'Cuci tangan sebelum makan malam,' kata rekannya.""Secara umum, 'oposisi' mengacu pada ketidaksepakatan atau penolakan keras, yang diungkapkan melalui tindakan atau argumen. Dalam konteks olahraga, oposisi merujuk pada tim atau orang yang menjadi lawan-tanding dalam kompetisi. Dalam fisika, oposisi menunjuk pada resistensi yang dihadapi oleh suatu benda, yang bergerak melalui suatu medium. Dalam matematika, oposisi dapat dilihat dalam rumus hubungan terbalik. Dalam ilmu ekonomi, oposisi dapat dikaitkan dengan eksternalitas, dampak yang tak diinginkan dari kegiatan ekonomi, yang mempengaruhi pihak ketiga. Dalam sistem politik, terma oposisi secara spesifik mengacu pada politisi-politisi terpilih milik partai terbesar, yang tak membentuk pemerintahan,” lanjut Kenanga sambil melihat potret hitam putih seorang lelaki yang sedang berpidato. Sutomo (3 Oktober 1920–7 Oktober 1981), juga dikenal sebagai 'Bung Tomo' adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia, dan dikenal oleh perannya sebagai pemimpin militer Indonesia selama Revolusi Nasional Indonesia melawan Inggris dan Belanda. Ia memainkan peran sentral dalam Pertempuran Surabaya dikala Inggris menyerang kota tersebut pada bulan Oktober dan November 1945."Konsep oposisi bisa berbeda-beda tergantung konteksnya, baik yang terkait dengan ketidaksepakatan dalam pemahaman umum, olahraga, maupun politik, dan kerap melibatkan kekuatan-kekuatan yang kontras, semisal dalam fisika, ekonomi, bahkan sebagai simbolisme atau metafora.Oposisi dapat pula merujuk pada tindakan menentang atau menolak sesuatu. Ia dapat menyertakan ekspresi ketidaksetujuan, kritik, atau protes melalui aksi atau kilah-beralasan. Ketidaksetujuan dan antagonisme menjadi ciri oposisi. Tatkala individu atau kelompok punya pandangan yang berlawanan, mereka mungkin bertindak dengan cara yang mengungkapkan ketidaksetujuannya. Oposisi juga dapat menunjukkan pertentangan atau antitesis antara dua hal. Contohnya, konsep 'nature-culture opposition' menyoroti perbedaan antara unsur alam dan unsur buatan manusia. Dalam astronomi, oposisi terjadi ketika dua benda langit (misalnya planet) saling berhadapan di langit jika dilihat dari Bumi. Dalam astrologi, ia mewakili aspek 180° antar planet, acapkali dikaitkan dengan konfrontasi atau pemberitahuan.Dalam logika, oposisi menggambarkan hubungan antara dua proposisi, yang subjek dan predikatnya sama tetapi berbeda kualitas, kuantitas, atau kedua-duanya. Dalam linguistik, kata 'oposisi' mengacu pada hubungan antara unit-unit alternatif dalam suatu sistem linguistik (misalnya, fonem-fonem yang berbeda).Metafora memainkan peran menarik dalam proses berpikir dan bahasa kita. Pemahaman kita dapat diperkaya dengan menjembatani gagasan-gagasan yang nampak berbeda. Ia memungkinkan kita mengeksplorasi konsep-konsep kompleks melalui perbandingan yang jelas! Menurut Conceptual Metaphor Theory, 'people speak in metaphors' because 'they think in metaphors.' Metafora merupakan mekanisme linguistik inovasi semantik dan mekanisme kognitif. Ia membangun hubungan antara elemen-elemen yang berbeda dengan menunjukkan kesamaan dan memunculkan pengetahuan baru. Metafora menunjukkan 'persamaan dalam perbedaan', memungkinkan kita memahami konsep-konsep abstrak melalui perbandingan konkrit.Ungkapan 'persamaan dalam perbedaan' merangkum wawasan mendalam tentang hakikat cinta dan kemampuannya membawa kesatuan dan pemahaman pada elemen-elemen kehidupan yang sepertinya berbeda. Theodor Adorno, seorang filsuf dan sosiolog Jerman, pernah berkata, 'Cinta itu, kekuatan melihat persamaan dalam perbedaan.' Kutipan ini menunjukkan bahwa cinta memungkinkan kita memahami hubungan dan persamaan, walaupun berada di tengah perbedaan dan keragaman yang ada di sekitar kita. Pada intinya, kutipan Adorno berpendapat bahwa cinta berkemampuan yang dahsyat untuk menjembatani kesenjangan diantara apa yang mungkin nampak tak sesuai atau kontradiktif. Ia mendorong kita agar melihat melampaui perbedaan yang ada di permukaan dan menghargai persamaan mendasar yang menyatukan kita semua. Cinta mengajak kita mengenali rasa kemanusiaan yang dimiliki bersama dalam setiap individu, tanpa memandang faktor eksternal seperti ras, agama, atau status sosial. Ia berfungsi sebagai penangkal perpecahan dan konflik di dunia kita. Dengan melihat persamaan dalam perbedaan, cinta menantang kecenderungan kita mengkategorikan dan memisahkan diri dari orang lain. Ia memupuk empati, kasih-sayang, dan persatuan, serta mendobrak hierarki dan perpecahan yang ada dalam masyarakat. Yang terpenting, kemampuan cinta melihat 'persamaan dalam perbedaan', bukan berarti sama sekali mengabaikan perbedaan. Sebaliknya, ia justru menselebrasikan keberagaman dan mendorong dialog bermakna dengan pihak-pihak yang punya pandangan berbeda. Konsepsi ini mengingatkan kita bahwa cinta melampaui kesenjangan yang terlihat, memungkinkan kita menghargai keterhubungan seluruh pengalaman manusia.Empati memainkan peran penting dalam membentuk pendekatan kita terhadap sudut pandang yang beroposisi. Empati memungkinkan kita mengambil posisi orang lain dan melihat dunia dari sudut pandang mereka. Saat menghadapi sudut pandang yang beroposisi, kita dapat mendengarkan secara aktif dan berusaha memahami motivasi, ketakutan, dan pengalaman mendasar yang menopang pandangan tersebut. Daripada langsung menolak pendapat yang berbeda, empati mendorong kita agar mengajukan pertanyaan seperti, 'Mengapa orang ini mempercayai apa yang mereka lakukan?' atau 'Pengalaman hidup apa yang membentuk perspektif mereka?'Empati memanusiakan individu dengan sudut pandang yang berkebalikan. Ia mengingatkan kita bahwa di balik setiap opini terdapat perasaan, harapan, dan perjuangan seseorang. Disaat kita mengakui sisi kemanusiaan orang lain, kecil kemungkinan kita akan menjelek-jelekkan atau menstereotipkannya. Empati menumbuhkan rasa kemanusiaan bersama, bahkan pun dikala kita berbeda pendapat. Di dunia yang terpolarisasi ini, empati berperan sebagai penyeimbang. Ia membantu mengurangi permusuhan dan mendorong wacana sipil. Jika kita mendekati sudut pandang yang berlawanan, dengan empati, kita akan cenderung turut dalam percakapan yang penuh hormat dibanding debat sengit. Kita mencari kesamaan dan nilai-nilai bersama.Empati mendorong kita mempertanyakan bias kita sendiri. Ia mendorong kita agar mempertimbangkan apakah keyakinan kita didasarkan pada bukti atau sekadar memperkuat apa yang telah kita pikirkan. Dengan secara aktif mencari perspektif yang beragam, kita menantang bias konfirmasi dan membuka diri terhadap pertumbuhan. Empati membangun jembatan antar manusia. Ia memungkinkan kita menemukan kesamaan bahkan dalam perselisihan. Misalnya, dua individu dengan pandangan politik yang berbeda, mungkin sama-sama sangat peduli terhadap pendidikan atau pelestarian lingkungan. Empati membantu kita menemukan kekhawatiran bersama dan berupaya mencari solusi.Empati merupakan komponen kunci dari kecerdasan emosional. Ia memungkinkan kita mengelola emosi dan merespons dengan bijak, bukan secara reaktif. Saat menghadapi pertentangan, empati membantu kita tetap tenang, mendengarkan secara aktif, dan menemukan cara berkomunikasi yang konstruktif. Empati mengundang kita agar mendekati sudut pandang yang beroposisi, dengan hati terbuka dan kemauan untuk belajar. Ia memperkaya pemahaman kita, memupuk hubungan, dan berkontribusi pada masyarakat yang lebih berwelas-asih dan berilmu.Konsep 'persamaan dalam perbedaan' dan konsep 'oposisi', mungkin sekilas tampak tak ada kaitannya, namun keduanya punya hubungan yang menarik. 'Persamaan dalam perbedaan' menunjukkan bahwa kendati kita dihadapkan pada perbedaan atau kontradiksi yang nyata, kita dapat menemukan titik temu atau aspek-aspek yang sama. Cinta, empati, dan pengertian, memungkinkan kita melihat lebih jauh dari kesenjangan yang ada. Demikian pula dalam bidang oposisi, mengakui tujuan bersama atau nilai-nilai dasar dapat menjembatani kesenjangan. Lawan politik, misalnya, boleh jadi menemukan titik temu dalam isu-isu tertentu meskipun mereka berbeda ideologi. Dengan berfokus pada kepentingan bersama, mereka dapat bekerjasama demi perubahan positif.Oposisi seringkali muncul dari sudut pandang yang berbeda, konflik kepentingan, atau ideologi yang berbeda. Ia dapat dilihat sebagai bentuk keberagaman intelektual atau politik. Jika ditangani secara konstruktif, oposisi menjadi peluang untuk dialog. Dengan berperan serta dalam perspektif yang berlawanan, kita dapat mengungkap kesamaan dan mengeksplorasi bidang-bidang kesepakatan. Sama seperti cinta yang berusaha menemukan kesamaan, wacana politik mendapat manfaat dari pencarian titik temu. Perdebatan, negosiasi, dan kompromi, semuanya melibatkan upaya menavigasi oposisi seraya mencapai hasil yang produktif.Dalam gagasan filosofis, kognisi, dan bahasa, terdapat hukum pertentangan (the law of opposites). Ia bermula dari tradisi filosofi Barat yang sering membedakan antara subjek (manusia) dan objek (dunia). Dikotomi ini menekankan kontras antara unsur-unsur yang berlawanan, seperti terang dan gelap, baik dan buruk, atau kekuatan yang saling bertentangan.Nietzsche menantang pandangan tradisional bahwa metafora muncul dari pengangkutan konsep. Sebaliknya, ia mengungkapkan asal mula konsep secara metaforis. Konsep, alih-alih menjadi dasar metafora, malah menjadi kaku karena metafora. Dengan kata lain, metafora secara logis dan kronologis berada sebelum konsep itu sendiri.Ungkapan 'oposisi dalam perdagangan' secara metaforis mengacu pada persaingan. Ia menyiratkan bahwa persaingan mengurangi biaya perbekalan dan penghidupan. Sama seperti kekuatan-kekuatan yang berseberangan yang saling bersaing, oposisi terhadap perdagangan, dapat pula memberikan hasil yang menguntungkan.Sungguh menakjubkan bagaimana konsepsi 'oposisi' ini, terjalin dalam beragam aspek kehidupan kita!Sastra dan oposisi punya banyak segi dan kaya akan eksplorasi dalam aneka konteks. Sastra dan oposisi bersinggungan dalam hal-hal yang tak terhitung jumlahnya, menumbuhkan pemikiran kritis, empati, dan dialog. Karya sastra memberikan sebuah lensa yang melaluinya kita mengeksplorasi kompleksitas pengalaman manusia dan perjuangan untuk perubahan. Sastra kerap melukiskan tokoh atau kelompok dalam peran yang beroposisi. Karya sastra mengeksplorasi tema perlawanan, perbedaan pendapat, dan konflik. Banyak karya sastra yang memuat oposisi politik. Drama novel, dan puisi memaparkan tokoh-tokoh yang menantang otoritas, menganjurkan perubahan, atau mempertanyakan struktur kekuasaan yang sudah mapan. Contoh, karya '1984'-nya George Orwell, yang mengkritik totalitarianisme, dan One Day in the Life of Ivan Denisovich karya Aleksandr Solzhenitsyn, yang mengungkap kenyataan pahit di kamp kerja paksa Uni Soviet.Sastra berfungsi sebagai platform kritik sosial. Para penulis menggunakan karyanya guna mengatasi masalah sosial, kesenjangan, dan ketidakadilan. Dengan menggambarkan karakter atau situasi yang berlawanan, sastra mendorong pembaca agar merefleksikan keyakinan dan nilai-nilai mereka sendiri. Gerakan sastra seringkali muncul bertentangan dengan norma-norma yang berlaku. 'The Romantic movement', misalnya, memberontak terhadap 'Enlightenment rationalism' dan mengagungkan individualisme, emosi, dan alam. Demikian pula, Beat Generation menentang materialisme dan konformitas di Amerika pasca-Perang Dunia II.Beberapa karya sengaja menyanggah otoritas atau ideologi dominan. Para punyangga berpartisipasi dalam aktivisme sastra dengan menggunakan keahliannya mengadvokasi perubahan. Penyair, penulis esai, dan novelis, berkontribusi pada gerakan sosial, perjuangan hak asasi manusia, dan perdebatan politik. Sastra menggunakan kekuatan bahasa. Metafora, simbol, dan analogi menyampaikan pesan-pesan yang berlawanan. Para sastrawan menggunakan bahasa untuk menagak narasi dominan dan membangun perspektif alternatif.Metafora yang memperkaya pemahaman kita dengan menjembatani gagasan-gagasan yang tampak berlainan, memungkinkan kita mengeksplorasi konsep-konsep kompleks melalui perbandingan yang jelas. Satire, yang seringkali mengandalkan ironi dan agregasi, bisa dengan bercanda mengungkap absurditas yang ada di pihak lawan. Komedian memakai satire guna mengungkap kontradiksi dan kemunafikan lawan politik. Komedian menggunakan kekuatan satire untuk membedah dan mencerca isu-isu politik, acapkali dengan kecerdasan dan humor yang tajam. Untuk mengatasi oposisi dan politik, komedian menggunakan satire untuk menyoroti absurditas dalam wacana politik. Dengan membesar-besarkan atau memutarbalikkan keadaan dunia nyata, mereka mengungkap kontradiksi, kemunafikan, dan irasionalitas sistem politik yang melekat. Contoh, Jon Stewart (pembawa acara The Daily Show) dan Stephen Colbert (pembawa acara The Colbert Report) dengan keahliannya mengungkap absurditas media berita, politisi, dan pertengkaran partisan. Pertunjukan mereka mengaburkan batas antara komedi dan berita, membuat pemirsa mempertanyakan status quo.Komedian satire menyangggah tokoh otoritas, termasuk para politisi, dengan meledek perbuatan mereka dan mempertanyakan keputusan mereka. Para komedian memberikan narasi tandingan terhadap pernyataan resmi. Komedian membuat parodi tokoh politik, peristiwa, dan ideologi. Tiruan satire ini mengungkap kelemahan dan keanehan para politisi. Coba bayangin parodi Alec Baldwin sebagai Donald Trump di Saturday Night Live. Melalui tingkah laku yang 'agak' berlebihan dan kalimat yang jenaka, Baldwin menangkap esensi kepribadian Trump, menyajikan hiburan dan komentar.Satire tumbuh subur di atas ironi dan hiperbola. Komedian menggunakan sarana ini guna menekankan kontradiksi dan menyoroti kesenjangan antara retorika dan kenyataan. Satire dapat 'memanusiakan para politisi' dengan menunjukkan kekurangan, kerentanan, dan uapaya keseharian mereka. Ia mengingatkan kita bahwa mereka merupakan individu-individu yang bisa saja keliru dalam menghadapi dunia yang kompleks. Trevor Noah, yang menggantikan Jon Stewart di The Daily Show, membawa perspektif global dan sering menggunakan pengalamannya sendiri (tumbuh di Afrika Selatan era apartheid) guna menjelaskan absurditas politik.Komedi satire mendorong pemirsa agar 'berpikir kritis' terhadap isu-isu politik. Ia memunculkan pertanyaan seperti, 'Mengapa kita menerima norma-norma tertentu?' atau 'Bagaimana jika keadaannya berbeda?' Komedian menggunakan satire sebagai alat yang ampuh untuk menghibur, memancing refleksi, dan meminta pertanggungjawaban politisi. Melalui humor, mereka menavigasi kompleksitas oposisi dan politik, mengingatkan kita bahwa 'tertawa' dapat menjadi 'katalisator perubahan'. Dengan melakukannya, mereka menyoroti kelemahan dan kerentanan manusia yang ada di seluruh spektrum politik. Dengan menertawakan kekurangan ini, kita mengakui kemanusiaan kita secara kolektif.Konsep 'persamaan dalam perbedaan' dan 'oposisi', menantang 'binary thinking'. Binary thinking merupakan kerangka kognitif yang menyederhanakan keadaan atau konsep kompleks dengan mereduksinya menjadi hanya dua kategori atau perspektif yang berlawanan. Ia juga dikenal sebagai 'dichotomous thinking'. Binary thinking membantu kita merasakan kepastian, namun ia juga dapat mengakibatkan pemikiran dualistik atau polarisasi. Pemikiran biner memungkinkan kita melihat keuntungan dan kerugian utama dari suatu keadaan, namun kita bisa kehilangan detail yang lebih samar atau area abu-abu di tengahnya.Contoh binary thinking ialah kala seseorang memandang suatu situasi atau perbuatan, sebagai sesuatu yang sepenuhnya benar atau sepenuhnya salah. Contoh lain binary thinking, manakala seseorang mengkategorikan orang, ide, atau situasi sebagai baik atau buruk tanpa ada ruang di antaranya. Binary thinking dapat pula terjadi bilamana seseorang menilai tingkat kecerdasan orang lain sebagai orang yang pandai atau bego. Binary thinking juga dapat dipertimbangkan jika keberhasilan dan kegagalan dilihat sebagai kategori mutlak, hitam dan putih. Binary thinking dapat pula bermanifestasi sebagai mentalitas 'Kita vs. Mereka', yang mana seseorang mengkategorikan dirinya sendiri dan orang lain ke dalam kategori di dalam dan di luar kelompok. Binary thinking dapat dilihat bila orang mengkategorikan perilaku atau sifat sebagai normal atau abnormal, tanpa mempertimbangkan spektrum pengalaman manusia yang luas. Binary thinking dapat berwujud disaat seseorang memandang kesempurnaan sebagai tujuan akhir dan segala sesuatu yang kurang sempurna sebagai sesuatu yang tak pantas atau tak dapat diterima. Binary thinking dapat juga terjadi tatkala orang memandang isu-isu kompleks semisal perkembangan kepribadian sebagai sesuatu yang sepenuhnya bersifat alami atau sepenuhnya berkaitan dengan pengasuhan, mengabaikan interaksi antara kedua faktor tersebut dalam membentuk individu. Hal yang lumrah bagi orang banyak mengabaikan detail yang berbeda-beda dan memilih narasi 'the big picture' yang disederhanakan dalam seluruh aspek kehidupan, mulai dari politik hingga kritik seni. Jika kita terlalu fokus pada 'big picture'-nya, kita kehilangan detail penting. Bila kita terlalu berfokus pada detailnya, boleh jadi, kita bakal kehilangan arah dan 'big picture'-nya. Seseorang dengan perspektif yang seimbang akan dapat melihat suatu kedaaan dari kedua perspektif dan berbagai sudut, serta menghindari penyesuaian sepenuhnya pada salah satu perspektif tersebut.'Kesamaan dalam perbedaan' mendorong kita agar melampaui perbedaan hitam-putih, dan mengenali nuansa abu-abu. Oposisi juga tak harus mutlak. Ia dapat berbeda-beda, dengan tingkat persetujuan dan ketidaksepakatan dalam derajat yang berbeda-beda. Mengakui kompleksitas ini, memungkinkan terjadinya diskusi yang lebih produktif. Walau kelihatan berbeda, kedua konsep ini, mengajak kita agar melihat melampaui perbedaan yang ada di permukaan, menemukan kesamaan, dan berpartisipasi dalam sudut pandang yang berlawanan, dengan cara yang mendorong pemahaman dan kemajuan.Dalam politik, oposisi mengacu pada partai politik besar yang menentang partai yang berkuasa. Ia berupaya menggantikan partai yang berkuasa melalui pemilu. Terdapat perbedaan yang signifikan antara oposisi dalam sistem parlementer dan oposisi dalam sistem presidensial, serta menentukan berfungsinya pemerintahan demokratis. Dalam sistem parlementer, terdapat hubungan yang erat antara lembaga legislatif dan eksekutif. Kepala eksekutif, sering disebut perdana menteri, pula sebagai pemimpin di lembaga legislatif (biasanya anggota parlemen). Kekuasaan perdana menteri bergantung pada dukungan partai mayoritas atau koalisi di parlemen. Perdana menteri bertanggungjawab langsung kepada parlemen. Jika partai mayoritas kehilangan kepercayaan terhadap perdana menteri, mereka dapat diberhentikan melalui mosi tidak percaya. Partai mayoritas atau koalisi di parlemen membentuk pemerintahan. Perdana menteri biasanya sebagai pemimpin mayoritas ini. Sistem parlementer cenderung lebih fleksibel. Pemerintahan dapat berubah tanpa pemilihan umum baru (misalnya melalui mosi tidak percaya). Namun, fleksibilitas ini, dapat menyebabkan seringnya terjadi pergantian kepemimpinan.Pihak oposisi berperan aktif dalam meminta pertanggungjawaban pemerintah. Ia mengkaji kebijakan, mengusulkan alternatif, dan berpartisipasi dalam perdebatan. Pemerintahan koalisi merupakan hal yang umum dalam sistem parlementer. Pihak oposisi dapat membentuk aliansi menantang koalisi yang berkuasa.Dalam sistem presidensial, terdapat pemisahan kekuasaan yang jauh lebih kuat antara legislatif dan eksekutif. Kepala eksekutif, yang sering disebut presiden, hanya berperan terbatas dalam proses legislatif. Presiden dipilih secara independen dari badan legislatif dan tak bergantung pada dukungan legislatif bagi jabatannya. Presiden independen terhadap badan legislatif, mereka tak bertanggungjawab langsung kepada parlemen dan tak dapat dengan mudah diberhentikan melalui mosi tak percaya. Presiden dipilih secara terpisah dari badan legislatif. Pemerintah dibentuk secara independen dari mayoritas legislatif.Sistem presidensial lebih stabil. Masa jabatan presiden yang tetap menjamin kesinambungan, namun dapat pula menyebabkan kebuntuan jika presiden dan badan legislatif berasal dari partai yang berbeda. Koalisi lebih jarang terjadi. Oposisi cenderung lebih terfragmentasi. Peran oposisi kurang ditentukan secara konstitusional. Seringkali fokusnya menyampaikan pesan kepada publik, mengkritik keputusan presiden, dan menggunakan alat legislatif.Sebagai contoh di Indonesia, presiden tak bertanggungjawab secara langsung kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seperti halnya dalam sistem parlementer. Dalam sistem parlementer, perdana menteri (kepala pemerintahan) bertanggungjawab langsung kepada parlemen. Posisi perdana menteri bergantung pada dukungan partai mayoritas atau koalisi di parlemen. Jika partai mayoritas kehilangan kepercayaan terhadap perdana menteri, mereka dapat diberhentikan melalui mosi tak percaya.Dalam sistem presidensial Indonesia, presiden independen terhadap DPR, maka, presiden tak bertanggungjawab langsung kepada DPR. Presiden dipilih secara terpisah dari badan legislatif dan tak bergantung pada dukungan legislatif bagi jabatannya. Kendati DPR punya kekuasaan pengawasan dan dapat mengesahkan undang-undang dan anggaran bersama-sama dengan presiden, presiden tak bertanggungjawab langsung kepada DPR seperti halnya perdana menteri dalam sistem parlementer.Dalam konteks sistem presidensial, tantangan yang kompleks muncul karena perbedaan sumber legitimasi, baik presiden maupun legislatif, maka isu 'Dual Legitimacy (Legitimasi Ganda)' bisa saja muncul. Dalam sistem presidensial, presiden dipilih langsung oleh rakyat, sehingga memberikannya legitimasi demokratis yang terpisah dari legislator. Sementara itu, badan legislatif (seperti parlemen atau kongres atau dewan) memperoleh legitimasinya dari fungsi perwakilan—yang terdiri dari wakil-wakil terpilih. Persoalan Dual Legitimacy otomatis muncul karena, khususnya pada saat krisis, baik presiden maupun legislatif dapat mengklaim 'berbicara atas nama rakyat'. Pemilu dengan masa jabatan tetap bermakna bahwa dalam sistem presidensial, legitimasi presiden tetap utuh walau ada perubahan dalam komposisi badan legislatif.Tatkala presiden dan badan legislatif berpandangan atau berprioritas yang berbeda, mereka mungkin akan menegaskan legitimasi demokrasi mereka. Hal ini dapat menyebabkan ketegangan dan 'gridlock' (atau deadlock). Selama krisis (seperti keadaan darurat, perselisihan konstitusi, atau ketidakstabilan politik), permasalahan Dual Legitimacy bakal sangat mengganggu. Kedua cabang pemerintahan dapat bersaing untuk mendapatkan otoritas, sehingga menimbulkan ketidakpastian. Kendati Dual Legitimacy menjamin adanya sistem checks and balances, juga dapat menghambat tindakan tegas. Kekuasaan eksekutif presiden bisa berbenturan dengan keputusan legislatif. Sistem presidensial hendaknya menyeimbangkan antara mandat langsung presiden dan peran perwakilan legislatif. Mencapai keseimbangan yang tepat sangat penting bagi tatakelola yang efektif. Dual Legitimacy dalam sistem presidensial, menimbulkan tantangan terkait kewenangan, pengambilan keputusan, dan keterwakilan demokratis. Keadaan ini menggarisbawahi perlunya kerangka dan mekanisme konstitusional yang jelas bagi penyelesaian konflik antara lembaga eksekutif dan legislatif.Dalam sistem demokrasi, oposisi merupakan bagian integral dari demokrasi. Partai-partai oposisi menantang partai yang berkuasa. Mereka memberikan kebijakan alternatif, mengkritik keputusan pemerintah, dan meminta pertanggungjawaban partai yang berkuasa. Oposisi berbasis partai secara luas dipandang sebagai bentuk oposisi yang paling efektif. Di banyak negara otoriter, pemimpin rezim membagi oposisi politik menjadi komponen sistemik (dibolehkan berpartisipasi dalam politik resmi) dan komponen non-sistemik (tak dilibatkan dalam pemilu dan pembuatan kebijakan). Oposisi politik sangat penting untuk menjaga akuntabilitas demokrasi dan memastikan sistem politik yang sehat. Baik dalam sistem presidensial maupun parlementer, partai-partai oposisi berkontribusi terhadap checks and balances yang diperlukan agar demokrasi dapat berfungsi dengan baik.Partai-partai oposisi dalam sistem presidensial menghadapi tantangan-tantangan yang dapat berdampak pada efektivitas dan kemampuannya dalam menjaga akuntabilitas pemerintah. Masa jabatan presiden berjangka waktu yang tetap (misalnya empat atau lima tahun). Berbeda dengan sistem parlementer, yang pemilihan umumnya dapat diadakan lebih awal, pemilihan presiden dilaksanakan pada interval yang telah ditentukan. Kekakuan ini, dapat membatasi kemampuan oposisi menentukan waktu strategi politik mereka secara efektif. Sistem presidensial acapkali menunjukkan dinamika 'winner-takes-all dynamics'. Kandidat dengan suara terbanyak memenangkan kursi kepresidenan, dan partainya memperoleh kekuasaan yang amat penting. Pendekatan mayoritas ini, dapat meminggirkan partai-partai oposisi, terutama jika mereka tak berhasil memenangkan kursi kepresidenan. Mereka dapat mengalami kesulitan mempengaruhi keputusan kebijakan atau mendapatkan mayoritas legislatif. Misalnya, di Amerika Serikat, para presidennya seringkali bekerjasama dengan kedua partai agar mencapai tujuan mereka. Di negara lain, seperti Brasil atau India, presidennya membentuk koalisi dengan banyak partai untuk memerintah secara efektif.Tentu saja ada 'pro' dan 'kontra'-nya. Dukungan yang lebih luas dapat menghasilkan pemerintahan yang lebih stabil. Kolaborasi lintas partai mendorong konsensus dan mengurangi polarisasi. Namun, menyeimbangkan beragam kepentingan bisa jadi rumit. Perbedaan ideologi dapat menghambat kerjasama. Beberapa pihak mungkin lebih memprioritaskan menentang presiden ketimbang hasil kebijakannya.Coalition-building dalam politik dapat memberi keuntungan sekaligus tantangan. Kita akan mengeksplorasi risiko yang terkait dengan mengandalkan koalisi, di episode berikut, biidznillah.”
Kutipan & Rujukan:
- Amy L. Atchison, Political Science is For Everybody: An Introduction to Political Science, 2021, University of Toronto Press
- Stefana Garello, The Enigma of Metaphor: Philosophy, Pragmatics, Cognitive Science, 2024, Springer
- Richard Eldrige (Ed.), The Oxford Handbook of Philosophy and Literature, 2009, Oxford University Press
- Kliph Nesteroff, Drunks, Thieves, Scoundrels and the History of American Comedy, 2015, Grove Press
- Theodor Adorno, Walter Benjamin, Ernst Bloch, Bertolt Brecht & Georg Lukács, Aesthetics and Politics, 2007, Verso
- Jonathan Herron, Comedy-Driven Leadership: Think Like a Comedian, Move Forward Like a Leader, 2014, First Punch Press
- Matthew Soberg Shugart & John M. Carey, Presidents and Assemblies, 1992, Cambridge University Press.
[Episode 22]