Senin, 13 Mei 2024

Cerita dari Pohon Kenanga (13)

“Seorang bocah nanya pada rekannya, 'Nape sih, buku kimianya berasa toxic?'
Sang teman menjawab, 'Soalnya, terlalu banyak unsur-unsur jeleknya!'"

“Di zaman now, dimana rata-rata orang sudah berkemajuan, masih ada juga orang yang tampang dan otaknya, gak kompak. Maksudnya, tatkala 'orang terpelajar', yang tak dididik atau dilatih menggunakan keterampilan yang bermanfaat; yang mengerti namun tak sanggup bertindak sepatutnya, akan menimbulkan ketidakseimbangan yang akut. Kaum muda di pendidikan menengah atau tinggi, semakin mengkhususkan diri dan terlalu sering melakukan hal tersebut dalam bidang-bidang tertentu. Hal ini berarti mereka hanya diajar mempraktikkan keterampilan keilmuan dan sains. Mereka memperoleh ilmu tentang mata pelajaran tertentu, akan tetapi tak dibekali menggunakan ilmu dengan cara yang relevan dengan dunia luar sistem pendidikan.
Ketidakseimbangan ini, berbahaya bagi individu, industri, dan masyarakat. Pendidikan yang seimbang seyogyanya mencakup analisis dan perolehan ilmu. Namun, pendidikan yang seimbang hendaknya mencakup pula penerapan keterampilan kreatif, berkompetensi mengerjakan dan menyelesaikan tugas-tugas, serta berkemampuan menghadapi kehidupan sehari-hari; serta melakukan pula segala hal ini dalam bekerjasama dengan orang lain," lanjut Kenanga seraya mengarahkan pandangannya ke sebuah berlian biru, 'Hope Diamond', di Smithsonian's National Museum of Natural History.
Beberapa orang meyakini bahwa berlian berkhasiat menyembuhkan, meningkatkan keseimbangan, kejernihan, dan energi positif. Dalam beberapa tradisi spiritual, berlian dikaitkan dengan pencerahan, kearifan, dan kebangkitan spiritual. Sifatnya yang beraneka dimensi mencerminkan cahaya batin. Oleh sifat basau dan daya-tahannya, berlian kerap melambangkan keabadian cinta. Bahan alaminya yang amat keras, mewakili kekuatan dan ketahanan. Kejernihan dan kecemerlangannya melambangkan kenirmalaan dan kebeningan emosi. Berlian sering digunakan dalam cincin pertunangan yang melambangkan cinta zakiah dan khalis. Secara historis, berlian tergolong langka dan berharga, menjadikannya simbol kekayaan dan kemewahan. Berlian dikenakan oleh kaum ningrat dan terhormat. Secara keseluruhan, berlian dihargai karena keindahan, kelangkaan, dan keberagaman simbolismenya.

"Patrick Nuttgens berpendapat bahwa pendidikan itu, tentang ide-ide, terkadang mengenai masyarakat, pada dasarnya berkenaan dengan abstraksi-abstraksi; malahan disiplin ilmu yang dengan mudah mengabstraksi dirinya ke dalam klasifikasi-klasifikasi banyak materi yang tampak penting, sebab serangkaian pakar telah mewujudkannya sebagai pasak yang semakin mudah dikenali setiap tahunnya atau semakin berkurang, bergantung pada jenis darmasiswa yang diberikan pada bidang tersebut dalam jangka waktu tertentu. Bahkan dalam sains, pendidik lebih nyaman dengan sains dasar dan teori ketimbang teknologi, atau benda nyata yang ditemukan atau dibuat oleh manusia.
Jika terdapat ketidakseimbangan yang gawat dalam masyarakat dan sistem pendidikan kita, yang sangat berpengaruh terhadap masyarakat tersebut dan orang-orang yang dididiknya agar mendapatkan peran utama, ada hubungannya dengan awal mula pendidikan. Awal mula pendidikan, bagi sebagian besar orang di setiap belahan dunia, bukanlah suatu klasifikasi gagasan yang diwariskan; melainkan persepsi dan pemahaman tentang dunia mereka. Namun jika hal ini benar dalam masyarakat yang relatif primitif, maka hendaknya ditekankan bahwa tiada zaman atau masyarakat yang lebih benar daripada masa kita. Engkau tak dapat mulai memahami dunia modern tanpa pemahaman tentang teknologi—tentang hal-hal dan proses yang dikreasikan dan bergantung padanya. Awal dari pendidikan yang relevan bagi dunia modern, seyogyanya berupa pemahaman yang mendalam, kritis, dan terinformasi tentang hakikat realitas fisik, bukan menjauh darinya.

Di dunia yang semakin menjadi buatan manusia, banyak hal, bermula dari pemikiran, imbuh Nuttgens. Ia mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan inovasi dan penemuan. Kita menemukan definisi benda, tak semata sebagai 'objek material yang tak bernyawa', namun juga sebagai 'apa yang dilakukan atau akan dilakukan; suatu perilaku, tindakan, perbuatan, transaksi; peristiwa, insiden, kejadian; fakta, keadaan, pengalaman'; dan juga sebagai 'apa pun yang menjadi atau mungkin menjadi objek pemikiran'. Hal ini langsung menunjukkan hubungan mendasar antara pikiran dan benda, antara persepsi dan benda, dan antara manusia dan benda. Oleh karenanya, keterkaitan antara benda dan pikiran, bersifat kompleks, mendalam, dan tak pernah dapat dipisahkan. Namun bisa jadi, kita telah membuat sendiri masalah filosofis kita dengan memisahkan antara benda dan pikiran yang hanya dapat dipertahankan dalam kerangka dualisme pemikiran Barat. Dualisme filosofis ini, selaras dengan filosofi Karl Popper. Popper memberikan landasan filosofis yang pada akhirnya memungkinkan pembicaraan bermakna tentang dunia yang tak termasuk dalam entitas teoretis sistem dualistik.
Ada interaksi aktif antara yang mempersepsikan dan yang dipersepsikan. Kita tak lagi percaya pada benda-benda yang ada secara statis dalam ruang dan waktu; kita tahu bahwa bahkan benda mati pun berubah sepanjang waktu. Memang benar, satu-satunya cara kita mengetahui bahwa waktu berlalu adalah dengan mengacu pada sebelum dan sesudah (satu menit yang lalu seperti itu, sekarang seperti ini) realitas fisik yang berubah di sekitar kita. Namun jika segala sesuatunya berubah sepanjang waktu, ia memerlukan pemikiran dan imajinasi kita agar mempersepsikannya, terlebih lagi untuk memahaminya. Bahkan ada lebih banyak lagi. Sejak teori kuantum dikemukakan, kita tahu bahwa fakta pengamatan kita mengubah fenomena tersebut. Dan ini merupakan proses dua arah: Apa yang kita rasakan mengubah persepsi dan kekuatan persepsi kita. Ini semakin banyak terjadi dengan penggunaan teknologi modem.

Tampak jelas, kata Nuttgens, bahwa alih-alih meruntuhkan persepsi kita, teknologi justru dapat memperbesar kekayaan dan daya tarik dunia. Segala sesuatu mengandung esensi keindahan. Awal mula pengalaman estetis, pengalaman keindahan, ketepatan bentuk, dan daya ingat bentuk, warna, dan cahaya, adalah pada penghayatan terhadap benda-benda, baik alam maupun buatan. Pengalaman estetis atas keindahan abstrak gagasan atau matematika muncul belakangan lantaran muncul dari penghayatan realitas fisik. Semakin banyak eksplorasi yang dilakukan, semakin banyak hal-hal alamiah yang ditelaah dan dikaji, dan semakin sulit dipahami dan menjadi kenyataan yang luar biasa. Alam dalam pengertian ruang tampaknya tak ada habisnya—menawarkan realitas yang tak dapat kita bayangkan dalam kategori pengalaman kita.
Namun jika alam itu sangat besar, maka ia mungkin pula amat kecil. Penelitian mikroskopis tumbuhan tak mengungkapkan komponen terkecilnya; ia mengungkapkan struktur pergerakan yang lebih jauh. Tak ada dalil agar mempercayai bahwa eksplorasi akan berakhir. Tampaknya, bagi ilmuwan yang mencari fakta, alam tak cuma sangat besar, melainkankan pula, sangat kecil. Betapa menakjubkannya dunia yang penuh keajaiban dan kegembiraan yang ditemukan melalui pengamatan hebat terhadap hal-hal duniawi! Mungkin ada kenyataan yang lebih hakiki, lebih menggairahkan, lebih penting daripada kebanyakan kepercayaan tradisional, lebih menuntut pikiran—bahwa hal-hal biasa yang kita sentuh dan cicipi, potong dan buat, memiliki kompleksitas dan kesenangan yang tak terhingga.
Di sisi lain, apa yang dapat memberikan pengayaan landasan dan menjanjikan bagi pendidikan menyeluruh, mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas dan seterusnya? Ia menawarkan semua keceriaan dan kesenangan alam dalam kedalaman dan keragaman yang tiada habisnya, dan pada saat yang sama, berisi pelatihan kerja, yang pada dasarnya berkaitan dengan aktivitas ketimbang ilmu yang lembam.
Nilai materi pendidikan ini seringkali diakui di sekolah dasar kita. Dunia kanak-kanak yang sedang bertumbuh ini—dunia pertanyaan; Mengapa? Di mana? Kapan? Bagaimana?—dunia dimana ia memisahkan berbagai hal dan melihat betapa segala sesuatunya bekerja, dunia yang menguji kapasitas dan kemampuan fisik serta mentalnya sendiri, dunia yang membangun bahasa yang memungkinkan terjadinya refleksi dan pemikiran lebih lanjut. Sesuatu yang sangat penting dalam menguasai dunianya inilah, yang tentu teramat berarti dalam pendidikan.

Kevin Harris menekankan bahwa ‘pendidikan’ itu, sebuah konsep yang berubah, diperebutkan, dan kerap bersifat personal, dibangun secara historis dan politis. Harris mengemukakan apa yang ditulis oleh R. S. Peters, ‘Beberapa filsuf profesional sekarang akan berpikir bahwa fungsinya adalah memberikan [...] arahan tingkat tinggi bagi pendidikan atau kehidupan; memang salah satu tugas utamanya ialah mengungkap pernyataan-pernyataan aristokrat di bawah guillotine analitik'.
Tentang maksud atau arah pendidikan, Harris menyajikan kata pengantar Jonas Soltis, 'ia memberikan cara yang terorganisir agar secara cerdas memeriksa berbagai jenis tujuan, yang telah atau belum dapat dikembangkan secara serius sebagai arah yang tepat bagi pendidikan [...] Tak ada satu pun jawaban apa yang harus kita tuju memang dianjurkan, namun dasar agar berpikir secara cerdas tentang isu pendidikan utama di dunia yang kompleks saat ini berada dalam jangkauan pembaca yang bijak.'

Paul Standish mengemukakan bahwa analisis standar mengenai arah pendidikan dapat dilakukan dengan menawarkan tiga kemungkinan lokasinya: pertama, melayani kebutuhan masyarakat; kedua, meneruskan dan mengembangkan cara-cara mengetahui dan memahami, yang merupakan warisan bersama; ketiga, membantu peserta didik secara individu agar berkembang, baik melalui proses pengungkapan dari dalam atau melalui kreasi otentik dari diri mereka sendiri.
Metode pengajaran formal dan pedagogi otoriter dan didaktik, meyakini bahwa pendidikan terutama berkaitan dengan penyampaian fakta dan keterampilan. Ketika ditekan mengenai substansi dari apa yang harus dipelajari, para pendukung pendidikan 'tradisional' ini, mungkin akan lebih menyukai mata pelajaran seperti studi bisnis, teknologi informasi, keterampilan usaha, dan apa pun yang dipandang kondusif bagi penguatan industri. daya saing. Hal ini mungkin bersifat tradisional sepanjang merujuk pada metode pengajaran tertentu.
Sebaliknya, pendidikan liberal tak hanya mementingkan metode, perselisihannya dengan progresivisme lebih berkaitan dengan pertanyaan tentang konten, dan kegagalan progresivisme dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Fakta bahwa pernyataan kembali pendidikan liberal modern pada tahun 1960an merupakan pembaharuan gagasan lama, menggarisbawahi kekuatan tradisi yang mendasarinya. Sayangnya hal ini menyebabkan kecenderungan menyebut pendidikan liberal sebagai ‘pendidikan tradisional’, sehingga menimbulkan kebingungan yang tak dapat dihindari dengan penggunaan frasa yang lebih umum seperti yang telah disebutkan.
Pendidikan liberal berkaitan terutama dengan inisiasi ke dalam cara-cara mengetahui dan memahami yang merupakan warisan bersama. Namun tak jelas apakah tujuan ini bertentangan dengan tujuan ketiga, yaitu gagasan bahwa tujuan pendidikan adalah pengembangan peserta didik. Karena bisa saja dikatakan bahwa individu akan berkembang paling baik justru dengan diinisiasi ke dalam warisan bersama tersebut, dan, yang lebih kuat lagi, bahwa tidak diinisiasi seperti itu, merupakan jenis keterbelakangan.
Pada titik ini, penting dicatat adanya perbedaan penting antara konsepsi lama tentang pendidikan liberal dan pernyataan kembali pada tahun 1960an. Dalam cita-cita klasik, pembelajar dituntun menuju kontemplasi kebenaran. Metafora penglihatan, visi sejati, dengan sendirinya menerangi jenis keintiman realitas yang menjadi perhatian Plato. Sebaliknya, dalam konsepsi modern, penekanannya lebih pada kekuatan penalaran yang diperkenalkan oleh masing-masing bentuk pengetahuan kepada pelajar. Jika pendidikan liberal klasik membebaskan pelajar dengan menghilangkan ilusi dan memungkinkan perenungan terhadap objek kebenaran dan kebaikan, maka versi modern memberdayakan pelajar dengan memberikan kemampuan bernalar secara efektif dalam beragam cara berpikir yang telah diwariskan kepada kita. dan yang dapat menginformasikan lembaga rasional kita. Hal ini terlihat terutama dari keasyikan versi modern dengan otonomi rasional.

Jika dipahami dengan benar, kata William Hare, pemikiran kritis sangat penting dalam pengajaran di semua tingkatan, guna menghindari berbagai bentuk pendidikan yang keliru, yang selalu mengancam upaya kita. Guru perlu memikirkan tujuan mereka dalam pendidikan untuk melihat bagaimana ide-ide yang tersirat dalam pemikiran kritis ideal dapat menangkap aspek-aspek penting dari keseluruhan tujuan mereka. Yang paling penting dari semuanya, mereka perlu bertanya apa artinya mengajar secara kritis dan menemukan cara mengekspresikan hal ideal dalam praktik kelas.
Pemikiran kritis telah dipandang oleh banyak orang sebagai hal yang sangat dibutuhkan dalam pendidikan di akhir abad ke-20; ia dianggap sebagai suatu cita-cita yang dapat dan harus mengubah cara mengajar dan belajar siswa. Karenanya, pemikiran kritis mendapat lebih banyak perhatian selama dua dekade terakhir dibandingkan tujuan pendidikan lainnya.
Hare menyebutkan bahwa seorang pemikir kritis berwatak sebagai berikut, didukung oleh kemampuan dan sikap yang relevan agar memeriksa dan mengevaluasi klaim atas pengetahuan, prinsip normatif, teori, rekomendasi kebijakan, dan hal-hal lain yang memerlukan penilaian; menentukan apakah yang disajikan sebagai bukti dan argumen yang relevan pantas dipertimbangkan, dan sejauh mana hal tersebut bias, tak memadai, menyesatkan, atau kurang dalam hal lain; menolak upaya pihak lain memaksakan gagasan pada dirinya, dan menghindari pemaksaan terhadap gagasan yang dianggap remeh dalam iklim intelektual dan sosial yang berlaku; menganggap situasi-situasi dan permasalahan-permasalahan yang secara konvensional dipandang sederhana, sebagai sesuatu yang berpotensi menimbulkan permasalahan dan kontroversial, berusaha memperhatikan hal-hal yang tak biasa ketika tertarik pada hal-hal yang sudah lazim, dan membayangkan cara-cara yang dapat melampaui kerangka kerja yang ada.

Siddheshwar Rameshwar Bhatt mengungkapkan bahwa pendidikan merupakan proses transformasi yang disengaja dalam pertumbuhan dan perkembangan alami seseorang, dan lingkungan sekitar. Ia menjamin terjadinya percepatan proses perkembangan kehidupan manusia dengan ritme yang tepat. Karenanya, pendidikan merupakan sarana perbaikan dan peningkatan taraf hidup, sarana mewujudkan kualitas hidup yang tinggi, meningkatkan potensi-potensi inheren dengan swadaya dan dengan bantuan lingkungan sosial dan alam. Tiada keraguan bahwa pendidikan merupakan kekuatan utama bagi kemajuan dalam kehidupan secara bermakna. Sejauh pendidikan merupakan upaya sadar dan terencana guna menata kehidupan, maka pendidikan dan kehidupan erat kaitannya.
Pendidikan itu, suatu proses sadar yang terdiri dari modifikasi terencana dan metodis terhadap perkembangan alamiah manusia. Manusia pada dasarnya tak sempurna. Kehidupannya merupakan suatu proses perkembangan yang cenderung menuju sesuatu yang lebih sempurna. Hal ini mengakibatkan modifikasi pola perilakunya. Agar modifikasi ini berhasil mencapai tujuannya, maka modifikasi tersebut seyogyanya direncanakan dan direkayasa dengan baik. Hal ini mengandaikan adanya rumusan yang memadai tentang potensi, keyakinan, dan aspirasi keberadaan manusia, dengan kata lain, arah atau tujuan pendidikan.
Pendidikan, lebih jauh lagi, merupakan media yang melaluinya masyarakat meneruskan warisan pengalaman masa lalu dan modifikasinya, sistem nilai-nilainya, dan cara-cara atau keterampilan agar memperoleh nilai-nilai tersebut. Dengan demikian, semua pendidikan merupakan sarana mencapai kemajuan kehidupan manusia. Inilah pemanfaatan yang bermanfaat dari pengetahuan yang diperoleh umat manusia bagi peningkatan eksistensi manusia. Oleh sebab itu, ia merupakan pelestarian tradisi yang sehat, penopang kehidupan, dan pengembangan kehidupan.

Pendidikan yang kuat, bersemangat, dan holistik, menjamin perkembangan individu secara menyeluruh. Hal ini memberikan peluang bagi berkembangnya potensi-potensi inheren semaksimal mungkin dan meningkatkan kemampuan mewujudkannya. Pengembangan kepribadian hendaknya mewujudkan sepenuhnya sifat-sifat alami yang tersirat dalam diri kita.
Selain peningkatan pribadi, pendidikan juga hendaknya diarahkan pada pengembangan karakter. Di zaman sekarang, umat manusia menghadapi krisis akut berupa hilangnya karakter, semacam entropi dan negativisme nilai. Masalahnya, bagaimana memastikan pengembangan karakter yang dibutuhkan. Pengembangan karakter merupakan gagasan relasional. Ia bermakna pengembangan kualitas-kualitas tertentu yang diperlukan untuk membuat kehidupan manusia layak dijalani. Kualitas-kualitas ini mungkin menyangkut diri sendiri dan orang lain.
Di zaman modern, kita tak hanya melupakan sifat-sifat mulia ini, tetapi kita juga mengabaikan tanggungjawab kita. Konsekuensinya, berbagai persoalan muncul dan menghadang umat manusia. Sayangnya, kita hidup dalam menghadapi permasalahan, namun kita hanya memberikan peringatan dan merawat gejalanya, dan tak memikirkan akar permasalahannya. Tentu saja, akarnya tak cuma sebatas bidang pendidikan, namun tersebar kemana-mana. Seseorang hendaknya keluar dari arena pendidikan ke lingkungan keluarga, lingkungan sekitar, tempat kerja, pasar, masyarakat, bangsa dan dunia pada umumnya. Faktanya, perkembangan teknologi modern telah mengesampingkan sistem pendidikan, mediasi orangtua telah menurun, dan jenis pengaruh kelompok baru, yang sebagian besar kelompok teman sebaya di TV dan media massa lainnya yang tak sehat dan menyimpang, telah memperoleh pengaruh yang kuat pada pikiran manusia. Meski demikian, peran pendidikan tak bisa diremehkan. Pendidikan dapat diarahkan untuk mengelola media dan membentuk kembali karakter manusia, yang merupakan kebutuhan zaman. Kita hidup di zaman yang didominasi media, zaman dimana prinsip-prinsip, cita-cita, simbol-simbol dan gambaran-gambaran yang memberi arah pada hidup kita dan memberikan rasa 'keberadaan' sebagian besar disajikan oleh media melalui beragam lembaganya. Melalui pendidikan yang tepat, kita dapat menggunakan media ini agar memungkinkan kita mencapai pesan-pesan yang memuliakan dan yang dapat memberi tahu kita siapa diri kita, apa yang harus kita kerjakan, apa yang semstinya kita lakukan atau tak lakukan, dan bagaimana kita seyogyanya melakukan hal-hal yang baik bagi kehidupan, dll.

Pendidikan merupakan sarana yang penting, semata bagi kelangsungan hidup, melainkan pula bagi kualitas hidup di dunia yang kompetitif. Menumbuhkan keterampilan hidup bagi pilihan kejuruan merupakan persiapan untuk kehidupan, hidup bermartabat dan bahagia, dengan kemandirian ekonomi dan kenyamanan materi, dengan kebahagiaan mental dan kepuasan spiritual. Ia membuka karir yang cemerlang, pilihan karir yang berkembang pesat, dan kemajuan karir yang menarik dengan membangun pusat pengetahuan. Pendidikan sebagai pengetahuan berfungsi sebagai kekuatan pendorong pilihan kejuruan, sebagai “vitamin kesuksesan” atau 'tangga menuju kesuksesan', dengan menghasilkan keunggulan kompetitif dan dengan demikian mengarah ke hari esok yang lebih cerah. Perencanaan karir merupakan proses yang hendaklah berlangsung sepanjang hidup seiring kita berevolusi dan tumbuh seiring dengan pengalaman kita. Hal ini terjadi karena dunia kerja bersifat dinamis dan berkembang, pasar kerja tak stabil, peluang-peluang baru semakin banyak tersedia, dan oleh karenanya terdapat tuntutan terhadap pengembangan profesional dalam situasi kerja. Merupakan bagian dari fungsi pendidikan membantu melepaskan diri bukan dari zaman kita sendiri—karena kita terikat oleh waktu—tetapi dari keterbatasan intelektual dan emosional zaman kita, sebuah transisi dari masa kini ke masa depan. Dengan demikian, pendidikan merupakan kekuatan yang membebaskan dari kemiskinan dan kekurangan, stagnasi dan dekadensi.
Perencanaan karir seyogyanya menjadi pula suatu proses yang sesuai dengan sifat dan potensi yang melekat pada diri seseorang. Ia hendaknya mengingat tujuan pembuatan karir, sarana dan modalitas yang terlibat. Tanpa kesadaran atau pengetahuan yang memadai mengenai hal ini, segala upaya dalam menentukan karier akan berbahaya dan acak. Semestinya ada perencanaan kejuruan. Tujuannya diminati dan sesuai dengan sifat seseorang. Sarananya sesuai dan kondusif bagi realisasi tujuan dan tersedia bagi pihak yang melaksanakannya, dan penggunaan modalitasnya efektif dan terampil. Tujuan, sarana dan modalitas merupakan satu kesatuan organik yang sesuai dengan susunan psiko-fisik kita.

Dengan mewujudkan kehidupan yang lebih baik, pendidikan membangun minat agar berkembang dalam kehidupan dengan langkah yang lebih besar. Dengan demikian, ia memberikan makna pada kehidupan dan juga rasa pemenuhan dan kepuasan. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah hal terpenting selain ketenangan pikiran. Dalam perjalanan hidup, keadaan baik atau buruk datang secara tak terduga dan bisa saja terjadi pasang surut. Hanya jenis pendidikan yang tepat yang dapat memampukan kita menahan dan menanggung kesulitan serta membawa kita melewatinya. Dalam pengertian ini, pendidikan adalah kekuatan yang memperpanjang hidup.
Mengingat arti pentingnya pendidikan, maka setiap orang memerlukannya, dan diperlukan hak atas pendidikan. Hak ini semestinya menjadi hak mendasar yang diberikan oleh masyarakat kepada setiap individu. Penolakan hak ini merupakan tindakan bunuh diri, tak semata bagi individu, tapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan. Hak atas pendidikan bukanlah sebuah keistimewaan, namun sebuah kebutuhan. Kegunaan dan manfaat pendidikan sangatlah beragam, oleh karenanya, setiap orang harus mendapatkan pendidikan yang sebaik-baiknya.

Terakhir, pendidikan merupakan ciri masyarakat sipil. Pendidikan merupakan anugerah unik dan hak prerogatif manusia. Inilah yang membedakan manusia dengan margasatwa. Dengan demikian, ia merupakan 'penciptaan manusia', yang menjadikan manusia layak disebut sesuai namanya. Jenis pendidikan yang tepat memberikan pemikiran dan kehidupan yang demokratis. Ia membentuk karakter dan menghasilkan perbaikan perilaku. Ia menghasilkan warga negara yang tercerahkan dan bertanggung awab. Pendidikan yang berorientasi pada nilai, mengubah kehidupan manusia dari kehidupan biadab menjadi kehidupan beradab. Ia memperluas wawasan dan memperluas hati sehingga membuka jalan bagi saling peduli dan berbagi, dengan membuat kita hidup bersama dalam damai dan harmoni. Dengan demikian, ia merupakan kekuatan yang memuliakan. Ia membebaskan kita dari ketidaktahuan, takhayul, keyakinan yang keliru, dan kelemahan moral. Ia dapat diumpamakan dengan kekayaan berharga yang tak dapat dicuri, sebuah perhiasan yang dapat menghiasi manusia. Dengan demikian, ia memberikan martabat dan kehormatan bagi umat manusia.

Pada episode selanjutnya, kita masih membicarakan tema-tema dalam Kalender Islam, bi i'idznillah."

Kenanga pun bersenandung,

Tempatku melihat, di balik awan
Aku melihat, di balik hujan
Tempatku terdiam, tempat bertahan
Aku terdiam, di balik hujan *)
Kutipan & Rujukan:
- Patrick Nuttgens, What Should We Teach and How Should We Teach It?: Aims and Purpose of Higher Education, 1988, Wildwood House
- Roger Marples (ed.), The Aims of Education, 2002, Taylor & Francis
- Siddheshwar Rameshwar Bhatt, Philosophical Foundations of Education, 2018, Springer Nature Singapore
*) "Di Balik Awan" karya Nazriel Irham
[Episode 14]