"Ada sebuah Idiom, 'two heads (or more) are better than one.' Namun, agar menghasilkan sesuatu yang efektif, idiom ini, punya syarat dan ketentuan, bahwa seyogyanya, tiap kepala tersebut, punya qalbu dan niat yang suci. Lantas, bagaimana jika semua kepala itu, punya niatan jahat?" Sang Purnama memulai sebuah tuturan usai mengucapkan Ta'awudz, Basmalah dan Salam."Dalam Jagad Pewayangan, terdapat tokoh Rahwana—bermakna ia yang menjaga hutan—dikenal pula dengan Prabu Dasamuka—bermakna ia yang bermuka sepuluh—atau Dasanana—ia yang berkepala sepuluh. Ia punya pula dua puluh tangan. Mengenai dua puluh tangan, itu menunjukkan bahwa ia arogan dan punya keinginan yang tak terbatas. Banyak penafsiran tentang mengapa ia berkepala sepuluh. Aku cuma bisa membayangkan, bahwa dengan hasrat yang tak terbatas, pasti di dalam kepalanya, punya banyak keinginan pula. Bayangin coba, bila satu kepala ingin ibukota baru tetap dilanjutkan, kepala yang lain mikirin proyek kereta-api yang bakalan mangkrak, yang satunya, pengen banget nambah jabatan jadi tiga periode, belum lagi yang lain, punya tuntutan dan alasan, pastilah pusing sendiri. Aku tak punya informasi mengenai seringkah Rahwana puyeng kepala, tapi yang kutahu, rambut di kepala sang Rahwana, gimbal dan lengket, serta brintik, terlihat tak terurus. Keknya, doski kagak pernah 'cream-bath.' Padahal, seorang pemimpin itu, seyogyanya menjaga penampilannya sebaik mungkin, tanpa perlu berpura-pura demi 'self-branding.' Para desainer, bahkan Sting, sang penyanyi, bilang, 'be your self, no matter what they say.'Rahwana lahir dalam muhurta [takaran waktu] yang tak tepat. Rama bertanya kepada Resi Anggasta, 'Muni [sebutan bagi orang bijak], sampaikan pada kami, bagaimana Rahwana dilahirkan!' Sang maharesi menjelaskan, 'Sumali, Raja Detya, mengembara di Patala [dunia bawah tanah] selama berabad-abad. Ketika mimpi-buruknya terhadap Wisnu surut, ia naik kembali ke permukaan bumi dan menjelajahi dunia manusia yang dikelilingi laut, di zaman lain.Suatu hari, ia melihat Wisrawana yang mempesona, terbang di atasnya dengan puspaka wilmana [sejenis wahana yang dapat terbang], dalam perjalanannya, mengunjungi ayahnya, Wisrawa. Wisrawana datang ke Alengka dan menetap di sana dengan para nairitanya. Sumali berkata kepada putrinya, Keikasi, 'Anakku, engkau sekarang jadi seorang wanita muda dan sudah saatnya, engkau menikah. Ingatlah, kehormatan tiga keluarga ada di tangan seorang anak perempuan: kehormatan kerabat ayahnya, kehormatan ibu dan pula, suaminya. Perhatikanlah agar engkau dapat menjaga ketiganya, putriku.'Keikasi bertanya, 'Duhai ayah, kepada siapakah engkau bermaksud menyerahkanku?''Kepada muni Wisrawa, agar engkau memiliki putra-putra sehebat Suryadewa.'Keikasi membungkuk kepada ayahnya, dan ia membawa dirinya ke tapawana tempat Wisrawa melakukan agnihotra. Sang rakshasi muda, tak menyangka bahwa waktu tersebut, waktu yang kurang menguntungkan guna mendekati sang resi. Ia datang dan berdiri di dekatnya dengan tangan terlipat, sementara sang resi asyik dengan ritualnya. Keikasi berdiri menatap kakinya, malu-malu, dan menggaruk tanah dengan jari kakinya guna menarik perhatian sang resi.Wisrawa terbangun dari ritualnya dan melihat seorang gadis muda berdiri di dekatnya, wajahnya bagaikan bulan purnama. Ia berkata perlahan, 'Siapakah engkau? Putri siapa? Dan mengapa engkau datang ke pertapaanku?''Brahmaresi, aku Keikasi. Aku datang karena ayahku, Sumali, menyuruhku. Aku mohon, mintalah petunjuk ilahi.'Wisrawa lalu tenggelam dalam perenungan, dan kemudian, setelah tersadar, ia berkata, ‘Aku maklum mengapa engkau datang kepadaku. Engkau datang agar memiliki anak dariku. Namun engkau telah datang pada muhurta yang salah. Jadi, duhai wanita dengan gaya berjalannya laksana gajah betina, anak-anakmu akan berwujud rakshasa yang buas.''Brahmapati, aku mohon, jangan semua putraku seperti itu.'Sang resi diam sejenak; wajahnya melunak, dan ia berkata, 'Nona muda, putra terakhirmu, akan berwujud lelaki dharma, seperti semua rakshasa dari kerabat kita.'Kemudian sang muni mengambil Keikasi bagi dirinya dan memberikan anak-anak padanya. Keikasi pertamakali melahirkan bayi yang menakutkan, dengan sepuluh kepala berkerucut, dengan taring besar. Rambutnya laksana untaian api; bibirnya berwarna tembaga seperti matanya. Tatkala ia lahir, seluruh makhluk malam yang turun bersimpuh, berkumpul di sekitar persemedian, dan mereka mengelilingi sang ibu, dari kiri ke kanan, dalam sebuah ritual yang aneh dan tak menyenangkan.Awan menakutkan bertaburan di langit dan menyemburkan hujan darah. Meteor yang menyala, ribuan, berguguran ke bumi, meninggalkan kawah besar, dan mendesis ke laut, sehingga ombak bergulung laksana gunung dan menghantam pantai. Bumi sangat gelisah, seolah-olah merasa resah, dan bergeser dari orbit yang sebenarnya.Anak pertama Keikasi, lahir mengaum-keras dari kesepuluh kepalanya, dan ayahnya, menamainya Dasagriwa. Segera setelah itu, putri Sumali itu, berputra lagi, dan ia melahirkan bayi terbesar yang pernah dilahirkan. Telinganya bagai guci besar, maka ia disebut Kumbakarna. Selanjutnya, Keikasi melahirkan seorang putri yang sangat menyeramkan, dan ia dinamai Sarpakenaka. Terakhir, seorang bayi yang tenang dan tampan, lahir dari rakshasi dan ia disebut Wibisana. Berbeda dengan 'Genk Trio Kompor' yang lahir sebelumnya, yang terakhir ini, hampir tak seperti rakshasa dari penampilan atau sifatnya, dan bunga-bunga lembut, mengalir turun dari Dewaloka guna memberkahi kelahirannya.Anak-anak tersebut, dibesarkan di hutan tempat Wisrawa bersemedi. Sejak awal, Dasagriwa dan Kumbakarna, punya sifat gelisah dan penuh nafsu, dan mereka menghabiskan hari-hari mereka memuaskan setiap selera. Mereka berburu semata untuk berolahraga dan makan, dan manakala mereka mulai beranjak dewasa, mereka tak segan-segan menyerang wanita manapun, dari ras apapun, yang jalurnya, melintasi jalan mereka di hutan. Wibisana, seorang pemuda bijak, yang terkendali sejak awal; ia menghabiskan waktunya belajar dan merawat ayahnya.Dasagriwa, menghabiskan sebagian waktunya mempelajari kitab-kitab wahyu kuno. Dan yang mengejutkan ayahnya sendiri, Rakshasa buas nan ganas ini, melampaui saudaranya, Wibisana, sebab ia mudah belajar. Akan tetapi, sementara Wibisana hidup dengan apa yang ia pelajari dari Shastra [ajaran, aturan, pedoman, kompendium, buku atau risalah], sedang Dasagriwa, enggak. Nah, inilah yang mendasari, mengapa etika keduanya, sangatlah berbeda.'Waktu berlalu, Dasagriwa tumbuh menjadi rakshasa yang tak tertandingi. Ia telah bermeditasi selama bertahun-tahun, dan Brahmadewa menerima permintaannya agar ia kebal terhadap segala macam serangan dan selalu unggul di antara para dewa, makhluk surgawi, rakshasa, monster, jin, semua naga dan para binatang. Lantaran meremehkan bangsa manusia, ia tak bermohon agar dapat mengungguli mereka.Ia memperoleh Alengka dari Kubera, yang merupakan pula, putra dari Wisrawa. Dasagriwa memerintah ras asura di tiga alam [triloka], ia diangkat menjadi Maharaja Rahwana.Rahwana berusia ribuan tahun. Namun ia seorang tapasvin [asketis]; sehingga tak terlihat sedikitpun usia sebenarnya. Ia mengoleksi wanita dari setiap ras, wanita tercantik dan menggoda dari segala alam. Naluri Rahwana melingkupi wilayahnya laksana matahari di atas bumi. Dalam sepuluh kepala iblisnya, ia merasakan semua yang terjadi di seluruh kerajaannya. Apa yang tak ia rasakan, ialah para pelayannya, yang kepadanya, ia percayakan kekuasaan atas namanya yang ditakuti, melaporkan kepadanya: dimana kebaikan dan dharma, mengangkat wajah mereka yang dibenci.Rahwana berkata dengan nyaring, 'Sampaikan padaku, Akampana, apa kabar sepupu dan saudara perempuanku?' Akampana menatap kakinya. Ia menarik napas, dan berbisik, 'Baginda, semua rakshasa di Janasthana sudah mati. Khara mati dan Dushana juga; para Trisira dibunuh.’ Dengan nada membujuk, masih dengan santai, ia bertanya, ‘Akampana, siapa yang melakukan ini?’ Akampana menjawab, ‘Seorang lelaki, Baginda! Hanya satu orang dengan busur dan anak panahnya.' Rahwana menatap dari semua matanya, kepala dimiringkan dalam sudut yang membingungkan. Ia menatap tak percaya pada Akampana, yang mengangkat tangannya, melindungi dirinya dari tatapan itu.Ia menangis, 'Aku mohon, dengarkan aku, Baginda.' Kepala-kepala iblis itu, memperhatikan. ‘Dulu, ada seorang raja bernama Dasarata. Ia berasal dari Dinasti Surya, leluhur Dinasti Ikswaku. Ia berputra bernama Rama, yang sebiru-birunya teratai liar. Rama datang ke Dandakawana. Bahunya lebar bak bison, dan ia sekuat singa. Ia menguasai astra, dan ia membunuh para rakshasa Janasthana.’'Mungkin Indra mengirim tentara untuk membantunya? Katakan yang sebenarnya, rakshasa.’'Aku menyangka Indra tatkala melihat cara memanah Rama. Tapi tidak, Indra tak datang menolong Rama. Astra-nya masing-masing seribu anak panah, dan setiap batangnya berubah menjadi ular berkepala lima dan bermulut api. Janasthana telah musnah. Kami yang selamat, segelintir yang melarikan diri, tak bisa tidur lantaran wajah Rama, menghantui mimpi-mimpi kami.Aku yakin bahwa ia punya saudara lelaki bernama Laksmana, yang setara dengannya. Namun ia tak turut serta dalam pertempuran itu.'Rahwana menghela nafas seperti angin utara di puncak gunung. Bibirnya melengkung; taring-taringnya mengintai di sudut mulutnya. Ia bangkit berdiri dan melangkah ke jendela mendengkungnya, yang menghadap ke laut biru-kehijauan. Ia berkata dengan lembut, 'Aku sendiri yang akan pergi ke Janasthana untuk membunuh dua-bersaudara ini.''Jangan Baginda! Sebelum Baginda berbuat sesuatu dengan tergesa-gesa, dengarkan apa yang kutangkap tentang Rama ini. Ia sanggup membendung sungai dengan panahnya. Mereka bilang bahwa jika ia mau, ia mampu memadamkan matahari dan bintang-bintang dengan astranya. Ia bisa mengangkat bumi dari laut, jika tenggelam, atau menceburkannya ke kedalaman dengan melanggar batas dunia. Semua resi mengatakan bahwa ia, Wisnu yang datang sebagai seorang lelaki. Ia bersinar laksana seorang dewa ketika ia berdiri menghadap tentara kita. Ia, matahari biru, dan ia membunuh empat belas ribu rakshasa seolah mereka itu, anak-anak kecil yang menghadapinya.'Rahwana hendak berbicara; namun ia melihat cahaya sebuah ide di mata rakshasanya. 'Selesaikan apa yang engkau ungkapkan, Akampana.''Akan bodoh, Baginda, bila berduel dengan Rama, sebab Baginda tak dapat memastikan hasilnya. Tapi ada cara lain.' Ia berhenti, dan mencoba melihat ketertarikan majikannya. 'Rama punya seorang istri bernama Sita, yang mengikutinya ke dalam hutan. Sita sangat cantik, yang bikin wadidaw. Rama mencintainya lebih dari hidupnya sendiri, dan Rama, Sita; ibarat prana yang saling bergantian.'Kepala Rahwana yang paling atas mendesis, 'Jadi apa? Apa yang engkau coba ungkapkan?'Sekarang, lebih yakin dengan dirinya, Akampana melanjutkan dengan tenang, 'Sita itu, wanita tercantik di dunia, kagak ada sekrupnya Baginda. Bidadari Dewaloka, nggak bisa disandingkan dengannya. Wajahnya sempurna; tubuhnya, sebuah impian. Andai Baginda menculik Sita dan diam-diam membawanya ke sini, Rama bakalan mati merindukannya!’Sembilan kepala merenung, saling berbisik. Lalu, dalam paduan suara surealis, mereka menyeringai, serempak dan menyeramkan. Mereka manggut-manggut, mendukung ide Akampana, senang dengannya.Wajah utama Rahwana tersenyum, menunjukkan empat baris taring, 'Aku suka rencanamu. Besok, saat matahari terbit, aku sendiri yang bakal terbang ke Dandakawana, membawa Sita pulang ke Alengka.’Akampana membungkuk dalam-dalam, dan undur-diri tanpa memunggungi sang Kaisar.Keesokan paginya, sebelum matahari terbit, Rahwana duduk di kereta yang teramat aneh. Ratha ini, terbuat dari emas, dicampur dengan logam berbintang, dan empat bagal bertanduk dipasangkan padanya. Merekalah makhluk hijau dan terbang di langit secepat pikiran, atas perintah tuannya. Ketika Rahwana siap, keretanya naik ke udara. Saat berikutnya, kereta menghilang dari pandangan.Rahwana terbang melintasi lautan Baratawarsa. Tak lama kemudian, ia melihat asrama Marica: asap kayu bakarnya mengepul ke langit. Rahwana terbang turun dengan mulus seperti seekor burung dan hinggap di rawa dimana Rakshasa Marica, yang sekarang berubah menjadi resi, duduk dalam semedi. Marica, paman Rahwana.Marica memberkatinya, dan berkata, 'Kejutan yang menyenangkan, keponakanku. Sesuatu yang penting membawamu ke asramaku. Katakan padaku, apa yang telah terjadi?’Rahwana mengalihkan pandangannya dari Marica. Ia mencari jeda untuk memulai, lalu, berkata, 'Paman, tahukah engkau bahwa semua rakshasaku di Janasthana, telah terbunuh? Khara, Dushana dan yang lainnya. Seluruh tentara telah rata dengan tanah.' Ia menarik cakar di tenggorokannya dengan fasih, 'Dalam sehari.'Mata Marica melotot. 'Bagaimana? Saat Khara memimpin tentara, bagaimana?’Rahwana berkata pelan, 'Satu orang membunuh mereka semua.' Ia diam, lalu, ia berkata perlahan, 'Seorang ksatria. Seorang Rama.' Marica menarik napas tajam; rambutnya berdiri. Ia mengangkat tangannya, dan berteriak, 'Jangan sebut nama itu!' Mengabaikannya, Rahwana melanjutkan, 'Jelas manusia itu kuat; kekuatan seperti itulah ancaman bagiku.’ Ia mengambil sebilah rumput darbha dan mulai mencabuti taringnya. 'Rama ini harus dibunuh. Tapi kami pikir, ia terlalu berbahaya dihadapi dalam pertempuran.” Marica, yang berpengalaman tentang Rama, menganggukkan kepalanya beberapa kali sebagai tanda setuju. Rahwana melanjutkan, 'Kami pikir, istrinya harus dibawa secara rahasia ke Alengka, tanpa Rama mengetahui kemana ia pergi. Aku butuh bantuanmu, Marica.’Tapi Marica mengerang. Yang mengejutkan, Rahwana melihat tangan sang rakshasa tua, bergetar, dan wajahnya berkeringat, ketakutan. Marica berjuang menenangkan diri, dan meringis, 'Siapapun yang menempatkanmu di jalur ini, musuhmu, dan ingin melihatmu mati. Adakah salah seorang penasihatmu, berusaha membunuhmu? Engkau akan marah bila memikirkannya. Rama yang sama ini, pernah menembakku seribu yojana ke laut; dan engkau tak menemukan orang lain untuk diculik, selain istri Rama!’Marica menghela napas berat; matanya melotot cemas. 'Rahwana, engkaulah penguasa semua rakshasa dan seseorang iri padamu. Ia berusaha membunuhmu. Rama akan menghabisimu, jika mendekatinya. Ia bagaikan singa yang sedang tidur. Hanya orang bodoh, yang akan memasukkan kepalanya ke dalam rahang singa dan kemudian membangunkannya. Engkau keponakanku. Akulah pemberi keselamatan bagimu dan aku tak menginginkan apapun darimu. Pulanglah ke Alengka, demi para selirmu. Lupakan bahwa engkau pernah mendengar nama Sita. Pergilah Rahwana; jangan mengundang kematianmu, untuk dirimu.'Rahwana mendengarkan dengan tenang. Ia tak tergerak oleh deskripsi kehebatan Rama, bahkan tak tergerak oleh ketakutan Marica, yang nampak jelas. Namun karena ada pendapat yang saling bertentangan tentang penculikan Sita, ia memutuskan berhati-hati. Rahwana berkata, 'Baiklah, paman; jika engkau mendesak, aku takkan mengambil Sita. Tak perlu buru-buru. Kuyakin, peluang itu, akan datang dengan sendirinya, suatu hari nanti, dan aku akan menghancurkan pangeran ini, seperti nyamuk, di bawah kukuku.’ Seluruh kepalanya memandang marah terhadap pemikiran itu, dan Rahwana terbang pulang ke Alengka dengan kereta bagalnya.Beberapa hari kemudian, Rahwana yang lebih santai, duduk di singgasana kristalnya, ia punya pengunjung lain, yang mengubah lagi pikiran sang Kaisar. Rahwana hampir tidak mengenali saudari perempuannya, Sarpakenaka, saat berdiri dengan marah di depannya. Ia tak punya hidung atau telinga, dan wajahnya jauh lebih tua. Rambutnya memutih dalam seminggu; suaranya berbeda, lebih sedih. Jika ia mengenalnya dengan apapun, itu lantaran api di matanya. Ia berdiri dengan tangan di pinggul, menatap tajam ke arah kakaknya. Ia berkata dengan nyaring, 'Engkau menyebut dirimu seorang Kaisar. Engkau mengatakan Indra itu, anak-buahmu. Tetapi engkau cuma seorang Kaisar para selirmu, karena engkau tak tahu apapun yang terjadi di luar pintu istanamu. Tahukah engkai, hai Kaisar, kekuatan apa yang menghancurkan kekuatan Janasthana seolah-olah tak pernah ada? Seorang lelaki: satu lelaki, seorang Rama. Dan lihat apa yang saudaranya, Laksmana, lakukan padaku. Bersama mereka, juga, istri Rama, Sita. Ia cantik. Miliknyalah keindahan yang dengannya, segala keindahan lainnya dapat diukur. Engkau belum melihat Sita. Ia membuat pesona orang lain, tampak seperti bintang yang berkelap-kelip sia-sia di samping bulan purnama.'Sarpakenaka mengenal kakaknya dengan baik, terutama kelemahannya. Ia mencondongkan tubuh ke dekatnya, dan berbisik, 'Sita, wanita untukmu! Ia milik ranjangmu. Aku berusaha menangkapnya untukmu; saat itulah, Laksmana merusak wajahku. Jika engkau tak percaya padaku, pergi dan lihatlah ia, sekali saja. Lalu bilang padaku, jika engkau tak kehilangan hati. Ia terlahir untukmu; takdirmu memanggilmu, Rahwana. Pergi dan bunuhlah para ksatria yang sombong, dan bawa Sita pulang ke Alengka, menghiasi para selir dan hidupmu.’ Rahwana menepuk tangannya; ia mengangguk menandakan keputusannya telah ia tetapkan.Rahwana nggak mood memperhatikan nasihat Marica, walau sekali lagi, Maricha memperingatkannya, 'Rahwana, engkaulah rakshasa yang paling sombong dan tak berperasaan, dan engkau bakal segera terbaring mati di bumi, tertusuk panah Rama.' Rahwana ingin melihat Sita: memilikinya secepat mungkin. Rahwana bangkit dan meraba pedangnya dengan penuh arti. Ia berkata, 'Mari kita pergi.' Mereka naik ke kereta dan terbang laksana angin menuju Pancawati. Kaisar para rakshasa, membantu Marica keluar dari kereta. Ia berbisik, 'Sekarang, paman, ubah dirimu!' Marica menutup matanya dengan doa. Ia memfokuskan maya saktinya, pada tubuhnya sendiri. Ia menjadi rusa emas, dengan pesonanya memasuki asrama Pancawati.Sita keluar dari asrama hendak mengumpulkan bunga. Tiba-tiba, rusa emas keluar dari balik pohon. Sita hampir menjatuhkan keranjangnya. Matanya terpaku pada makhluk yang mempesona itu. Ia memanggilnya, sebagaimana yang ia lakukan pada rusa lain yang sering mengunjungi asrama. Tapi binatang ini, tampak tak memahaminya. Dengan girang, Sita memanggil Rama dan Laksmana. Sang rusa berdiri gemetar, cukup dekat dengannya, lalu berlari agak jauh, ketika melihat para pangeran datang. Ketika Laksmana melihat rusa jantan emas, ia berhenti, cemberut. Ia berkata kepada saudaranya, 'Hati-hati, Rama, ini bukan rusa. Aku tak tahu mengapa, tapi anehnya, aku merasa yakin bahwa, ia teman lama kita, Marica.’Tapi Sita menangis, 'Oh Rama, lihat saja makhluk ini. Betapa cantiknya. Aku tak pernah menginginkan apapun seperti rusa ini. Ia bisa menjadi pendamping bagiku di sini, dan keajaiban ketika kita membawanya kembali ke Ayodya. Kumohon, bawa ia hidup-hidup untukku.’Saat Rama melihat sang rusa, ia pun tersihir. Bagaimana bisa sesuatu yang begitu indah tak terlukiskan menjadi jahat?Ia berkata kepada Laksmana, 'Aku rasa, engkau mungkin benar, Laksmana. Ada firasat jahat tentang rusa emas ini. Kepastian tumbuh padaku juga, bahwa ia, Marica. Aku akan mengikutiku, dan kupikir, membunuhnya.' Sang rusa jantan melesat pergi ke hutan. Busur di tangan, Rama berlari mengejarnya. Sita berdiri melambai padanya. Rama melambai kembali padanya untuk terakhir kalinya dan hilang dari pandangan, saat ia mengejar rusa emas ke dalam hutan yang lebih lebat di sekitar Pancawati.Pengejaran terus berlanjut. Sang rusa membawa Rama semakin jauh dari asrama. Satu jam dan Rama yakin, sang rakshasa mengarahkannya pada pengejaran ini. Dengan mantra lembut, Rama menarik astra dari tabungnya. Ia tak perlu menunggu lama. Rusa jantan emas melangkah ke rawa, cukup dekat membuatnya mengejarnya lagi, terlalu jauh untuk direngkuh. Sekejap berpikir, Rama mengangkat busurnya dan menembakkan astra ke jantung sang makhluk. Dengan teriakan yang menyeramkan, Marica tersungkur, tubuhnya menjadi rakshasa lagi, terbelah hampir menjadi dua oleh batang api. Ia berbaring terengah-engah, sekarat. Namun sebelum nyawanya lepas, Marica sang penyihir, menoleh ke belakang dan, dengan suara yang mirip dengan suara Rama, berteriak dengan tajam, 'Sita! Laksmana! Tolong aku!’ Saat berikutnya, ia pun mati.Di Pancawati, di tepi semak belukar, di sekitar asrama, Sita mendengar Marica berteriak dan berseru, 'Itu Rama. Bergegaslah padanya, Laksmana!’ Tapi Laksmana berdiri diam, hingga Sita berkata dengan marah, 'Jadi, kamu sama sekali tak menyayangi saudaramu. Engkau ingin ia mati, bukan, sehingga engkau bisa memperistrikanku?’ Laksmana meringis. Ia melipat tangannya ke arahnya, dan menangis, 'Sita, bagaimana bisa engkau memikirkan ini tentang aku?' Namun Sita hanya memelototinya, dan berteriak, 'Pergilah! Jika engkau ingin aku mempercayaimu.’ Air mata di matanya, menoleh ke belakang untuk melihat apakah ia akan mengalah, Laksmana menngikuti teriakan yang mengerikan itu, ke dalam belantara.Untuk kali pertama, Rahwana melihat Sita dan ia meradang. Dipenuhi dengan cinta dari wanita manapun yang ia inginkan, dari wanita tercantik dari semua ras, itulah era ketika Rahwana tergerak oleh hasrat seperti yang menguasainya sekarang. Ia tahu waktunya singkat; ia terbatuk pelan di belakangnya. Sita berbalik sambil menangis, mengira Rama telah kembali. Dengan geraman, ia menangkap Sita. Dengan mudah seolah-olah masih kecil, ia menyampirkannya di bahunya dan berjalan ke tempat keretanya menunggu. Tanpa bersuara, kereta bagal itu, lepas landas dan Sita melihat bumi semakin mendalu. Kemudian, kereta tersebut, terbang dan melesat ke Selatan. menembus awang-awang menuju Alengka yang jauh dan eksotis.
Kutipan dan Rujukan:
- Ramesh Menon, The Ramayana:A modern Translation, HarperCollins
- Bibeck Debroy, The Valmiki Ramayana, Penguin Books