Senin, 12 September 2022

Hanoman Obhong : Keraguan

Sang Purnama meneruskan, "Jatayu melihat ratha yang ditarik oleh bagal berpendar, terbang di atasnya, dengan seorang wanita di dalamnya, berteriak minta tolong. Dengan lesu, sang raja unggas mengepak ke udara dan terbang di samping ratha ajaib. Sita melihatnya, dan berteriak, 'Jatayu, selamatkan aku! Beritahu Rama bahwa Rahwana menculikku.’
Jatayu memperingatkan sang iblis, 'Rama itu, Penguasa bumi. Engkau terbang menuju kematian, rakshasa.’ Namun, Rahwana menembakkan panah ke arah sang unggas besar dan menghanguskan sayapnya. Dengan teriakan elang yang sedang bertarung, Jatayu menyerang sang iblis. Jatayu telah tua dan hampir buta, namun ia rela mati demi menghentikan Rakshasa yang menculik Sita.
Bagaikan cahaya, sang elang mencakar kulit sang Rakshasa. Rahwana melolong dan darah hitamnya menetes ke bumi. Rahwana menembakkan sepuluh anak panah yang membakar ke arah Jatayu, yang menghindarinya dan naik tinggi di atas kereta. Ia menukik ke bawah laksana elang pemancing mencari mangsa peraknya di bawah ombak. Ia merebut busur permata dari tangan Rahwana dengan paruhnya, dan mematahkannya.
Jatayu terbang mendekati bagal hijau. Ia menampar mereka dengan sayapnya, yang bak pedang. Ia mencakar mata mereka, membutakannya. Ia membunuh mereka di udara dan kereta meluncur ke bumi. Tepat sebelum Ratha ajaib hancur di tanah, Rahwana menyambar Sita, mendekapnya dan melompat keluar. Ia lalu menurunkannya. Mata yang berapi-api terbakar, meraung menyeramkan, Sang iblis menghunus pedang melengkungnya yang besar. Jatayu menukiknya lagi; namun sekarang, ia telah terlalu tua dan kelelahan. Dengan dua tebasan senjatanya, Rahwana memotong sayap Jatayu. Sang elang roboh, darah menyembur dari luka-lukanya, ia sekarat. Dengan berteriak, Sita berlari ke arah Jatayu yang tumbang. Ia memeluknya dan darah bersimbah membasahi pakaiannya. Ia menciumnya, lagi dan lagi, menangis, 'Duhai Jatayu, engkau telah gugur untukku.'
Menggeram laksana harimau, Rahwana menyambar Sita lagi. Sekarang, cukup dengan kekuatannya sendiri, ia melayang ke udara dan pulang menuju Alengka.

Di Pancawati, Rama berlari menuju asrama dengan panik 'Bahaya besar menantiku!' pikirnya, dan menerjang di sepanjang jalan yang berkelok-kelok. Di tikungan berikutnya, ia berlari langsung ke Laksmana yang menyongsongnya: mereka berdua berteriak dan menghunus pedang. Rama melihat adiknya menangis dan memeluknya. Saat sang pangeran muda sedikit lebih tenang, Rama berkata dengan lembut, seperti yang ia lakukan kepada seorang anak, 'Engkau benar; rusa emas itu, Marica.'
Mereka tiba di asrama, dan tak ada Sita yang keluar menyambut mereka. Mereka berlari ke sungai, namun ia tak ada di tepi sungai. Kemudian beberapa rusa, yang telah bersahabat dengan Sita, datang dan meletakkan kepala mereka di tangan Rama. Ia membelai mereka, menangis, 'Lihat mata mereka: mereka ingin menyampaikn sesuatu kepada kita!'
Dalam paduan suara yang aneh, para rusa mengarahkan wajah panjang mereka ke langit selatan, menunjukkan kemana Sita pergi. Dengan cepat mereka menoleh, memahami bahwa Sita telah dibawa pergi bagaikan angin. Mati rasa karena kesedihan, Rama pada awalnya, tak paham. Tapi Laksmana berteriak, 'Selatan! Ia dibawa ke selatan dan melalui udara. Rama, kita harus pergi ke sana.’ Mereka tak berpikir panjang lagi. Rama memeluk sang rusa, dan kedua bersaudara, beranjak ke Selatan.

Laksmana berjalan di depan menuju Janasthana. Matanya menjelajahi semak-semak, tanah, dan pepohonan, mencari tanda apapun yang mungkin membantu mereka, tanda apapun tentang Sita. Tiba-tiba, ia berseru; mereka telah sampai di tempat terbuka dimana Jatayu terbaring sekarat. Ia bagaikan bukit kecil, basah kuyup oleh warna merah-tua. Darahnya ada dimana-mana, merembes dengan jelas ke dalam bumi. Secepatnya, Rama menarik busur-panahnya dan akan membunuh Jatayu andai Laksmana tak menahan lengannya. “Raksasalah yang membunuh Sita!” seru Rama. 'Ia bermandikan darahnya.' Tapi Laksmana berkata, 'Itu Jatayu dan ia sedang sekarat.'
Rama menghambur ke depan dan memeluk sang elang. Jatayu mendongakkan kepalanya, meminta sang pangeran mendengarkannya. Ia hampir tak bisa berbicara, dan hidupnya bagai tergantung pada seutas benang terakhir hidupnya, semata agar ia dapat melihat Rama sebelum ia meninggal. Matanya bening oleh kematian, dan darah mengalir dari paruhnya, saat ia berbicara dalam bisikan kesakitan. ‘Jangan buang waktumu dalam belantara ini, Rama; orang yang membunuhku, telah membawa Sita jauh dari sini. Rahwana-lah yang membawanya, ketika engkau pergi.’
Rama menangis; dengan lembut ia membelai wajah sang unggas besar. 'Jatayu, sahabat mulia, engkau sekarat oleh kemalanganku. Mengapa Rahwana mengambil Sita? Aku tak melakukan kekeliruan padanya. Siapakah Rahwana, Jatayu? Ia terlihat seperti apa? Dimana ia tinggal?' Jatayu berkata, terengah-engah, 'Ia laksana badai hitam dan ia membawanya ke langit. Ia pergi ke Selatan, nak, ke Selatan.' Mata sang elang terpejam kepayahan. Membukanya lagi, ia berkata, 'Dekap aku, Rama. Mataku telah kehilangan penglihatan dan aku akan pergi sekarang.’ Ia berhenti sejenak, masih terengah-engah, lalu berkata, ‘Saat itu, menunjukkan waktu vinda, ketika Rahwana membawa Sita pergi. Apapun yang hilang pada saat itu, akan selalu ditemukan kembali. Engkau akan mendapatkan kembali Sita dari sang rakshasa. Engkau bakal membunuhnya dan mendapatkannya kembali. Ia, putra Wisrawa, saudara lelaki Kubera…’ Seketika, sang sukma terputus dari raga Jatayu; ia gugur dalam pelukan Rama.

Mereka menuju ke arah Selatan dan memulai petualangan. Mereka tiba di belantara yang disebut Krauncharanya. Inilah hutan tergelap yang pernah ada. Mereka melihat sebuah gua, dan di mulutnya berdiri rakshasi, Ayomukhi, menatap mereka dengan penuh minat. Bahkan, ia hanya menatap Laksmana. Ayomukhi naksir, namun Laksmana menolak dan mengalahkannya.
Pagi menjelang dan mereka terus berjalan. Demikianlah, mereka menempuh perjalanan selama berhari-hari, sampai suatu pagi, mereka tiba di tepi sebuah danau besar di kaki gunung. Mereka berjalan mengitari danau dan sampai di tepi baratnya. Di sana, mereka melihat apa yang mereka cari: asrama kecil yang terletak di rerimbunan pohon buah-buahan segar. Sabari punya firasat yang tetap tentang kedatangan mereka dan keluar menyambut, wajahnya yang keriput dipenuhi senyuman. Namun, tak lama setelah menjamu mereka, Sabari meninggal.

Petualangan berikutnya di Kiskenda, kerajaan para Wanara, mereka membantu Sugriwa mengalahkan Subali, dan merebut kembali takhta Sugriwa. Sugriwa mengutus Winata ke Barat, Hanoman ke Selatan, dengan Anggada sebagai pemimpin ekspedisinya. Ia mengutus Susena, ke Timur, dengan kekuatan penuh, dan Syatabali ke Utara. Kemudian Sugriwa memanggil Hanoman sendirian. 'Dimanapun ia berada, tiada orang yang lebih mungkin menemukan Sita selain dirimu. Hari itu, sang Rakshasa membawanya ke Selatan. Walau semua yang lain mungkin gagal, aku tahu bahwa engkau, Hanoman, akan menemukan Sita untuk Rama.’

Di balik gunung para wanara, di sebuah gua yang diterpa angin laut, hiduplah Sempati, sang elang. Ia lapar, dan ketika ia melihat monyet-monyet di pantai, di bawah sarangnya, ia berkata pada diri-sendiri, 'Nasib baik berpihak padaku hari ini. Aku tak perlu keluar mencari makananku: ia telah datang ke mulut guaku.’ Akan tetapi, Sempati sudah sangat tua, dan pula, tuli, sehingga ia berbicara keras-keras pada dirinya sendiri. Angin, yang bertiup dari darat ke laut, membawa apa yang ia ucapkan ke telinga tajam Anggada. Saking putus-asanya, Anggada mulai mengoceh: 'Seluruh unggas dan satwa di hutan, menyayangi Rama. Mengapa, Jatayu memberikan hidupnya bagi sang pangeran cahaya. Dan demi Rama, kita jualah yang akan dimangsa oleh kematian. Tapi, Jatayu beruntung; Rakshasa membunuhnya dan ia tak harus menghadapi kemarahan Sugriwa. Namun, jika engkau memikirkan mengapa kita bakalan mati, Paman Hanoman, itu karena Kekayi. Ia, biang dari segala petaka ini.'
Saat ia mendekati makan malamnya, Sempati mendengar semua ucapan Anggada. Dengan suara seraknya, Sempati berseru, ‘Siapa yang berbicara tentang Jatayu? Siapa bilang Jatayu sudah mati? Seribu tahun sudah, sejak aku mendengar nama adik lelakiku. Siapa rakshasa yang membunuhnya? Siapa Rama? Aku telah tua dan lemah, dan aku hampir tak bisa menuruni gunung ini. Adakah seseorang yang mau membantuku, menapak ke tanah dan menceritakan tentang saudaraku.'
Pada awalnya, para wanara tak mempercayai sang elang. Namun Anggada mendekat dan memulai cerita Rama agar Sempati paham. Sang unggas purbakala, terisak, saat mendengar bagaimana Jatayu mengorbankan nyawanya demi Sita. Sang elang, yang tadinya hendak memangsa mereka, sekarang berkata dengan lembut, 'Jatayu itu, adikku. Andai aku masih muda, aku akan terbang ke kota Rahwana demi membalaskan dendamku. Namun, sayang, sekarang aku telah tua dan lemah.’

Anggada berkata, 'Engkau bilang bahwa jika engkau lebih muda dan bisa terbang, engkau akan menyerang Rahwana di kotanya. Tahukah engkau dimana sang Rakshasa tinggal?’ Sempati berkata, ‘Tentu, aku tahu dimana Rahwana tinggal; Aku tahu tempat itu dengan baik. Aku termasuk dalam ras elang tertua; Akulah kerabat Garuda. Jenis kami dapat melihat tikus dari bulan, jika kami memfokuskan pikiran padanya, karena kami berburu dari udara. Walau aku sudah tua dan penglihatanku tak seperti dulu, pada seratus yojana, aku masih sanggup melihat mata-jalang di sepuluh kepala Rahwana, dan air mata Sita, selembut teratai,' lalu Sempati berkata, 'Bantu aku ke tepian segara. Aku hendak memberi penghormatan bagi adikku.’
Saat ia selesai memberi penghormatan terakhirnya, Sempati kembali ke batas segara pasir kering. Ia bertabur oleh cahaya kebahagiaan yang tak terlukiskan. Anggada, yang melihatnya, berseru, 'Duhai Sempati, cahaya berkilauan menyelubungi bulumu! Bisakah engkau memberitahu kami, bagaimana kami dapat mencapai Alengka melalui laut?’
Namun sang elang menggeleng, 'Peranku dalam petualangan ini, telah berakhir.' Bahkan saat ia berbicara, kilau emas berada di tubuhnya dan ia bersinar laksana seberkas cahaya mentari di pantai yang gelap itu. Saat para wanara menyaksikan, di sayap Sempati, tumbuh bulu-bulu muda segar di hadapan mata mereka. Punggungnya yang bungkuk, berdiri tegak; matanya yang cekung, berkobar kembali. Ia memekikkan teriakan berburunya yang melengking, dalam ekstase transformasinya, dan hamparan pantai bergema olehnya. Ketika hiasan cahaya yang ekstra-ordineri, meninggalkan tubuhnya, Sempati kembali muda dan sayapnya kembali utuh.
'Telah terjadi!' serunya, bertandak kegirangan. 'Para wanara, lihatlah aku: tiada yang mustahil oleh iman yang kokoh. Engkau bakal menemukan Alengka, jika saja, engkau yakin akan menemukannya.’
Setelah itu, Sempati bergerak maju dengan beberapa langkah berlari, ia membentangkan sayap-indah barunya, dan dengan pekik merdeka, terbang ke langit yang gelap, lalu, lenyap.
Para wanara menyemangati Sempati menembus cakrawala. Ia sudah tak terbang selama seribu tahun. Mereka melompat-lompat di pantai. Bahkan saat ia berkitar di atas mereka sekali, lalu menghilang, berkelebat bagai astra, suka-cita mereka, tak berkurang. Sebab, mereka merayakan pula, berita yang diwartakan Sempati. Akhirnya, mereka tahu dimana Sita berada; kendati mereka belum tahu, bagaimana menyeberangi lautan gelap terbentang, antara mereka dan Sita.
Anggada berkata kepada para wanara, 'Menatap ke laut, takkan ada gunanya. Jawaban kita, tak ada di sana, melainkan, di dalam diri kita sendiri. Kita lelah. Hari yang panjang, dan kita tengah mengetuk pintu mati-suri. Malam telah tiba dan pasir ini, akan berfungsi sebagai tempat tidur empuk malam ini. Esok-hari, saat kita terbangun di pagi hari, akan kita pikirkan lagi, bagaimana menyeberangi lautan. Selamat malam, para wanaraku yang baik-hati. Tidurlah dengan tenang malam ini, sebab keberuntungan, akhirnya kelak tersenyum pada ikhtiar kita.'
Satu demi satu, terbuai oleh deru ombak, para wanara tertidur. Lewat tengah malam, ketika sang Chandra berada di puncaknya, Anggada, Hanoman dan para komandan lainnya, juga terpulas. Tepian-laut menyajikan tontonan yang aneh, saat Somadewa melintasi dirgantara: tersalut dalam cahaya lelembutnya, terpampang pasukan kera yang penuh sesak, berselimutkan pasir-putih.

Keesokan paginya, kisah yang mirip-mirip dengan Nabi Sulaiman, alaihissalam, dikala ia hendak mengirim utusannya ke istana Ratu Bilqis, terjadi. Para wanara terbangun oleh sinar mentari, yang mengarah miring ke wajah mereka. Anggada mengangkat tangannya, memanggil pasukannya mendekat padanya. Manakala mereka berkerumun di sekelilingnya, ia berkata, 'Aku ingin tahu siapa di antara kalian yang dapat melompati lautan yang menganga ini, menemukan Sita dan melompat pulang? Seratus yojana [1 yojana = +/- 12-15km] dan mati tenggelam, jika gagal! Siapa yang sanggup melakukannya? Manakah diantara wanara yang akan membuat lompatan iman?’
Semata ombak fajar, yang terdampar di pantai, yang menjawabnya. Seruan Anggada bergema di sana dan laut seolah mengejeknya. Gaja dari para kera, angkat-suara di atas deru lautan yang tiada henti, 'Aku sanggup melompat sepuluh yojana!' Gawaksya berteriak, 'Dengan restu leluhurku, aku bisa melompat dua-puluh!' Wanara lain berseru, 'Dan aku, tiga puluh! ' Demikianlah, mereka meneriakkan kemampuan mereka, satu per satu. Sampai salah satu yang terkuat di antara mereka, Dwividha, berteriak, 'Aku sanggup melompat tujuh puluh yojana!'
Jembawan, raja tua reksa, sang beruang hitam, telah melakukan perjalanan dari Kiskenda bersama pasukan kera. Sekarang ia berseru, 'Teruntuk Rama, aku akan melompat, setidaknya, sembilan puluh yojana.' Ia diam oleh keraguan. 'Tapi seratus, aku ingin tahu, bisakah aku melompati seratus. Bila perlu, aku sanggup mencobanya!’ Kemudian, Angada berseru, ‘Aku sanggup melewati seratus yojana dengan mudah!’ Para kera bersorak-sorai. Ia mengisyaratkan tangannya agar semua diam, 'Namun aku ragu, bisakah aku, pulang-balik.' Jembawan berkata, 'Anggada, anakku, aku yakin engkau bisa menyeberang ke Alengka dan kembali pulang. Mengapa, aku yakin engkau bisa terbang seribu yojana. Sebab, bukankah engkau putra Subali yang hebat? Akan tetapi, tugas ini bukan milikmu. Putra mahkota tak boleh mempertaruhkan nyawanya, melompat ke negeri asing yang diperintah oleh rakshasa.”
Seketika, mata Anggada berkaca-kaca. Ia berkata dengan lembut, 'Terima kasih atas cintamu, Jembawan. Tapi, siapa lagi yang sanggup melakukan lompatan besar ini? Dan engkau tahu, itu harus diperbuat. Apa solusi kita, orang bijak? Mohon, pikirkanlah caranya.' Jembawan berkata pelan, 'Tentu, pangeranku.' Ia berbalik ke tempat seorang wanara, yang sedang duduk di atas batu lancap, di luar kerumunan para kera, di sekitar pemimpin mereka. Hanoman duduk sendirian, memandangi ombak yang tak terbendung.

Jembawan berkata kepada Hanoman yang murung, 'Mengapa, duhai putra sang bayu, engkau begitu meragukan dirimu sendiri? Kutukan itulah yang terhebat. Mereka yang tak dapat melakukan sepersepuluh dari apa yang engkau bisa, mereka yang tak memiliki bayangan kekuatanmu, berdiri dan membanggakan kehebatan mereka. Selagi engkau duduk di sini mendengarkan mereka dan tak mengatakan apa-apa. Hanoman, kita membutuhkan seorang petarung, melompati lautan dan membawa kemuliaan bagi para wanara.’ Namun Hanoman sangat tak percaya diri, ia nyengir, ‘Engkau terlalu mengistimewakanku, Jembawan yang baik.’
'Ya, memang? Lupakah engkau, siapa dirimu, Bayuputra? Perkenankan aku, mengingatkanmu tentang leluhurmu, dan biarkan monyet-monyet ini, mendengar siapa Hanoman kita yang sebenarnya. Suatu ketika, Anjanidewi, bidadari surga, lahir sebagai seorang wanari. Saking cantiknya, sehingga sang Hyang Pawana, terpikat olehnya. Ia tak bisa menolaknya, sebab percintaan mereka, telah ditakdirkan.'
Jembawan merenung, 'Ya, seperti yang ditakdirkan bahwa kelak, engkau akan duduk di sini, di pantai ini, meragukan dirimu sendiri dengan sepenuh hati. Bahkan saat Anjanidewi jatuh dalam pelukan Bayudewa, terdengar suara dari langit, 'Anjani, sukma kemuliaan yang tak tertandingi, akan lahir sebagai putramu. Ia tiada bandingannya dalam kebaikan atau keberanian, kearifan atau kekuatan. Menjadi anak ayahnya, ia akan terbang lebih cepat dari Garuda!'
'Engkau telah lupa siapa dirimu, Hanoman. Engkau lupa bagaimana, dikala engkau masih kecil, engkau melompat ke cakrawala lantaran engkau mengira, matahari itu, buah yang bisa engkau makan. Engkau terbang tiga ratus yojana ke udara. Indra mengira, engkau sombong, dan melemparkan petirnya kepadamu. Namun, duhai putrabayu, senjata dahsyat itu, hanya menyerempet pipimu: sebab Brahma telah memberkahimu agar kebal terhadap setiap senjata. Saat petir tersebut jatuh tergeletak, bangsamu menamaimu Hanoman: yang tak terkalahkan.
'Bayudewa marah pada Indra dan ia ngambek, tak mau menghembus sama sekali di tiga dunia. Akhirnya, Indra tersadar bahwa hanya kekanak-kanakan dan bukan kesombongan, yang membuatmu melompat seperti itu. Ia sangat terpesona oleh lompatanmu ke matahari, sehingga, menertawakan prasangkanya, ia juga memberkahimu. Ia memberkahimu bahwa kematianmu, semata akan datang, dengan kehendakmu sendiri.!’
Hanoman berdiri di sisi Jembawan di pantai emas itu. Setiap kata yang diucapkan sang raja beruang, seolah memutuskan mata-rantai yang mengikat sukmanya. Matanya berbinar; punggungnya tegak. Hanoman tersenyum, dan keraguannya, sirna bagai kabut di bawah sang mentari. Jembawan melanjutkan, 'Kita berdiri tak hanya di tepi laut, melainkan di ambang keputusasaan. Engkaulah putrabayu, sekuat angin. Jangan ragu, Hanoman: takdir memanggilmu, demi mengabadikan namamu. Engkaulah harapan kami; cuma engkau yang bisa menyelamatkan kita semua dari kematian. Singkirkan keraguanmu, masa-masa kejayaanmu, telah tiba.’

Hanoman tumbuh membesar, dan lebih besar lagi! Saat ia membesar, ekspresinya berubah pula: dari kesedihan menjadi keceriaan yang tak tergoyahkan. Sekarang tumbuh menjadi penyelamat raksasa dari rasnya, ia tersenyum ramah pada para wanara yang tercengang. Ia tinggi bagai bukit; ia cerah bagaikan pagi hari. Ia menggeram dalam-dalam di tenggorokannya dan mengguncang tubuhnya laksana singa yang tak terkirakan. Para wanara saling mencengkeram agar merasa nyaman. Mereka tak menyaksikan Hanoman sebagai menteri Sugriwa yang bijak dan lembut, setia dan pendiam. Makhluk elemental inilah yang menjulang di atas mereka, matanya yang besar, berbinar. Itulah Hanoman, putra angin yang luar biasa; dan tantangan laut, tak lagi menakutkan.
Ia telah menjadi titanic. Masih saja, ia tumbuh membesar, sampai monyet-monyet itu, yang tampak kerdil di kakinya, merasa bahwa matahari akan membakar jambulnya. Ia laksana nyala-api yang besar, dan ia membungkuk kepada para tetua kera dan pangerannya, Anggada. Sat ia menyapa mereka, suaranya menggemuruh, 'Aku putra sang Bayu. Tiada yang sanggup melompat sejauh yang kubisa. Aku dapat terbang seribu kali mengelilingi Mahameru. Aku sanggup terbang berkeliling dunia bersama bulan! Tahukah engkau akan kekuatan lengan-lengan ini, dengan urat-urat angin di dalamnya? Aku bisa mendorong gunung ke dalam bumi dan menjerumuskan hutan ke laut. Aku sanggup menghancurkan puncak terbesar menjadi debu dengan tanganku. Dan aku, Hanoman, mengabdikan-diri pada Rama-ku! Dan sekarang, kukan terbang melintasi laut kecil ini, demi menemukan Sita. Sebentar lagi, kukan arungi ombak dan membawa Sita pulang ke tempat yang aman. Jika perlu, kukan mencabut Alengka dari akarnya dan mempersembahkannya ke hadapan Rama. Sekarang, aku akan berangkat!’
Jembawan, yang dirinya sendiri telah cukup sepuh, berseru, 'Kami akan menunggu di pantai ini untukmu, putrabayu. Ingat, hidup kami, ada di tanganmu.’
Hanoman tersenyum, ‘Jangan takut, paman Jembawan yang hebat. Pangeranku, Anggada, perkenankan aku berangkat sekarang untuk menemukan Sita di Alengka. Namun, tanah lunak akan terbelah jika aku melompat dari sini. Aku harus mendaki ke puncak Mahendra dimana batu kokoh itu, mampu menahan seribu tangan. Dari sanalah, kukan terbang dan tak menyakiti bumi.’
Dengan beberapa langkah, memanjat dengan gesit seperti monyet, ia mencapai puncak yang dicarinya; pasukannya berdiri di pantai, di bawah, mengawasinya. Ia melambai dari ketinggian, dan bagi mereka, ia tampak lebih besar dari gunung. Jauh di sana, mata putra Anjani dan sang Bayu: dalam benaknya, ia telah mencapai Alengka dan menemukan Sita. Dengan setiap kaki di puncak yang berbeda, ia mengangkangi Mahendra. Hanoman berdiri, bergoyang dalam hembusan angin ayahnya yang tinggi, bersuit di sekelilingnya dengan ceria. Ia mulai pasang ancang-ancang, mempersiapkan diri untuk lompatan seratus yojana, mengarungi lautan yang teramat dalam."
Kutipan dan Rujukan:
- Ramesh Menon, The Ramayana:A modern Translation, HarperCollins
- Bibeck Debroy, The Valmiki Ramayana, Penguin Books 
[Bagian 3]