"Usai asyik mengikuti ekskul pelajaran sejarah musik era 1980-an, New Wave, seorang gadis remaja bertanya pada sahabatnya, 'Apa jenis musik favorit seorang paman?''Nephew-wave!' jawab sang bestie."“Telah tersedia banyak ide dalam literatur akademis dan profesional tentang apa yang seyogyanya dilakukan dan dipikirkan oleh para pemimpin,” ucap Kenanga sembari menata-ulang bidak-bidak di papan catur sesuai susunannya. Permainan catur merupakan simbol modern yang baik mengenai kepemimpinan. Seorang pemimpin hendaknya mampu melihat 'the big picture' dan punya visi menuju kesuksesan. Seorang pemimpin juga seyogyanya mampu berkonsentrasi pada tugas yang ada dan tak terdistraksi oleh permasalahan sampingan. Dasar-dasar catur merupakan strategi, konsentrasi, dan perencanaan. Pemainnya diharuskan berpikir ke depan beberapa langkah agar berhasil."Values sangatlah vital dalam kepemimpinan pendidikan. Jika dikau mendekatkan pikiranmu terhadap values melalui pengalaman kepemimpinan atau bacaanmu tentangnya, mungkin dirimu sampai pada aneka prasangka. 'Values' bukanlah istilah teknis. Dalam berbincang tentang values, kita berbicara tentang sesuatu yang merupakan bagian dari pengalaman setiap orang. Dalam hidupmu, engkau punya banyak pengalaman tentang values, kendati mungkin dirimu tak menghabiskan banyak waktu memikirkan values-mu atau mengartikulasikannya.Dikala kita berbincang sejenak tentang bagaimana kita menggunakan kata-kata, dapat digunakan secara berbeda oleh penutur yang berbeda. Sebuah value semestinya berupa sesuatu yang agak tak berwujud dibanding benda fisik: dapat berupa keadilan, bisa berupa hubungan kita dengan keluarga, dapat berupa rumah yang nyaman, tapi bukan rumah itu sendiri.Kita lebih cenderung berbicara tentang values—dan memang menggunakan kata tersebut—disaat kita berpikir ada sesuatu yang penting, yang dipertaruhkan. Values bukanlah objek fisik, melainkan gagasan tentang apa yang kita pedulikan atau apa yang penting bagi kita. Values dapat pula mempengaruhi tindakan seseorang. Jika dirimu lebih menghargai hubungan harmonis dalam keluarga ketimbang kesuksesan dalam pekerjaan, atau sebaliknya, boleh jadi, akan berbeda jika engkau harus memilih, misalnya, akankah menerima promosi yang akan menjauhkanmu dari tempat tinggal.Values mungkin berbeda dari seseorang: pengalaman pribadi telah memberimu aspirasi bagi hidupmu yang tak dimiliki orang lain. Namun values juga dapat menjadi pembeda suatu kelompok. Suatu komunitas keagamaan, misalnya, mungkin menganut values tertentu, yang berbeda dengan values kelompok lain. Values merupakan konsepsi tentang apa yang dikehendaki. ‘Dikehendaki’ bermakna sesuatu yang sebagaimana ‘pantasnya diinginkan’, dan mungkin berbeda dari apa yang sebenarnya diinginkan. Bila engkau seorang perokok, namun engkau berpikir dirimu harus berhenti merokok, maka dikau akan sering menginginkan rokok, namun yang engkau pandang diinginkan adalah berhenti merokok dan berhenti mengidamkan rokok. Maka terbebas dari kebiasaan seperti itu, merupakan salah satu value-mu– salah satu konsepsimu tentang apa yang dikehendaki. Values dapat eksplisit atau implisit. Jika dikau mengatakan bahwa salah satu value-mu itu, keadilan atau kebenaran, maka dikau menyatakan value ini secara eksplisit. Namun dalam pilihan dan tindakanmu, dirimu akan selalu dipengaruhi oleh apa yang dikau pandang lebih disukai atau penting, baik engkau menjelaskan kepada diri sendiri atau orang lain, sesuai gagasan apa yang mempengaruhimu. Jika seseorang mengatakan bahwa sesuatu itu penting tapi tak bertindak sesuai dengannya, maka kita mengacu pada gagasan 'paying lip service' terhadap values.Beberapa penulis tentang values dalam manajemen pendidikan telah mengutip definisi 'values' Kluckhohn, 'Values adalah konsepsi, eksplisit atau implisit, yang khas dari seorang individu atau karakteristik suatu kelompok, tentang apa yang dikehendaki, yang mempengaruhi pemilihan dari adanya cara, sarana, dan akhir dari tindakan.'Kebanyakan orang mengira bahwa ada banyak pertanyaan mengenai values yang tak dapat diciutkan menjadi preferensi pribadi. Misalkan dirimu bertemu seseorang yang berkata bahwa ia suka memukul anak-anak, terutama anak kecil, dan ia akan memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk melakukannya. Itu kesukaannya. Namun jika engkau hendak membuatnya berhenti melakukannya, engkau tentu ingin melakukan lebih dari sekadar memberitahukannya bahwa pilihanmu ialah tak memukul anak kecil. Engkau akan memandang bahwa ia melakukan sesuatu yang salah, bahwa ia melanggar values yang, dalam beberapa hal, bukan hanya masalah preferensi pribadi. Pada titik inilah kita mulai membicarakan soal benar dan salah, tentang values yang hendaknya dianut masyarakat, apa pun pilihannya. Sebaiknya jangan berasumsi dulu bahwa bidang-bidang yang dicakup oleh ‘values’, ‘etika’, dan ‘moral’ atau ‘moralitas’, semuanya sama.Ada beragam cara dimana orang berusaha memisahkan apa yang merupakan masalah moral atau etika, dengan yang bukan. Mungkin berguna membedakan ‘moral’ dan ‘etika’. Terma 'etika' punya beberapa kegunaan khusus. Kata ini digunakan merujuk pada kode etik atau tanggungjawab profesional, dalam frasa ‘etika profesional’, kendati tiada alasan kuat mengapa frasa standar tersebut tak dapat berupa ‘moralitas profesional’. 'Etika' merupakan pula nama cabang filosofi yang membahas masalah moralitas; dalam pengertian ini 'etika' setara dengan 'filosofi moral'. Dalam membedakan hal-hal yang bersifat moral dan non-moral, berikut beberapa pertimbangan yang mungkin terlintas di benakmu: Masalah moral sepertinya tentang bagaimana orang diperlakukan—bagaimana orang saling memperlakukan. Maka, penilaian mengenai sebuah gambar lebih baik dari yang lain, bukanlah pertimbangan moral; Kendati moral values, seperti nilai-nilai lainnya, merupakan konsepsi tentang apa yang dikehendaki, namun, seringkali values tersebut tampak lebih dari itu. Kita boleh mengatakan, misalnya, bahwa bersikap baik, dan bukan lalim, bukan sekadar hal yang diinginkan—tetapi suatu keharusan. Gagasan kita adalah bahwa moralitas mengikat manusia dengan cara yang tak dipunyai oleh konsepsi lain tentang apa yang dikehendaki.Karenanya, moralitas pada akhirnya tak bisa menjadi masalah pilihan pribadi (terlepas dari apa yang dikatakan beberapa orang tentangnya). Jika ada sesuatu yang benar kulakukan (bahkan dalam hal preferensi atau kecenderunganku), atau sesuatu yang salah bila kulakukan (walaupun itu mungkin sesuai dengan kenyamananku), maka hal yang sama juga akan menjadi benar atau salah bagi orang lain (tentu saja, akan berbeda pada keadaan pribadi, namun tak semuanya).Lantaran moralitas bukanlah soal pilihan pribadi, kita boleh menganjurkan tentang apa yang benar atau salah. Kita berharap dapat mengajukan semacam alasan mendukung pendapat tentang benar dan salah. Namun pada saat yang sama, tak sembarang dalil yang dapat menjadikan sesuatu sebagai masalah moral.Values, sebagai konsepsi tentang apa yang diinginkan, dapat menjadi bagian dalam masyarakat. Ketika konsepsi tertentu mengenai apa yang berharga dimiliki secara luas oleh sekelompok orang, kita dapat mengatakan bahwa terdapat konsensus mengenai hal tersebut. Terkadang, kita melihat konsensus sebagai dukungan yang cukup bagi sebuah value. Jika suatu komunitas secara kolektif menganggap bahwa sesuatu harus dilakukan dengan cara tertentu, paling tidak di dalam komunitas itu, maka hal tersebut akan menjadi alasan yang cukup untuk melakukannya. Norma-norma terbentuk dalam suatu komunitas, dan komunitas tersebut mengharapkan kesesuaian dengan norma-normanya. Meskipun konsensus merupakan hal yang penting, kita juga dapat melihat bahwa konsensus aktual dalam komunitas tertentu, tak harus diterima sebagai jawaban akhir atas pertanyaan darimana norma berasal dan bagaimana norma tersebut dapat dibenarkan. Hal ini jelas karena mungkin terdapat konsensus yang berbeda di berbagai komunitas. Misalnya saja, di beberapa tempat mungkin dapat diterima atau bahkan diharapkan bahwa seseorang yang punya otoritas dan sedang mengambil keputusan profesional, akan lebih memilih rekan atau anggota keluarganya sendiri; di tempat lain, ini disebut nepotisme, dan dipandang melanggar norma profesionalisme dan kesetaraan.Terkadang, masyarakat berpendapat bahwa etika itu relatif terhadap budaya. Yang sebenarnya bahwa budaya-budaya yang berbeda mempunyai values dan norma-norma yang saling berbeda (yang merupakan bagian dari apa yang menjadikan budaya-budaya tersebut berbeda). Jika konsensus adalah keputusan terakhir mengenai apakah norma-norma tertentu harus dipatuhi, maka kita dapat menerima bahwa semua norma adalah relatif. Namun faktanya, kita bisa melihat bahwa konsensus tak harus menjadi kata terakhir karena konsensus tertentu bisa saja dikritik. Jika, misalnya, ada konsensus dalam komunitas tertentu bahwa kaum perempuan tetap di rumah, maka konsensus tersebut masih mungkin dipertanyakan dengan mengacu pada beberapa pertimbangan lain.Salah satu jenis pertimbangannya ialah banding terhadap konsekuensi. Dalam kasus ini, kita mungkin berargumen bahwa kondisi masyarakat bilamana talenta kaum perempuan tak dimanfaatkan secara maksimal, takkan membawa hasil terbaik bagi semua pihak dalam jangka panjang.Kadang-kadang orang berpikir bahwa mengajukan konsekuensi bukanlah menyajikan argumen moral. Namun ketika engkau berpikir tentang apa yang harus engkau lakukan dalam keadaan tertentu, bukankah biasanya dirimu akan memberikan perhatian pada konsekuensi dari suatu tindakan? Jika engkau berpikir secara moral tentang apa yang harus engkau lakukan, tentu saja dirimu tak boleh semata memikirkan konsekuensinya bagi dirimu sendiri, melainkan tentu engkau harus memikirkan konsekuensinya bagi orang lain yang akan terkena dampak tindakanmu. Kita sering menganggap seseorang telah bertindak tak bertanggungjawab jika tak memperhitungkan akibat yang ditimbulkannya bagi orang lain.Persoalan mengenai konsekuensi merupakan hal yang penting dalam pendidikan, dan tak terkecuali dalam kepemimpinan pendidikan, sebab pendidikan selalu harus memperhatikan konsekuensi bagi siswa tentang cara mengajar dibandingkan yang lain, silabus dibandingkan yang lain, dan seterusnya, dan para pemimpin pendidikan hendaklah mempertimbangkan konsekuensi dari keputusan mereka terhadap semua orang yang berusaha mereka pimpin.Pendidikan menyangkut persoalan tentang orang-orang yang dengan sengaja memberikan pengaruh terhadap orang lain. Dalam hal ini, penilaian mana yang dapat diterapkan mengenai apa yang secara moral baik atau buruk, juga telah ditentukan. Memperlakukan orang dengan cara tertentu dibandingkan dengan cara lain—khususnya ketika orang yang terkena dampak adalah mereka yang rentan, sebagaimana anak-anak terhadap orang dewasa—bukan sekedar masalah pilihan. Ada kewajiban yang terlibat di sini. Masyarakat bertanggungjawab terhadap generasi mudanya agar membesarkan dan mendidik mereka dengan cara yang baik (itulah sebabnya kita mengatakan bahwa anak-anak berhak atas pendidikan, bukan hanya bahwa menerima pendidikan itu, hal yang baik bagi anak-anak). Maka, tujuan pendidikan merupakan tujuan yang harus dicapai oleh masyarakat, dan masyarakat mempercayakan sebagian besar tanggungjawab mencapai tujuan tersebut kepada sekolah.Sekolah bukanlah satu-satunya lembaga yang bertanggungjawab terhadap orang-orang tertentu, yang dilaksanakan atas nama masyarakat luas. Kita dapat mengatakan, misalnya, bahwa rumah sakit bertanggungjawab seperti itu, setidaknya, dalam layanan kesehatan yang dijalankan dan didanai oleh publik. Namun ada poin lebih lanjut mengenai tujuan sekolah. Sekolah-sekolah yang peduli dengan pendidikan umum generasi muda—tak seperti, katakanlah, sekolah mengemudi atau sekolah renang—berusaha menggalakkan pembelajaran yang tak netral secara etika. Mereka tak dapat menghindar, baik atau buruk, pengaruh terhadap values, termasuk moral values, kaum muda; oleh karenanya, sekolah hendaknya melakukan yang terbaik agar mempengaruhi values ini menjadi lebih baik. Inilah dimensi lebih lanjut dimana tujuan sekolah dipandang sebagai tujuan moral.Bila kita berbicara tentang kepemimpinan, agar dapat mencapai tujuan moral, seorang pemimpin memerlukan semacam otoritas, namun tak diperberolehkan punya kekuasaan despotis. Manakala kita mengatakan bahwa seseorang berotoritas, persoalan mengenai 'values' sudah tersirat. Dalam wacana sehari-hari, otoritas tak selalu dibedakan dari kekuasaan, namun hal ini membantu memunculkan topik 'values' jika kita membedakannya. Gagasan tentang otoritas membantu kita membedakan antara pelaksanaan kekuasaan yang benar dan salah. 'Otoritas' merupakan konsep yang sarat nilai; secara kasar, ia sama dengan ‘legitimate power’. Gagasan tentang otoritas sebagai kekuasaan yang sah, memberi kita titik awal dalam memikirkan bagaimana otoritas berkait dengan kepemimpinan. Penggunaan kekuasaan dalam masyarakat, sangatlah luas dan boleh jadi, tak dapat dihindari; hampir setiap orang mungkin turut dalam pelaksanaan kekuasaan atas seseorang pada suatu waktu (ahli teori Perancis abad ke-20, Foucault, secara khusus diasosiasikan dengan gagasan bahwa kekuasaan didistribusikan secara luas). Namun, tentu saja, beberapa orang punya kekuasaan yang lebih besar dibandingkan yang lain. Pemimpin bukanlah pemimpin tanpa adanya kemungkinan menjalankan kekuasaan (bahwa dalam pengertian netral values, ini hanya berarti bahwa pemimpin mampu membuat orang lain melakukan apa yang diinginkan oleh pemimpinnya), namun jika orang lain berusaha menjalankan kekuasaan atas kita, kita ingin tahu apakah mereka berhak melakukannya. Disaat kita mengakui seseorang sebagai pemimpin, kita mengakui bahwa penggunaan kekuasaannya sah; yaitu kita menyadari bahwa mereka tak semata berkuasa, namun juga berotoritas atas kita.Kalau begitu, mengapa masyarakat mengakui bahwa orang lain berotoritas atas mereka? Banyak orang di dunia telah menjalankan kekuasaan yang diakui sah oleh orang lain hanya berdasarkan tradisi. Namun, di dunia modern, tradisi semakin dipertanyakan sebagai sumber legitimasi. Sebaliknya, kita mempunyai sistem peraturan (termasuk sistem hukum negara) yang memberikan posisi kekuasaan kepada orang-orang yang memegang peran tertentu, penggunaan peran tersebut tunduk pada beberapa bentuk kualifikasi dan keseluruhan sistem dapat dilihat dibenarkan oleh hal-hal yang lebih luas. pertimbangan seperti kesejahteraan umum. ‘Birokrasi'—sebagai terma sosiologis, bukan yang bersifat peyoratif—istilah umum bagi sistem semacam ini, dan jenis otoritas yang terlibat adalah ‘rasional-legal’. Ia merupakan bagian dari sistem otoritas rasional-legal yang tak sembarangan orang menduduki suatu jabatan. Sistem ini menjadikan penempatan posisi otoritas bergantung pada semacam kualifikasi. Orang biasanya harus melamar suatu posisi yang berotoritas, bersaing dengan orang lain, dan menunjukkan bahwa mereka memenuhi syarat melakukan pekerjaan itu, baik berdasarkan pengalaman mereka atau (yang semakin meningkat dalam sistem modern) dengan memperoleh kualifikasi formal tertentu.Oleh karenanya, jika sistem berjalan dengan baik, setiap orang yang berotoritas, akan memenuhi syarat menduduki posisi tersebut. Namun tetap saja kewenangan yang dimiliki seseorang berdasarkan kedudukannya dalam suatu sistem birokrasi, tak serta merta sejalan dengan kewenangan yang sebenarnya untuk menyelesaikan sesuatu.Jika engkau memperoleh posisi kepemimpinan karena engkau diakui sebagai guru yang baik, hal ini dapat merupakan elemen dari tindakan otoritas tradisional–seperti inilah yang umumnya dilakukan. Bila engkau memperoleh posisi kepemimpinan karena, bahkan sebelum dirimu menduduki posisi formal tersebut, masyarakat cenderung menghormatimu dan memperhatikan pendapatmu, maka boleh jadi—kendati dirimu mungkin bukan orang yang tepat menyatakan tentang dirimu—bahwa engkau punya kualitas pribadi yang spesial!Dalam wacana kepemimpinan pendidikan beberapa tahun terakhir, gagasan tentang visi, telah mencuat. Mungkin penggunaan kata ‘vision’ [penglihatan] yang paling umum merujuk pada kemampuan melihat pada umumnya; misalnya, seperti kebanyakan orang, daku memakai kacamata untuk memperbaiki kekurangan penglihatanku. Karena penglihatan dalam pengertian harafiah sehari-hari adalah kapasitas normal manusia, maka takkan banyak membantu jika kita mempertimbangkan kualitas-kualitas khusus apa pun yang diperlukan dalam kepemimpinan. Namun gagasan biasa tentang visi ini dapat disempurnakan menjadi sesuatu yang lebih istimewa dengan menjadikannya sebuah perumpamaan. Lalu, ketika kita mengatakan bahwa seseorang ‘punya visi’, yang kita maksudkan adalah bahwa ia tak semata mampu melihat, namun juga berkemampuan yang jauh lebih besar daripada kebanyakan orang, melihat bagaimana keadaan sebenarnya. Kita mungkin menyebut kualitas ini sebagai 'persepsi imajinatif'. Bila dikaitkan dengan konteks sekolah, dapat berupa kemampuan melihat kemungkinan-kemungkinan yang terbuka di masa depan sebuah sekolah, melihat kemungkinan-kemungkinan yang barangkali diabaikan oleh pihak lain, dan melihat bagaimana sekolah dapat mencapai masa depan yang diinginkan. Seseorang dengan kapasitas ini, dapat digambarkan sebagai seorang visioner.Ketika gagasan tentang visi digunakan dalam konteks kepemimpinan pendidikan, kerapkali berkonotasi kemampuan melihat sesuatu melampaui apa yang ada saat ini—status quo saat ini—dan apa yang terlihat—sebuah representasi masa depan. Dikala kita berbicara tentang visi seseorang terhadap sekolahnya, kita berbicara tentang gambarannya tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Namun mengatakannya seperti itu, berarti membuatnya tampak biasa saja. Siapa pun dapat memiliki gambaran mental tentang seperti apa sebuah sekolah di masa depan, namun dalam banyak peristiwa, gambaran tersebut mungkin tak dapat memotivasi atau menginspirasi orang. Jika kita menggunakan istilah ‘visi’ bagi sembarang gambaran tentang seperti apa sebuah sekolah nantinya, kita akan kehilangan perasaan bahwa ada sesuatu yang istimewa tentang sebuah visi.Dalam konteks pendidikan, ‘visi’, seperti halnya ‘tujuan’, memperlihatkan bahwa sesuatu sedang dituju. Sama halnya dengan tujuan, visi dapat memberikan arah dan motivasi. Namun visi berbeda dengan tujuan karena visi menyajikan gambaran tentang bagaimana keadaan sesuatu di masa depan, yang belum tentu punya tujuan. Tujuan mungkin terfokus pada sesuatu yang relatif sempit, seperti meningkatkan nilai ujian atau meningkatkan perekrutan terhadap sekolah. Atau tujuan yang hendak dicapai dapat lebih luas namun tak jelas—contoh, jika seorang kepala sekolah ingin terus meningkatkan kualitas sekolahnya, namun tak memiliki gagasan yang jelas tentang seperti apa sekolahnya setelah beberapa waktu perbaikan. Tujuan seorang pemimpin bahkan bisa menjadikan segala sesuatunya tetap sama jika pemimpin tersebut menganggap bahwa keadaannya sudah cukup baik. Namun agar bertujuan seperti ini, tak harus didorong oleh visi tentang apa yang mungkin terjadi.Masyarakat menjadi sehat manakala mereka belajar; definisi masyarakat hendaknya mencakup kapasitas untuk tumbuh dan berkembang secara organik. Ada hubungan simbiosis antara sekolah dan masyarakatnya—anak-anak. Sekolah menjadi mikrokosmos, model, cita-cita bagi masyarakat. Sekolah hendaklah sukses bersama masyarakatnya, bukan mengabaikannya. Para pemimpin pendidikan berposisi yang sangat baik memberikan kepemimpinan di masyarakat—sekolah sebagai institusi, biasanya punya modal sosial yang sangat tinggi. Mereka membutuhkan kualitas seperti visi, empati, kemampuan beradaptasi, dan komunikasi. Mereka mengambil pendekatan yang komprehensif, berbasis bukti, dan relasional dalam penyelesaian masalah dan memainkan peran penting dalam mendorong kesetaraan dan memastikan bahwa semua siswa memiliki akses terhadap pendidikan berkualitas.Kepemimpinan pendidikan melibatkan penerapan ilmu dan keterampilan untuk mengubah komunitas dan hasil dalam berbagai konteks pendidikan. Dampak kepemimpinan pendidikan dirasakan di seluruh sekolah, organisasi nirlaba, dan organisasi sektor swasta. Pemimpin yang efektif dapat mentransformasi seluruh komunitas melalui kerja mereka yang bermakna. Kepemimpinan pendidikan pada dasarnya berkaitan dengan values dan pada dasarnya bersifat aspiratif. Di banyak komunitas, sekolah merepresentasikan investasi publik terbesar dan merupakan organisasi dengan sumber daya terbaik.Ada dasar etis yang kuat dalam kepemimpinan seperti ini. Intinya, prinsip keadilan dan pemberian hak. Semua ini diperluas ke dalam keyakinan bahwa komponen penting dari proses pendidikan adalah perjuangan bagi keadilan sosial. Kemiskinan ekonomi, sosial dan budaya, merupakan hambatan utama terhadap peluang pendidikan. Kepemimpinan dalam konteks ini, lebih dari sekedar melawan diskriminasi—kepemimpinan adalah tentang promosi aktif masyarakat berdasarkan penerimaan dan keterlibatan positif. Kepemimpinan merupakan proses moral yang berakar kuat pada kelangsungan hidup dan keberlanjutan masyarakat. Dengan demikian, kepemimpinan merupakan sebuah alat untuk melakukan perubahan sosial, pembaruan dan pembangunan komunitas pembelajaran—baik formal maupun informal.Dan sebelum meneruskan ke episode berikutnya, mari kita bangun harapan bahwa walau seusai menyelesaikan tugas atau mengatasi tantangan, masih ada jalan untuk ditemukan atau dijelajahi. Di setiap akhir, ada benih permulaan. Kendati jalan berbeda dan bayang-bayang bermain, kita akan menemukan jalan kita. Perjalanan terus berlanjut, mencari cakrawala baru. Even when we're done, we'll find out our way. Insya Allah."
Kutipan & Rujukan:
- Graham Haydon, Values for Educational Leadership, 2007, SAGE Publications
- Tony Gelsthorpe & John West-Burnham, Educational Leadership and the Community: Strategies for School Improvement through Community Engagement, 2003, Pearson Education