“Sekali lagi, kata bijak bukanlah milik pribadi siapapun. Adakalanya, Allah menyebabkan orang yang dianggap tak berpendidikan, mengucapkan kata-kata bijak sehingga orang yang sangat terpelajar pun, beroleh manfaat darinya. Jika Allah Menghendaki, maka Dia, Subhanahu wa Ta'ala, memperbaharui seorang alim melalui wanita yang, di masa lalu, dipandang tak lengkap kecerdasannya," sang Purnama mengekspresikan sebuah topik, usai mengucapkan Basmalah dan Salam. "Riwayat berikut," tambahnya, "membuktikan bahwa kaum perempuan, dapat berwawasan yang hebat dan sangat cerdas. Kearifan dan wawasan yang luas, ditemukan pula pada kaum wanita. Terkadang, mereka terbukti lebih cerdas dan bijak dibanding kaum pria. Kisah berikut, tentang seorang ulama Bani Isra'il yang dibawa kembali oleh seorang wanita, ke jalan yang benar.
Yahya bin Sa'id menyampaikan bahwa Qasim bin Muhammad berkata, 'Istriku meninggal dan Muhammad bin Ka'b Al-Qurazi datang berbela sungkawa denganku. Ia mengisahkan kepadaku bahwa di antara Bani lsra'il ada seorang alim, orang terpelajar yang memiliki otoritas [dalam agama]. Ia mempunyai seorang istri yang sangat ia cintai. Sang isteri meninggal dan ia merasa sangat terguncang, sehingga ia mengurung diri di rumahnya, menahan-diri dari pengejaran duniawi dan menghindari bertemu siapapun. Tiada seorangpun yang boleh mengunjunginya.'
Dalam perspektif Islam, bertentangan dengan Syariah bila kita menyerah pada kesedihan dan kenestapaan, sedemikian rupa sehingga kita tak dapat melaksanakan kewajiban agama dan kewajiban lain yang diperlukan. Hal tersebut, tak diridhai Allah. Dan itulah perbuatan tercela. Sebab hamba yang bersedih itu, menunjukkan dari perilakunya, bahwa ia tak puas dengan keridhaan Allah. Perbuatan inilah dosa besar. Sikapnya, juga menyiratkan bahwa ia tak berbesar-hati dengan apa yang telah ditakdirkan.
Menyampaikan bela-sungkawa, merupakan hak orang-orang terdekat. Merupakan pula perintah Syariah agar berbela-sungkawa dengan yang berduka dan berbagi dengannya. Kata-kata yang menghibur, bisa terucap saat berbela-sungkawa. Inilah yang dilakukan Muhammad bin Ka'b Al-Qurazi saat menghibur Qasim bin Muhammad.
Riwayat ini, menyampaikan pula pada kita bahwa, bahkan orang yang terpelajar dan shalih, terkadang tak menyadari dan kehilangan mata rantai ilmu mereka untuk sementara waktu. Namun, mereka dapat seketika tersadarkan, bila ada sentilan-sentilan kecil.
Selan itu, tidaklah pantas mencintai istri seseorang secara mendalam. Walaupun ia berhak atasnya. Hal ini merupakan sarana kesucian dan kerendahan-hati. Namun demikian, sangat penting bahwa seseorang tak boleh membiarkan cintanya kepada istrinya, melebihi kewajibannya kepada Allah dan perintah-Nya, dan ia tak boleh mengabaikan perintah-perintah Syariah oleh cintanya kepada istrinya. Jika cintanya kepada istrinya, menyebabkan ia melalaikan Syariah atau berbuat dosa, maka cinta seperti itu, tak diperkenankan dan melanggar hukum syariah.
Ada seorang wanita yang mendengar tentangnya. Ia mendatangi sang alim dan berkata, 'Aku ada perlu dengannya. Aku ingin meminta fatwa, tak bisa diwakilkan.'
Sementara yang lain pergi, namun sang wanita tetap menunggu di pintu. Ia berkata, 'Aku harus bertemu dengannya'.
Seseorang menyampaikan kepada sang alim, 'Ada seorang wanita di pintu yang ingin meminta fatwamu. Wanita itu berkata bahwa ia hanya ingin berbicara denganmu.'
Orang-orang telah bubar sementara ia tetap di pintu. Sang alim pun berkata, 'Perkenankan ia masuk!'
Sang wanita masuk dan berkata, 'Aku datang untuk meminta fatwamu dalam suatu perkara.' Sang alim bertanya, 'Apa itu?'
Sang wanita berkata, 'Aku meminjam perhiasan dari tetanggaku. Aku memakainya dan meminjamkannya beberapa waktu, kemudian mereka memintaku agar mengembalikannya. Haruskah aku mengembalikannya?'
Sang alim menjawab, 'Ya, demi Allah.' Sang wanita berkata, 'Perhiasan itu telah berada padaku selama beberapa waktu.' Sang alim menjawab, 'Yang demikian itu, lebih wajib atasmu mengembalikannya pada mereka ketika mereka meminjamkannya beberapa waktu.' Sang wanita berkata, 'Semoga Allah merahmatimu. Tidakkah engkau menyesali apa yang Allah pinjamkan kepadamu, lalu Dia mengambilnya darimu sementara Dia lebih berhak daripada dirimu?' Sang alim tersadar dari kekeliruannya dan ucapan wanita tersebut, sangat bermanfaat baginya.' [Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Muwatta; Shahih menurut Syaikh Syuaib Al-Arnauth]
Dalam konteks ini, sang wanita menggunakan dua pendekatan untuk menyampaikan pesan-pesannya. Pertama dengan sebuah metafora, dan kedua, dengan langsung mengingatkan. Ia menunjukkan perkataan yang bijak dan tanpa kepura-puraan kepada seorang alim. Bahkan, ia terbukti telah menggunakan pendekatan psikologis untuk menyampaikan padanya realitas kehidupan dan ia berhasil membawanya keluar dari keadaan terguncangnya.
Kadangkala, ada kewajiban orang-orang berakal mengingatkan, dalam konteks ini, para ulama, dengan santun dan bijak, jika mereka melakukan sesuatu oleh ketidaktahuan atau keterlupaan. Namun dalam kesempatan lain, diperlukan cara yang efektif dan terbaik guna menyampaikan sebuah pesan. Sang wanita dengan sangat arif mengingatkan sang alim apa yang semestinya ia lakukan. Ia tahu betul bahwa jika para ulama menyerah pada ketidaksadaran, maka ia bisa menjadi penyebab ketidaksadaran semua orang di seluruh jagad-raya. Ia tahu bahwa ia harus berusaha mengeluarkannya dari kedaan itu. Ia juga tahu bahwa sangat penting membawanya kembali pada kenyataan, dan itulah sebabnya, ia tak ragu merendahkan martabatnya, berdiri di depan pintu rumah sang alim.
Tiada larangan bagi kaum wanita, bila mereka berusaha mengajarkan dan menyebarkan kebaikan kepada manusia, asalkan ia bisa menjaga diri dari kemudharatan dan tak terjerumus ke dalam hal yang tak diperbolehkan."
Sang Purnama menyimpulkan kisahnya, "Adakalanya, kita menggunakan contoh dan perumpamaan untuk menyampaikan sebuah pesan. Seringkali, contoh dan perumpamaan mengungkap fakta. Al-Qur'an kerap menggunakan perumpamaan-perumpamaan guna menjelaskan Kebenarannya, dan di sisi lain, secara langsung mengingatkan. Rasulullah (ﷺ) sering menjelaskan ajarannya dengan memberikan contoh-contoh, dan pula, teguran langsung. Memang, ada situasi yang mengharuskan kita berbicara terus-terang. Yang terpenting, bagaimana menyampaikan pesan atau argumen, baik dalam bentuk tulisan maupun ucapan, secara efektif dan dengan cara yang lebih baik, kepada para pendengar, dan tentulah, dengan mengikuti estetika dan etika yang baik, agar pesan kita, mudah diterima. Wallahu a'lam.”
Kutipan & Rujukan:
- Mohammad Zakariya Iqbal, Stories from the Hadith, Darul Isha'at