Selasa, 21 Mei 2024

Cerita dari Pohon Kenanga (17)

“Seorang lelaki bertanya kepada rekannya yang bekerja sebagai jurnalis, 'Apa jenis musik favorit seorang jurnalis?'
'Press release!' kata sang jurnalis.
'Gimana caranya bikin jurnalis berhenti ngomong?' tanya sang lelaki lagi.
'Kasih mereka deadline!' jawab sang jurnalis.
'Trus, kalo jurnalisnya nggak punya deadline, disebut apa?' tanyanya lagi.
'Pengangguran!' tanggap sang jurnalis, kalem."

“Press silencing, yang juga dikenal sebagai Media suppression, merupakan tren yang memprihatinkan, yang terjadi di berbagai belahan dunia. Pemerintah dan rezim kerap menggunakan taktik agar membatasi kebebasan pers dan mengendalikan narasi. Di satu sisi, mereka menggunakan peraturan media yang ada untuk mengekang independensi jurnalisme, contoh, di Vietnam, China, Rusia, dan Singapura—di Indonesia pernah terjadi di masa rezim Orde Baru, bisnis media memerlukan perizinan, dan jurnalis memerlukan kartu pers. Sistem ini dapat mengarah pada 'self-censorship' [tindakan individu atau kelompok, yang dengan sengaja membatasi ekspresi mereka, acapkali oleh rasa takut terhadap akibatnya. Hal ini terjadi manakala seseorang menyembunyikan informasi, opini, atau karya kreatif untuk menghindari konflik, hukuman, atau social backlash. Dalam konteks media dan jurnalisme, self-censorship dapat mengakibatkan pemberitaan yang kurang sehat dan kokoh, serta berperspektif lebih sempit] dan 'uneven competition' [keadaan dimana pesaing atau peserta dalam suatu kompetisi memperoleh keuntungan atau kerugian yang tak setara. Ini menyiratkan bahwa lapangan permainan tak berimbang]. Persyaratan perizinan media memungkinkan pemerintah menyensor konten yang tak sejalan dengan narasi atau kepentingannya. Pemberian lisensi memberi otoritas kendali atas media. Mereka dapat menolak izin atau mencabutnya, sehingga membatasi jumlah suara independen. Dengan adanya Media suppression, para jurnalis mungkin akan menahan diri tak melaporkan topik-topik sensitif atau mengkritik pemerintah. Ketakutan akan dampaknya dapat menghambat pelaporan investigasi. Jurnalis mungkin menghindari menggali lebih dalam mengenai korupsi atau isu-isu kontroversial.
Di sisi lain, media milik negara yang hidup berdampingan dengan media swasta, dapat memunculkan arena bermain yang tak setara, dimana media independen menghadapi keterbatasan akses terhadap informasi dan kerugian ekonomi,” ucap Kenanga sembari mengamati sebuah pilar yang disebut ‘The Fourth Estate’. Ia merujuk pada pers atau media sebagai institusi yang kuat dan berpengaruh dalam masyarakat. Pers atau media memainkan peran penting dalam demokrasi dengan bertindak sebagai pengawas terhadap tiga 'estates' lainnya: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pada dasarnya, the Fourth Estate merepresentasikan kemampuan media menginformasikan, menginvestigasi, dan meminta pertanggungjawaban pihak yang berkuasa.

"Cabang jurnalisme dimana para reporter melakukan investigasi mendalam terhadap topik tertentu mengacu pada jurnalisme investigasi. Investigasi ini, seringkali berfokus pada kejahatan berat, korupsi pemerintah, perilaku buruk perusahaan, atau masalah penting lainnya. Seorang jurnalis investigasi mungkin menghabiskan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, meneliti dan menulis laporan yang komprehensif. Bentuk pelaporan penting ini, bertujuan mengungkap kebenaran tersembunyi dan meminta pertanggungjawaban entitas yang berkuasa.
Jurnalisme investigasi, pada dasarnya, sangat spesifik terhadap budaya, kata David Leigh, salah seorang jurnalis investigasi terkondang di Inggris. Banyak pekerjaan investigasi yang berkaitan dengan 'rasa'—rasa tentang kemana kita harus pergi dalam masyarakat tertentu, pada saat tertentu, mencari tahu dan dengan sukses mempublikasikannya. Pola pikir yang tepat, itulah yang terpenting.

Melakukan investigasi jurnalistik ibarat permainan anak-anak yang disebut Permainan Orang Buta. Salah seorang anak ditutup matanya dan meraba-raba, berusaha menangkap anak lainnya dan mengenalinya. Tentu saja, target lainnya berusaha sekuat tenaga menghindar. Hal ini menangkap betapa sulitnya melakukan Jurnalisme Investigatif yang baik, dan betapa brutal dan kelirunya kekuatan media jika dilakukan dengan buruk. Engkau menyerang orang lain, dan seringkali, darah pun mengucur. Namun jika jurnalisme tersebut dijalankan dengan efektif, maka ia dipandang sebagai aktivitas yang glamor—saking glamornya, dan tentunya bergengsi, menjadi sumber inspirasi, sehingga orang-orang yang melakukannya bisa diperankan oleh para bintang film seperti Robert Redford dan Dustin Hoffman dalam All the Presidents Men; Al Pacino dalam The Insider; Benedict Cumberbatch dalam The Fifth Estate; Mark Ruffalo dalam Spotlight.

Jurnalisme investigatif bagi kepentingan publik—yang menyajikan kebenaran sehari-hari tentang dunia yang sepertinya disembunyikan—punya sejarah yang singkat. Fenomena ini, sebagian besar berasal dari abad kesembilan belas, kata Leigh. Berkat karya penulis, editor, dan pembuat film generasi berikutnya—generasi Watergate—jurnalisme investigatif kemudian mencapai status ikonik dan dipandang sebagai sumber kehidupan demokrasi itu sendiri.
Pada sekitar tahun 1970-an—lebih dari 40 tahun yang lalu—dua pemuda menjatuhkan presiden AS saat itu, Richard Nixon. Keduanya mengungkap fakta bahwa Nixon telah menjalankan kampanye pemilihan ulang yang tidak benar, menggunakan seluruh persenjataan pemerintah AS untuk menyuap, menyadap, dan merampok lawan-lawannya—singkatnya, mencurangi pemilu. Kisah ini tercatat dalam sejarah sebagai Watergate, diambil dari nama gedung perkantoran biasa di Washington DC. Pembobolan serampangan di markas kampanye oposisi Partai Demokrat terjadi di sana, memicu kisahnya.

Leigh meyakini bahwa para jurnalis investigatif sangat penting bagi kebaikan masyarakat. Namun alat yang tepat agar dapat bertahan dalam pekerjaan, perlu diperoleh. Pada abad ini, konsep jurnalisme investigatif yang mengungkapkan kebenaran, berada dalam ancaman besar. Para propagandis pemerintah, hakim yang represif, pejabat korup, penjahat, pengganggu komersial, dan pemilik tabloid yang sinis—orang-orang ini selalu menjadi musuh para reporter yang jujur, dan kekuatan mereka tetap kuat. Namun kekuatan musuh lainnya, juga sedang berkembang. Gagasan tentang kebenaran itu sendiri sedang mendapat serangan.
Di satu sisi, para politisi dan orang-orang berkuasa lainnya, yang tak percaya pada manfaat kebenaran, telah berusaha memanipulasi bentuk media massa online yang baru, menyampaikan pesan-pesan mendalam yang menyemangati para pendukungnya, meskipun pesan-pesan tersebut acapkali berisi kebohongan. Pada saat yang sama, para profesional di media arus utama menjadi sasaran pelecehan yang mendelegitimasi mereka. Di sisi lain, kampanye 'post-truth' merontokkan jurnalisme faktual. Para analis kontra-budaya dan kaum anarkis berupaya menunjukkan bahwa sejarah hanya ditulis oleh para pemenang, demikian pula surat kabar media arus utama hanya ditulis untuk menyebarkan narasi kapitalis.

Jika dikau seorang reporter investigasi, kata Leigh, dunia di sekitar terkadang terlihat suram. Ada begitu banyak musuh, baik internal maupun eksternal, yang tampaknya siap melahapmu. Namun kenyataannya, tak semuanya gelap. Keadaannya bisa menjadi saat yang luar biasa bagi jurnalis yang mau tegak berdiri menghadapi kekuasaan.
Memang benar bahwa jurnalisme investigatif punya banyak musuh, tapi jurnalisme investigatif juga mempunyai teman-teman baru. Teman baru para jurnalis investigatif itu, para dermawan. Cukup banyak orang kaya di luar sana yang kini menyumbangkan uangnya ke organisasi nirlaba investigatif yang sukses. Hal ini dapat memungkinkannya bertahan dalam transisi media massa yang penuh gejolak dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Dan bahkan tumbuh subur.

Bentuk pemberitaan investigatif yang berupaya meningkatkan transparansi dan akuntabilitas politisi, tokoh masyarakat, dan lembaga, mengacu pada jurnalisme Watchdog. Jurnalis melakukan pemeriksaan fakta, wawancara, dan penelitian agar memberikan transparansi yang lebih besar terhadap suatu isu atau peristiwa. Peran mereka mencakup pengumpulan informasi tentang tindakan orang-orang yang berkuasa dan memberikan informasi kepada masyarakat guna meminta pertanggungjawaban pejabat terpilih. Dengan menjaga jarak profesional dari mereka yang berkuasa, jurnalis Watchdog bekerja secara independen dan memainkan peran penting dalam sistem pemerintahan yang demokratis.
Konsep jurnalisme Watchdog muncul sebagai komponen fundamental dalam masyarakat demokratis. Dalam hal ini, para jurnalis mengkaji fakta, menyelidiki, dan mewawancarai tokoh politik dan publik agar meningkatkan akuntabilitas. Seiring waktu, jurnalisme Watchdog telah beradaptasi dengan perubahan konteks, kemajuan teknologi, dan perubahan persepsi publik. Jurnalisme Watchdog terus membentuk pemahaman kita tentang kebenaran, keadilan, dan pemerintahan.

Jurnalisme Watchdog dan jurnalisme Investigatif punya kesamaan tapi juga memiliki karakteristik yang berbeda. Peran Watchdog Journalism ialah memantau pihak-pihak yang berkuasa (politisi, tokoh masyarakat, institusi) guna meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, dengan menggunakan metode pengecekan fakta, wawancara, dan penelitian. Tujuannya untuk meminta pertanggungjawaban pejabat terpilih dengan memberikan informasi kepada publik.
Peran Jurnalisme Investigasi adalah memantau pihak-pihak yang berkuasa (politisi, tokoh masyarakat, institusi) dan lebih dari sekadar memantau mengungkap penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan kebenaran tersembunyi. Tujuannya agar meminta pertanggungjawaban pejabat terpilih dengan memberikan informasi kepada publik. Walau Jurnalisme Watchdog umumnya beroperasi sebagai pemantau kekuasaan yang independen, Jurnalisme Investigatif melakukan pengawasan dengan intensitas lebih tinggi, dengan tujuan mendapatkan pengungkapan yang mendalam. Singkatnya, jurnalisme investigatif menggali lebih dalam, sedangkan jurnalisme Watchdog berfokus pada pengawasan dan transparansi.

Terma 'Fourth Estate' datangnya dari Eropa abad pertengahan, merujuk pada tiga kelas tradisi masyarakat: klergi, bangsawan, dan rakyat jelata. Pers kemudian diakui sebagai kekuatan yang amat kuat, serupa dengan anjing penjagawatchdog, yang mengawasi ketiga kelas tersebut. Perannya dalam memantau kekuasaan, mengungkap korupsi, dan memastikan transparansi, dikaitkan dengan terma the 'Fourth Estate'.
Dan itulah berita diantara berita. Namun apa jadinya jika sang anjing penjaga tak kunjung menggonggong? Yang terjadi adalah masyarakat tak tahu apa-apa dan tak berdaya menghadapi permasalahan kompleks yang menimpa lembaga-lembaga penting. Misalnya saja di Indonesia, bahkan saat ini, hanya sedikit orang yang perlu diingatkan akan dampak krisis sosial dimana hampir 10 juta gen-Z tak punya pekerjaan atau menganggur.

Menurut UNESCO, peran jurnalis sangatlah penting. Melalui kerja keras, keberanian, dan ketekunan mereka, kita dapat mengetahui apa yang terjadi di seluruh planet ini. Mereka bekerja di garis depan perjuangan kolektif kita, demi kesehatan planet kita dan perjuangan kita bagi kehidupan yang layak huni.
Krisis iklim dan keanekaragaman hayati, tak semata berdampak pada lingkungan dan ekosistem, namun pula berdampak pada kehidupan banyak orang di seluruh dunia. Kisah kegalauan dan kesedihan mereka, patut diketahui dan dibagikan. Meski tak selalu indah, narasi-narasi ini bahkan bisa menimbulkan ketidaknyamanan, namun melalui kesadaranlah, perubahan bisa terjadi.

Ketika Jurnalisme Investigatif tak diperbolehkan, ada beberapa implikasi yang muncul. Jurnalisme Investigatif meminta pertanggungjawaban entitas yang berkuasa dengan mengungkap korupsi, penyalahgunaan, dan kesalahan. Tanpanya, mereka yang berkuasa bisa bertindak tanpa mendapat hukuman. Laporan investigasi menyoroti agenda tersembunyi, konflik kepentingan, dan praktik tak beretika. Bila dibatasi, masyarakat tetap tak mendapat informasi mengenai isu-isu penting. Jurnalisme Investigatif sangat penting bagi pengambilan keputusan yang terinformasi dalam masyarakat demokratis. Menekannya akan melemahkan proses demokrasi. Dikala para jurnalis tak bisa melakukan investigasi, kepercayaan publik terhadap media menurun. Boleh jadi, masyarakat beralih ke sumber yang tak dapat diandalkan atau bahkan melepaskan diri sama sekali. Laporan investigatif sering mendorong pembaharuan dan perbaikan. Tanpanya, kemajuan akan stagnan. Singkatnya, memungkinkan adanya Jurnalisme Investigatif, sangat penting bagi masyarakat yang sehat dan transparan.

Melindungi kebebasan jurnalis dan media, amatlah penting bagi penegakan demokrasi, hak asasi manusia, dan akuntabilitas. Jurnalisme berdampak pada kehidupan, memajukan hak asasi manusia, dan meminta pertanggungjawaban pihak yang berkuasa. Mendukung independensi media, bermanfaat bagi kita semua.
Warga negara memainkan peran penting dalam mendukung kebebasan media. Tetaplah terinformasi, berinteraksi dengan beragam sumber berita, mencari jurnalisme yang andal dan independen, serta bersikap kritis terhadap misinformasi dan disinformasi. Tingkatkan kesadaran tentang ancaman terhadap kebebasan pers, kuy kita kenali dan hargai upaya mereka dalam membantu kita membentuk masa depan yang lebih baik.

Kita lanjut lagi bincang kita pada episode berikutnya. Biidznillah."

Lalu Kenanga bersenandung,

And when you're gone, I feel incomplete
[Dan saat dikau tiada, kurasakan ada yang kurang]
So, if you want the truth
[Maka, bila dikau inginkan kebenarannya]
I just wanna be part of your symphony
[Kuhanya ingin jadi bagian simfonimu]
Will you hold me tight and not let go? *)
[Maukah dikau dekap erat daku dan jangan lepaskan?]
Kutipan & Rujukan:
- David Leigh, Investigative Journalism: A Survival Guide, 2019, Palgrave Macmillan
- Dean Starkman, The Watchdog That Didn't Bark: The Financial Crisis and the Disappearance of Investigative Journalism, 2014, Columbia University Press
- UNESCO, Journalism in the face of the Environmental Crisis, unesco.org, diretrieve pada 21.05.2024
*) "Symphony" karya Anmar Malik, Ina Wroldsen, Jack Patterson & Steve Mac
[Episode 18]