Selasa, 13 September 2022

Hanoman Obhong : Firewall

Sang Purnama menyinambungkan, "Saatnya 'a leap of faith,' tatkala batang-tubuh Hanoman, mulai menjulang ke langit, otot-otot leher dan punggungnya, menonjol serupa ular kobra. Sang putrabayu, menjejakkan-kaki di puncak gunung. Harimau, beruang, dan macan-tutul, yang tinggal di seputaran puncak, bergegas keluar dari gua mereka dan berlarian turun dari gunung. Pegunungan Mahendra, yang berkacak tak tergoyahkan oleh gelombang pasang dan angin-topan, bergetar di bawah tapak-kaki Hanoman. Para gajah berjalan linglung di kaki-gunung. Para gandarwa dan kinnara yang menetap di gua-gua, terbang ke angkasa dalam sekejap, atau mengungsi bersama marga-satwa.
Puncak-gunung berputar-haluan oleh hempasan angin, kala sang Bayu merangkul putranya di angkasa. Tiada yang pernah melakukan lompatan ini sebelumnya; kecuali unggas-unggas yang pernah ke Alengka dengan cara ini. Hanoman memberi penghormatan kepada Lokapala, pengawal empat penjuru: Surya, Indra, Baruna, dan Kubera. Sekali lagi, ia berpaling ke Timur dan menyapa ayahnya, Bayu. Ia membayangkan Rama dan Laksmana; mendoakan mereka di dalam hatinya. Ia memberi hormat kepada sungai-sungai, dan induk dari mereka semua, Samudera, Barunadewa.
Pepohonan yang tumbuh di Mahendra, bergoyang saat Hanoman melangkah-maju, dan lereng gunung tertutup oleh mantel bunga berwarna-warni, yang berjatuhan dari cabang-cabangnya. Masih, Hanoman tumbuh membesar. Saat ia menjejakkan kaki di puncak gunung, bebatuan retak di bawahnya, sementara puncaknya, bergema oleh pencarian tempat yang kokoh dan keras, guna meluncurkan tubuhnya ke Bumantara. Asap keluar dari celah-celah itu.
Mendekam dalam gua-gua di hilir, terteror oleh Kingkong yang berukuran, boleh dikata, setinggi ratusan ribu jengkal, puluhan ribu hasta, atau ribuan depa, pokoknya guwedhe buanget, marga-satwa Mahendra, memekik ketakutan hingga kerongkongannya kering. Ada yang meraung, meringkik, melolong; namun semuanya, berhimpun bersama: harimau dan rusa, gajah dan macan kumbang, beruang-beruang besar kerabat Jembawan, beserta ular yang mendesis dan meludahkan bisanya, di perbukitan itu, Ribuan unggas terbang mengedau, dari sarang mereka di gua dan celah, dan langit penuh dengan alarm roda kelabunya. Di puncak gunung, Hanoman menapakkan-kaki, mengumpulkan kekuatan-dirinya.

Disebutkan, bahkan para resi Mahendra bergegas turun oleh retaknya pegunungan itu, dan para widadara, terbang ke langit dan melayang di sana bagai unggas aneh, guna menyaksikan lompatan Hanoman. Kemudian, sang wanara yang mengagumkan ini, berdiri diam di tempat, tak goyah di bawah kakinya, bahkan seolah-olah tempat itu, tercipta hanya untuknya. Ia mendongak ke langit dan mengaum menampakkan keliarannya, ia penguasa rasnya, sehingga langit tersentak mendengarnya. Di belakangnya, lebih panjang dari Hamadriad terpanjang, yang dicabut sampai ke akar-akarnya oleh sang Garuda, ekornya menggelung dan menyentak bersama kehidupannya sendiri. Jauh di bawah pantai, para wanara Anggada, menyumpal telinga dengan jemari mereka.
Saat gema aumannya telah sirna, seketika Hanoman berjongkok, tangannya bertumpu pada dua puncak bergerigi di sampingnya. Ia menjulurkan lehernya ke langit. Ia menghilangkan keraguan terakhir di benaknya, dan menolehkan pandangannya ke laut yang tak berujung. Ia menarik napas dalam-dalam, dan bercangkung, menggegar dalam ancang-ancang. 'Kecepatan Ilahi, Hanoman!' teriak tentara wanara dari bawah. Suaranya menggelegar saat ia menjawab, 'Bagai anak-panah yang lepas dari busur Rama, aku bertolak ke Alengka! Bila Sita tak ada di sana, kukan terbang mencarinya ke Dewaloka.’
Suara gemuruh membahana dan para wanara menyaksikan panorama menakjubkan yang belum pernah mereka lihat: lejang dan terjal laksana sebuah gagasan, Hanoman sang raksasa, melesat ke cakrawala laksana Superman. Bersamanya, tertarik sampai ke akar-akarnya, oleh kecepatannya, ribuan pohon berbunga, seolah-olah ingin mengantarkannya dalam perjalanan yang bertanda-baik, dan menemaninya sampai ke tengah perjalanan. Kemudian bunga-bunga itu, jatuh dari langit dalam riam, pancuran ajaib ke laut yang tenang. Ombak terdampar di pantai, dalam setiap warna yang terbayangkan, dan membawa muatan lembutnya ke pasir, menyapa kaki Anggada dan pasukannya.
Namun di atas mereka, Hanoman tak lingsir kembali ke bumi. Ia tetap terbang dan berlalu, terbawa oleh kekuatan yang dilepaskan oleh lengan dan kakinya yang perkasa, terbawa arus deras angin ayahnya: sungguh seperti manavastra Rama dari Ayodhya. Mereka mendengar gelak-tawa ceria Hanoman, mengambang turun bagai kembang dari langit.
Laksana awan petir yang diterpa badai, Hanoman terbang menembus awang-awang. Lengannya terentang ke depan laksana dua rentetan halilintar. Para dewa melihatnya dan berkumpul di tempat tinggi di kahyangan, bak ikutan nimbrung nonton para bintang sepakbola. Saat sang wanara melintas sekejap-mata, merekapun dengan kagum berbisik dalam hati, itulah keabadian. Mereka bergumam, ia boleh jadi sanggup menelan langit dengan mulut-lebarnya yang mirip Mick Jagger. Bayangan Hanoman di laut lengang, panjangnya tiga puluh yojana, saat ia melayang melintasi cakrawala, laksana para ancala dikala Indra belum memotong sayap-sayap mereka.

Baruna, sang Samudera, menyaksikan penerbangan Hanoman dan bergumam, 'Boleh juga nih nyemot. Kutakkan ada melainkan bagi raja-raja Ikswaku; dan wanara satu ini, terbang dalam misi demi pangeran terbaik di zamannya. Kukan memberinya tempat beristirahat, agar ia dapat dengan mudah mencapai tujuannya.’
Baruna menyapa putra Himalaya, Mainaka, yang terbaring kelelep jauh di bawah gelombang. Sang penguasa tirta berseru pada sang jabal, 'Julurkan dirimu ke angkasa; jadilah tempat peristirahatan bagi Hanoman.’
Gunung legendaris tersebut, dengan puncak emas yang disebutnya Hiranyanabha—agak sulit dilafalkan dan mungkin bisa dikacaukan dengan Hiranyagarbha—meneggala seumpama matahari terbit dari laut, dan tegak-berjejak, berkilau di jurusan Hanoman. Namun, sang putrabayu, mengira Mainaka itu, iblis penghalang dan, dengan dorongan dadanya, menyodoknya ke samping. Tiba-tiba, sukma Mainaka muncul di puncak emasnya, berkilauan di hadapan sang wanara terbang.
Mainaka berseru kepada sang kera, 'Baruna memerintahkanku timbul agar menjadi tempat peristirahatanmu. Penguasa gelombang-laut hendak memberi manfaat untukmu, Hanoman, dan bagi pangeran Rumah Matahari yang engkau bhaktikan. Ayahmu, Bayu, menyelamatkanku dari bajra Indra, kala sang raja dewa memotong sayap semua ancala. Bayu menyembunyikanku di dasar lautan saat Indra memburu kaumku. Lihat!' Dan sayap perak pun berkilau di punggung makhluk mengagumkan itu. Mainaka berkata lagi, 'Ayo, Hanoman, beristirahatlah sebentar di atasku. Lalu engkau boleh terbang ke Alengka dari mercu kepalaku.’
Hanoman menjawab, 'Aku sangat terkesan oleh cinta dan kebaikan lautmu. Tapi, waktuku terbatas dan tak ada masa berehat. Selamat tinggal, jabal yang baik, kelak kita 'kan jumpa lagi.’ Hanoman melambai kepada sang jabal kencana dan, saat Mainaka tenggelam dalam pusaran gelombang, sang wanara melesat di Bumantara.

Akan tetapi, para dewa cahaya, takkan pernah puas membiarkan pejuang manapun, yang belum teruji di masa-masa tersulitnya. Mereka memanggil Surasa, induk-semang segala ular dan naga. Para dewa berkata, 'Kami pengen ngeliat kehebatan kera ini. Do'i, putra Bayu; lompatan segitu mah, enteng baangeet. Tapi, coba kita uji keberaniannya andai ia menemukan seseorang yang menyeramkan di langit, menghalangi jalannya. Jadilah rakshasi di angkasa, Surasa. Mari kita lihat, seberapa pantas sih, sebenarnya Hanoman ini.’
Yap, para dewa telah menginstall firewall agar tak diretas oleh para Hacker seperti Hanoman. Seketika, menyebarlah di langit seperti badai-petir, Hanoman melihat rakshasi yang meredupkan cerahnya sinar baskara. Ia menyeringai, memamerkan taring sebesar bukit. Ia menjilat bibirnya saat melihat Hanoman, dan berseru, 'Alangkah laparnya aku! Walakin, inilah pesta yang adil, masuklah ke moncongku. Mendekatlah padaku, kera kecil, dan jadilah 'my free lunch.’
Hanoman memadukan kedua telapak-tangannya, menyapa makhluk mengerikan itu. Ia berkata dalam kerendahan-hati, 'Maaf dewi, 'there is no free lunch' dan aku sedang dalam tugas keramatku. Nantilah, dalam perjalanan pulang, aku akan masuk ke moncongmu. Peganglah ucapanku ini.'
Surasa tenang sejenak, ia berkata, 'Baiklah, sekarang aku ingin engkau menjawab pertanyaanku.' Hanoman kepo, ia bertanya, 'Maksudmu, engkau hendak bermain tebak-tebakan denganku?' 'Ya!' tanggap Surasa. Hanoman berkata, 'Di sini, sekarang? Main tebak-tebakan seperti the Spinx?' Surasa berkomentar, 'Ya dan sekarang jawablah, monyet, tupai, dan burung berlomba ke puncak pohon kelapa. Siapa yang duluan mendapatkan pisang?' Hanoman menjawab, 'Pisang tak tumbuh di pohon kelapa.' 'Betul sekali! Sekarang, 'setiap orang memilikinya dan takkan ada yang bisa kehilangannya. Apa itu?'' Surasa menanyakan pertanyaan kedua. Hanoman menjawab, 'Bayangan.' Surasa melanjutkan, 'Semakin banyak yang engkau lakukan, semakin banyak yang engkau tinggalkan. Apa itu?' Hanoman dengan mudah menjawab, 'Jejak-kaki.' Lalu, Surasa berkata, 'Sekarang katakan padaku, engkau akan membuangku bila engkau ingin menggunakanku. Engkau akan mengambilku saat engkau tak ingin menggunakanku. Apakah aku?' Hanoman menjawab, 'Jangkar.' 'Benar' kata Surasa, 'Langkah macam apa yang engkau ambil jika seekor harimau berlari ke arahmu?' Hanoman menjawab, 'Langkah seribu.' Surasa diam, ia mulai marah, 'Aku akan selalu datang, tapi tak pernah sampai. Apakah aku?' Hanoman menjawab dengan tenang, 'Esok-hari.' Dengan suara nyaring, ia bertanya, 'Aku berlari tapi aku tak punya kaki. Apakah aku?' 'Hidung,' jawab Hanoman sambil tersenyum.
'Apa yang berkeliling dunia, tapi tersudutkan?' 'Perangko.'
'Aku tak punya bagian atas atau bawah, tapi dapat menampung daging, tulang, dan darah, sekaligus. Apakah aku?' 'Cincin.'
'Aku putih ketika kotor dan hitam ketika bersih. Apakah aku?' 'Papan-tulis.'
Suaranya meninggi, Surasa bertanya, 'Semakin banyak, semakin sedikit yang engkau lihat. Apakah aku?' Tertawa, Hanoman menjawab, 'Gelap.'
'Apa yang punya dua-belas kaki, enam mata, tiga ekor dan tak dapat melihat?' 'Tiga tikus buta.'
'Kepalaku emas. Ekorku emas, tapi tak punya tubuh. Apakah aku?' 'Koin emas'
Hanoman terbahak-bahak. Tapi Surasa berteriak, 'Atas anugerah Brahma, tiada yang boleh melewatiku tanpa masuk ke moncongku! Anugerah Brahma terbukti takkan keliru.’ Ia membuka mulutnya lebar-lebar. Oleh kejengkelan, Hanoman berteriak, 'Rakshasi, mulutmu terlalu kecil menampungku. Bukalah lebih lebar, agar tubuhku muat di dalamnya.’ Surasa membuka moncongnya lebar-lebar; ia membukanya hingga menganga seratus yojana. Secepat kilat, Hanoman beralih menjadi seukuran ibu jari manusia dan, sebelum sang jin perempuan sadar apa yang terjadi, dengan cepat ia masuk, lalu keluar lagi dari moncong Surasa. Setelah keluar, Hanoman tumbuh membesar sekali lagi. Ia membungkuk di hadapan Surasa, 'Aku telah masuk ke dalam mulutmu. Sekarang, perkenankan aku melintas.’
Surasa tertawa; ia menyukai kera pandai yang melayang di langit ini. Ia berseru padanya, 'Pergilah dengan damai, Hanoman, para dewa telah mengujimu. Semoga engkau dapat memetik buah perjalananmu; semoga tugas-tugasmu berhasil.'
Ia menghilang dari Bumantara dan Hanoman pun terbang. Firewall pertama lewat. Lintasannya, ribuan kaki tingginya. Disitulah jalan-tol-langit bagi para unggas. Ia terbang di sepanjang jalan renik para resi dan gandarwa. Bayu telah membawa putranya ke tempat ia terbang secepat yang diinginkannya. Hari itu, lembab, jalan-tol surgawi dan rintik hujan yang ramah, telah membasahi wajahnya, saat Hanoman melintas.

Jauh di depan, ada rakshasi beneran yang disebut Simhika, yang berdiam di samudera. Mendadak, Hanoman merasakan tubuhnya melambat dan, kemudian, mengambang di langit. Ia merasakan tubuhnya terseret ke bawah, dan manakala ia melongok ke bawah sana, di samudera, ia melihat cakar melengkung rakshasi mencengkeram bayangannya di atas air-laut. Bahkan, ia takjub saat menyaksikannya membelah samudera, laksana gunung yang muncul, berwajah singa nan garang, menyempal dari pusaran gelombang. Mulutnya menganga dari cakrawala ke dirgantara, hendak menelannya.
Kini, Hanoman kehilangan kesabaran. Dengan menderam, ia menukik ke rahang Simhika bagai pancingan elang. Ia melaju persis di atas tenggorokannya, kemudian mengecil sehingga Simhika tak dapat menjangkau dengan taringnya. Hanoman terbang turun ke perutnya. Lalu mulai tumbuh membesar lagi, ia mencengkeram dua genggam ususnya, lalu timbul, menyeret usus itu, keluar melalui mulut. Simhika mati menjerit, dan seisi perutnya, mengapung bak karangan bunga duka di atas ombak. Firewall kedua, lewat. 

Laksana Garuda, Hanoman terbang dan angin pun menyertainya, memudahkan perjalanannya. Ia melihat titik hitam, terlihat di cakrawala, dan dengan kecepatan terbangnya, titik itu, meriap seketika. Dalam sekejap, sebuah pulau yang subur terbentang di bawahnya, sebuah permata di laut. Di dalam batas-batas hijaunya yang bergelombang, ia melihat sebuah gunung yang menjulang ke atas menuju awan, dan taman-taman yang disinari matahari, Pegunungan Trikuta. Terbang berputar rendah dan lebih rendah. Ia melihat sungai, perairan dan air-terjun keperakan. Ia penasaran pada kesempurnaan Alengka yang telah direngkuhnya, usai terbang seratus yojana mengarungi angkasa.
Dengan cepat, Hanoman berpikir, 'Aku tak boleh mendarat di sini, seperti ini. Aku sangat besar, sehingga para rakshasa takkan pernah membiarkanku masuk ke kota mereka tanpa perlawanan. Lantas, bagaimana aku bisa menemukan Sita?’
Dalam sekelebat, ia berubah jadi monyet kecil setinggi tiga kaki, dan dengan lembut, ia memijakkan kakinya di puncak bukit Lamba. Dengan mata beliak, ia melihat keindahan pulau Rahwana, Hanoman berdiri mengoceh, sepakat dengan apa yang ia saksikan di sekelilingnya. Ia menghela napas lega, bahwa perjalanannya yang fantastis, momentum penyeberangannya, telah tercapai. Kini, menemukan Sita, seharusnya bukanlah masalah besar.
Namun, sang wanara, rendah-hati dan tak membuang waktu mengagumi apa yang telah ia lakukan. Menatap sekeliling dengan mata cerah, Hanoman melompat ke arah kota Rahwana. Matahari terbenam di cakrawala ketika, melalui pepohonan di depannya, ia melihat tugu merah dan emasnya terpantul dari jendela kristal rumah-rumah mewah di Alengka. Ia memperhatikan parit dalam, yang mengelilingi kota benteng sebagai perlindungan, patroli rakshasa yang waspada, yang menjaga pintu masuknya, jalan lebar dan bersih, menuju ke gerbang yang tinggi; dan kagum pada semua apa yang dilihatnya. Hanoman merasa bahwa Alengka pastilah seindah Amrawati-nya Indra. Dan ia tak begitu keliru; Wiswakarma sendirilah, yang telah membangun kota ini, teruntuk Rahwana. Di kaki bukit Trikuta, Hanoman berhenti. Di atasnya, dalam kabut malam yang mengepul di sekelilingnya, kota para rakshasa, tampak melayang di udara!
Hanoman mendekati gerbang kota. Rakshasa yang berjaga di sana, tingginya sepuluh kaki. Mereka ganas, dan membawa senjata api, melekat di sisi tubuh mereka, bagaikan organ tubuhnya. Sangat banyak di antara mereka, di luar gerbang, ratusan, dan Hanoman melihat, jumlahnya berganda, di bagian dalam. Ia merayap ke gerbang Alengka dan, bersembunyi di semak-semak, mengintip ke kota yang menakjubkan. Tampak seperti kota para gandarwa. Sebuah tembok tinggi yang mengkilap, membentang di seluruh Alengka, terbuat dari logam yang sangat tak biasa, sehingga tak mungkin diukur. Hanoman berdiri memandanginya, dan itulah yang menegaskan ketakutannya, bahwa Alengka, sungguh bakal sulit ditembus: dilindungi oleh laut, parit, rakshasa yang ganas, dan tembok yang tak tersentuh oleh seekor lalat pun.
Ia bergerak menuju jembatan gantung di seberang parit, dikawal oleh pasukan rakshasa lain. Ia merayap diam-diam di sepanjang bagian bawahnya dan mencapai tepian jauh di bawah cahaya bulan. Ia lalu merangkak sejauh seratus kaki, saat mendadak ia mendengar desisan dalam gelap dan tangan yang kuat merenggut tengkuknya. Dua mata kucing merah memelototinya dari bayangan yang ia tangkap, dan, samar-samar di depannya, ia melihat sosok perempuan yang bercahaya dan menakutkan.
Dewi klenik telah menangkapnya dan dengan tertawa, tapi mengancam, ia berkata, 'Nah, ketahuan kan? Cuma monyet kecil, bukan prajurit. Tapi, rasanya, tak seperti yang terlihat, dan engkau sangat berat untuk kera yang sangat kecil. Siapakah engkau, dan mengapa engkau berusaha menyelinap ke Alengka? Jangan berbohong padaku; Aku melihatmu, merangkak di bawah jembatan.'

Kalung batu rubi di lehernya, bersinar seperti bara-api di malam hari. Hanoman berpura-pura jadi monyet kecil yang ketakutan. Ia gemetar dalam cengkeramannya, dan merintih, 'Aku akan mengaku, duhai dewi yang ayu, aku mengaku. Tapi, siapakah engkau dewi, dan mengapa engkau membuatku takut dengan matamu yang galak dan suaramu yang garau? Seperti yang engkau lihat, aku hanyalah monyet kecil. Namun, siapakah engkau, dan mengapa engkau berdiri di sini, dalam kegelapan, di gerbang Alengka?’ Makhluk tersebut mengguncang-guncangnya. Ia memamerkan taring kucamnya, dan berkata, 'Akulah roh Alengka. Aku Lankini dan tak ada yang boleh melewatiku, sebab akulah penjaga kota Rahwana. Bersiaplah mati, monyet, aku akan mencabut kepalamu dari lehermu dengan kukuku.’
Hanoman berkata, 'Aku melihat keindahan Alengka dari puncak sana, dan aku sangat terpesona, lantaran itulah, aku datang melihatnya lebih dekat.'
Namun Lankini tak tergerak oleh sanjungannya. Matanya berpendar, ia menggeram, 'Monyet bodoh, engkau tak boleh masuk ke Alengka kecuali engkau mengalahkanku dalam perlagaan.' Hanoman memohon, 'Aku akan memandangi panorama Alengka dan pergi sebagaimana aku datang. Aku tak bermaksud menyakiti siapapun.’
Dengan lolongan lembut, Lankini menonjok wajah Hanoman. Kehilangan kesabaran, Hanoman mengepalkan tangan mungilnya, ia menghajar Lankini, tepat di mulutnya. Bola-matanya berputar-putar, Lankini roboh ke tanah. Namun, karena ia seorang wanita, Hanoman tak meninjunya sekuat tenaga. Setelah siuman, matanya berkunang-kunang dan ia duduk menggeleng-gelengkan kepalanya agar kembali normal. Dan kemudian, ia mendekapkan kedua telapak tangannya, memberi salam kepada Hanoman dan berucap dengan kagum, 'Jadi, nubuat itu, telah menjadi kenyataan!' bisik Lankini yang berkulit kehitaman. 'Brahma telah memberiku anugerah dan berkata aku bakal tak terkalahkan di gerbang ini. Akan tetapi, ia menyampaikan pula bahwa kelak, seekor monyet kecil akan datang, dan saat ia memukulku, aku bakalan tahu, bahwa masa-masa berakhirnya para rakshasa, telah di ambang pintu.’ Suaranya melemah. “Dan aku tahu, apa yang membawamu ke sini. Sita-lah yang membawa malapetaka ke Alengka.' Hanoman melihatnya menangis. Masih terisak, Lankini mendekap dirinya, dan berkata, 'Tiada guna lagi, penjagaanku di sini. Lankini takkan menghalangi jalanmu; engkau bebas masuk sesukamu.’
Mata merahnya meleleh, penjaga yang galak itu, lumer ke dalam gelapnya malam. Ia meninggalkan gerbang Alengka selamanya. Maka, firewall ketiga pun, lewat. Jangan-jangan, firewall yang telah diinstall para dewa, mungkin yang murahan, atau, malah yang gratisan seperti yang kita-kita pake, qallee."
Kutipan dan Rujukan:
- Ramesh Menon, The Ramayana:A modern Translation, HarperCollins
- Bibeck Debroy, The Valmiki Ramayana, Penguin Books
[Bagian 4]
[Bagian 2]