita sendirilah, yang sesungguhnya, hidup seperti ini!
Korban meyakini bahwa mereka tak berdaya dan memukul-mukul tembok, hingga mereka diselamatkan. Sungguh, korban memang ada dan memang perlu diselamatkan. Namun, korban itu, keadaan sementara. Setelah diselamatkan, cerita yang lebih baik ialah, kita kembali ke alam energi heroik, yang menggerakkan lelakon kita, ke arah depan.

Banyak dari kita, telah melalui masa-masa keputusasaan. Ada yang berhasil keluar, dan yang lain, tetap dalam keadaan putus-harapan. Namun, sebagian besar dari kita, memilih kehidupan hibrida. Kita bergerak maju sedikit, mungkin mendapatkan karier dan pasangan dan beberapa anak, namun kita terhalang oleh intrusi energi korban. Kita semata memunculkan energi pahlawan, manakala kita perlu menaiki anak-tangga dalam karier kita, atau membersihkan diri, sehingga kita dapat menemukan pasangan dan berkembang-biak. Akan tetapi, sampai tingkat energi korban muncul dalam hidup kita, lelakon kita, mengalami kegelisahan yang menghantui.
Sekali lagi, jika sebuah cerita akan berhasil, sang pahlawan tak boleh memunculkan energi korban. Energi korban merupakan keyakinan bahwa kita tak berdaya, bahwa itulah takdir. Intinya, bahkan sebelum kita bertanya pada diri sendiri tentang lelakon kita, kita hendaknya bertanya pada diri sendiri, lakon apa yang kita mainkan dalam cerita itu. Jika kita berperan sebagai korban atau penjahat, bahkan pengeditanpun, takkan dapat membantu kita. Dalam kisah kehidupan, kita bakal memainkan sedikit peran dan lelakon kita, takkan berhasil memperoleh daya-tarik naratif.

Faktanya, dua karakter yang paling cepat merusak lelakon kita ialah korban dan penjahat. Ihwal kedua dalam daftar periksa kita agar memperbaiki cerita buruk ialah memastikan sang pahlawan, tak memunculkan terlalu banyak energi sang penjahat. Sama seperti pahlawan yang memunculkan energi korban, sang pahlawan yang memunculkan energi penjahat, bakalan merusak lelakon. Bolehlah dikata, janganlah terlalu membenci penjahat. Lantaran sebenarnya, ia juga mengalami kesulitan. Dalam setiap lelakon, sang pahlawan dan sang penjahat punya latar belakang yang sama. Mereka memulai sebagai sang korban. Coba perhatikan saat engkau menonton film atau membaca buku. Terkadang mengherankan, sang pahlawan dimulai sebagai anak yatim-piatu. Lelakon dimulai dengan mereka kehilangan orangtua atau harus tinggal dengan paman berbulu domba mereka. Kemudian, mereka mengalami pem-bully-an di sekolah. Anak-anak lain memasukkan sampah ke dalam tas-ranselnya dan meletakkan buku-bukunya di toilet.
Nggak beda-beda amat dengan sang penjahat. Ada juga rasa-sakit yang mereka alami. Namun lelakon biasanya tak menceritakan latarbelakang sang penjahat, melainkan sang penulis hampir selalu menyinggung semacam siksaan di masa lalu sang tokoh. Penyebab mengapa di wajah sang penjahat terdapat bekas luka, atau pincang, atau mendapati gangguan bicara. Sang penutur ingin engkau tahu, bahwa sang penjahat, memanggul rasa-sakit yang tak terperikan.
Yang membedakan antara sang penjahat dan sang pahlawan adalah, sang pahlawan belajar dari rasa-sakit mereka dan berusaha membantu orang lain agar tak mengalami rasa-sakit yang sama. Di sisi lain, sang penjahat, berupaya membalas dendam terhadap dunia yang menyakitinya. Perbedaan antara sang penjahat dan sang pahlawan, ialah cara mereka bereaksi terhadap rasa-sakit yang mereka alami. Dalam lelakon, energi sang penjahat membawa konsekuensi negatif. Semakin kita memunculkan energi itu, semakin buruk lelakon kita.
Alasan lain agar tak berperan sebagai sang penjahat, seperti halnya sang korban, sang penjahat tak mengalami transformasi. Sang penjahat merupakan ancaman pahit yang sama di akhir cerita seperti di awalnya. Bukan hanya itu, sang penjahat, sama seperti sang korban, cuma memainkan sedikit peran dalam lelakon. Kendati punya kekuatan dan keperkasaan, serta segala gertakannya, sang penjahat, ada dalam cerita, semata untuk menjadikan sang pahlawan terlihat baik dan mendapatkan simpati dari sang korban. Karenanya, walau cukup banyak perhatian yang diperoleh sang penjahat, lelakonnya, bukan tentang dirinya.

Memainkan lakon sang pahlawan, membuat cerita kita berkembang secara dramatis. Jika kita ingin mengendalikan hidup kita dan melenturkan lakon kita ke arah sesuatu yang bermakna, kita dapat memunculkan lebih banyak energi sang pahlawan dan mengurangi energi sang korban dan sang penjahat. Apa inti dari energi heroik? Seorang pahlawan menginginkan sesuatu dalam hidup dan bersedia menerima tantangan agar berubah menjadi orang yang mampu mendapatkan apa yang diinginkannya.
Saat kita membaca cerita atau nonton film, secara tak sadar, kita menginginkan sang pahlawan muncul pada saat itu. Bagaimana sang pahlawan menanggapi tantangannya? Saat dihina, bagaimana reaksinya? Tatkala mereka ditolak, bagaimana sang pahlawan memperlakukan orang yang telah menolaknya? Manakala mereka merasa bahwa semuanya hilang, dapatkah mereka menemukan cahaya dalam kegelapan? Berusahakah ia? Bergerak majukah ia, melawan segala rintangan, dan bagkitkah kembali bila terjatuh? Jika sang pahlawan merespons dengan tindakan yang punya tujuan dan sebuah asa, lelakon kita akan bergerak maju dan jadi menarik. Namun jika ia meresponsnya dengan rasa putus-asa seperti sang korban, atau bila ia menyerang orang lain bak sang penjahat, lelakonnya, bakalan porak-poranda.

Yang sebenarnya kita bicarakan, dikala kita berbincang tentang karakter apa yang kita perankan dalam lelakon hidup kita ialah, Identitas. Siapa diri kita menurut kita sendiri? Jika kita meyakini bahwa kita tak berdaya dan cerita kita berada di tangan takdir, maka kita menjalankan identitas sang korban. Jika kita dengan yakin meremehkan orang lain dan melakukan apa yang kita ucapkan, maka kita menjalankan identitas sang penjahat.
Pergeseran pertama yang kita alami saat kita memunculkan energi heroik, bahwa hidup kita, tak berada di tangan nasib. Paling tidak, tak sepenuhnya. Sang pahlawan bangkit dengan keberanian mengubah keadaannya.
Bisa jadi, nasiblah yang mengirimi kita tantangan, namun tak menentukan bagaimana kita menanggapi tantangan tersebut. Kita tak terprogram. Kita punya kekuatan membentuk lelakon kita sendiri. Boleh jadi, nasiblah yang memberi kita sinar matahari atau hujan, namun itu tak menentukan siapa kita. Kitalah yang menentukan siapa kita, dan siapa kita mengarahkan lelakon kita, lebih dari apapun atau siapapun.

Jika kita berupaya untuk memperbaiki lelakon yang rusak, setelah kita memastikan sang pahlawan tak memanifestasikan terlalu banyak energi sang korban atau sang penjahat, hal berikutnya yang kita cari, ialah sang pemandu. Siapa yang membantu sang pahlawan menang? Darimana sang pahlawan memperoleh pengetahuannya? Siapa yang akan menjadi penyemangat bagi sang pahlawan?
Dalam lelakon, para pahlawan atau jagoan, tak sanggup melakukannya sendiri lantaran mereka tak tahu caranya. Jika mereka tahu caranya, mereka bakal menyelesaikan segala kekurangan itu sendiri. Ingat, para jagoan punya kekurangan dan perlu bertransformasi. Bahkan, mereka sering menjadi karakter terlemah kedua dalam sebuah lelakon. Sang korbanlah semata mengalami kondisi yang lebih buruk. Agar membantu jalan keluar sang pahlawan, sang penutur mengirim panduan atau sang pemandu. Laksmana menyertai dan mengingatkan Rama dalam segala keadaan. Jatayu menginformasikan siapa yang menculik Sita. Sempati memberi petunjuk kepada pasukan Wanara. Jembawan membantu Hanoman mengingat siapa dirinya sebenarnya. Dalam lelakon, sang pemandulah, tokoh dalam cerita, yang punya empati dan kepercayaan-diri, dan dengan demikian, diperlengkapi agar membantu sang pahlawan, menang. Kepercayaan-diri sang pemandu, berasal dari pengalaman bertahun-tahun, mengasah dalam perjalanan kepahlawanannya sendiri. Sang pemandu tahu apa yang dilakukannya, dan dapat memberikan pengetahuan berharga kepada sang pahlawan.
Para pemandu yang berempati, berasal dari rasa-sakitnya. Seperti yang mungkin sudah engkau duga, sang pemandu, juga punya latarbelakang rasa-sakit. Seperti sang korban, sang penjahat, dan sang pahlawan, sang pemandu harus melawan tantangan, ketidakadilan, dan bahkan tragedi. Bayangkan Helen Keller belajar menulis dan berbicara, meskipun ia tak bisa melihat atau mendengar. Lalu, rasa-sakit, kerapkali menjadi guru yang mengubah sang pahlawan menjadi sang pemandu. Maksudnya, apabila sikapnya terhadap rasa-sakit, merupakan penerimaan dan penebusan-dosa.
Karakteristik utama dari seorang pemandu ialah, membantu sang pahlawan, berjaya. Bantuannya, haruslah berasal dari pengalaman, dan yang terpenting, pengalaman yang seyogyanya mereka miliki ialah, mengubah keadaan sulit menjadi peluang untuk berubah.
Tatkala engkau membaca sebuah cerita, lelakon itu sendiri, bukanlah tentang sang pemandu; melainkan tentang sang pahlawan, namun, para pemandulah, tokoh terkuat dan paling cakap dalam lelakon. Mereka pula, yang paling perhatian dan penyayang. Kita mungkin mendukung sang pahlawan dan membenci sang penjahat, akan tetapi, rasa-hormat kita yang tertinggi, diberikan kepada sang pemandu. Pikirkanlah Mary Poppins, memandu sebuah keluarga ke dalam pemahaman baru dan lebih baik tentang kehidupan itu sendiri. Menjadi pemandu itu, transformasi paling bermakna yang bisa terjadi dalam kehidupan manusia.
Kita menjalani hidup ini, bukan untuk membangun monumen bagi diri kita sendiri, melainkan untuk menyampaikan pemahaman kita tentang kehidupan, kepada mereka yang ada di belakang kita, supaya lelakon mereka, dapat lebih bermakna dibanding kisah kita. Bagaimana jika kisah hidup kita, kurang tentang apa yang kita bangun, dan lebih, tentang siapa yang kita bangun? Seberapa jauh lebih bermaknanya lelakon kita jika, pada pemakaman kita, orang-orang berbicara lebih sedikit tentang pencapaian kita dan lebih banyak tentang dorongan kita? Jika hidup mengajari kita sesuatu, mungkin seolah seperti ini: mengorbankan diri sendiri demi orang lain itu, hal yang bermakna. Inilah inti dari sebuah panduan, dan jika kita mengambil perjalanan sang pahlawan, di sinilah setiap cerita kita, akan beranjak.

Dan demikianlah, di atas dinding kaca di sekitar Alengka, untuk sesaat, Hanoman bertengger di sana, mengagumi kota yang terletak di bawahnya. Lantaran hampir tak dapat menemukan pijakan yang kokoh, ia melompat ke seberang, ke ibukota Rahwana. Tapi, tunggu dulu, aku ingin bercerita sangat singkat tentang asal-mula Ramayana, induk dari cerita ini.
Sekitar tiga ribu tahun yang lalu, seorang resi bernama Walmiki, menetap dalam sebuah ashram [asrama, dalam konteks ini, sebuah pertapaan, komunitas monastik, atau tempat keagamaan lainnya untuk menenangkan diri] di hutan terpencil, menjalankan pertapaan bersama para muridnya. Suatu hari, seorang resi pengembara, Narada, mengunjungi asramanya, dan ditanya oleh Walmiki, tahukah ia dengan seseorang yang sempurna. Narada berkata, ia mengenal orang seperti itu, dan lalu memberitahu Walmiki dan murid-muridnya tentang seorang lelaki ideal.
Beberapa hari kemudian, Walmiki kebetulan menyaksikan seorang pemburu, membunuh seekor burung krauncha. Pasangan kerabat burung bangau ini, ditinggalkan begitu saja, dan menangis tersedu-sedu. Walmiki merasa marah atas perbuatan sang pemburu, dan sedih oleh kematian sang unggas. Ia merasa terdorong melakukan sesuatu yang gegabah, namun dengan susah-payah, mengendalikan dirinya. Setelah kemarahan dan kesedihannya mereda, ia mempertanyakan gejolak-gejolaknya. Setelah bertahun-tahun berlatih meditasi dan pertapaan, ia masih belum mampu menguasai emosinya sendiri. Mungkinkah melakukannya? Bisakah seseorang benar-benar menjadi majikan atas hasratnya? Untuk beberapa saat, ia putus asa, namun kemudian, ia teringat cerita, yang Narada sampaikan padanya. Ia memikirkan implikasi dari cerita itu, tentang pilihan yang dibuat oleh sang protagonis dan bagaimana ia sungguh menunjukkan penguasaan yang dahsyat atas pikiran, kata-kata, perbuatan, dan perasaannya sendiri. Walmiki merasa terinspirasi oleh ingatan tersebut, dan merasa tenang seperti yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Saat ia mengingat cerita tentang lelaki sempurna yang pernah dibicarakan oleh Narada, ia mendapati dirinya, melafalkannya dalam irama dan ritme tertentu. Ia sadar bahwa ritme ini, berhubungan dengan kicauan burung krauncha, seolah-olah sebagai penghormatan atas kehilangan yang menginspirasi ingatannya. Seketika, ia memutuskan untuk mengarang versi ceritanya sendiri, menggunakan bentuk matra-irama baru, agar orang lain dapat mendengarnya, dan terinspirasi seperti dirinya.
Namun, cerita Narada, semata narasi yang polos dari peristiwa tersebut, garis besar alur-cerita belaka seperti yang kita sebut sekarang ini. Agar membuat lelakon menarik dan mudah diingat oleh pendengar biasa, Walmiki hendaknya menambahkan dan memperindah, mengisi detail dan menciptakan peristiwa dari imajinasinya sendiri. Ia harus mendramatisasi keseluruhan lelakon agar memunculkan dilema kuat yang dihadapi oleh sang protagonis.
Namun, berhakkah dirinya, melakukannya? Lagi pula, itu bukan cerita miliknya. Lelakon tersebut, diceritakan kepadanya. Lelakon lelaki sejati dan peristiwa nyata. Bagaimana bisa ia mengarang cerita versinya sendiri? Konon bahwa, ia memperoleh inspirasi, membacakan perbuatan Rama yang telah dikenal maupun yang belum, petualangannya. . . pertempurannya. . . tindak-tanduk Sita, yang diketahui dan yang belum. Apapun yang tak ia ketahui, akan ia ketahui. Takkan pernah ada kata-katanya, yang tak pantas. Menyampaikan cerita Rama yang mungkin terjadi di bumi, sepanjang keberadaan gunung dan sungai. Maka, iapun mulai menulis puisinya. Ia menamakannya, Rama-yana, yang bermakna harfiah, Pergerakan (atau Perjalanan) Rama.
Hal pertama yang disadari Walmiki saat menyelesaikan komposisinya, bahwa komposisinya tak lengkap. Apa gunanya sebuah cerita, tanpa melakonkan siapapun? Dalam tradisi di zamannya, seorang penyair, biasanya akan membacakan komposisinya sendiri, mungkin mendapatkan bantuan atau pembayaran dalam bentuk koin atau barang, lebih sering hanya dihargai dengan penghargaan dari pendengarnya. Akan tetapi, Walmiki tahu bahwa meskipun bentuk cerita tersebut, ciptaannya, lelakon itu sendiri, milik semua orang sebangsanya. Ia mengingat nasihat sang inspirasi bahwa kisah Rama hendaknya bertahan di bumi, selama gunung dan sungai, ada. Maka, ia mengajarkannya kepada murid-muridnya, di antara mereka, ada dua anak lelaki yang ibunya memohon perlindungan, ikut bersamanya bertahun-tahun yang lalu. Kedua anak laki-laki itu, Lawa dan Kusa, kemudian melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, membacakan Ramayana yang disusun oleh guru mereka.
Beberapa dari kita, bahkan kini telah membaca komposisi abadi Walmiki yang asli. Sebagian besar, malahan belum membaca ringkasannya. Memang, Ramayana yang utuh, yang mereproduksi syair Walmiki tanpa perubahan atau revisi, hampir tak mungkin ditemukan. Pada abad kesebelas, seorang penyair Tamil bernama Kamban, menceritakan kembali legenda Ramayana dalam versinya sendiri. Sant Tulsidas menafsirkannya sendiri. Tulsidas melangkah lebih jauh dengan memberi judul pada karyanya, Ramcharitramanas, ketimbang menyebutnya Ramayana. Raja-raja Thailand, selalu bernama Rama bersama dengan gelar dinasti lainnya, dan menganggap diri mereka, sebagai keturunan langsung Rama Chandra. Kuil Rama terbesar, reruntuhan yang menginspirasi bahkan sampai sekarang, tak terletak di Jambudwipa, atau bahkan di Nepal, satu-satunya negara yang menganut agama Hindu sebagai agama resminya, melainkan di Kamboja, yang disebut Angkor Wat.
Ramayana 'asli' Walmiki ditulis dalam bahasa Sansekerta, bahasa pada eranya dan dalam idiom yang sangat modern di zamannya. Kini, Ramayana tak dianggap lagi sebagai epik Sansekerta tentang peristiwa nyata yang terjadi di Jambudwipa kuno, melainkan sebagai cerita-moral atau fabel.

Nah, Sunan Kalijaga melihat peluang ini untuk berdakwah. Pada zaman prasejarah, sebelum kedatangan orang-orang Hindu ke Negeri Zamrud Khatulistiwa, alam pikiran pada zaman itu, masih sangat sederhana. Mereka selalu dikuasai keinginan mengetahui seluk-beluk semua masalah yang berada di sekelilingnya. Pada waktu itu, mereka percaya, bahwa roh yang sudah mati, dianggap masih tinggal di daerah sekelilingnya. Semisal, pada pohon, pada gunung-gunung yang kemudian harus disebut gunung ’'Hyang' atau 'Di-Hyang' [Dieng], atau Da Hyang atau 'Dah Yang' dan lain sebagainya. Roh orang yang sudah meninggal itu, juga dipandang sebagai pelindung yang kuat. Maknanya, menjadi pelindung yang dapat memberikan pertolongan dan bantuan kepada orang-orang yang masih hidup. Roh orang yang sudah meninggal itu, dapat dibangunkan dan didatangkan oleh dukun atau tukang-sihir. Cara mendatangkan roh tersebut, dilakukan dengan diiringi nyanyian, pujian dan sajian-sajian. Kehadiran roh orang yang telah meninggal tersebut diharapkan dapat memberi pertolongan dan bantuan atau berkah kepada mereka yang masih hidup.
Harapan-harapan itulah, yang mendorong orang menghasilkan pembuatan bayangan, di mana orang dapat membayangkan roh-roh orang yang telah meninggal. Gambar atau lukisan bentuk dari roh-roh yang dibayangkan itu bukanlah berwujud gambar realistis dari nenek moyang, tetapi berwujud gambar bayangan semu.
Permainan untuk mempertontonkan bayang-bayang itu, kemudian menjadi sebuah prinsip dan menjadi umum. Setiap saat orang ingin berhubungan dengan roh-roh nenek-moyang, orang mengadakan pertunjukan bayang-bayang atau wayang. Wayang berasal dari bahasa Jawa yang bermakna ’bayangan' atau bayang-bayang. Kata ’wayang,' ’hamayang' di zaman dulu bermakna, pertunjukan ’bayangan.' Lambat laun menjadi pertunjukan bayang-bayang. Kemudian menjadi seni pentas bayang-bayang atau wayang oleh sang Dalang
Sunan Kalijaga, atau Raden Syahid, dikenal sebagai ulama Walisongo yang sangat toleran terhadap kepercayaan atau agama lama; berbagai cara ditempuh agar bisa mengislamkan orang-orang Jawa, semisal lewat pertunjukan wayang, merubah tata-cara dan doa-doa pada upacara adat istiadat sebelumnya, dengan memasukkan unsur-unsur Islami, lewat tembang macapat, dan lain sebagainya. Tentu saja, niat Raden Syahid menyampaikan Islam, dengan cara berangsur-angsur, sebab bila terlalu frontal terhadap agama lama, semua orang, kemungkinan besar akan lari meninggalkannya. Alasan lain, agar masalah akidah, biarlah ulama-ulama berikutnya, yang mengajarkannya. Menurut pendapatnya, akan lebih mudah mengajarkan Akidah Islam kepada orang-orang yang sudah mengakui Islam dengan mengucapkan Kalimat Syahadat. Namun, apa yang diharapkan Raden Syahid, belum tercapai, bahkan akibatnya, akidah kebanyakan orang, khususnya orang Jawa di pedalaman, bercampur-baur dengan kepercayaan lama, sehingga dikenal dengan nama Sinkritisme dalam akidah, dan hal ini, sangat sulit dimurnikan.

Tiba-tiba, Hanoman mendengar langkah-kaki para polisi rakshasa di jalan dan ia mundur ke balik bayang-bayang. Itulah patroli malam Rahwana yang waspada. Tak semata kekuatan formal, melainkan pasukan perang yang kuat. Hanoman melihat senjata berkilauan yang dibawa para rakshasa: ayudha mengerikan dimana api kelam tertidur. Ia segan memikirkan, apa yang akan dilakukan setan-setan ini, terhadap seorang penyusup yang jatuh ke tangan mereka. Ia menggigil di tempat bertenggernya. Ketika mereka mengobrol dengan tenang atau tersenyum, taring bak pedang, berkilau di wajah nan garang, sensualisme rakshasa, dan kumis berbulu tipis. Sang komandan memberikan arahan, 'Keluarkan sang tahanan!' Lalu seorang polisi rakshasa menggiring seorang anak-manusia. Setelah itu, dengan percaya-dirinya, sang komandan mengumumkan, 'Hai penduduk Alengka, pencarian kami telah membuahkan hasil. Kami telah menangkap sang penyusup, yang menyaru sebagai penjual es."
Kutipan dan Rujukan:
- Ramesh Menon, The Ramayana:A modern Translation, HarperCollins
- Bibeck Debroy, The Valmiki Ramayana, Penguin Books 
- Donald Miller, Hero on a Mission, HarperCollins
- Ashok K. Banker, Armies of Hanuman, AKB eBooks
- Ir. Sri Mulyono, Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang, CV Haji Masagung
- Ashadi, Warisan Walisongo, Lorong Semesta 
[Bagian 5]
[Bagian 3]