Kamis, 23 Mei 2024

Cerita dari Pohon Kenanga (18)

"Seorang lelaki bertanya kepada istrinya, 'Apa yang paling mama sukai buat hadiah ulang tahun?'
Sang isteri menjawab, 'Oh, mama pingin balik lagi ke sepuluh.'
Sang suami pun membuat rencana, dan, pada pagi di hari ulang tahun isterinya, ia membawanya ke taman hiburan. Mereka berdua menikmati setiap wahana yang ada di taman hiburan itu.
Waktu makan siang segera tiba, mereka pun ke restoran cepat saji, ia membelikan burger gede dengan kentang goreng dan milkshake. Usai makan siang, ia mengajaknya nonton film anak-anak terbaru di bioskop—lengkap dengan popcorn dan sodanya. So sweet deh.
Akhirnya, sang isteri terhuyung-huyung kelelahan pulang ke rumah bersama suaminya dan merebahkan diri di atas tempat tidur. Sang suami berbaring di dekatnya dan bertanya, 'Sayang, bagaimana rasanya balik ke umur sepuluh tahun lagi?'
Sang isteri menatap suaminya dan berkata pelan, 'Pa, sebenernya sih, yang mama maksud itu, ukuran bajunya.'"

"Inward-looking society [masyarakat berwawasan ke dalam] bermakna mereka lebih tertarik pada diri sendiri ketimbang khalayak atau masyarakat lain. Keadaan ini kerap berkonotasi sebagai orang-orang yang cupet atau fokus pada diri sendiri. Dan manakala kita membayangkan sebuah masyarakat sebagai orang-orang yang 'outward looking' [berwawasan ke luar], itu berarti mereka lebih tertarik pada orang lain ketimbang diri sendiri. Mereka berprespektif 'open-minded' dan aktif berperan bersama orang lain, dalam organisasi, dan isu-isu global. Pendekatan yang 'outward-looking', memupuk kolaborasi, pemahaman, dan pandangan dunia yang lebih luas," Kenanga melanjutkan.

"Namun sebelum kita teruskan kedua istilah ini, bolehkan daku lanjut dengan Kalender Islam.
Bulan kelima dan keenam dalam kalender Islam adalah Jumadil Awwal dan Jumadil Akhir. Jumadil Awwal atau 'Jumada awal', juga dikenal sebagai Jumadil Ula atau Jumada I, berlangsung selama 29 atau 30 hari. Jumadil Akhir, 'Jumada terakhir', juga dikenal sebagai Jumadil Thani atau Jumada II. Asal usul nama bulan ini, menurut teori beberapa orang, berasal dari kata jamād (جماد), yang bermakna 'gersang, kering, atau dingin'. Tiada larangan atau kesucian khusus—dan tentunya perintah Syariah tetap harus dijalankan—yang diresepkan bagi umat Islam pada kedua bulan tersebut.

Kalau kita menyebut kata 'gersang', yang terlintas di benak kita ialah gurun. Apa itu gurun? Orang yang berbeda akan punya jawaban beda terhadap pertanyaan ini, berdasarkan pengalaman dan imajinasinya. Gurun merupakan salah satu kata yang akrab namun ambigu, yang maknanya berubah tergantung orangnya, waktunya, dan tempatnya. Ia merupakan sebuah kata yang, ragam maknanya, dapat mengubah gambaran seseorang tentang realitas. Kepribadian gurun sulit ditangkap dalam bahasa sehari-hari, seperti halnya dalam imajinasi atau penelitian ilmiah.
Kata Ingglisy 'desert', dapat ditelusuri kembali ke bahasa Latin abad ke-11. Kata tersebut pertama kali menggambarkan akibat (desertus: terlantar, terabaikan) dari tindakan pemisahan (deserere: menelantarkan, mengabaikan). Beberapa waktu kemudian, kata ini digunakan untuk menunjukkan suatu tempat (desertum: gurun), sebuah situs yang kosong atau dikosongkan, tak berpenghuni atau tak berpenduduk. Aneka bentuk kata ini, selama bertahun-tahun mencerminkan ambiguitasnya. Objek dan idenya, serta kata-kata dalam membicarakannya, terdapat dalam teks-teks tertua umat manusia: Babilonia, Mesir, Ibrani, China, dll.

Pada Abad Pertengahan, para pertapa mengasingkan diri ke gurun. Istilah tersebut, dalam konteks ini, menunjukkan keterasingan dari orang lain serta kehampaan tempat, kesunyian dan kondisi mistisisme. Pada abad ke-17, 'gurun' terutama membangkitkan gagasan tentang tempat-tempat terpilih yang jauh dan tersembunyi, dimana seseorang dapat menghindar ke gurun dari kejaran manusia'. Inilah tempat yang terputus dari dunia, secara sukarela, seperti yang terjadi di biara Port-Royal-des-Champs, atau karena keadaan, seperti dalam kisah Camisards, umat Protestan Prancis yang tinggal dalam wilayah terpencil di Perancis. Namun, sejak abad ke-18 dan seterusnya, pemahaman geografislah yang mendominasi. Gurun merupakan wilayah yang sepertinya tak bernyawa, tak berpenghuni, tak digarap, gersang (dari bahasa Latin arere, membakar, mengeringkan), dan steril oleh kekeringannya. Abad ke-19 dan ke-20, pada gilirannya, memunculkan bentuk-bentuk gurun baru: gurun ekonomi dan demografis akibat perpindahan penduduk pedesaan menuju kawasan industri dan perkotaan. Terakhir, 'gurun' digunakan dalam makna psikologis untuk membicarakan tentang keadaan internal dalam hal terampasnya hati atau pikiran.
Lebih lanjut, dalam penggunaan umum, gurun biasanya dikaitkan dengan dua kata lain: kekeringan dan kegersangan, yang dianggap setara atau dapat dipertukarkan, namun pada kenyataannya, bukanlah sinonim yang sebenernya. Kerancuan semantik akibat penggunaan ini, semakin problematis karena menghambat analisis dua fenomena berbeda, yang berkonsekuensi berbeda baik terhadap dinamika wilayah yang bersangkutan maupun terhadap kehidupan masyarakat yang tinggal di sana.
Kegersangan dan kekeringan memang merupakan ciri mendasar dari gurun. Muncul dari kombinasi berbagai penyebab yang melibatkan atmosfer, bumi, dan bahkan penyebab ekstra-terestrial, di satu sisi, dan juga melibatkan kondisi manusia, di sisi lain. Bervariasi di seluruh ruang, kegersangan menawarkan nuansa geografis yang dapat diukur pada tingkat yang berbeda-beda dan menyoroti keragaman besar di gurun yang banyak orang sering tak disadari. Sebuah fenomena yang telah ada sejak zaman geologi terawal, kekeringan seringkali meninggalkan bukti sedimentologi dan geomorfologi yang masih dapat dilihat pada lanskap tertentu.

Fernand Joly menyebut gurun sebagai ruang kosong atau terbengkalai, tanpa kehidupan atau sedikit kehidupan di dalamnya, dipersepsikan punya kualitas-kualitas seperti ini, dibandingkan dengan lingkungan yang menarik dan lebih padat penduduknya. Makna geografis kata ini, terbentuk pada abad ke-18 dan ke-19 oleh para penjelajah, karena gurun yang kita lihat di peta saat ini, berasal dari peta abad ke-18 dan ke-19. Namun, gurun tidaklah homogen dan berbeda dalam berbagai aspek, tergantung pada waktu dan tempatnya. Oleh sebab itu, gurun atau desertic semata bersifat relatif, subyektif dan samar-samar, bergantung pada pemahaman dan pengalaman masing-masing orang.
Kehidupan gurun secara alami mengarah pada refleksi, meditasi, dan bahkan terkadang mistisisme. Semuanya berjalan seperti ini: keindahan dan cakrawalanya yang ranggas, kemegahan langitnya yang berbintang, kerasnya kehidupan sehari-hari, dan keheningannya. Banyak gurun yang menyambut lelaki dan perempuan religius, yang mencari kesucian dan kelengangan; banyak agama telah lahir atau tersebar di sini. Ya, gurunlah tempat lahirnya agama.

Agama, yang menjadi pedoman dalam hidup, sarana untuk membangun hubungan solidaritas, dan sumber iman dan harapan, dulunya bertabrakan dengan kondisi sosial dan kekuatan politik. Bahkan pun saat ini, persaingan dan keberhasilannya dapat ditelusuri kembali ke gurun Afro-Asia. Komunitas yang menetap di Lembah Nil di Mesir kuno merupakan praktisi pemujaan orang mati yang taat. Masyarakat yang masih hidup menganut politeisme yang diwarisi dari dewa-dewa setempat, yang kurang lebih melambangkan, atau berada di bawah, Dewa Matahari. Agama resmi Matahari (Amon) muncul sekitar awal milenium ke-2 SM, dipimpin oleh seorang pendeta yang berkuasa. Walaupun cukup kuat, akhirnya terkalahkan, pada pertengahan abad ke-14 SM, oleh reformasi monoteistik (satu dewa, Aton) yang diterapkan oleh Firaun Amenhotep IV (Akhenaton). Agama Mesir menyebar, melalui penaklukan, ke Libya, Nubia, Ethiopia, Sudan, Phoenicia, Palestina dan sampai ke Suriah dan Mesopotamia. Namun, di Asia, ia bertentangan dengan kepercayaan Asiria-Babilonia.
Seperti halnya agama Mesir, agama yang dianut di Mesopotamia adalah agama yang bersifat menetap, pragmatis dan mengikuti siklus alam. Para petani desa pada zaman heroik, bangsa Sumeria dan Semit pada milenium ke-4 dan ke-3 SM (Kasdim), mendirikan kuil bagi dewa langit dan dewa kesuburan untuk kesuburan tanah. Namun pengaruhnya tak meluas melampaui jalur tengah Sungai Tigris dan Eufrat (Babilonia).
Buddhisme diajarkan untuk pertama kalinya di sekitar Benares, menjelang akhir abad ke-6 SM, dan dari abad ke-5 hingga ke-2 SM, Buddhisme memperluas pengaruhnya ke seluruh India (termasuk Kashmir dan wilayah Punjab) dan sekitarnya, sejauh Ceylon dan Tiongkok.
Yudaisme, agama Yahweh. Sejarah masyarakat nomaden yang secara bertahap menetap dan berdirinya agama yang kemudian menyebar ke seluruh dunia. Pada paruh pertama milenium ke-2 SM, klan Semit, yaitu Ibrani, menggembalakan ternak antara Kasdim dan Mesir melintasi gurun Suriah dan Arab.
Pesan Keselamatan umat Kristiani, menyebar dengan cepat di kalangan penyembah berhala, untuk memberitakan Kabar Baik. Penyebaran agama ini, yang difasilitasi oleh meningkatnya kemiskinan akibat kemerosotan ekonomi, berdampak yang lebih besar di perkotaan dibandingkan di pedesaan. Dianut di kota-kota di Palestina, Suriah dan Anatolia, hingga Mesopotamia dan India. Pada pertengahan abad ke-1 M, Kristiani telah hadir di seluruh provinsi Romawi di Asia dan telah memasuki Persia, Mesir, dan Afrika Utara. Hal ini membuat khawatir otoritas Yahudi di Yudea dan kekuasaan Kekaisaran di Roma, lalu memicu gelombang penganiayaan yang baru berakhir pada tahun-tahun awal abad ke-4 Masehi.
Berawal dari Mekkah, lalu ke Madinah, Islam menyebar ke seluruh dunia. Pada akhir abad ke-8, seluruh gurun di Afrika dan Asia telah diislamkan, kecuali wilayah Kaspia-Aral-Balkhash, Tibet, dan protektorat Tiongkok, yang dikuasai Dinasti Tang (Dzungaria, Tarim, Alashan). Hanya dalam beberapa dekade, seluruh penguasa gurun Afro-Asia ditaklukkan. Dunia Barat mendadak sadar bahwa di sisi Selatan dan Timurnya, seperti yang ditemukan oleh China di sisi Baratnya, mereka kini dibatasi oleh orang-orang yang kekuatan dan agamanya lahir di gurun.

Ketika Fénelon—uskup agung Cambrai pada abad ke-17, sebuah kota di Utara Prancis, ternama oleh kefasihannya, ia seorang pejuang pendidikan bagi kaum perempuan, sebuah sikap yang tak biasa pada masa itu—berseru, 'Tapi lihat! Gurun terindah yang pernah engkau lihat. Tidakkah engkau kagum pada sungai-sungai yang mengalir dari pegunungan, bebatuan terjal ini?', ia mengalunkan pujian atas salah satu tempat peristirahatan liar yang sering diimpikan oleh orang-orang sezamannya. Agen perjalanan modern merayakan gambaran yang lebih nyata tentang lanskap gurun-lokos, lautan pasir, dan bivak bintang lima. Para pembalap Reli Paris–Dakar, yang jejaknya merusak lanskap Sahara dengan impunitasnya, menyampaikan kepada pemirsa televisi, gagasan mengenai tantangan sang gurun: berliku-liku, mempesona, dan terkadang mematikan!
Analogi gurun-manusia mengundang refleksi tentang perjuangan, pencerahan, dan adaptasi—sebuah perjalanan bersama melintasi lanskap yang nampak gersang. Gurun merupakan lanskap yang sangat kontras—keras, tandus, dan sepertinya tak dapat ditembus. Kehidupan manusia kerap menghadirkan tantangan-tantangan ekstrem, baik yang bersifat eksternal (seperti kondisi kering) maupun internal (perjuangan emosional atau spiritual). Beberapa orang memasuki gurun untuk menemukan keterpencilan, refleksi, atau kebangkitan spiritual. Manusia mengeksplorasi kedalaman jiwanya, mencari makna, tujuan, dan penemuan diri. Masyarakat gurun beradaptasi terhadap kondisi ekstrem, mencari cara bertahan hidup dan berkembang. Manusia juga beradaptasi—menjalani tantangan hidup, berkembang, dan membangun makna, walau dalam kesulitan. Gurun membangkitkan misteri, ketahanan, dan introspeksi—sebuah kanvas bagi ketersendirian dan sempena-hati.

Sekarang kita balik ke wawasan 'ke dalam' dan 'ke luar'. Masyarakat yang 'inward-looking' cenderung fokus pada urusan internal, identitas, dan kesejahteraannya, daripada secara aktif melibatkan diri dengan masalah eksternal. Keadaan ini lebih memprioritaskan pemeliharaan diri, pelestarian budaya, dan mempertahankan norma-norma dan praktik yang ada. Istilah ini, menyoroti kecenderungan melihat ke dalam, menekankan introspeksi dan kepedulian terhadap diri sendiri.
Sebaliknya, masyarakat yang 'outward-looking', tumbuh makmur karena adanya pertalian, saling menghormati, dan kemajuan bersama. Mereka secara aktif mencari relasi di luar batas negaranya; mereka menghargai kerja sama internasional, pertukaran budaya, saling-pengertian; dan keterlibatan dengan dunia yang lebih luas, masyarakat seperti ini, menghargai keberagaman dan belajar dari sudut pandang yang berbeda. Mereka dicirikan oleh keterbukaan, keingintahuan, dan keturutsertaannya dengan dunia yang lebih luas.
Mereka memprioritaskan perdagangan, diplomasi, dan kolaborasi. Mereka mengakui manfaat perekonomian yang saling terhubung dan perdamaian. Perjanjian perdagangan dan hubungan diplomatik memperkuat posisi global mereka. Masyarakat 'outward-looking' memberikan cinta-kasih dan bantuan kepada yang membutuhkan. Mereka secara aktif berpartisipasi dalam upaya kemanusiaan dan mengatasi tantangan global. Solidaritas dan empati memandu tindakannya. Mereka merangkul inovasi, penelitian, dan pembelajaran dari orang lain. Mereka menatap melampaui batas-batas diri sendiri guna memperoleh inspirasi, ilmu, dan kemajuan. Pertukaran lintas budaya menumbuhkan kreativitas dan pertumbuhan.
Beberapa strategi diperlukan guna menyeimbangkan perspektif 'inward' dan 'outward'. Strategi-strategi ini, amat penting bagi masyarakat. Strategi-strategi ini dapat mencakup pendidikan dan kesadaran mengajarkan sejarah global, geografi, dan kejadian terkini, serta mendorong empati dan 'open-mindedness'. Program pertukaran budaya mendorong masyarakat mengeksplorasi kultur, bahasa, dan tradisi lainnya, serta menumbuhkan saling pengertian dan penghargaan. Turut-serta dalam perdagangan dan diplomasi internasional, serta menyeimbangkan kepentingan pribadi dengan kerjasama. Memperluas bantuan melampaui batas negara selama krisis untuk menunjukkan solidaritas dengan masyarakat yang terkena dampaknya. Berkolaborasi dalam aksi iklim dan konservasi guna menghargai tanggungjawab bersama.

Terma 'inward-looking' dan 'outward-looking' bukanlah diksi yang ketinggalan zaman, namun keduanya menggambarkan perspektif yang berbeda mengenai politik global. Inward-looking berfokus pada urusan dalam negeri, kebijakan, dan kepentingan nasional. Negara-negara yang mengadopsi pendekatan inward-looking, memprioritaskan stabilitas internal, pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan sosial. Contohnya termasuk kebijakan proteksi perdagangan, pembatasan imigrasi, dan upaya swasembada.
Outward-looking menggambarkan perspektif yang lebih luas, yang mempertimbangkan hubungan internasional, tantangan dan kerjasama global. Negara-negara yang outward-looking berperan dalam diplomasi, perjanjian perdagangan, dan upaya kolaboratif mengatasi masalah bersama. Contohnya termasuk partisipasi dalam organisasi internasional, perjanjian iklim, dan bantuan kemanusiaan.

Terma ‘inward-looking’ dan ‘outward-looking’ memberikan cara singkat untuk membedakan dua sikap dan kebijakan yang berbeda ini, kata Hla Myint. Beberapa negara berupaya mendorong pembangunan ekonomi melalui perluasan perdagangan luar negeri dan dengan mempertahankan kebijakan pintu terbuka terhadap investasi asing swasta, bantuan luar negeri, dan imigrasi. Negara-negara lain berusaha mendorong pembangunan ekonomi melalui industrialisasi dalam negeri dan substitusi impor dan memandang ‘perencanaan ekonomi’ sebagai pelindung untuk melindungi perekonomiannya dari pengaruh eksternal yang tak diinginkan dan mengganggu.
Myint menambahkan bahwa negara-negara yang berpandangan ke luar (outward-looking) biasanya mengidentifikasi negara-negara dengan kebijakan perdagangan bebas dan ekspor, sedangkan negara-negara yang berwawasan ke dalam (inward-looking) berkebijakan proteksionis dan substitusi impor. Namun, karakterisasi sistematis kedua jenis negara ini, haruslah mempertimbangkan setidaknya empat unsur kebijakan lainnya.

Kebijakan terhadap perekonomian domestik, perlu ditekankan karena kinerja ekspor sebuah negara, tak semata bergantung pada kebijakan perdagangan luar negeri dalam makna sempit, tapi juga pada berbagai kebijakan yang mempengaruhi perekonomian dalam negeri. Hal ini mencakup tak cuma kebijakan fiskal dan moneter yang tepat agar menjaga keseimbangan nilai tukar, melainkan pula kebijakan-kebijakan lain, terutama kebijakan penetapan harga produk dan faktor-faktor produksi, yang mencerminkan kelangkaan relatifnya, dan pembangunan pertanian serta infrastruktur yang tepat, serta kerangka struktural guna memunculkan potensi keunggulan komparatif.
Kebijakan perdagangan yang berwawasan ke luar, seyogyanya didukung oleh kebijakan dalam negeri yang ‘terbuka’, yang memungkinkan penyesuaian yang fleksibel terhadap kekuatan pasar dunia. Sebaliknya, kebijakan perdagangan yang berwawasan ke dalam (inward-looking) hendaknya ditopang oleh kebijakan ekonomi dalam negeri yang bersifat ‘tertutup’, untuk mengisolasi dan menjaga ketidakseimbangan apa pun, yang mungkin ada dalam perekonomian dalam negeri, terhadap kekuatan-kekuatan dari luar negeri yang mengganggu atau menyeimbangkan.

Dalam konteks Asia, Hong Kong dapat digambarkan sebagai negara unggul yang ‘outward-looking'. Hong Kong bukanlah sebuah negara tersendiri; ia merupakan Daerah Administratif Khusus (SAR: Special Administrative Region) dari China. Namun, secara historis, negara ini dianggap berwawasan ke luar karena koneksi ekonomi global, perdagangan internasional, dan jasa keuangannya. Lokasi Hong Kong yang strategis sebagai pelabuhan utama dan statusnya sebagai pusat keuangan global, berkontribusi terhadap keterbukaannya terhadap dunia.
Myanmar, yang juga dikenal sebagai Burma (nama resminya hingga tahun 1989), sepanjang sebagian besar sejarah pascaperangnya, barangkali dipandang sebagai contoh ekstrem negara yang ‘inward-looking’. Sejak tahun 1962, Myanmar telah menekankan kemandirian, dengan menurunnya perdagangan luar negeri dan mengurangi investasi asing di bidang manufaktur. Meskipun perusahaan-perusahaan besar dimiliki oleh negara, usaha-usaha kecil milik swasta berkembang pesat. Namun, sektor industri di negara ini, masih relatif terbelakang dibanding negara-negara lain di kawasannya.

Malaysia, bersama dengan negara-negara ASEAN lainnya, bertujuan menjadi 'pemain global dan berwawasan ke luar'. Hal ini menyeimbangkan aspirasi nasional dengan kontribusi terhadap pembangunan komunitas ASEAN. Thailand memang telah menerapkan pendekatan berwawasan ke luar dalam beberapa tahun terakhir. Thailand telah menjadi investor luar (outward investor) dan secara aktif berpartisipasi dalam hubungan eksternal melalui ASEAN. Komitmennya terhadap kerjasama regional dan keterlibatan global mencerminkan sikapnya yang berwawasan ke luar. Filipina telah mengadopsi pendekatan berwawasan ke luar dalam beberapa tahun terakhir, dan memposisikan dirinya secara strategis dalam perkembangan geopolitik dan geoekonomi di Asia. Filipina secara aktif menjalin hubungan dengan dunia internasional, dengan mempertimbangkan aspek keamanan dan ekonomi. Terjebak di antara Amerika Serikat dan China, Filipina memainkan peran penting dalam urusan keamanan ASEAN. Amerika Serikat tetap menjadi mitra keamanan yang penting, sementara China, mitra dagang utama. Posisi Filipina dalam perdagangan, rantai pasokan, dan rute pelayaran menjadikannya sebagai pusat perhatian. Negara ini menghadapi tantangan terkait otomatisasi, digitalisasi, perubahan iklim, dan migrasi.

Indonesia pada masa ‘Guided Economy’ Sukarno, bersama dengan Burma, adalah negara yang berwawasan ke dalam di Asia Tenggara, berbeda dengan negara-negara yang berpandangan ke luar seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina. Namun, kebijakan Indonesia yang mengandalkan tabungan dalam negeri dan mempertahankan swasembada sumber daya modal pada era Sukarno, tak sepenuhnya ‘inward-looking’ karena mengandalkan bantuan luar negeri yang besar dari berbagai sumber. Selain itu, amanat Konstitusi Indonesia mengharapkan negara ini melihat 'ke luar'. Tentu saja, kebijakan hendaknya sejalan dengan amanat konstitusi, bukan?
Dengan peralihan dari era Sukarno ke era Soeharto pada tahun 1966, Indonesia beralih dari sikap lama yang memandang ke dalam. Selain menjalankan kebijakan stabilisasi makroekonomi yang efektif, ‘Orde Baru’ Soeharto juga menerapkan tiga rangkaian reformasi kebijakan. Pertama, rezim perdagangan luar negeri diliberalisasi dan disederhanakan, serta impor bahan mentah dan barang modal menjadi lebih mudah didapat. Kedua, perlakuan istimewa yang sebelumnya diberikan kepada perusahaan negara dikurangi dan menjadi kebijakan resmi agar mendorong pengembangan sektor swasta bersama dengan sektor negara. Ketiga, dan mungkin yang terpenting, diberlakukannya undang-undang penanaman modal asing yang baru, yang berhasil menarik masuknya investasi swasta dalam jumlah besar. Reformasi ini, bersamaan dengan lonjakan ekspor minyak dan bahan mentah, diikuti dengan peningkatan dramatis dalam kinerja ekspor dan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 1970an. Pertumbuhan ekspor Indonesia meningkat dari 3,4 persen per tahun pada tahun 1960-70 menjadi 6,5 persen per tahun pada tahun 1970-81, dan laju pertumbuhan PDB agregatnya meningkat dari 3,9 persen per tahun pada tahun 1960an menjadi 7,8 persen per tahun pada tahun 1970an. Selama dua puluh tahun, rasio ekspor terhadap PDB meningkat dari 13 persen pada tahun 1960 menjadi 28 persen pada tahun 1981. Seluruh perkembangan ini, menempatkan Indonesia di antara negara-negara yang lebih berwawasan ke luar di Asia Tenggara.

Perjalanan Indonesia menuju negara berwawasan ke luar sangatlah menarik. Persaingan lampas Indonesia antara China dan AS mencerminkan posisi strategis Indonesia di Asia Tenggara. AS telah menjadi mitra pertahanan utama Indonesia. Inisiatif seperti pusat pelatihan maritim senilai $3,5 juta di Batam menunjukkan komitmen Washington mendukung peran Indonesia dalam perdamaian dan keamanan regional. Latihan militer rutin (Garuda Shield) meningkatkan kerja sama. Dari segi pertahanan dan keamanan, Indonesia tampak lebih cenderung ke AS.
Hubungan Indonesia dengan China terutama bersifat ekonomi dan semakin berkembang dalam beberapa tahun terakhir. China merupakan sumber investasi asing langsung terbesar kedua bagi Indonesia (setelah Singapura) dan juga salah satu mitra dagang utama Indonesia. China telah terlibat aktif dalam beberapa proyek infrastruktur di Indonesia. Menghadapi pembengkakan biaya, Kereta Cepat Jakarta-Bandung didanai oleh China sebagai bagian dari Belt and Road Initiative (BRI). Usulan proyek di Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Bali, secara kolektif membentuk Koridor Ekonomi Komprehensif Regional. Keterlibatan China bertujuan meningkatkan konektivitas dan pembangunan ekonomi di kawasan ini. Indonesia berencana mengganti Jakarta sebagai ibu kotanya dengan Nusantara. Perusahaan konstruksi China sedang mengincar peluang dalam proyek pembangunan kota yang ambisius ini.

Tekanan publik mendorong Indonesia mengerahkan pengaruh globalnya, meski dengan sumber daya terbatas. Nepotisme masih menjadi tantangan besar dalam politik Indonesia. Nepotisme mengacu pada favoritisme yang ditunjukkan kepada anggota keluarga atau rekan dekat dalam jabatan politik, bisnis, atau bidang lainnya. Nepotisme akan memunculkan perbedaan-perbedaan kelas baru, yang menodai kesetaraan. Hal ini telah terjadi di Indonesia sejak zaman kolonial dan bertahan pada masa Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Pada era pasca reformasi (mulai tahun 1998-an), Indonesia mengalami perubahan politik dan demokratisasi yang mendasar.
Sebagai orang Indonesia, dikau tak bisa lagi menyembunyikannya, sebab dunia internasional sudah pada tahu. Nepotisme masih menjadi tantangan besar dalam politik Indonesia. Dugaan nepotisme terhadap Presiden Indonesia Joko Widodo dan putranya Gibran Rakabuming Raka, memang menimbulkan keprihatinan. Gibran yang mencalonkan diri sebagai wakil presiden pada tahun 2024, usianya baru 36 tahun, melanggar batasan usia calon. Keputusan Mahkamah Konstitusi menaikkan batas usia tersebut, memicu spekulasi bahwa Presiden Widodo ikut 'cawe-cawe' dalam pemilu demi keuntungan putranya. Pengalaman politik dan kinerja debat Gibran yang terbatas, telah menimbulkan pertanyaan tentang kelayakannya menduduki jabatan tinggi. Media asing menjulukinya 'Nepotism Baby' karena hubungan keluarganya. Mengatasi nepotisme sangat penting untuk menjaga integritas demokrasi Indonesia.

Korupsi masih menjadi tantangan besar di Indonesia, yang berdampak pada tata kelola, kepercayaan masyarakat, dan pembangunan ekonomi. Pada tahun 1998, pada tahun terakhir kediktatoran Soeharto, Indonesia dipandang sebagai negara terkorup secara global. Sejak saat itu, Indonesia telah mengalami kemajuan, namun, tantangan masih tetap ada. Indeks Persepsi Korupsi (CPI-Corruption Perception Index) tahun 2022, menempatkan Indonesia pada peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei, dengan skor 34 dari 1001. Skor ini turun 4 poin dari tahun sebelumnya (2021), ketika Indonesia mendapat peringkat 38 dan peringkat 96 secara global. Tren terkini menunjukkan bahwa kebijakan Presiden Joko Widodo mendapat sorotan. Beberapa pengamat berpendapat bahwa korupsi di lingkaran dalamnya tak terkendali. Meskipun indikator-indikator internasional menunjukkan perbaikan, Indonesia hendaknya mengatasi kesenjangan dalam integritas, undang-undang antikorupsi, dan implementasinya. Indonesia sedang menghadapi perjuangan melawan korupsi, sehingga memerlukan upaya berkelanjutan guna memperkuat institusi dan mendorong transparansi.
Oligarki modern muncul pada masa pemerintahan otoriter Suharto, yang memungkinkan birokrat dan dunia usaha yang berkuasa, mengumpulkan kekayaan dan otoritas. Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, para pendukung demokrasi telah menyuarakan kekhawatiran mengenai subversi oligarki terhadap lembaga-lembaga demokrasi di Indonesia. Pemerintahan Jokowi menghadapi kritik karena meremehkan norma-norma demokrasi, semisal melemahkan lembaga antikorupsi dan mengeluarkan undang-undang yang menghambat pencapaian hukum. Pemilu 2024 diwarnai perbincangan tentang regresi demokrasi dan nepotisme.

Jumlah penduduk Indonesia, lokasi yang strategis, dan potensi ekonomi, dapat memainkan peran yang lebih besar dalam hubungan internasional. Namun, Indonesia takkan menjadi kekuatan besar dalam jangka pendek hingga menengah. Tantangan luas yang ada di pundak Prabowo Subianto, teramat berat. Tapi moga-moga, prediksi ini bakalan keliru. Dengan gaya kepemimpinan 'patriot' dan 'demokratis' sang jenderal, serta nilai-nilai yang dipegangnya, 'the well-being of my people', akan tetap memelihara antusiasme.
'Life is like a cup of tea'. Kehidupan mewakili perjalanan, pengalaman, dan keberadaan kita. Secangkir teh melambangkan momen yang kita temui—pahit-getir dan manis. Air panas dalam cangkir melambangkan tantangan dan cobaan hidup. Daun teh menyimbolkan pilihan, hubungan, dan peluang kita. Saat mencelupkan tehnya, menunjukkan berlalunya hari, minggu, dan tahun. Menambahkan gula atau susu ke dalam teh bermakna keceriaan, cinta, dan kenyamanan. Meminum teh seteguk demi seteguk berarti kita menjalani hidup selangkah demi selangkah, menikmati setiap momen. Kadang terasa panas, kadang menenangkan. Dan akhirnya, tatkala engkau telah habis meminum tehnya dan meninggalkan cangkir yang kosong, itulah akhir perjalanan kita, menyertakan kenangan. Maka, nikmatilah secangkir tehmu dan hargai setiap rasa yang ditawarkannya!

Kita masih teruskan perbincangan tentang 'inward' dan 'outward' ini, dalam perspektif global, biidznillah."

Kenanga lalu membacakan puisi,

Mamaku ... istrinya papaku, anaknya nenekku, anaknya kakekku
Mamaku ... saudarinya tanteku, saudarinya pamanku, tantenya sepupuku
Ayahku ... suaminya mamaku, ayahnya kakakku, ayahnya adikku
Ayahku ... anaknya kakekku, anaknya nenekku *)

Ponakanku ... anaknya saudariku, anaknya iparku, cucunya ayahku, cucunya mamaku
Ponakanku ... cicitnya kakekku, cicitnya nenekku
Ponakanku ... cucu buyut moyangku seusai mereka beradu
Ponakanku ... temannya anak temanku, boleh jadi, temannya teman-temanku
Dan ponakanku ... berpeluang membentuk kasta-kasta baru
Kutipan & Rujukan:
- Fernand Joly & Guilhem Bourrié (Eds.), Mankind and Deserts: Deserts, Aridity, Exploration and Conquests, 2020, Wiley
- Hla Myint, Inward and Outward-Looking Countries Revisited: The Case of Indonesia, Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. XX No. 2, August 1984, Routledge
*) "Mamaku" dan "Ayahku" karya Adelia Dwi Cahyani