Rabu, 07 September 2022

Sang Rubah dan sang Singa yang Sakit (2)

"Sang Singa bertanya, 'Bagaimana Rezim Otoritarian memperoleh kekuasaan?' Sang Rubah menjawab, 'Dari tahun 1946 hingga 2010, 250 rezim otoriter baru berkuasa. Sekitar separuh waktu (46 persen), rezim ini menggulingkan rezim otoriter yang sudah ada sebelumnya; lebih dari seperempat waktu (29 persen), mereka menggulingkan demokrasi; dan selebihnya, mereka berkuasa pada saat kemerdekaan.
Penelitian mengidentifikasi tujuh cara umum dimana rezim otoriter memperoleh kekuasaan: pengambilalihan keluarga dinasti, kudeta, pembangkangan, pemberontakan rakyat, otoritarianisasi (yaitu, pengambilalihan petahana), perubahan aturan yang mengubah komposisi kelompok yang berkuasa, atau pemaksaan oleh kekuatan asing.

Sang Singa bertanya, 'Alat apa yang digunakan rezim otoriter, mempertahankan jabatannya?' Sang Rubah menjawab, 'Semua pemerintahan menghadapi tugas yang sulit guna mempertahankan jabatan. Hal ini terutama terjadi pada pemerintahan otoriter, yang tak punya legitimasi elektoral untuk mempertahankan posisi kekuasaan mereka dan harus menghadapi ancaman penggulingan yang ada di mana-mana. Guna mengatasi tantangan ini, rezim otoriter punya dua alat luas yang mereka gunakan demi mempertahankan kekuasaan mereka: represi [penekanan; pengekangan; penahanan; penindasan] dan kooptasi.

Represi itu, ciri khas pemerintahan otoriter. Ia didefinisikan sebagai 'penggunaan sanksi fisik secara aktual atau mengancam, terhadap individu atau organisasi, dalam yurisdiksi teritorial negara, yang bertujuan mengorbankan sebuah target, serta menghalangi kegiatan tertentu.' Dalam demokrasi, pemerintah yang sangat menindas, bisa digulingkan; di rezim otoriter, sebaliknya, tindakan seperti itu, biasanya tak di hukum. Dengan latarbelakang ini, rezim otoriter menggunakan represi, jauh lebih banyak dibanding yang dilakukan rekan-rekan demokratis mereka, sebagai metode mempertahankan kontrol.
Alasan rezim otoriter merepresi, ialah berusaha mengurangi ancaman, yang dirasakan terhadap kekuasaan mereka. Idenya, bahwa dengan menyingkirkan para penentang mereka, membungkam mereka, atau mencegah pengorganisasiannya, akan lebih mudah bagi rezim tersebut, mempertahankan kontrol. Tentu saja, jika melakukan ini, sangatlah mudah, tiada rezim otoriter yang akan pernah menghadapi kelompok oposisi yang layak. Represi bisa mahal dilaksanakan dan membutuhkan pemerintah yang berkemampuan melakukannya. Apalagi, bisa menjadi bumerang.
Penggunaan represi tanpa pandang bulu, berpotensi menimbulkan reaksi balik terhadap rezim, memperkuat oposisi terhadapnya, dan memicu kerusuhan rakyat. Meskipun rezim otoriter bergantung pada represi sampai batas tertentu untuk menghadapi oposisi yang tak terhindarkan terhadap kekuasaannya, mereka akan berhati-hati dalam hal bagaimana melakukannya.
Represi punya beragam bentuk, yang dapat dikelompokkan menjadi dua jenis besar: represi intensitas tinggi dan represi intensitas rendah. Jenis-jenis represi ini, berbeda baik dari segi sasaran tindakan represif maupun jenis kekerasan yang digunakan.
Represi intensitas tinggi, mengacu pada tindakan kekerasan terbuka, yang biasanya menargetkan individu atau kelompok yang diakui. Contohnya, pembunuhan massal terhadap pemrotes dan pembunuhan para pemimpin oposisi. Pembunuhan yang dilakukan pemerintah terhadap ratusan demonstran mahasiswa di Lapangan Tiananmen di China pada tahun 1989 memenuhi syarat sebagai represi intensitas tinggi, seperti halnya pembunuhan pengunjuk rasa di Uzbekistan pada tahun 2005 di tangan dinas keamanan. Represi berintensitas tinggi mudah diamati, baik bagi audiens domestik maupun internasional, dan sulit ditutup-tutupi sepenuhnya oleh pemerintah otoriter.
Represi intensitas rendah, sebaliknya, lebih halus sifatnya dan seringkali bertarget yang lebih luas (yaitu, oposisi pada umumnya). Contohnya, pengawasan aktivitas oposisi, penggunaan tuntutan hukum terhadap lawan, dan penahanan jangka pendek terhadap aktivis dan jurnalis. Penggunaan metode canggih China untuk memantau Internet guna memata-matai warganya, diklasifikasikan sebagai represi intensitas rendah; Praktik Singapura, menggunakan tuntutan hukum pencemaran nama baik guna membungkam lawan-lawannya, juga demikian. Represi berintensitas rendah, cenderung tak menarik perhatian, bukan hanya karena diremehkan, melainkan pula oleh seringkali merupakan serangkaian insiden kecil dan individual yang bertentangan dengan satu peristiwa berskala besar. Masalah rumit lebih lanjut, pemerintah dapat melakukan outsourcing dan membuat kelompok lain (seperti organisasi paramiliter) melakukan pekerjaan kotor.
Represi intensitas rendah, mungkin lebih sulit diukur dibanding represi intensitas tinggi, sebab bentuknya sangat halus dan bervariasi. Ada banyak cara dimana pemerintah dapat melakukan represi intensitas rendah, tergantung pada tingkat kreativitasnya. Tindakan represi intensitas rendah, bagi alasan ini, biasanya berfokus pada satu metode tertentu. Cara paling umum, yang ditakar oleh para peneliti, dengan melihat pembatasan hak pemberdayaan, yaitu upaya pemerintah membatasi (misalnya, menangkap, memberi sanksi, atau melarang) berekspresi, berserikat, berkumpul, dan berkeyakinan.

Semua rezim otoriter, merepresi sampai tingkat tertentu, namun ada yang melebihi dibanding yang lain dan dengan cara yang berbeda. Misalnya, di antara kediktatoran pasca-Perang Dunia II, setiap rezim membatasi hak pemberdayaan, dalam satu atau lain cara, dan semua kecuali beberapa, telah melanggar hak integritas fisik di beberapa titik saat menjabat.
Dikatakan, ada perbedaan sistematis dalam kegiatan represif di seluruh rezim otoriter berdasarkan jenisnya. Secara khusus, kediktatoran personalis, lebih bergantung pada represi hak pemberdayaan daripada bentuk otoritarianisme lainnya, sementara kediktatoran militer, merupakan tipe rezim otoriter yang paling mungkin merepresi hak integritas fisik. Yang penting, bukti menunjukkan bahwa kediktatoran partai dominan, merupakan bentuk kediktatoran yang paling tak represif, dengan mempertimbangkan kedua jenis represi tersebut.
Literatur menegaskan bahwa kediktatoran partai dominan, kurang merepresi dibanding kediktatoran lain, lantaran mereka menampilkan lebih banyak karakteristik demokrasi yang dianggap mengurangi represi, terutama penggabungan sebagian besar penduduk dalam proses politik. Karena kediktatoran partai dominan lebih cenderung menyediakan arena dimana ekspresi publik tentang rezim dapat terjadi, mereka mempunyai cara lain guna mempengaruhi warga negara di luar paksaan.
Represi bertujuan membantu pemerintah mempertahankan kekuasaannya, namun secara mengejutkan, hanya ada sedikit penelitian tentang benar-benar berhasilkah taktik ini. Seperti yang ditulis oleh seorang pakar pada tahun 2007, 'Sebuah penjelasan bagi represi negara, ialah bahwa pihak berwenang menggunakannya agar tetap berkuasa, namun literatur tak memuat suatu penelitian sistematis dari proposisi ini.' Bagian dari tantangan dalam meneliti hubungan ini, ialah menguraikan apakah represi yang meningkatkan kekuatan rezim atau sebaliknya. Bisa jadi benar bahwa kediktatoran yang cukup kuat untuk merepresi di tempat pertama, akan menjadi yang paling tahan lama.'

Sang Singa bertanya, 'Apa itu Kooptasi dan apa tujuannya?' Sang Rubah menjawab, 'Rezim otoriter menggunakan pula kooptasi guna mempertahankan kekuasaan, meskipun sangat bervariasi dalam bagaimana dan sejauhmana, mereka bergantung padanya. Kooptasi didefinisikan sebagai perluasan manfaat yang disengaja kepada penantang potensial, sebagai imbalan atas kesetiaan mereka. Contoh klasiknya, pemeliharaan jaringan pelanggan, yang mendistribusikan barang dan jasa agar memilih individu sebagai imbalan atas dukungan politik mereka. Tujuan dari kooptasi itu, membujuk aktor-aktor kunci lainnya agar tak menggunakan 'kekuatan untuk menghalangi' mereka.
Ada sejumlah alasan mengapa kooptasi merupakan strategi yang berguna bagi kediktatoran. Pertama, dapat mencegah pembelotan, baik dari lingkaran dalam maupun pendukung rezim tingkat bawah. Jika sekutu rezim melakukannya dengan baik di bawah rezim saat ini, kemungkinan mereka takkan menarik dukungannya. Penilaian ini tampak jelas, tapi diperbesar oleh kemungkinan yang sangat nyata bahwa orang-orang seperti itu, akan menjadi lebih buruk di bawah penerus rezim. Dengan cara ini, kooptasi memberi sekutu rezim kepentingan dalam kelangsungan hidup rezim dan menciptakan motif yang kuat bagi mereka untuk mendukung kelanjutannya.
Kooptasi, juga efektif, sebab dapat memecah-belah calon lawan rezim mengenai apakah akan 'menerima' keuntungan yang ditawarkan rezim. Hal ini melindungi rezim dengan membuat koordinasi oposisi lebih sulit. Misalnya, membiarkan partai politik oposisi bersaing dalam pemilu merupakan salah satu bentuk kooptasi. Meskipun ini merupakan keuntungan bagi calon politisi, ini juga berpotensi memecah oposisi, mengingat beberapa orang mungkin lebih memilih, memboikot pemilu.
Alasan lain kooptasi ialah, strategi bertahan hidup yang berharga, bahwa hal tersebut dapat mengurangi kemungkinan bahwa episode kecil kerusuhan, yang umum tetapi jarang menyebabkan ketidakstabilan dalam kediktatoran, akan mendapatkan momentum. Jika sebagian besar penduduk tak puas, peristiwa-peristiwa kecil semacam itu, berpotensi yang lebih besar berkembang menjadi gerakan-gerakan oposisi massa yang mengancam. Dengan menyebarkan rampasan ke sektor-sektor pilihan populasi, dapat mencegah hal ini terjadi dengan mengurangi tingkat ketidakpuasan masyarakat secara keseluruhan.
Namun penting diperhatikan, bahwa kooptasi, tak bebas risiko. Dengan memberi lawan rezim potensial sesuatu yang mereka hargai, kooptasi dapat memberdayakan individu yang ingin ditenangkan oleh rezim. Meskipun target kooptasi seharusnya tetap setia sebagai imbalan atas manfaat yang mereka terima, selalu ada risiko bahwa mereka akan memanfaatkan sumber daya tersebut untuk melompati kapal. Setelah individu menerima transfer, tak ada jaminan bahwa mereka takkan menggunakannya mengembangkan dan memperkuat koalisi mereka sendiri. Oleh karenanya, kooptasi dapat berisiko bagi kediktatoran, sebab targetnya berpotensi mempergunakan manfaat yang diterima, guna meruntuhkan rezim.

Kebanyakan pakar sepakat bahwa rezim otoriter, mengandalkan kombinasi kooptasi dan represi sebagai bagian dari strategi bertahan hidup mereka. Namun, sedikit yang diketahui tentang bagaimana mereka menyeimbangkan penggunaan taktik ini. Meskipun penelitian di bidang ini terbatas, ada bukti hubungan terbalik di beberapa domain. Secara khusus, kooptasi kelembagaan menyebabkan berkurangnya ketergantungan pada represi hak pemberdayaan. Ketika kediktatoran menampilkan banyak partai politik dan legislatif, lebih mudah bagi mereka mengidentifikasi lawan mereka yang paling mengancam, baik dengan membantu mereka memantau popularitas pejabat rezim (yang berpotensi membelot) dan dengan menarik calon anggota oposisi keluar dari persembunyian dan masuk ke institusi negara. Karena rezim punya informasi yang lebih baik tentang individu-individu tertentu, yang menimbulkan ancaman terbesar bagi kelangsungan hidupnya, rezim dapat dengan mudah menargetkan individu-individu ini, dalam penggunaan represi dan melonggarkan pembatasan pada hak berbicara dan berkumpul, yang sering menghasilkan oposisi populer. Sebagaimana Vladimir Milov, seorang pemimpin oposisi di Rusia, menyatakan, 'Mereka [para diktator] menjauh dari terlalu banyak tekanan pada masyarakat umum. Mereka lebih memilih represi yang sangat terfokus terhadap segelintir orang yang aktif menyuarakan perasaan oposisi.'

Sang Singa bertanya, 'Bagaimana Rezim Otoriter bisa jatuh?' Sang Rubah menjawab, 'Dari tahun 1946 hingga 2014, 239 rezim otoriter jatuh dari kekuasaan. Penelitian mengidentifikasi tujuh cara di mana mereka telah melakukannya (enam di antaranya secara kasar mencerminkan tujuh cara mereka secara historis merebut kekuasaan): kudeta, pemilihan umum, pemberontakan rakyat, pembangkangan, perubahan aturan yang mengubah komposisi kelompok penguasa, gangguan kekuatan asing, dan pembubaran negara.
Kudeta merupakan cara yang paling umum dimana kediktatoran runtuh, mewakili sepertiga (33 persen) dari semua kegagalan rezim otoriter. Contohnya, kudeta tahun 1971 yang dipimpin Jenderal Idi Amin di Uganda, yang menggulingkan kediktatoran Milton Obote. Meskipun banyak orang Uganda bersukacita atas berita penggulingan Obote, perilaku Idi Amin segera menghentikan optimisme tersebut, termasuk pembubaran parlemen dan pembunuhan ratusan perwira militer yang bersekutu dengan wilayah Obote.
Cara kedua, yang paling sering menjatuhkan rezim otoriter, yakni melalui pemilihan umum, yang merupakan seperempat (28 persen) dari semua kegagalan rezim otoriter. Ketika kediktatoran meninggalkan kekuasaan melalui pemilihan, itu karena petahana tak mencalonkan diri, atau karena telah memutuskan mundur; atau mereka mencalonkan diri dalam pemilihan, kalah, dan kemudian menghormati hasilnya. Sebagai contoh, rezim Sandinista di Nikaragua, mengundurkan diri pada tahun 1990 setelah kalah dalam pemilihan umum yang kompetitif tahun itu. Meskipun ada kekhawatiran awal bahwa Sandinista takkan menerima kemenangan mengejutkan oposisi, Presiden petahana Daniel Ortega, segera menyatakan bahwa ia akan 'mematuhi mandat rakyat sebagai hasil dari pemungutan suara.'
Pemberontakan rakyat adalah cara khas ketiga rezim otoriter runtuh, terhitung 18 persen dari semua kegagalan rezim otoriter. Sebuah contoh dapat ditemukan dalam revolusi Iran 1979, dimana protes massa selama berbulan-bulan akhirnya memaksa Shah melarikan diri ke Mesir dan menyebabkan seruan untuk kembalinya Ayatollah Ruhollah Khomeini dari pengasingannya di Prancis. Segera setelah kembali ke Iran, Khomeini mendeklarasikan negara tersebut sebagai republik Islam dan mengatur panggung untuk pembentukan rezim teokratis yang memerintah Iran hingga saat ini. Meskipun pemberontakan rakyat itu, cara umum keruntuhan rezim otoriter, penting dicatat bahwa peristiwa semacam itu jarang berhasil. Misalnya, hanya sekitar 10 persen dari semua pemberontakan anti-pemerintah utama dalam rezim otoriter yang benar-benar menggulingkannya.
Bersama-sama, kudeta, pemilihan umum, dan pemberontakan rakyat, merupakan bagian terbesar (79 persen) dari mode keluar dari rezim otoriter. Sebagian besar sisanya, terjadi melalui pembangkangan atau perubahan aturan yang mengubah komposisi kelompok penguasa (masing-masing 8 persen dan 7 persen). Contoh pembangkangan, berasal dari Kuba, dimana pada tahun 1959 pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Fidel Castro mengalahkan kediktatoran Fulgencio Batista setelah enam tahun pertempuran, dan Somalia, dimana pada tahun 1991 pasukan pemberontak menggulingkan penguasa kuat Siad Barre, mengantarkan periode lebih dari dua dekade dimana tak ada satu kelompok pun yang menguasai sebagian besar wilayah negara.
Yang terpenting, selagi kudeta, pemilihan umum, dan pemberontakan rakyat, masih menjadi bagian terbesar (71 persen) dari semua rezim otoriter yang keluar pada periode pasca 1990, frekuensi relatifnya, sangat berbeda. Pemilihan telah menggantikan kudeta sebagai cara paling umum dimana kediktatoran berakhir: 39 persen dari semua kegagalan rezim otoriter saat ini, terjadi melalui proses pemilihan. Sebagian besar transisi ini, mengarah pada demokratisasi, yang tak mengherankan karena biasanya, terjadi lantaran penguasa otoriter, membolehkannya. Hal ini, sebagian besar disebabkan oleh peningkatan demokratisasi di seluruh dunia, yang terjadi setelah Perang Dingin.

Terkadang rezim otoriter runtuh dan berikutnya, demokrasi datang, namun, di lain waktu, mereka jatuh dan rezim otoriter baru, muncul sebagai gantinya, atau lebih buruk lagi, tak ada sama sekali, rezim. Hal ini penting ditekankan oleh dua alasan.
Pertama, jika kita tertarik memahami faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan rezim otoriter secara luas, tetapi mengidentifikasi demokratisasi sebagai satu-satunya hasil akhir, hal ini dapat mengarah pada kesimpulan yang menyesatkan. Analisis kegagalan rezim otoriter yang semata-mata melihat demokratisasi, takkan mampu mengenali faktor-faktor yang mempengaruhi transisi menuju kediktatoran baru, namun tidak pada transisi menuju demokrasi. Sebagai contoh, penelitian menunjukkan bahwa protes dengan kekerasan, meningkatkan kemungkinan runtuhnya rezim otoriter karena meningkatkan risiko bahwa kediktatoran akan beralih pada kediktatoran baru. Bagaimanaupun juga, protes kekerasan, khususnya, tak mempengaruhi peluang demokratisasi. Jika kita hanya melihat efek protes kekerasan pada transisi demokrasi, kita akan melihat sedikit hubungan dan secara keliru menyimpulkan bahwa peristiwa semacam itu, tak menggoyahkan rezim otoriter.
Kedua, jika kita tertarik mengidentifikasi faktor-faktor yang membentuk demokratisasi, tetapi menganggap bahwa semua rezim otoriter berakhir dengan demokrasi, kita menghadapi masalah yang berlawanan. Kita berisiko menggabungkan hal-hal yang memengaruhi transisi menuju kediktatoran baru dengan hal-hal yang mempengaruhi transisi menuju demokrasi. Mungkin semuanya, dalam beberapa kasus, mempengaruhi keduanya, tetapi kita tak dapat berasumsi demikian. Implikasi kebijakan di sini cukup jelas. Tekanan asing dapat mempercepat kejatuhan rezim otoriter yang terkenal kejam, tetapi penerus yang demokratis, sama sekali tak terjamin.'

Sang Singa bertanya, 'Apa itu Demokratisasi?' Sang Rubah menjawab, 'Demokratisasi itu, proses transisi dari beberapa jenis sistem politik lain—hampir selalu kediktatoran—ke sistem yang bersifat demokratis. Oleh karenanya, menentukan kapan demokratisasi terjadi, memerlukan definisi operasional tentang apa yang membuat suatu negara demokratis.
Ada banyak cara mendefinisikan demokrasi, namun definisi yang kita gunakan di sini, merupakan makna prosedural. Dalam pengertian ini, demokrasi itu, sistem politik dimana warga negara memilih pemerintah mereka dalam kontes pemilihan yang bebas dan adil. Menyelenggarakan pemilu merupakan komponen penting dari pemerintahan demokratis, tetapi tak cukup. Bagaimanapun, sebagian besar negara di dunia mengadakan pemilihan reguler. Agar memenuhi syarat sebagai demokrasi, kontes elektoral haruslah bebas dan adil, sehingga sebagian besar warga negara dewasa dapat memilih, ada persaingan nyata bagi jabatan politik yang paling penting, dan warga negara benar-benar diberi pilihan dalam hal siapa yang akan mewakili mereka, di antara kriteria lainnya.
Terdapat definisi demokrasi memasukkan tak semata daya saing elektoral, melainkan pula, apakah pemerintah mewakili kepentingan warga negara dan bertanggung jawab kepada mereka. Tentu saja, banyak yang sepakat bahwa representasi dan akuntabilitas, diinginkan dari perspektif normatif, tetapi tak menjamin demokrasi. Banyak rezim otoriter mampu tampil baik di bidang-bidang ini, tanpa benar-benar memberikan suara nyata kepada warganya, tentang siapa yang akan mewakili mereka. Inlah masalah yang dapat dihindari oleh definisi prosedural.
Istilah 'demokratisasi' dan 'liberalisasi politik' sering digunakan secara bergantian, namun sebenarnya merujuk pada proses yang berbeda. Liberalisasi politik didefinisikan sebagai 'setiap perubahan dalam sistem politik, yang membuat politik sistem tersebut, lebih partisipatif dan/atau kompetitif.' Perubahan seperti ini, dapat terjadi sebagai bagian dari transisi menuju demokrasi, tetapi seringkali tidak. Sebagai contoh, kita sering melihat liberalisasi politik dalam rezim otoriter yang mapan, seperti ketika Mobutu memperkenalkan kompetisi pemilihan multipartai di Republik Demokratik Kongo (saat itu Zaire) pada tahun 1990, akan tetapi, terus memerintah dengan cara yang hampir sama hingga penggulingannya pada tahun 1997. Kita juga melihat liberalisasi politik dalam demokrasi lama, seperti ketika Amerika Serikat memberikan hak pilih kepada warga negara berusia 18 hingga 20 tahun melalui amandemen konstitusi tahun 1971. Liberalisasi politik dapat terjadi dalam berbagai konteks politik, hanya beberapa di antaranya merupakan manifestasi transisi menuju demokrasi. Demokratisasi menyiratkan liberalisasi politik, tetapi liberalisasi politik mungkin, atau mungkin tidak, menyiratkan demokratisasi.'

Sang Singa lalu berkata, 'Nah, aku sudah cukup mendengar ocehanmu. Sekarang, giliranmu, masuk ke dalam gua.' Sang Rubah berkata, 'Maaf Yang Mulia, tapi, aku melihat jejak para satwa yang telah datang kepadamu; dan selagi aku memperhatikan banyak bekas kaki-hewan yang masuk, aku tak melihat, ada yang keluar. Aku lebih suka berdiri di sini, di udara terbuka, sampai para marga-satwa yang telah memasuki gua, kembali keluar.'
Setelah itu, boro-boro masuk ke dalam gua, sang Rubah melangkah pergi seraya bersenandung,

Yes, and how many years can a mountain exist
[Ya, dan berapa tahunkah sebuah gunung bisa berwujud]
Before it is washed to the sea?
[Sebelum ia tersapu ke laut?]
Yes, and how many years can some people exist
[Ya, dan berapa tahunkah, orang-orang bisa hidup]
Before they're allowed to be free?
[Sebelum mereka diperbolehkan bebas?]
Yes, and how many times can a man turn his head
[Ya, dan berapa kalikah, seseorang dapat menoleh]
And pretend that he just doesn't see?
[Dan seolah-olah ia semata tak melihat?]
The answer my friend, is blowin' in the wind
[Jawabannya kawan, tertiup angin]
The answer is blowin' in the wind *)
[Jawabannya, tertiup angin]

Kemudian, sang Rubah pun, menghilang bersama angin."

Sang Purnama menyimpulkan, 'Sekarang, kebenaran dari masalah ini, ialah bahwa sakitnya sang Singa, tipuan belaka, guna menarik para satwa ke dalam sarangnya, agar semakin mudah memangsa mereka. Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Erica Frantz, Authoritarianism - What Everyone Needs to Know, Oxford University Press
- Samuel Croxall, D.D., Fables of Aesop and Others, Simon Probasco
*) "Blowin' in the Wind" karya Bob Dylan