Selasa, 20 September 2022

Hanoman Obhong : Bujuk-Rayu

"Barang beberapa saat, Hanoman menyaksikan Sita menangis tersedu. Lalu, khawatir akan para rakshasi yang tergeletak di sekitarnya, dan ia melihat dua yang terjaga, ia menyelinap pergi dan naik kembali ke pohon sonokelingnya. Hatinya dikuasai oleh rasa-kasihan dan amarah, dan tubuhnya sangat lelah, sang wanara kecil tertidur di dahan pohon yang bercabang itu," lanjut sang Purnama.
Fajar memecah cakrawala, dan seberkas cahaya pucat, membelah segara yang lelap, penuh mimpi, dari pulau Rahwana. Sang tuan-tanah Alengka, bangun dari tempat tidurnya. Ia mengacuhkan Mandodari, permaisurinya, ibu Indrajit. Ia mengenakan jubah sutra putih yang baru disiapkan untuknya. Mengenakan kalung dan gelang emas, saking gemerlapnya hingga menghilangkan sisa-sisa malam yang tersisa dengan sedih di dunia, ia keluar dari ruangannya. Ia berjalan melalui lorong-lorong yang tak berkesudahan, dan tiba melalui pintu masuk pribadinya sendiri di asokawana dimana hatinya tertawan.
Namun saat ia beranjak, bagaikan badai, melalui lorong-lorong antapura, ada yang sudah bangun: para betina cantik. Yaa cantik siih, tapi kan, lelembut yang bikin hati kecut. Sepanjang jalan melewati harem, mereka mendekatinya dengan belaian lembut; namun ia berjalan dengan tak sabar. Para wanita tersebut, mengikutinya ke asokawana, dalam kerumunan kecil. Ada yang membawa chamara, pengusir lalat, untuk mengipasinya, yang lain membawa lampu guna menerangi jalannya, sebab koridornya masih gelap.
Laksana Indra yang dikelilingi para apsara, Rahwana menyembul di fajar yang cerah. Tanpa nengok kiri-kanan, tanpa ngelirik laut sutra yang terbentang serupa wanita merana di bawah Alengka, sang Rakshasa langsung menuju kuil mungil berpilar putih, tempat Sita duduk nelangsa dan tanpa tidur sama sekali.
Hanoman menyembunyikan-diri di balik tirai dedaunan, dan menatap Rahwana. Jubah putihnya laksana buih di puncak lautan tampang dan kekuasaan yang keruh, yakni diri Rahwana sendiri. Di zamannya, Hanoman telah melihat raja-raja lain di dunia, namun tak pernah ada yang menawan dan mempesona sehebat Kaisar ini. Keagungan duduk santai di bahunya yang berdelan; ketenaran dan otoritas tak terukur, terpancar dari pusaran ronanya. Rahwana punya kekuatan yang mampu dengan sesuka-hati, tak memperlihatkan sembilan mukanya. Saat fajar hari ini, ia keluar mengenakan satu wajah, sebab ia tak mau mengambil risiko, tertampik oleh Sita. Kini, Hanoman melihat dengan lebih jelas, betapa megahnya sang Rakshasa: tinggi dan kelam, seganteng Kamajaya, putra Semar dengan Sengganidewi. Yaa ganteng siih, tapi kan Rakshasa berwajah sepuluh dan berlengan duapuluh.
Dengan segala keagungan hitam yang dikenakannya, wajah Rahwana kuyu dan layu. Tujuan satu-satunya yang ia bawa ke kuil kecil di asokawana, berseru bahwa Rahwana yang agung, secara garib ditaklukkan: kerajaannya yang luas, tak bermakna baginya, dibanding wanita yang duduk berduka di tempat bernaung itu. Sita telah menjadi semua kerajaan yang didambanya, seluruh jagad surga dan buminya. Rahwana menafaskan citra Sita; ia tidur dan terbangun dalam obsesif cinta.
Cinta obsesif, sepertinya menjadi puncak renjana, namun pandangan romantis ini, mengaburkan sisi gelap obsesi. Di dunia nyata, pecinta obsesif memanjat puncak harapan yang menggembirakan dan sensualitas yang meningkat, namun mereka pastilah membayar asa yang semu itu, dengan kekecewaan, kekosongan, dan keputusasaan.

Dari tempat bertenggernya, Hanoman bisa melihat ke dalam kuil kecil itu. Ia melihat wajah Sita memucat, dikala ia tahu, Rahwana telah tiba. Dengan cepat, dalam refleks ketakutan dan rasa-malu, ia menabirkan tubuhnya dengan kedua-lengannya. Laksana unggas yang ketakutan, matanya terbang ke sana kemari, menghindari tatapan membara Rahwana saat datang dan berdiri-tegak, serta rese di hadapannya. Rahwana menghela nafas. Dengan suaranya bagai gemuruh yang merdu, ia berkata, 'Setiap kali aku datang ke sini, engkau berusaha menyembunyikan keindahanmu dengan tanganmu. Namun bagiku, setiap bagian dari dirimu yang kutatap, sungguhlah indah. Engkaulah wanita sempurna; kecantikan berawal darimu. Hargai cintaku, Sita, dan engkau 'kan temukan, betapa dalamnya cintaku itu. Hidupku dimulai saat aku pertama kali melihatmu, tapi engkau memperlakukanku dengan sangat kejam.’
Sita tak berkata apa-apa, tak mau mengangkat pandangannya ke arahnya. Hanoman, sang wanara kecil di pohonnya, bergetar saat melihat dan mendengarnya.
'Engkau bilang, bukanlah suatu kehormatan bagiku saat menculikmu; akan tetapi, engkau lupa, aku rakshasa. Itu wajar, dan karenanya, sangatlah terhormat bagiku bila mengambil istri orang lain jika aku menginginkannya. Bahkan sangat terhormat bagiku, bila memaksakan diri padanya bila aku memilih. Itulah sifat dan perilaku rakshasa.’
Sita terkesiap. Seketika Rahwana menyesali apa yang telah diucapkannya. Ia meneruskan dengan lebih lembut, 'Aku takkan pernah memaksakan diri padamu, sebab aku mencintaimu. Aku akan menantimu, membalas cintaku, dengan rela, menyerahkan dirimu padaku. Engkaulah siang dan malamku, dan seluruh impianku. Aku merasa, aku belum pernah hidup hingga aku melihat wajahmu.
Lepaskan kesedihan yang keji ini; engkau dilahirkan menjadi ratunya ratu. Tak pantas bagimu, duduk di lantai polos seperti ini, dengan pakaianmu yang kotor, rambutmu yang kusam, wajahmu yang tertutup sekat kotoran, dan tubuhmu yang hampir mati kelaparan. Tak ada kesalahan yang melekat padamu karena mencintaimu seperti yang saya lakukan. Kesalahannya bukan terletak pada cintaku, tapi pada kesempurnaanmu.
Aku tak memintamu, membalas cintaku dengan hasrat yang sama seperti yang kumiliki untukmu. Tak pula pada bayangannya. Aku semata memintamu agar mulai berpikiran baik tentang diriku, memperdulikanku barang sedikit saja. Kumohon, kemarilah dan perintahlah istanaku sebagai satu-satunya ratuku. Yang lain bakal melayanimu sebagai para sakhi [saksi], termasuk Mandodari. Kukan menjadi pelayanmu. Segala sesuatu yang menjadi milikku, 'kan jadi milikmu.'

Namun sekali lagi, Sita mencabut sebilah rumput panjang dan meletakkannya antara dirinya dan Rahwana, bagaikan pedang yang terhunus. Sita berkata, 'Aku, istri lelaki lain, Rakshasa, dan suamikulah hidupku. Bagaimana bisa engkau menganggapku sebagai milikmu, padahal aku telah diberikan kepada Rama? Diberikan tak semata dalam hidup ini, melainkan untuk selamanya, dalam segala kehidupan yang telah ada, dan kelak, yang akan datang. Aku selalu menjadi milik Rama, dan akan selalu. Engkau punya banyak wanita cantik di dalam ruang haremmu; tidakkah engkau menjaga mereka dari tatapan nafsu lelaki lain? Tak terbayangkankah engkau, bahwa aku akan setia kepada Ramaku? Itu wajar bagiku, karena aku mencintainya. Engkau menghakimi kematian dirimu dan kerajaanmu. Tak adakah orang bijak di dalam sabhamu, yang menasihatimu, melawan kekonyolanmu?’
Rahwana tertawa, 'Mereka semua maklum, akulah hukum bagi diriku sendiri. Mereka tahu, aku tak tertaklukkan.’ Sita merasakan bahwa kaisar rakshasa ini, seorang narsistik terselubung. Perilaku narsistik biasanya dikaitkan dengan sifat-sifat yang berlebihan, mencari perhatian, dan manipulatif. Ada lebih dari satu jenis narsis, dan meskipun kata tersebut sangat umum digunakan akhir-akhir ini, tak semua narsis mengikuti satu pola perilaku tertentu. Narsisme ialah bentuk pelecehan yang sangat kompleks yang tak berkarakteristik 'satu ukuran untuk semua'. Narsis terselubung merupakan tipe narsis yang tak sesuai dengan stereotip, over-the-top, 'lihat aku, dunia berputar di sekelilingku,' kepribadian yang biasanya melekat pada seorang narsisis.
Ia menatap sekilas ke mata Rahwana dan, suaranya berkata lebih tegas, 'Engkau telah melanggar kebajikan dan hukuman bakalan datang padamu, lebih cepat dari yang engkau kira. Engkau tak tahu Rama; ia tak seperti yang engkau sangka. Engkau koar-koar tentang laut ini, 'kan menjadi penghalang antara diriku dan dirinya. Dengarkan aku, Rahwana, kendatipun samudera bintang terbentang di antara kami, Rama-ku bakalan datang mencariku.’
Sesuatu berkejap jauh di lubuk hati Rahwana, dan Sita menangkapnya melalui mata. Namun ia tak tahu, ketakutan atau kesedihankah itu, terlalu dalam untuk diukur.
'Tapi belum terlambat bagimu, Rakshasa. Bawalah aku pulang ke Rama dan ia akan memaafkanmu. Aku akan mengatakan kepadanya bahwa engkau tak menyakitiku. Diriku ini, bagian dari Rama sebagaimana cahaya matahari, bagian dari bintang-bintang. Tiada apapun di seluruh dunia, tiada alasan di zaman yang mennganga ini, yang 'kan membujukku, menyerah padamu. Bawalah aku kembali ke Rama, sebelum malapetaka, tiba di Alengka.’
Rahwana menatapnya heran. Ia melihat wanita di sekelilingnya, dan, menolehkan kembali kepalanya yang kelam, mulai tertawa. 'Akankah engkau menakut-nakuti, penguasa para rakshasa, yang namanya menggetarkan jagad-raya ini?'
'Raksasa, tiada jalan keluar bagimu, dimanapun. Pulangkan aku ke Rama dan minta maaflah padanya. Ia tak seburuk yang engkau kira; ia bakal memaafkanmu. Dengarkan aku, Rahwana, engkau tak tahu apa yang telah engkau lakukan.’
Senyuman di wajah Rahwana, seketika sirna. Pembuluh darah menonjol di pelipisnya oleh derita yang dimunculkan Sita. Kulitnya berganti pucat menyeramkan, bibirnya berkedut. Jauh di dalam matanya, murka yang mencekam dan kelembutan yang tak terucapkan, saling memburu; bayangan, gelap dan terang, melintas di wajahnya. Ia mengepalkan tinjunya dan menegakkan tubuhnya. Ia berkata kepada Sita dalam keheningan yang mendebarkan, 'Aku memberimu tenggat sebulan lagi, karena cintaku yang besar. Ingatlah agar berada dalam pelukanku sebelum tiga puluh hari itu, berlalu. Bila tidak, juru masakku, bakalan menyajikan kepingan-kepingan tubuhmu, sebagai sarapanku.’ Dan menoleh ke arah para rakshasinya, ia berteriak, ‘Bujuk ia, ancam ia; lakukan apapun yang engkau bisa! Tugas kalian, membuatnya datang kepadaku. Jika kalian gagal, aku akan mengambil nyawamu.’ Kemudian, salah seorang wanita favoritnya, permaisuri keduanya, Dhanyamalini, membawanya pergi. Setelah Rahwana pergi, Sita duduk dengan tenang, kehabisan tenaga. Seorang rakshasi membawakan makanan dan air. Ia makan sedikit dan minum secukupnya, agar tetap hidup.

Mari kuceritakan sedikit tentang Sitaji ini, cinta sri Rama. Konon, ia lahir dari perut sang pertiwi, Bumidewi, dan dibesarkan di antara para bijak. Berawal ketika musim tanam di Kerajaan Wideha. Para petani mengundang raja mereka, Janaka, menjadi orang pertama yang membajak tanah dengan cangkul emas. Mendengar bunyi lonceng, genderang, dan terompet kulit kerang, sang raja mengayun cangkulnya dan mulai menggarap tanah. Mendadak, sang raja berhenti. Susun-galur memunculkan tangan emas: jari-jemari kecil terangkat bagaikan daun ulam, seolah ditarik oleh sinar mentari. Janaka memindahkan kotoran yang melekat, dan menemukan, tersembunyi di dalam tanah yang lembut dan lembab, seorang bayi perempuan, sehat dan ceria, tersenyum gembira, seolah menunggu ditemukan.
Terlantarkah sang orok? Tidak, kata para petani, mereka yakin bahwa sang bayi merupakan anugerah dari Bumidewi kepada raja mereka, yang belum dikaruniai seorang anak. Tapi, jabang bayi tersebut, bukan buah dari benihnya—bagaimana bisa ia menjadi putrinya? 'Menjadi ayah,' kata Janaka, 'berasal dari hati, bukan dari benih.'
Janaka mengangkat sang bayi, yang berdeguk gembira dalam pelukannya. Meletakkannya sedekat mungkin ke dadanya, ia mengumumkan, 'Inilah Bhumija, putri pertiwi. Engkau boleh memanggilnya Maithili, putri Mithila, atau Waidehi, wanita dari Wideha, atau Janaki, ia yang memilih Janaka. Aku akan memanggilnya Sita, ia yang ditemukan di sebuah galur, ia yang memilihku menjadi ayahnya.’
Semua orang merasakan kegembiraan di hati mereka. Upacara tersebut benar-benar sukses. Sang raja tanpa anak, pulang ke istana sebagai seorang ayah. Itulah panen terbaik.

Beberapa tahun kemudian, hal yang menggembirakan semua orang, Janaina, sang permaisuri Raja, melahirkan seorang bayi perempuan—saudara perempuan, sekaligus sahabat Sita, Urmila. Sita dan Urmila tumbuh bersama sepupu mereka yang menyenangkan, Mandawi dan Srutakirti. Mereka, putri Raja Kusadhwaja, adik sang ayah. Mereka belajar tentang leluhur mereka, guna mengenali jati-diri bangsanya. Dan sesuai tradisi kerajaan, mereka berempat mempelajari segala macam seni yang penting bagi para tuan puteri. Namun mereka punya favorit masing-masing. Lukisan dan kaligrafi, kegemaran Mandawi. Bakat alami Urmila, menuntunnya mempelajari gerakan dan ritme. Ia seorang penari yang menakjubkan, dan suara gemerincing gelang kakinya, bergema-riang ke seluruh istana, setiap hari, sementara Srutakirti, menenun melodi manis dengan suara dan instrumennya, memikat semua orang yang mendengarkan musiknya. Sita tumbuh menjadi wanita jelita, pandai bernalar dan berargumen. Ia menghabiskan waktunya membaca dan merenung. Ia menyukai cara sejarah dan filsafat menantang otaknya, mengajarinya tentang hukum, tradisi, logika, dan hikmah.
Pertemuannya dengan Rama, merupakan sebuah takdir. Malam itu, saat ia tidur, Bumidewi muncul dalam mimpinya dan menghilangkan rasa-takutnya. Bumidewi memberitahunya bahwa seorang pangeran, ksatria, bakal menjadi lelaki impiannya. Maka, ia menyampaikan pada ayahnya bahwa ia ingin lelaki yang mampu mengangkat busur berat milik kakeknya—dan cuma Sita yang mampu mengangkatnya—dalam sebuah sayembara, akan menjadi suaminya. Dan tentu saja, Ramalah orang terakhir yang berdiri, yang memegangnya, seakan mainan belaka, dan ia menggunakan kekuatan sedemikian rupa, mengikatnya sehingga busur besar itu, patah jadi dua.
Suara patahan tersebut, laksana tepukan ribuan geledek. Semua orang mendengarnya, termasuk para penghuni langit dan para naga di bawah permukaan bumi. Semuanya tercengang. Berhasil atau gagalkah Rama? Semua mata tertuju pada Janaka. Dan ia berkata, 'Mulai hari ini, Rama, engkau akan dikenal sebagai kesayangan putri Janaka, Sita.' Hadirin pecah oleh sorak-sorai. Rama telah membuat semua orang terkesan: semua orang memujinya sebagai pengantin pria yang pantas bagi Sita. Maka, di hadapan Wiswamitra dan Parasurama, Sita mengalungkan bunga pada putra sulung Dasarata. Ia akan menjadi istri Rama, dan Rama akan menjadi suaminya.
Utusan berangkat ke Ayodhya dan Dasarata datang ke Mithila, ibukota Wideha, bersama gurunya, Wasista, dan dua putranya yang lain. Janaka punya ide yang masih berlaku di zamannya, ‘Engkau masih punya tiga putra dan keluargaku, punya tiga orang putri. Biarlah keempat bersaudara itu, menikahi empat kerabat perempuan dan biarlah rumahmu menyatu dengan rumahku.’
Dasarata menerima pinangan itu, dan pernikahan akbar diselenggarakan untuk menandai penggenapan empat pasangan. Laksmana menikahi Urmila, Bharata menikahi Mandawi, dan Satrugna menikahi Srutakirti. Janaka menyerahkan para putrinya kepada para putra Dasarata, seraya berkata, ‘Aku memberimu Lakshmi, kekayaan, yang akan membawakanmu kebahagiaan dan kemakmuran. Berilah aku Saraswati, kebijaksanaan. Biarlah aku belajar tentang sukacita melepaskan. Belajar kapan saatnya melepaskan, seringkali merupakan bagian yang paling sulit. Memutuskan bagaimana melepaskan, menjadi lebih mudah ketika engkau yakin, waktunya telah tiba, dan bahwa kebahagiaan masa depanmu, bergantung pada awal yang baru. Agar memfokuskan energimu guna hidup secara positif dan proaktif, engkau perlu belajar bagaimana 'to move on.' Bertahan itu, naluri alami manusia—dan merupakan pula cara penting menghentikan diri kita mengejar-ngejar tujuan. Karena pada akhirnya, tak tahu bagaimana 'to move on,' merugikanmu: ia mencegahmu mencapai potensi sejatimu.'
Maka, Rama dan Sita memulai pengembaraan. Berpisah dan bertemu kembali hingga ia masuk ke perut Bumidewi. Sesungguhnya, manusia berasal dari bagian bumi, dan kelak, bumi akan memintanya kembali. Dan saat bumi diguncangkan dengan guncangan yang dahsyat, atas perintah Rabb-nya, ia akan mengeluarkan isi perutnya. Dan segala urusan akan kembali kepada Sang Pencipta.

Saat Rahwana pergi, para rakshasi, mulai membujuk Sita lagi. Mereka tahu, majikan mereka takkan berpikir dua kali membunuh mereka jika Sita tak menyerah padanya. Mereka bukanlah permaisuri yang cantik, mereka wanita pembebas kasar yang menjaga tahanan wanita, rampasan perang majikannya. Terserah cara mereka meyakinkan tawanan yang lebih diinginkan dibawa kembali ke Alengka, bahwa jalan terbaik yang terbuka bagi mereka, menjadi pejabat publik. Di antara para rakshasi yang telah selesai melakukan tugasnya, beberapa yang menjabat sebagai menteri, wakil menteri, direktur dan komisaris badan usaha milik kekaisaran, penasehat kaisar, dan sejenisnya.
Usai pertemuan pagi antara Sita dan majikan mereka, para rakshasi dari asokawana terkejut. Mereka bertekad membujuknya, baik dengan cara yang halus maupun kasar, 'Wanita paling cantik akan memberikan apa saja demi menghabiskan malam di tempat tidur Rahwana; tapi engkau menolaknya.'
'Sia-sia.' ... 'Dan bodoh; ia tak tahu apa yang ia lakukan.' ... 'Makhluk bodoh, kecantikanmu membutakanmu dari kebenaran tentang keadaan burukmu. Tapi kecantikan tak bertahan lama. Jadilah ratu Rahwana, heh orang sombong, dan engkau akan bergeliman harta melebihi impianmu.' ... 'Dan kekuasaan.'
Mereka mendekatkan wajah bertaring mereka, membuat Sita muntah oleh nafas busuk mereka. Mereka menyeringai dan menggeram padanya; mereka mendesis di telinganya bagaikan ular. Sita menangis. Hanoman kecil duduk di pohonnya, dengan arif menahan-diri melakukan tindakan gegabah; meskipun darahnya mendidih dan ia ingin sekali mencabik-cabik para rakshasi itu.
Sita tahu bahwa para rakshasi berusaha memanipulasinya. Prinsip kunci pertama tentang manipulasi dapat mengidentifikasinya. Hukum pertama ialah bahwa orang akan menyerangmu, bila mereka menyangka bahwa engkau lemah. Hal kedua, bahwa orang-orang itu, merasakan kelemahan apapun dalam dirimu, guna mengetahui apakah mereka harus menyerangmu atau mundur. Dan yang terakhir, orang-oranglebih mengejar kemenangan yang mudah. Maka, orang akan merasakan apakah engkau lemah, dan kemudian mereka akan berpikir, apakah mereka harus menyerangmu atau tidak. Jika mereka merasa engkau akan menang mudah, maka mereka akan menyerangmu. Dan bila mereka berpikir bahwa mereka akan kalah dalam prosesnya, maka mereka akan mundur dan mencari korban yang lebih mudah. Dan masalahnya, orang-orang ini, mencoba merasakan kelemahamu. Jika mereka merasa bahwa engkau lemah, mereka akan menyerangmu, dan di situlah engkau harus menggunakan posisi bertahan sebagai posisi ofensif.
Manipulasi tak membuat orang melakukan apa yang engkau ingin mereka lakukan, melainkan membuat mereka, melakukan apa yang engkau ingin mereka lakukan. Banyak orang ingin memanipulasi orang lain demi keuntungan jangka pendek. Namun, seni manipulasi yang sejati, ditentukan oleh permainan panjang.

Sita berkata, 'Emang gue pikirin! Aku lebih baik mati daripada tak setia kepada Rama.’ Mereka menggeram selayaknya kawanan anjing liar, menggertak di sekelilingnya. Melihat alasan dan argumen itu, tak banyak berpengaruh pada Sita, mereka mulai mengancamnya. 'Betapa lezatnya makanan yang akan ia buat.' ... 'Ia terlalu lezat dibiarkan hidup.' ... 'Ia menyakiti raja kita. Ia takkan bangun atau tidur dengan tenang.' ... 'Mari kita potong dan bagi-bagi dagingnya yang lembut.'
Sita melompat dan, menutup telinganya, berlari keluar dari kuil kecil itu. Ia berdiri terengah-engah di bawah pohon asoka seperti rusa di teluk. Sekelompok rakshasis masih menggeram dan mengamuk.
'Dagingnya akan lebih baik kita makan.' ...'Ia sangat angkuh sehingga ia akan kedinginan di pelukannya.' ... 'Saat ia tahu ia sudah mati, ia akan sadar lagi.' ... 'Kita akan membantunya.' ... 'Jika kita tetap mati, mari kita bunuh dulu.' ... 'Mari kita lakukan sekarang; kebodohan ini sudah berlangsung terlalu lama.'
Para rakshasi mengalir keluar dari kuil kecil dengan nafsu membunuh dalam benak mereka. Sita melihat para rakshasi maju ke arahnya, mata mereka penuh dengan kematian. Ia mengerang. Ketika mereka hanya beberapa meter dari Sita, rakshasi tua bernama Trijata, terbangun dari mimpi aneh. Ia terbang keluar dari kuil kecil. Ia menampar keras dua rakshasi yang lebih muda. 'Sudah gilakah engkau? Ingin mati perlahankah engkau di ruang bawah tanah raja? Pergi, bodoh, dan dengarkan apa yang kukatakan padamu.’ Trijata, yang terkuat di antara mereka, pemimpin mereka, dan yang ditamparnya, menangis. Para rakshasi bubar dan masuk kembali ke kuil. Trijata—putri Wibisana dan menikah dengan Jembawan setelah Perang Alengka—selalu baik pada Sita, sejak Rahwana pertama kali membawanya ke asokawana. Seiring berjalannya waktu, dan Sita menolak setiap upaya Rahwana sang iblis merayunya, kebaikan Trijata telah tumbuh menjadi cinta yang mendalam.
Trijata berkata, 'Sita, aku akan meninggalkanmu sebentar, tenangkan dirimu.' Dan untuk menghibur Sita, sang rakshasi berdendang,

Pakai telor, nggak pakai telor
Cintamu bagai kolor yang kendor
Janji-janjimu selalu molor
Kau buat cintaku kendor

Pakai sayur, nggak pakai sayur
Cintamu bagai bedak yang luntur
Aku dan kamu nggak pernah akur
Lebih baik aku yang mundur

Aku bukan mie instant
Yang bisa mudah kaudapatkan
Di saat engkau butuh, di saat engkau mau
Harus ada untukmu *)

Di atas pohon sonokelingnya, Hanoman mengiringi dendang Trijata, dengan melambai-lambaikan kepalanya. Namun, saat itu, bukanlah waktu yang tepat mendekati Sita."
Kutipan dan Rujukan:
- Ramesh Menon, The Ramayana: A modern Translation, HarperCollins
- Bibeck Debroy, The Valmiki Ramayana, Penguin Books
- David Cliff More, Manipulation Techniques, International Kindle Paperwhite
- Devdutt Pattanaik, Sita: An Illustrated Retelling of the Ramayana, Penguin Books
*) "Mie Instant" karya Vic ILIR7