“Rezim Otoriter, telah ada selama ratusan tahun, seperti yang ditunjukkan oleh para Firaun Mesir kuno, Kaisar Roma, dan para monarki Eropa. Namun, rezim Otoriter saat ini, telah berkembang pesat sejak pendahulunya memerintah berabad-abad yang lalu. Lantas, apa itu Rezim Otoriter?" sang Purnama bertanya usai mengucapkan Basmalah dan Salam.
“Dan suatu malam, cahayaku terfokus pada sebuah hutan, dan tersiar khabar bahwa seekor Singa tua, yang gigi dan cakarnya sudah sangat lecek, sehingga tak mudah baginya memperoleh makanan seperti di masa mudanya, berpura-pura sakit. Ia mengumumkan bahwa ia sedang sakit dan memanggil para satwa agar datang dan mendengarkan Wasiat dan Warisan terakhirnya. Sang domba mendatangi gua sang Singa, masuk dan lamaa banget, nggak k'luar-k'luar. Kemudian, seekor kambing masuk, dan sebelum ia keluar, seekor Anak Sapi datang untuk menerima permintaan terakhir sang Raja Marga-satwa.
Banyak yang masuk, akan tetapi, diamati bahwa sang Rubah, dengan sangat berhati-hati, menjauhkan-diri. Sang Singa menyadari ketidakhadirannya, dan mengutus salah seekor Serigalanya, menyampaikan bahwa sang Rubah telah menunjukkan bahwa ia tak peka terhadap motif penghargaan dan kemurahan-hati, dengan datang dan menunaikan tugasnya seperti yang lain. Sang Rubah meminta sang Serigala agar menyampaikan penghormatan yang tulus darinya, kepada sang majikan, dan mengatakan bahwa ia sudah lebih dari sekali ingin menemuinya, namun ia sebenarnya telah mengamati bahwa semua jejak-kaki di mulut gua, menngarah ke dalam, namun tak ada yang keluar, dan lantaran ia tak mampu menjelaskan fakta itu, untuk memuaskan kekepoannya, ia memutuskan mengambil kebebasan agar tak masuk ke dalam gua.
Mendengar ini, sang Singa bergegas keluar ke mulut guanya. Ia menemui sang Rubah, yang telah menunggu di luar selama beberapa waktu. 'Mengapa engkau tak masuk memberi hormat kepadaku?' tanya sang Singa kepada sang Rubah. 'Maafkan Yang Mulia,' kata sang Rubah, 'sebelum aku masuk, maukah Yang Mulia mendengarkan apa yang akan kukatakan?'
'Tentu saja, aku pendengar yang baik!' jawab sang Singa. Sang Rubah berkata, 'Di alam manusia, ada banyak cara para pakar mendefinisikan rezim Otoriter. Rezim itu, 'seperangkat aturan formal dan informal dasar yang menentukan siapa yang mempengaruhi pilihan pemimpin—termasuk aturan yang mengidentifikasi kelompok darimana para pemimpin dapat dipilih—dan kebijakan.' Suatu rezim dikatakan otoriter, jika eksekutif mencapai kekuasaan melalui cara-cara yang tak demokratis, yaitu, segala cara selain pemilihan langsung yang relatif bebas dan adil (misalnya, Kuba di bawah Castro bersaudara); atau jika eksekutif mencapai kekuasaan melalui pemilihan umum yang bebas dan adil, tetapi kemudian merubah aturan sedemikian rupa, sehingga persaingan elektoral berikutnya (baik legislatif maupun eksekutif), dibatasi. Dengan kata lain, dalam definisi operasional Rezim Otoriter, faktor pembeda yang membedakan Rezim Otoriter dari Rezim Demokratis itu, ialah bahwa adakah pemilihan pemerintah, terjadi melalui pemilihan yang bebas dan adil.
Definisi ini minimalis. Ia tak mengintegrasikan pelanggaran hak asasi manusia atau tindakan represif, kecuali jika hal itu berkaitan dengan kemampuan pihak oposisi punya peluang yang wajar untuk bersaing dalam proses pemilihan. Ia tak mengatakan apa-apa tentang tingkat kekayaan, keterbukaan ekonomi, stabilitas politik, atau kapasitas negara. Namun Namun definisi ini konsisten, dengan sebagian besar penelitian arus utama tentang politik otoriter, dimana demokrasi adalah rezim dimana 'mereka yang memerintah dipilih melalui pemilihan umum yang diperebutkan' dan rezim otoriter, ''bukanlah demokrasi.'
Di bawah definisi rezim otoriter ini, banyak pemimpin bisa datang dan pergi dalam Rezim Otoriter yang sama. China di bawah Partai Komunis China, mencontohkan hal ini dengan baik, seperti halnya Nikaragua di bawah keluarga Somoza. Pada saat yang sama, beberapa rezim otoriter mungkin datang dan pergi dalam mantra otoriter yang sama (atau rentang tahun). Pengalaman Kuba menggambarkan hal ini. Kuba telah menjadi otoriter sejak 1952, tetapi dua rezim otoriter yang berbeda telah memimpinnya selama periode ini: yang pertama di bawah Batista (berkuasa dari 1952 hingga 1959) dan yang kedua di bawah Castro dan kemudian saudaranya (berkuasa dari 1959 hingga sekarang).
Rezim Otoriter yang terdahulu, biasanya menampilkan raja dan kepala suku sebagai satu-satunya individu yang punya kekuasaan; konsentrasi otoritasnya, norma dan ada beberapa upaya untuk berpura-pura sebaliknya. Tujuannya, menunjukkan kendali penuh, bukan menyembunyikannya. Rezim Otoriter yang sekarang ini, sebagai perbandingan, menunjukkan perilaku yang lebih luas. Dalam beberapa kekuatan, sangat terkonsentrasi di tangan seseorang, sementara di lain itu, tersebar di seluruh kelompok kepemimpinan elit. Bahkan dalam kasus dimana ada pemerintahan satu orang, rezim otoriter saat ini, sering berusaha keras menyembunyikan bahwa mereka otoriter. Misalnya, meskipun Yordania dan Qatar saat ini, kediktatoran monarki, yang menggunakan prosedur suksesi turun-temurun untuk menentukan kepemimpinan, tak seperti kediktatoran monarki di masa lalu, mereka menampilkan institusi yang biasanya kita kaitkan dengan demokrasi, seperti legislatif dan pemilu.
Meskipun di masa lalu, para pakar membuat perbedaan yang jelas antara istilah 'rezim otoriter', 'kediktatoran', dan 'otokrasi', penelitian kontemporer semakin menggunakannya secara bergantian.
Adalah umum mengasosiasikan pemilihan multipartai yang diadakan secara teratur dengan demokrasi. Namun, fitur yang menentukan dari demokrasi ialah persaingan pemilihan yang bebas dan adil. Namun, tak semua kompetisi elektoral memenuhi persyaratan ini; semata dengan mengadakan pemilihan multipartai, tak menjamin bahwa kontes tersebut akan bebas dan adil. Pemilihan yang bebas itu, pemilihan dimana sebagian besar penduduk dewasa dapat memilih; pemilu yang adil itu, pemilu dimana banyak partai dapat berpartisipasi dan bersaing di lapangan yang relatif sama, tanpa adanya kecurangan yang meluas. Jika pemerintah melarang sektor populasi tertentu untuk memberikan suara, seperti kelompok etnis tertentu, pemilihan tersebut tak demokratis. Demikian pula, jika pemerintah melarang partai politik besar untuk bersaing, memenjarakan para pemimpinnya, atau mengisi kotak suara guna memastikan kemenangannya sendiri, pemilihan itu, tidak demokratis. Artinya, sangat mungkin pemilu multipartai, tak memenuhi standar kebebasan dan keadilan, dan akibatnya, sangat mungkin terjadi, kontestasi pemilu multipartai dalam konteks otoriter.
Pemilihan multipartai, oleh karenanya, memberi tahu kita sedikit tentang apakah sistem politik suatu negara itu, otoriter atau demokratis. Untuk membuat penilaian seperti itu, membutuhkan lebih banyak detail mengenai sifat dari kontestasi pemilu, serta perilaku pemerintah menjelang dan sesudahnya. Misalnya, pemilu mungkin tampak kompetitif pada hari pemilu, namun menyembunyikan kegiatan tak adil, yang terjadi sebelumnya, seperti petahana yang melarang partai oposisi mengakses media.
Demikian pula, petahana mungkin kalah dalam pemilihan yang kompetitif, namun memilih membatalkan hasilnya dan tetap menjabat. Sederhananya, kompetisi elektoral multipartai, tak menyiratkan pemerintahan yang demokratis.
Faktanya, sebagian besar kediktatoran kontemporer menampilkan institusi yang meniru demokrasi, seperti pemilihan umum dengan banyak partai politik. Meskipun lembaga-lembaga semacam itu, merupakan ciri khas dari rezim 'hibrida', 'zona abu-abu', 'otoritarian elektoral', dan 'otoritarian kompetitif', mereka sebenarnya tak unik bagi bagian dari sistem otoriter ini. Dalam kediktatoran modern, umum untuk melihat pemilihan multipartai yang terjadi secara teratur.
Kebanyakan pakar sepakat bahwa rezim otoriter menggabungkan institusi demokrasi semu untuk tujuan bertahan hidup. Meskipun logika yang dijelaskan mengenai hal ini, bervariasi, bukti menunjukkan bahwa kediktatoran dengan banyak partai politik, legislatif, pemilihan umum reguler, dan sebagainya, bertahan lebih lama dalam kekuasaan daripada mereka yang tak memilikinya.
Sehubungan dengan manfaat kelangsungan hidup mereka, dinamika geopolitik pasca-Perang Dingin, juga telah mendorong rezim otoriter mengadopsi lembaga-lembaga demokrasi semu. Pada tahun 1970, misalnya, 59 persen dari semua kediktatoran mengadakan pemilihan umum dengan banyak partai politik. Pada 2008, 83 persen dari semua kediktatoran melakukannya. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar kediktatoran saat ini, menampilkan kompetisi pemilihan multipartai."
Sang Singa bertanya, 'Siapakah aktor kunci dalam Rezim Otoriter?' Sang Rubah menjawab, 'Politik dalam rezim otoriter, biasanya berpusat pada interaksi tiga aktor: sang pemimpin, para elit, dan kalangan massa. Pemimpinnya, individu yang bertanggung jawab atas rezim. Namun, pemimpin tak dapat mempertahankan posisi ini, tanpa dukungan yang lain. Dalam kediktatoran, individu-individu yang memerlukan dukungan pemimpin agar tetap berkuasa, dikenal sebagai kaum elit (sering disebut dalam kolektif sebagai koalisi elit, kelompok pendukung, kelompok kepemimpinan, atau koalisi pemenang). Istilah 'elit' dapat bermakna banyak hal, namun dalam konteks ini, secara khusus mengacu pada individu yang merupakan bagian dari kelompok pendukung pemimpin. Masa jabatan pemimpin, bergantung pada dukungan kelompok ini. Jumlah pasti elit yang dibutuhkan seorang pemimpin guna mempertahankan kekuasaan, tak diketahui; kemungkinan bervariasi dari satu lingkungan ke lingkungan berikutnya. Massa adalah warga biasa yang hidup dalam rezim otoriter, setidaknya, sebagian dari mereka, membutuhkan dukungan rezim agar tetap bertahan. Seperti halnya kaum elit, berapa banyak warga yang mendukung kediktatoran demi mempertahankan kekuasaan, tak diketahui, dan boleh jadi, tergantung pada keadaan. Dalam demokrasi, aturan formal menetapkan kekuasaan yang didelegasikan kepada aktor politik utama dan bagaimana aktor ini, dipilih dan digulingkan. Yang terpenting, aturan ini, biasanya diikuti dalam praktik. Akibatnya, biasanya cukup mudah mengidentifikasi siapa aktor politik utama, serta dukungan siapa yang mereka butuhkan demi mempertahankan kekuasaan. Proses penyingkiran aktor-aktor politik kunci dari kekuasaan, secara umum dijabarkan dengan jelas, memberikan wawasan kepada para pengamat tentang bagaimana seseorang akan bermain.
Sebaliknya, dalam kediktatoran, ciri-ciri dasar sistem politik seperti ini, seringkali tak jelas. Politik informal adalah norma. Aturan formal biasanya ada, namun kerapkali tak memandu perilaku dalam praktik. Banyak keputusan besar dibuat di balik pintu tertutup, sehingga sulit mengenali siapa aktor politik utama, tepatnya dukungan siapa yang mereka butuhkan untuk mempertahankan posisi mereka, dan protokol yang diikuti untuk memilih atau menghapusnya.
Sementara hal yang mudah, mengidentifikasi siapa massa dalam kediktatoran, mengidentifikasi siapa elit, acapkali merupakan permainan tebak-tebakan. Pengamat biasanya memahami tentang sifat kelompok yang lebih luas darimana para elit diambil (seperti partai politik tertentu atau cabang militer), namun kurang mengetahui secara pasti, siapa individu-individu ini, dan seberapa besar pengaruh yang mereka pegang. Bahkan mengidentifikasi siapa pemimpinnya, dapat menjadi tantangan dalam kediktatoran.
Sifat pemerintahan otoriter dapat mengaburkan garis wewenang, sehingga sulit mengidentifikasi hal-hal mendasar yang ingin kita ketahui tentang rezim otoriter. Meskipun kita tahu bahwa pemimpin, elit, dan massa itu, tiga aktor sentral dalam kediktatoran secara teori, kita sering tak mengetahui, identitas elit dan bahkan pemimpin dalam praktiknya.
Sang Singa bertanya, 'Apa tujuan utama para aktor ini?' Rubah menjawab, 'Para pemimpin dan elit dalam kediktatoran, menginginkan kekuasaan dan pengaruh, seperti yang mereka lakukan di negara demokrasi. Oleh karenanya, mereka terlibat dalam usaha terus-menerus demi kekuasaan, dengan masing-masing bersaing bagi pengaruh politik yang lebih besar dari yang lain. Tak semata elit yang bersaing dengan diktator, tetapi mereka saling-bersaing pula. Di tengah lingkungan yang kejam ini, para pemimpin dan elit, harus mengamankan dan mempertahankan dukungan dari segmen-segmen kunci massa, seraya memastikan bahwa orang yang menentang mereka, belum mencapai ukuran kritis. Apa yang diinginkan massa lebih rumit, meskipun seringkali bermuara pada dasar-dasarnya, seperti apakah mereka lebih baik hari ini, dibanding kemarin.
Motivasi utama para pemimpin otoriter itu, agar tetap menjabat. Mereka menggunakan berbagai taktik guna melakukannya, termasuk membatalkan pemilihan, memperpanjang batas masa jabatan presiden, dan mengesampingkan mereka yang dapat secara serius menantang mereka. Tak seperti para pemimpin demokratis, yang posisinya dilindungi oleh aturan formal, yang membuat mereka sulit diberhentikan sebelum waktunya habis, para pemimpin otoriter, menghadapi ancaman penggulingan terus-menerus, baik di tangan elit maupun massa.
Para pemimpin otoriter biasanya menilai bahwa ancaman paling dekat terhadap kekuasaan mereka, berasal dari para elit. Kelompok yang dukungannya mereka butuhkan agar tetap menjabat, ironisnya, merupakan pula kelompok yang paling mereka takuti. Akan tetapi, tujuan utama para elit itu, memaksimalkan kekuasaan. Para elit saling-bersaing mendapatkan pengaruh politik yang paling besar, selain itu, menyusun pula rencana menemukan cara agar mereka sendiri dapat mengamankan kepemimpinan. Karena alasan ini, koalisi elit menjadi ancaman serius bagi masa jabatan para pemimpin. Memang, sebagian besar diktator telah digulingkan oleh kudeta internal yang bertentangan dengan pemberontakan rakyat. Sebagaimana yang diutarakan Winston Churchill bertahun-tahun yang lalu, 'Para diktator, ke sana kemari naik di atas harimau, yang mereka tak berani turun darinya.'
Para elit adalah saingan politik utama para diktator dan, akibatnya, sumber utama ketidakamanan mereka. Para pemimpin terlibat dalam berbagai taktik guna mengurangi ancaman yang ditimbulkan oleh para elit terhadap pemerintahan mereka.
Penggulingan pemimpin otoriter yang dipimpin massa, secara historis jauh lebih jarang terjadi daripada penggulingan yang didorong oleh elit. Oleh alasan ini, para pemimpin cenderung memprioritaskan meminimalkan kemungkinan elit akan menggulingkan mereka. Namun, pemberontakan massal tak pernah terdengar, seperti yang digambarkan oleh gelombang revolusi selama Arab Spring pada tahun 2011. Oleh sebab itu, para pemimpin otoriter, tak dapat sepenuhnya mengabaikan sentimen massa. Karena penggulingan pemimpin yang dipimpin oleh massa, biasanya membawa seluruh rezim bersama mereka, para elit juga tak dapat mengabaikan massa.
Tujuan massa seringkali beragam, tapi biasanya berpusat pada kebutuhan dasar, seperti keinginan diberi makan, atap untuk tidur, dan keamanan. Ini bukan mengatakan bahwa khalayak massa dalam rezim otoriter tak menginginkan hak politik yang lebih besar, namun semata bahwa masalah ekonomi sering mengalahkan yang lainnya.
Ketika menilai bagaimana menarik dukungan khalayak massa, para pemimpin dan elit sangat strategis. Mereka tak membutuhkan semua anggota masyarakat agar menyukai apa yang mereka lakukan, hanya sektor-sektor kunci. Akan selalu ada warga yang menentang mereka. Rezim otoriter memiliki berbagai alat yang mereka punyai, guna membungkam dan mengesampingkan individu tersebut, serta sumber daya yang substansial untuk melakukannya.
Inilah ringkasan singkat dan umum dari tujuan para aktor utama dalam rezim otoriter. Tak semua rezim otoriter akan sesuai dengan cetakan ini, akan tetapi, inilah gambaran yang cukup akurat tentang dinamika politik yang luas dan yang di kebanyakan mereka.
Sang Singa bertanya, 'Apa perbedaan antara Pemimpin Otoritarian dan Rezim Otoritarian?' Sang Rubah menjawab, 'Seorang pemimpin otoriter adalah individu yang memimpin rezim otoriter. Rezim otoriter, konsepnya lebih luas. Ia terdiri dari aturan dasar (baik formal maupun informal) yang mengontrol pilihan dan kebijakan kepemimpinan. Terkadang pemimpin dan rezim tak bisa dibedakan, seperti di Irak di bawah Saddam Hussein. Namun di lain waktu, banyak pemimpin datang dan pergi selama masa hidup satu rezim, seperti di Uni Soviet.
Penting membedakan pemimpin otoriter dari rezim otoriter, sebab ada dua alasan. Pertama, asumsi bahwa pemimpin otoriter, identik dengan rezim yang mereka kuasai, menutupi variasi besar yang ada dalam sifat hubungan pemimpin-elit dalam kediktatoran. Meskipun dalam beberapa konteks, lokus kekuasaan dalam rezim otoriter, secara tegas berada di tangan pemimpin, seperti di Belarus di bawah Alexander Lukashenko, di lain pihak, para pemimpin harus berbagi kekuasaan dengan anggota kelompok kepemimpinan lainnya. Di Vietnam, misalnya, Sekretaris Jenderal Partai Komunis, Nguyen Phu Trong, memberikan pengaruh besar atas pilihan-pilihan utama, tetapi anggota politbiro masih mempertahankan pengaruhnya. Untuk lebih jelasnya, para pemimpin hampir selalu menggunakan lebih banyak kekuatan secara tak proporsional daripada yang dilakukan oleh para elit, tapi di beberapa lingkungan otoriter ini, lebih miring daripada di lingkungan lain. Fokus pada kepemimpinan otoriter yang mengabaikan konsep yang lebih luas dari rezim otoriter, akan kehilangan variasi kunci ini.
Kedua, dan dalam nada yang agak mirip, rezim otoriter seringkali bertahan lebih lama daripada masa jabatan pemimpin tunggal mana pun. Meskipun demikian, pengamat sering berasumsi bahwa jatuhnya pemimpin, menyiratkan jatuhnya rezim. Agar adil, ada sejumlah contoh nyata yang muncul dalam pikiran tentang penggulingan seorang pemimpin yang mengantarkan perubahan mendasar pada rezim. Di Iran, protes yang meluas pada tahun 1979 menyebabkan penggulingan Shah Iran. Sekelompok ulama Muslim mengambil kendali sesudahnya, membawa pada kekuasaan kelompok elit dan aturan dan norma yang berbeda secara radikal untuk memilih pemimpin dan kebijakan. Di Rumania pada tahun 1989, pasukan keamanan mengeksekusi pemimpin saat itu, Nicolae Ceausescu, setelah berminggu-minggu kerusuhan. Ini membuka jalan bagi pemilihan demokratis, yang diadakan tahun berikutnya. Dalam contoh pertama, penggulingan pemimpin menyebabkan pembentukan rezim otoriter baru, sementara yang kedua, menyebabkan demokratisasi.
Terlepas dari kasus-kasus terkenal ini, hanya setengah dari semua transisi kepemimpinan otoriter yang menghasilkan perubahan rezim otoriter. Sisa waktu, pemimpin meninggalkan kekuasaan tetapi rezim tetap utuh. Di Myanmar, misalnya, militer menggulingkan Jenderal Saw Maung pada tahun 1992. Jenderal Than Shwe, juga seorang perwira militer dan anggota elit Dewan Pemulihan Hukum dan Ketertiban Negara, segera menggantikannya. Kelompok elit yang sama mengendalikan Myanmar meskipun ada transisi kepemimpinan; tidak ada perubahan rezim. Perubahan kepemimpinan intrarezim, ternyata, cukup umum.
Frekuensi para pemimpin otoriter meninggalkan kekuasaan tanpa mengacaukan rezim yang pernah mereka pimpin, menunjukkan bahwa menggabungkan pemimpin otoriter dengan rezim otoriter, berpotensi mendistorsi pemahaman kita tentang kerentanan rezim otoriter. Hal ini penting, sebab menunjukkan bahwa upaya internasional guna menggoyahkan kediktatoran, menekan mereka agar melakukan demokratisasi, atau mengubah perilaku mereka yang berfokus pada pemimpin sebagai unit analisis, mungkin tak berhasil membawa efek yang diinginkan.'"