“Seorang guru sedang mengajar Teori Negara, bertanya kepada para siswanya, ''Kapan presiden disebut sebagai tukang kebun yang baik?''Sewaktu ia tahu, cara mengatasi persoalan akar-rumput!' jawab salah seorang siswa.'Dan kenapa presiden gak percaya sama pohon?' sang guru nanya lagi.'Karena pohon selalu adem-ayem,' siswa lain menanggapi.""Pemilik usaha seringkali menghadapi berbagai kegamangan dan tantangan, ada tiga kegentaran umum yang dihadapi pengusaha dan pemilik usaha: pertama, cemas terhadap perubahan. Boleh jadi, perubahan itu, menakutkan. Otak kita dirancang menolaknya lantaran ia mengancam status quo kita. Namun, merangkul inovasi dan kemajuan, amat penting bagi pertumbuhan bisnis. Agar mengatasi kebimbangan ini, maka sadarilah bahwa perubahan tak dapat dielakkan dan carilah cara beradaptasi dan memanfaatkannya. Kedua, takut gagal. Jeri terhadap kegagalan, dapat melumpuhkan kita. Kita khawatir akan rasa malu dan kehilangan segalanya. Daripada terus memikirkan kegagalan, pertimbangkan pertanyaan berikut: Akankah dikau menyesal tak memanfaatkan kesempatan ini dalam 10 tahun? Jika engkau gagal, hal terburuk apa yang mungkin terjadi? Punya 'back-up plan' dapat meningkatkan kepercayaan dirimu dan mendorongmu agar mencoba hal-hal baru. Ketiga, takut tak punya cukup pengetahuan. Wajar jika dirimu merasa tak mengetahui segalanya. Setiap orang punya titik buta, dan menuntut ilmu itu, tanda pertumbuhan.Dalam perspektif yang lebih luas, negara, seperti halnya individu, mengalami berbagai ketakutan yang dapat mempengaruhi perilaku dan pengambilan keputusan mereka. Ada tiga kekhawatiran umum yang dihadapi banyak negara. Pertama, takut akan Kegagalan. Baik itu gagalnya kebijakan, kemerosotan ekonomi, atau kekalahan militer, konsekuensinya bisa sangat besar. Ketakutan ini, dapat menjadikan negara bermain aman, tak mau ambil risiko, dan lebih memprioritaskan stabilitas ketimbang inovasi. Kedua, takut akan Keberhasilan. Anehnya, keberhasilan dapat menjadi hal yang menakutkan negara. Pencapaian keberhasilan seringkali menimbulkan peningkatan visibilitas dan tanggungjawab. Takut akan keberhasilan terkadang dapat melemahkan pencapaian yang diperjuangkan. Ketiga, takut akan Ketidakpastian mengenai masa depan. Takut terhadap kejadian yang tak terduga, perubahan geopolitik, dan ancaman yang muncul. Ketakutan ini, mendorong negara-negara berinvestasi dalam bidang intelijen, diplomasi, dan kesiapan militer memitigasi risiko dan menjaga stabilitas.Ketakutan ini tak bersifat universal, dan kekhawatiran masing-masing negara mungkin berbeda-beda berdasarkan keadaan unik dan konteks sejarahnya,” berkata Kenanga sembari memperhatikan obelisk Monas yang dibangun untuk memperingati perjuangan kemerdekaan Indonesia. Akankah ia dipersewakan kepada pihak ketiga beserta aset-aset negara lainnya? Pemerintah Indonesia telah membelanjakan banyak uang bagi pembiayaan politiknya, lantas, masih adakah uang yang tersisa bagi rakyatnya? Kata mereka, banyak orang tak menyukai tiga hal ini: batok kepala kosong, tong kosong dan kantong kosong. Dan tetap saja, Bunda Pertiwi sedang bersusah-hati."Memang, secara faktual Bangsa Indonesia terus bergulat dalam paradoks, tulis seorang tokoh pers Indonesia, Sabam Leo Batubara. Pergulatan itu, untuk mewujudkan tujuan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yakni satu nusa, satu bangsa, satu bahasa persatuan. NKRI juga bercita-cita menjadikan segenap anak bangsa, tanpa kecuali, menjadi makmur, sejahtera dan maju, memperoleh keadilan dan mendapatkan perlindungan untuk memperoleh rasa aman. Tetapi realisasinya masih dalam pergulatan. Pergulatan itu, penuh paradoks.Di satu sisi, paradoks itu menyenangkan, kata R. M. Sainsbury, dalam banyak peristiwa, paradoks mudah diungkapkan dan langsung memancing seseorang agar mencoba 'menyelesaikannya'. Sainsbury mendefinisikan suatu paradoks sebagai kesimpulan yang tak dapat diterima, yang diperoleh dari dalil yang tampaknya dapat diterima, dari premis-premis yang, tampaknya, dapat pula diterima. Penampakan-penampakannya memperdaya, sebab apa yang dapat diterima, tak dapat mengarahkan langkah yang dapat diterima, menuju sesuatu yang tak dapat diterima. Karenanya, secara umum, pilihan kita ialah: kesimpulannya, atau titik awalnya, atau alasannya, tak dapat diterima, ia punya cacat yang kabur. Suatu Paradoks merupakan keadaan atau pernyataan, yang terkesan mustahil atau sulit dipahami lantaran mengandung dua fakta atau sifat yang berlawanan. Ia bagaikan teka-teki mental, yang menantang intuisi dan penalaran logis kita. Banyak paradoks yang menimbulkan masalah filosofis kronis, dan terkait dengan krisis pemikiran dan kemajuan revolusioner.Salah satu paradoks yang paling sulit diatasi ialah salah satu yang amat mudah diungkapkan: paradoks Pembohong. Salah satu versinya, paradoks Pinokio, yang muncul ketika Pinokio berkata 'Sekarang, hidungku mulai memanjang'. Bayangkan, seseorang berkata, 'Apa yang gua omongin itu, bo'ong.' Benar atau salahkah apa yang diucapkannya? Masalahnya, jika ia mengatakan yang sebenarnya, maka ia berbohong. Tapi jika ia berbohong, maka ia mengatakan yang sebenarnya. Keadaan ini memicu kontradiksi. Paradoks ini, konon 'menyiksa banyak pakar logika lawas dan menyebabkan kematian prematur, setidaknya salah seorang di antara mereka, Philetas dari Cos.' Kesenangan itu, dapat melampaui batas.Di sisi lain, paradoks sangatlah lasat. Berbeda dengan party puzzles dan permainan asah-otak, yang juga menyenangkan, paradoks memunculkan masalah gawat. Secara historis, ia diasosiasikan dengan krisis pemikiran dan kemajuan revolusioner. Bergulat dengan hal-hal tersebut, tak sekedar turut-serta dalam permainan intelektual, namun pula, mencengkeram isu-isu kunci.Paradoks muncul dalam beberapa tingkatan, bergantung pada seberapa baik penampakan dapat menyamarkan kenyataan. Mari kita lihat paradoks Tukang Cukur. Coba bayangin, di sebuah desa terpencil di Sisilia, yang dicapai dengan pendakian panjang melalui jalan pegunungan yang terjal, seorang tukang cukur, memangkas seluruh rambut penduduknya, dan penduduk desanya, tak memangkas rambutnya sendiri. Trus, siapa dong yang memangkas rambut sang tukang cukur? Jikalau ia sendiri yang melakukannya, maka ia tak memangkas rambutnya (sebab ia cuma mencukur rambut mereka yang tak memangkas sendiri rambutnya); jika ia tak melakukannya, maka ia memang melakukannya (karena ia memangkas rambut semua orang yang tak memangkas rambutnya sendiri). Pandangan yang tak dapat diterima bahwa ada seorang tukang cukur—seseorang yang memangkas rambutnya sendiri, jika dan hanya jika, ia tak melakukannya. Boleh jadi, cerita ini kedengarannya bisa diterima: cerita ini mengalihkan benak kita, cukup menyenangkan, ke pegunungan di pedalaman Sisilia. Namun, dikala kita melihat konsekuensinya, kita menyadari bahwa cerita tersebut tak mungkin benar: mana mungkin ada tukang cukur atau desa seperti itu. Ceritanya gak bisa diterima. Ia bukanlah paradoks yang dalam, sebab penolakannya terselubung secara tipis oleh pegunungan dan keterpencilan. Semakin dalam paradoksnya, semakin kontroversial pula pertanyaan tentang bagaimana seseorang harus meresponsnya.Beberapa paradoks berkumpul secara alami ke dalam kelompok berdasarkan pokok bahasannya. Paradoks Zeno membentuk satu kelompok, karena semuanya berhubungan dengan ruang, waktu, dan ketidakterbatasan. Zeno, seorang filsuf Yunani kuno, mengajukan beberapa paradoks terkait gerak. Salah satunya mempertautkan Achilles dan kura-kura. Achilles membiarkan kura-kura jalan duluan dalam sebuah perlombaan. Pada saat Achilles mencapai titik awal dimana kura-kura memulainya, kura-kura telah bergerak sedikit lebih jauh. Achilles kemudian menempuh jarak tersebut, namun kura-kura telah bergerak lagi. Proses ini berulang tanpa batas, menunjukkan bahwa Achilles takkan pernah bisa menyamai sang kura-kura.Mari kita lanjut dengan memperhatikan sebuah cerita lama. Theseus punya kapal. Pada saat sebilah papannya keropos, papan tersebut diganti, dan berkat perbaikan tersebut, kapal masih tetap beroperasi. Setelah waktu berjalan, tak ada satupun papan asli yang tersisa. Begitu pula dengan bagian-bagian kapal lainnya—tiang, layar, dan lain sebagainya. Masih adakah kapal Theseus itu? Ada sebuah kapal yang terus beroperasi, dan kita bakal cenderung berpendapat bahwa itu memang kapal Theseus, yang sudah banyak mengalami perbaikan. Namun misalkan, ada seseorang yang menyimpan papan-papannya yang sudah lapuk, lalu bagian-bagian lainnya disusun kembali menjadi sebuah kapal (yang mungkin tak laik berlayar). Lebih pantaskah kapal ini diklaim sebagai kapal asli Theseus? Ada semacam ketidakjelasan di sini. Pertanyaannya: apakah kapal itu sendiri tidak jelas, atau apakah ketidakjelasan itu diakhiri dengan kata 'kapal', sehingga kapal itu sendiri tak bercampur-baur?Singkatnya, jika engkau mengganti setiap bagian kapal seiring berjalannya waktu, masih samakah kapal tersebut? Kendati seluruh bagiannya telah berubah, namun tetap saja, kita cenderung menganggapnya sebagai kapal yang sama.Ada paradoks lain yang disebut Paradoks Moral. Misalkan, kejahatan dalam kategori tertentu (contohnya, pencurian mobil) dihilangkan dengan menetapkan hukuman yang sangat berat (katakanlah, hukuman mati). Hukumannya sangat berat sehingga 100 persen efektif sebagai efek jera: pencurian mobil (atau kejahatan apa pun yang kita anggap) tak pernah terjadi, sehingga tak pernah dihukum (sehingga hukuman berat yang ditetapkan tak pernah benar-benar dijatuhkan). Tampaknya kita terpaksa membuat penilaian yang bertentangan mengenai situasi imajiner ini:Baik: Kejahatan telah diberantas. Tak ada efek samping yang buruk: tak ada pencuri mobil yang dieksekusi (yang mungkin memang tak adil), lantaran gak pencurian mobil.Buruk: Kejahatan dikaitkan dengan hukuman yang berat timbangannya tak adil. Keadaan ini menyebabkan masyarakat menjadi tidak adil. Sekalipun ketidakadilan merupakan cara untuk mencapai tujuan yang baik (pengurangan kejahatan), namun ketidakadilan tetaplah tidak adil dan seyogyanya dicela.Kedua pandangan tersebut masuk akal; namun ketika keduanya saling bertentangan, sepertinya, kita tak bisa mempertahankan keduanya. Mungkin ada keberatan yang mengatakan bahwa situasi yang ada di khayalan tersebut, tidak realistis, sehingga tak perlu ditanggapi serius: kita tak dapat berharap pada penilaian yang konsisten mengenai situasi tersebut.Hal yang paling aneh mengenai pandangan umum tentang moralitas adalah ambivalensi mendalamnya: banyak orang menganggap moralitas sebagai dasar perilaku moral yang terpuji, sementara banyak yang lain, mencela moralitas. Menurut Saul Smilansky, penting dicatat bahwa meskipun penjelasan tentang nilai yang dapat dicapai melalui perilaku moral melibatkan pertimbangan komponen subjektif, kita hendaknya menetapkan standar-standar obyektif tentang apa yang kita pandang bernilai moral. Jika konformitas moral sepele apa pun akan memberi seseorang nilai moral yang tinggi, maka persoalannya takkan masuk akal. Disaat kita berbicara tentang nilai moral yang tinggi sebagai sebuah pencapaian, maka yang kita maksud adalah mempersiapkan diri kita, baik secara mental dan emosional, melakukan hal yang baik secara moral, bahkan ketika ada alasan yang sangat mementingkan diri sendiri untuk tak mengikuti moralitas.Pandangan laudatory, menganggap perilaku moral sebagai pencapaian tertinggi peradaban, ciri superioritas umat manusia atas spesies lain, ukuran nilai seseorang dibandingkan dengan orang lain, dan sejenisnya. Ketika orang bertindak secara moral, dan khususnya disaat mereka mengikuti kode moral demi kepentingannya sendiri, mengorbankan kepentingan pribadi, mereka dikatakan amat pantas dikagumi. Seperti halnya banyak hal lain yang berkaitan dengan moralitas, gagasan ini menemukan ekspresi terkuatnya dalam diri Immanuel Kant. Kaum utilitarian juga menganut pandangan yang tersebar luas bahwa tindakan moral yang sejati akan memberikan nilai yang besar kepada seseorang, khususnya dikala mereka bertindak secara moral dalam tuntutan keadaan.Sebaliknya, pandangan-pandangan deprecatory, yang mencela moralitas, memandang moralitas sebagai sebuah beban, paling banter, sebuah kebutuhan sosial yang tak menguntungkan dan menghalangi upaya pencapaian hal-hal yang lebih menarik dan penting. Alangkah baiknya jika moralitas tak memerlukan pengorbanan, jika proyek seseorang tak terus-menerus diganggu oleh persyaratan moral eksternal, jika kebutuhan sosial yang saat ini menuntut tuntutan moral dapat dipenuhi hanya dengan bantuan terbatas terhadap tuntutan tersebut.Baik kita menganut pandangan laudatory maupun deprecatory, implikasinya luas. Jika kita menganggap moralitas sebagai mahkota kemanusiaan, kita akan melihat banyak permasalahan secara berbeda dibandingkan jika kita melihat moralitas pada dasarnya sebagai sebuah gangguan. Perbedaan besar antara kedua pandangan ini, akan muncul ketika kita mempertimbangkan gagasan untuk menata masyarakat sehingga kehidupan kita jarang melibatkan tumtutan perilaku moral. Yang menjadi persoalan di sini bukanlah gagasan yang tak masuk akal bahwa moralitas dalam pengertian pembatasan antarpribadi dapat lenyap begitu saja, melainkan bahwa moralitas dapat menjadi sedemikian rupa sehingga kebanyakan orang, sebagaimana mereka saat ini, takkan keberatan akan batasan-batasannya.Terakhir, ungkapan 'Ketika uang berbicara, orang jarang memeriksa tata bahasanya' membawa pesan yang kuat. Di dunia dimana pengaruh uang seringkali menutupi pertimbangan lain, ungkapan ini menyoroti bahwa ketika seseorang punya cuan banyak atau kekuatan finansial yang besar, ketidaksempurnaan kecil dalam bahasa atau etika, cenderung diabaikan. Sebuah buku, bakalan mengecewakan jika penulisnya tak menyatakan dan memperdebatkan kebenaran sebagaimana yang dilihatnya. Di sisi lain, tak seorang pun boleh mempercayai apa yang sang penulis ungkapkan tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan alternatifnya dengan cermat. Bersikaplah sangat skeptis terhadap solusi yang diusulkan. Jadi, meskipun uang bisa berbicara keras, keputusan yang bijak sangatlah penting. Mari terus belajar dan membuat pilihan yang tepat!Kita cukupkan episode ini dan akan lanjut lagi pada episode berikutnya. Bi 'idznillah."Kenanga lalu berdendang,It's not about the money[Itu bukan tentang uang]We don't need your money[Kami tak butuh uangmu]We just wanna make the world dance[Kami hanya hendak membuat dunia berdansa]Forget about the price tag *)[Lupakan tentang label harga]
Kutipan & Rujukan:
- Sabam Leo Batubara, Indonesia Bergulat dalam Paradoks, 2009, Dewan Pers
- R. M. Sainsbury, Paradoxes, 2009, Cambridge University Press
- Saul Smilansky, 10 Moral Paradoxes, 2007, Blackwell Publishing
- Michael H. Hart, Puzzles and Paradoxes, 2024, Austin Macauley
*) "Price Tag" written by Lukasz Gottwald, Claude Kelly, Jessica Cornish, Bobby Ray Simmons Jr.