Jumat, 10 Mei 2024

Cerita dari Pohon Kenanga (12)

"Seorang bocah bertanya kepada rekan bocilnya, 'Kok buku matematikanya, kliyatan sedih sih?'
'Mungkin, masalahnya terlalu banyak,' tanggap kolega sang bocil." 
"Jika engkau membuang waktumu mengejar kupu-kupu, ia akan terbang menjauh. Namun bila dirimu menghabiskan waktu membangun taman yang indah, kupu-kupu itu, bakalan datang. Kalaupun enggak, engkau tetap punya taman yang indah," ucap Kenanga sambil memandangi 'the Floating Lady' di Dubai Beautiful Garden, yang mengapung berbaring di udara, lengannya terentang tanpa peduli pada dunia seraya rambut panjangnya, menjuntai ke permukaan bumi.

"Metafora cantik yang kusebutkan tadi, mendorong kita agar fokus membangun sesuatu yang bermakna dan bertahan lama, daripada terus-terusan mengejar pengalaman yang cepat berlalu. Cobalah visualisasikan dalam benakmu, kupu-kupu itu sebagai momen sukacita, keceriaan, atau sesuatu yang baru. Saat kita mengejar momen-momen ini, kita seringkali mencari kepuasan instan atau kesenangan jangka pendek. Namun, seperti kupu-kupu, momen-momen ini, sulit dipahami. Ia terbang menjauh, yang membuat angan-angan kita, melambung.
Daripada mengejar kupu-kupu, coba deh pertimbangkan waktu dan tenagamu, diinvestasikan membangun sesuatu yang berarti—taman metaforis. Tentu saja, yang dimaksud di sini bukanlah 'Menara Gading', yang merujuk pada keadaan terisolasi atau keterpisahan, terutama dari realitas praktis dunia nyata. Menetap atau berada dalam menara gading bermakna tak menyadari atau sengaja menghindari aspek-aspek kehidupan yang lazim dan tak menyenangkan. Ungkapan ini [dalam Ingglisy 'Ivory Tower'] berasal dari kritikus Perancis Sainte-Beuve, memaparkan penyair Alfred de Vigny, yang tinggal di menara gading pada tahun 1837.
Sebuah taman merupakan ruang terencana, biasanya di luar ruangan, yang diperuntukkan bagi budidaya tanaman dan bentuk alam lainnya. Taman acapkali dirancang bagi daya-tarik visual atau tujuan estetika. Taman menggabungkan unsur-unsur alami dan buatan, termasuk tanaman, patung, air-mancur, dan fitur lainnya. Sebagai kegunaan fungsional, taman berfungsi sebagai ruang relaksasi, bersantai, dan rekreasi. Masyarakat dapat menikmati keindahan alam, berjalan-jalan, membaca, atau sekadar melepas penat. Beberapa taman berfungsi sebagai koleksi botani, menampilkan berbagai spesies tumbuhan. Taman memberikan kesempatan bagi pembelajaran dan penelitian. Kendati banyak taman yang bersifat hiasan, ada juga penghasil pangan. Taman dapat menarik perhatian satwa-liar, termasuk burung, kupu-kupu, dan serangga bermanfaat. Ia menyediakan makanan, air, dan tempat berlindung mendorong keanekaragaman hayati. Yang terpenting lagi, taman berperan dalam pelestarian lingkungan dengan mendorong ruang hijau, mengurangi erosi tanah, dan meningkatkan kualitas udara. Boleh jadi, dirimu dapat menemukan sebuah Menara Gading dalam sebuah taman, namun, belum ada yang pernah menemukan taman sungguhan di dalam sebuah Menara Gading—kalaupun dihadirkan, cuman 'Taman Halu'.

Taman merepresentasikan hasil kumulatif dari tindakan, keterhubungan, dan usaha kita. Ia merupakan ajang pertumbuhan, keindahan, dan karunia. Saat kita mengolah taman kita—entah itu keterampilan, interaksi, atau proyek pribadi—kita mengkreasikan sesuatu yang bertahan lama.
Jika kita fokus membangun taman, kupu-kupu (momen penuh makna) bakal dengan sendirinya mendekat. Kita akan memikat pengalaman, koneksi, dan peluang positif. Sekalipun kupu-kupu tak datang, kita masih punya taman yang indah—hasil kerja kita, pengembangan diri, dan kenangan yang kita temukan. Hidup itu, keberimbangan antara menghargai kupu-kupu dan merawat taman kita. Keduanya punya zona masing-masing, namun taman menyediakan sumber kebahagiaan dan kepuasan yang lebih berkelanjutan.

Di Yunani Kuno, filsuf Epicurus menamai komunitas pemikirnya di dekat Athena, Taman. Di tempat yang hijau bersih ini, ia dan para pengikutnya menemukan ataraxia atau ketenangan pikiran. George Orwell pernah berkata, 'Di luar pekerjaanku, hal yang paling kupedulikan ialah bertaman.' Penelitian kini membuktikan apa yang telah kita rasakan selama ratusan bahkan ribuan tahun: bertaman membantu kita menjalani hidup yang lebih bahagia dan sehat. Ini semakin meningkat—melalui proyek-proyek yang dijalankan oleh sukarelawan seperti taman komunitas dan badan amal kesehatan mental—yang menjadi kekuatan dalam perubahan sosial dan lingkungan.

Taman merupakan ruang yang dikau tinggali. Ia mengitarimu, tak semata dengan batasan fisiknya, namun dengan spiritnya—sifat berbeda yang menggabungkan gerakan, cahaya, suara, dan coraknya. Ada juga kesulitan-kesulitan lain, mulai dari cuaca yang tak menentu dan ancaman penyakit, hingga kenyataan bahwa kebun selalu berubah, dan karenanya, tak pernah selesai. Keinginan alami kita agar membangun keindahan, tiada yang lebih baik daripada taman, meskipun ada banyak tantangan dalam bertaman. Mimpi tentang taman bisa menjadi kolase mempesona dari segala jenis pengaruh yang muncul bersamaan dalam tatapan benak kita, baik yang dimasukkan ke dalam perencanaanmu atau sekadar fantasi yang berlebihan. Selama beberapa menit, jam, atau bahkan berminggu-minggu, engkau dapat menikmati garis-besar khayal ini. Terkadang, engkau akhirnya mewujudkannya sehingga impianmu menjadi kenyataan.

Voltaire, filsuf, penulis, dan sejarawan besar Perancis abad ke-18, mengakui bahwa bertaman itu, hal terbaik yang pernah dilakukannya. Bertaman merupakan kerja. Ia menyebabkan sakit punggung, nyeri lutut, dan tangan kasar. Meskipun bertaman mengakarkan kita di sini dan saat ini, bertaman menghubungkan kita dengan masa lalu manusia. Kita mungkin tak menyadarinya sekarang ini, namun kita melakukan pekerjaan yang sama, seringkali menggunakan alat yang sama yang digunakan leluhur kita selama ratusan, bahkan ribuan tahun. Bertaman mengingatkan kita bahwa kitalah manusia.
Bertaman itu, olahraga yang punya tujuan. Ia sama baiknya dengan beragam jenis olahraga. Dirimu membakar lebih banyak kalori per menit saat menggali daripada bermain bulu tangkis atau melakukan yoga atau senam. Menjadi 'olahraga' yang serba bisa, bertaman menghasilkan bonus sebab melatih seluruh susunan otot utama. Ia melatih jantung dan paru-parumu. Ia meningkatkan kekuatan dan fleksibilitas otot, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, meningkatkan kualitas tidur, dan menurunkan kolesterol dan tekanan darah. Bahkan dapat membantu meningkatkan harapan hidupmu: berolahraga di alam terbuka merangsang enzim yang dikenal sebagai telomerase, yang diyakini membantu meregenerasi DNA dalam kromosom kita dan oleh karenanya, dapat mencegah penyakit yang berkaitan dengan usia.

Gertrude Jekyll menulis 'taman adalah guru agung. Ia mengajarkan kesabaran dan kewaspadaan; ia mengajarkan ketekunan dan perkembangan; yang terpenting, ia mengajarkan kepercayaan penuh.' Bekerja dengan alam merupakan pengingat yang bermanfaat bahwa sebagai manusia kita tak pernah memegang kendali penuh. Saat dirimu melepaskan ekspektasi terhadap segala sesuatu yang selalu berjalan sesuai keinginanmu, engkau membuka diri terhadap perubahan dan bahkan terilhami, tak hanya di taman, melainkan di dalam dirimu sendiri. Pengalamannya lebih kaya karena kurang dapat diprediksi.
Selama berabad-abad, taman dirancang sebagai ruang sakral; refleksi duniawi dari swargaloka, taman ideal yang abadi. Cara kita melihat, merasakan, dan bahkan mendesain taman dipengaruhi oleh konsep budaya dan agama yang berasal dari sejarah kuno. Taman swarga 'Eden' yang tak terjangkau namun didambakan–tempat penuh kedamaian, keharmonisan, dan pencerahan spiritual–telah menjadi cita-cita tak tertulis, seringkali tak disadari, bagi banyak pemerhati taman. Oleh karenanya, taman lebih dari sekadar lahan yang indah atau produktif. Ia dapat membantu kita melampaui dunia fisik dan menghubungkan kita dengan benda-benda langit. Sungguh, taman itu, ambang batas menuju dunia lain. Ia membuka pintu ke metafisik. Namun, tak semua taman diberkahi dengan keajaiban semacam ini. Ia mungkin penuh dengan bunga-bunga indah, dan halaman rumput yang rapi dan bentukan-bentukan yang bagus, namun kurang punya semangat dan atmosfer. Sangat mungkin ia tak disayangi dan tak dirawat. Atau mungkin taman-taman ini tak mencerminkan semangat di tempatnya–yaitu perasaan terinspirasi oleh, atau selaras dengan, lingkungannya. Taman terbaik itu, punya suasana yang melampaui kenyataan, membuka pintu menuju hal yang tak terlihat. Kebahagiaan mencakup apresiasi terhadap keindahan dan nilai pengalaman kita dari waktu ke waktu. Daripada terburu-buru melakukan aktivitas berikutnya yang lebih berharga, kita bisa berhenti sejenak dan menghargai kelapangan dan nilai dari momen kesadaran saat ini.

Taman tak semata ruang luar fungsional, melainkan pula ekspresi artistik. Estetikanya mencakup prinsip-prinsip desain, keseimbangan, kontras, dan harmoni, menjadikannya menawan dan menyenangkan bagi indra. Taman yang estetis mencapai keseimbangan, memastikan taman tak terasa terlalu berat, atau renggang di satu sisi. Itu bukan berarti desainnya simetris; keseimbangan asimetris dapat menyenangkan secara visual. Taman menggunakan kontras agar membangkitkan minat. Elemen kontras seperti warna, tekstur, dan bentuk, menambah dinamisme visual. Taman yang harmonis memadukan berbagai elemen dengan lembut. Ia menggabungkan keindahan alam dengan presisi arsitektur, membangun keutuhan yang kohesif dan menyenangkan.
Nilai estetika dalam konteks lingkungan seringkali dipandang sebagai nilai kemanusiaan yang kuat. Penilaian estetika dibuat dari sudut pandang manusia dan sudut pandang makhluk dengan kapasitas seperti kita. Kita membawa pengalaman dan kepekaan estetis kita ke dalam sifat-sifat dasar yang dirasakan di lingkungan, pengalaman kita, berpadu dengan apa yang kita rasakan, dan muncullah apresiasi estetis. Beberapa penilaian estetika digambarkan sebagai antropomorfik dalam pandangan tentang kualitas manusia terhadap alam, semacam emosi'. Fakta penilaian estetika ini, menunjukkan bahwa nilai estetika bersifat antropogenik atau dihasilkan oleh manusia.

Taman berfungsi sebagai metafora yang kuat bagi kehidupan, menawarkan pelajaran dan wawasan berharga. Saat menata taman, dikau membangun visi bagi taman tersebut. Dirimu tak menyebarkan benih secara acak; melainkan, engkau menimbang-nimbang jenis taman yang dirimu kehendaki, tujuannya, apa yang akan ditanam, dan bagaimana menjadikannya apik. Demikian pula dalam hidup, punya visi yang jelas sangatlah berarti. Tentukan kehidupan yang dikau inginkan, misi, tujuan, dan pengalamamu. Tanpa visi, kehidupan bisa terlalu melebar dan ruwet, serta tak tentu arah.
Dalam membuat taman, engkau memulai dengan daftar tanaman yang diinginkan, lalu memberi prioritas berdasarkan ruang dan sumber daya yang tersedia. Berupaya menumbuhkan semuanya sekaligus, malah akan memunculkan kesimpangsiuran yang tak dapat dikendalikan. Taman mengajarkan kesabaran. Benih membutuhkan waktu agar bertunas, tanaman membutuhkan waktu untuk berbunga, dan berbuah hingga matang. Kehidupan juga berkembang dengan cara yang sama. Demikian pula dalam hidup, prioritaskan tujuanmu. Fokus pada apa yang benar-benar penting guna menghindari kekeruhan. Engkau tak bisa mengejar semuanya secara bersamaan. Pertumbuhan membutuhkan pemeliharaan, upaya yang konsisten, dan ketahanan. Sama seperti tanaman yang membutuhkan sinar matahari, air, dan perawatan, pertumbuhan dirimu memerlukan pula perhatian dan ketekunan.
Taman beradaptasi dengan musim, cuaca, dan kondisi lahan. Ia mengajarkan ketahanan dan fleksibilitas. Buang tanaman yang tak diinginkan agar tanaman yang diinginkan dapat tumbuh subur. Tak semua bunganya sempurna, tapi seluruhnya berkontribusi pada keindahan taman. Taman hidup lebih lama dari perawatnya. Menanam pohon atau tanaman keras menjamin legacy. Dalam hidup, kita hendaknya melepaskan hal-hal negatif, hubungan yang tak sehat, dan kebiasaan lama. Bersihkan kekacauan mental dan emosional guna memberi ruang bagi pertumbuhan positif. Hidup melontarkan bola kastinya dengan cara melambung—tantangan, kemunduran, atau perubahan yang tak terduga. Kemampuan beradaptasi membantu kita berkembang meski menghadapi kesulitan. Rangkullah ketidaksempurnaan dalam dirimu dan orang lain. Mereka menambah karakter dan kedalaman.

Orang tak membeli apa yang engkau lakukan, mereka membeli mengapa engkau melakukannya, kata Simon Sinek. Sudahkah dikau menemukan 'True North'-mu? True North, yang selalu 'ke atas' (di bagian atas grafik atau peta), telah mencapai makna 'melakukan hal yang benar' dalam kaitannya dengan budaya kualitas, produktivitas, semangat kerja, perilaku etis, fokus, dan keberlanjutan. Artinya, engkau menuju ke arah yang benar dan menjawab pertanyaan 'Apa tujuan kita?' 'Bagaimana kita bisa berkelanjutan dalam jangka panjang, baik dalam hal semangat kerja maupun kontribusi terhadap Planet yang Berkelanjutan?'
Lalu, pertimbangkanlah dampakmu terhadap generasi mendatang. Apa yang akan dikau tinggalkan? Tak selamanya tanaman di dalam taman, rimbun dedaunannya. Di satu musim, ia akan rindang, namun seiring dengan pergantian musim, daun-daunnya mulai berguguran, dan memberi kesempatan pada daun-daun baru agar tumbuh. Semua ini, di luar kendali manusia.

Taman menawarkan kesempatan pendidikan yang unik, menghubungkan manusia dengan alam, menumbuhkan rasa ingin tahu, dan mempromosikan pengalaman belajar holistik. Baik di kebun raya, taman sekolah, atau taman lingkungan kampus, hubungan antara pendidikan dan ruang hijau tetap penting.
Dalam hidup kita, pendidikan memainkan peran penting, ia memberikan banyak manfaat, baik pada tingkat individu maupun masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan memberikan stabilitas. Dengan memperoleh ilmu dan keterampilan, dirimu meningkatkan peluangmu memperoleh peluang karier yang lebih baik. Pendidikan sangat penting mencapai kesetaraan. Ketika setiap orang punya akses yang sama terhadap pendidikan, kesenjangan kelas sosial akan berkurang. Pendidikan menumbuhkan kemandirian. Bila dirimu terdidik, dikau dapat mengandalkan kemampuan dan pilihanmu. Pendidikan berkontribusi tak semata pada pertumbuhan diri-pribadi, melainkan pula pada 'global well-being', dan dunia yang lebih damai dengan memupuk kesepahaman dan kegotong-royongan. Pendidikan tak melulu soal textbooks; ia tentang memperoleh ilmu, keterampilan, dan perspektif, yang membentuk kehidupan kita, dan dunia di sekitar kita.

Sejarah pendidikan sudah ada sejak peradaban kuno. Di Kerajaan Tengah Mesir (sekitar 2061-2010 SM), sekolah formal paling awal dikembangkan di bawah arahan Kheti, bendahara Mentuhotep II. Di Mesopotamia, pendidikan awalnya hanya terbatas pada juru tulis yang menguasai tulisan paku. Kebanyakan anak lelaki mempelajari keahlian ayah mereka atau magang. Ashurbanipal (685–c. 627 SM), seorang raja Kekaisaran Neo-Asyur, bangga dengan pendidikan juru tulisnya. Pendidikan pada zaman dahulu melibatkan ilmu berbagai mata pelajaran, termasuk matematika, menunggang kuda, berburu, dan kerajinan tangan.
Filosofi pendidikan yang kita kenal, dimulai di Yunani kuno sebagai bagian integral dari filosofi Socrates (470—399 SM) dan orang-orang lain yang menyebut diri mereka filsuf, namun kita—mengikuti Socrates dan para pengikutnya—menyebutnya sofis dan orator. Perhatian filosofis terhadap pendidikan dasar, tak dikaitkan dengan klaim pedagogi dari filosofi itu sendiri, namun dengan demokratisasi Athena, penemuan pelajaran kelompok yang membuat pendidikan dapat diakses oleh lebih banyak orang Athena, dan kemunduran Athena dalam sistem pendidikan dasar seusai Perang Peloponnesia. Dengan pendidikan yang dapat diakses oleh spektrum masyarakat Athena yang lebih luas, pertanyaan apakah areté (keutamaan, kebajikan, atau keunggulan) dapat diajarkan, atau hanya diwariskan, masih mengemuka.
Socrates memaparkan sifat kebaikan, yang dipahami sebagai entitas abstrak seumpama objek pengetahuan atau pemahaman tertinggi, dan sesuatu yang harus diketahui oleh mereka yang mengatur suatu masyarakat (dalam konteks Yunani, jajak pendapat atau negara kota) jika mereka hendak menjadi penjaga keadilan dan kesejahteraan umum yang cakap. Pendidikan bukanlah, seperti anggapan sebagian orang, memasukkan pengetahuan ke dalam pikiran seperti 'menutup mata', melainkan seni mengarahkan siswa ke arah yang benar. Ini berarti, pertama, bahwa keinginan belajar atau kecintaan terhadap pembelajaran, harus dibangkitkan, dan kedua bahwa keinginan intelektual semestinya diarahkan pada 'hal-hal yang lebih tinggi', yang benar-benar dapat diketahui. Yang dapat diketahui bukanlah benda-benda yang kelihatan dan berubah ('menjadi sesuatu'), melainkan benda-benda seperti benda-benda matematika yang mempunyai sifat-sifat yang sama terus menerus dan tak berubah ('berwujud').

Dalam sejarah pendidikan, tulis Alfred North Whitehead, fenomena yang teramat mencolok ialah bahwa sekolah-sekolah pembelajaran, yang pada suatu zaman hidup dengan gejolak kejeniusan, pada generasi berikutnya, hanya memperlihatkan keangkuhan dan rutinitas. Alasannya, karena mereka penuh dengan ide-ide yang tak bermanfaat. Pendidikan dengan ide-ide yang tak berguna, bukan hanya kesia-siaaan: melainkan, di atas segalanya, berbahaya—Corruptio optimi pessima [kerusakan yang dilakukan oleh orang terbaik merupakan yang terburuk dari semuanya. Bisa juga kita kaitkan dengan pepatah 'nila setitik, rusak susu sebelanga'].
Ungkapan ini menyoroti kebenaran yang mendalam: Ketika sesuatu yang sempurna atau bajik, ternoda atau rusak, keadaan yang dihasilkan kerap lebih buruk dibandingkan jika permulaannya, biasa-biasa saja. Bayangkan, sebuah keadaan dimana tujuan mulia, individu berbakat, atau sistem, yang punya niat baik, terganggu. Dampaknya, justru bisa lebih parah karena standar awal yang tinggi. Dengan kata lain, ketiadaan berkah lebih dramatis jika menyangkut sesuatu yang awalnya dianggap terbaik atau ideal. Contoh, akan tak terbayangkan bila ada seorang pemimpin brilian yang menyerah pada korupsi, sehingga menodai legacy-nya. Atau pikirkan tentang lingkungan yang dulunya masih pakem, namun tercemar karena kelalaian. Dalam kedua kasus ini, kerusakan yang pada awalnya, baik, akan membawa hasil yang terburuk.

Kita akan teruskan dengan topik pendidikan di episode selanjutnya. Bi 'idznillah."

Lalu Kenanga pun tarik-suara,

Take on me.
[Terimalah daku]
Take me on.
[Bawalah diriku]
I'll be gone—in a day or two *)
[Kukan pergi—dalam sehari atau dua hari ini]
Kutipan & Rujukan:
- Claire Masset, Why We Garden, 2023, Batsford
- David E. Cooper, A Philosophy of Gardens, 2006, Oxford University Press
- Emily Brady, Aesthetics of the Natural Environment, 2003, Edinburgh University Press
- Randall Curren (Ed.), Philosophy of Education: An Anthology, 2007, Blackwell Publishing
- Alfred North Whitehead, The Aims of Education, 1967, Free Press
*) "Take on Me" karya Morten Harket, Pal Waaktaar, Magne (mags) Furuholmen