Senin, 10 Juni 2024

Cerita dari Pohon Kenanga (27)

"Seorang terdakwa berkata kepada hakim, 'Yang Mulia, sa' gak salah. Sa' yakin, sa' bisa buktiin jika saja Yang Mulia ngasih saya waktu.”
'Okeh,' jawab sang hakim. 'Sepuluh tahun!' lalu ngetok palu gavelnya."

"Kebenaran itu seperti instrumen yang disetel dengan baik, menghasilkan suara yang jernih dan harmonis, yang bergema dengan jelas dan akurat. Kebenaran menghalau kedunguan dan mengantarkan pencerahan dan kejelasan, bagaikan matahari melenyapkan kegelapan dan membawa kehangatan dan cahaya. Kebenaran mendasari keyakinan dan tindakan kita, memberi kekuatan dan stabilitas, sama halnya dengan fondasi yang kokoh, menopang bangunan yang stabil dan aman," kata Kenanga usai mengucapkan doa, “Duhai Allah, Engkaulah As-Salam, dari Engkaulah datangnya segala salam, Mahasuci Engkau duhai Pemilik keagungan dan kehormatan!” saat memasuki jantung kota Mekah dan melihat Ka'bah yang megah, replika Baitul Makmur di Arasy, simbol keimanan dan spiritualitas serta persatuan dalam Dunia Islam. 
“Salah satu dalih paling umum tak berdakwah adalah, 'Gua gak punya cukup ilmu buat ngedakwah!' Pada masa Rasulullah (ﷺ), zamannya beda, akses terhadap ilmu amat sulit, umat gak punya media, gak ada buku yang ditulis pada waktu itu tentang Islam. Sekarang, udah banyak banget buku yang ditulis oleh umat Islam. Begitu banyak website yang tersedia. Banyak sekali konten yang tersaji. Setiap Muslim setidaknya mengetahui satu ayat, tapi engkau dapat melakukannya dengan lebih efisien jika dirimu menguasai dulu sebuah topik, tergantung kepada orang yang hendak dikau dakwahi.
'Tapi kaan kelakuan gua gak baik-baik amat, mana mungkin gua ngedakwahin orang?' Pernyataan bagus ini, menunjukkan betapa rendah-hatinya seorang Muslim. Berdakwah tentulah akan membantumu menjadi seorang Muslim yang lebih taat. Saat dirimu berbagi sesuatu dengan orang lain, bukankah dikau cenderung mempraktikkannya?
'Mana yang lebih penting, Islah atau Dakwah?' Islah menjadikan muslim menjadi muslim yang lebih baik. Penting saat ia tak berada di jalur yang benar. Dakwah Islam memang mengajak masuk Islam, namun menjadikan orang lain 'revert' ke Islam, tak berada di tanganmu. Camkanlah bahwa tujuan utama kita dalam berdakwah bukanlah 'mekso' orang yang kita tuju balik ke Islam, 'revert' itu ada di genggaman Allah. Tugasmu menyampaikan risalahnya kepada orang lain. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, 'Fadzakkir, innamaa anta mudzakkir': 'Maka ingatkanlah, sesungguhnya engkau semata pemberi peringatan.' Jadi, Dakwah dan Islah, keduanya penting pada saat yang bersamaan.

Kita hendaknya terus-menerus mengingatkan diri sendiri setiap kali berdiskusi dengan seseorang atau memberikan ceramah kepada suatu kelompok, bahwa kita berada di sana bukanlah untuk memenangkan argumen atau perdebatan. Tujuan kita memastikan mereka benar-benar memahami pesan nilai-nilai Islam dalam keasliannya. Boleh jadi, mustahil meyakinkan mereka dalam waktu satu jam atau satu hari agar mengubah jalan hidup mereka, namun setidaknya, mereka memahami realitas seruanmu. Oleh karenanya, yang terpenting bagi mereka yang diseru ialah pesannya harus jelas.
Agar memahami pihak lain, sebelum kita menjelaskan sudut pandang kita, kita hendaknya berusaha mendengarkan sebelum berbicara. Seringkali ketika kita berada dalam situasi dakwah, kita lebih tertarik menyampaikan sudut pandang kita ketimbang mendengarkan pendapat mereka. Entah karena kita sudah pernah mendengar argumen mereka sebelumnya, atau kita tahu pendapat mereka keliru, jadi apa gunanya mendengarkan mereka? Jika kita peduli terhadap orang yang kita dakwahi dan bila kita hirau apakah mereka menerima pesannya atau tidak, maka kita seyogyanya berhati-hati dalam mendengarkan. Misalnya, mereka mungkin kurang paham mengenai shalat dalam Islam, kenapa sih umat Islam kudu shalat lima waktu? Maka, kita hendaknya meluangkan waktu sejenak dan mendengarkannya sebelum kita memulai perbincangam, dan memberikan waktu lebih lanjut selama pembicaraan agar mendengarkan.

Poin lainnya adalah 'menempatkan diri kita pada posisi mereka'. Ungkapan ini berarti mencoba memahami perasaan, pikiran, atau sudut pandang orang lain dengan membayangkan diri kita berada dalam situasi mereka. Ungkapan ini mendorong empati, mendorong kita mempertimbangkan bagaimana perasaan atau tindakan kita jika kita mengalami keadaan yang sama dengan orang lain. Dengan mengatakan 'menempatkan diri kita pada posisi mereka', yang daku maksud bukanlah 'toleransi'. 'Menempatkan diri kita pada posisi mereka' dan 'toleransi' merupakan konsep yang berkaitan, namun keduanya tak sama. Keduanya menyertakan pemahaman dan penerimaan orang lain, namun menekankan aspek interaksi sosial dan empati yang berbeda.
'Menempatkan diri kita pada posisi mereka' bermakna empati, membayangkan diri dalam situasi orang lain guna memahami perasaan, pikiran, dan sudut pandang mereka. Ruang lingkupnya lebih pada hubungan pribadi yang mendalam dan pemahaman emosional terhadap pengalaman orang lain. Ia mendorong pemahaman proaktif dan berbagi pengalaman emosional. Contoh: Jika seorang sahabat kehilangan pekerjaan, berempati berarti merasakan kekecewaan dan stresnya, serta menawarkan dukungan berdasarkan hubungan emosional tersebut.

Toleransi merujuk pada menerima dan menghormati perbedaan orang lain, baik perbedaan budaya, agama, ideologi, atau gaya hidup, kendati dirimu belum tentu setuju dengan perbedaan tersebut. Cakupannya lebih luas, fokusnya menerima dan hidup berdampingan dengan keberagaman tanpa perlu memahami atau merasakan pengalaman orang lain secara mendalam. Ia mempromosikan hidup berdampingan dan menghormati pandangan atau cara hidup yang berbeda. Contoh: Menoleransi praktik budaya yang berbeda dari rekan kerja tanpa harus memahaminya secara mendalam, namun menghormati hak mereka atas praktik tersebut.
Toleransi tak selalu melibatkan hubungan emosional. Ia lebih tentang penerimaan 'intelektual' dan hidup berdampingan dengan perbedaan orang lain. Empati sangat penting bagi hubungan pribadi yang mendalam, toleransi penting agar menjaga perdamaian dan keharmonisan dalam masyarakat yang beragam. Toleransi berfokus pada menerima dan menghormati perbedaan tanpa harus berbagi atau memahami secara mendalam pengalaman tersebut.

Namun sesungguhnya, ada batas-batas bertoleransi. Meskipun toleransi secara umum dipandang sebagai suatu kebajikan yang mendorong hidup berdampingan secara damai dan menghormati keberagaman, toleransi bukanlah sebuah prinsip mutlak, dan seyogyanya diimbangi dengan pertimbangan terhadap keselamatan, hak, dan nilai-nilai kemasyarakatan. Toleransi tak mencakup tindakan atau perilaku yang merugikan orang lain. Seperti kekerasan fisik, eksploitasi, diskriminasi, dan tindakan yang melanggar hak dan kesejahteraan orang lain. Untuk menghindari 'standar ganda' dalam bertoleran, toleransi hendaknya dibatasi oleh hukum dan standar etika yang melindungi individu dari ancaman.
Kegiatan atau ekspresi yang menimbulkan ancaman besar terhadap ketertiban, kesehatan, atau keselamatan masyarakat, tak tercakup dalam prinsip toleransi. Masyarakat seyogyanya membangun hukum dan peraturan yang melindungi kebaikan bersama. Toleransi tak memerlukan penerimaan terhadap praktik-praktik yang melanggar prinsip-prinsip moral atau etika yang mendasar. Ia hanya mencakup tindakan-tindakan yang secara universal dianggap keliru, semisal perbudakan atau eksploitasi anak. Maka, toleransi hendaknya dijalankan dalam kerangka hukum. Tindakan atau perilaku yang melanggar standar hukum, seperti diskriminasi atau kekerasan, tak dilindungi oleh prinsip toleransi.

Toleransi tak bisa mencakup ideologi atau perilaku yang tak toleran. Ini sering disebut 'paradoks toleransi', yaitu menoleransi yang intoleran, sehingga dapat mengakibatkan terkikisnya masyarakat toleran. Umumnya, toleransi tak boleh dipaksakan. Prinsip toleransi pada dasarnya terkait dengan rasa-hormat dan saling-pengertian, dan jika dipaksakan, maka prinsip tersebut akan kehilangan makna dan keefektifannya. Toleransi melibatkan pilihan sadar menerima dan menghormati perbedaan orang lain. Ia merupakan komitmen etika dan pribadi yang hendaknya muncul dari pemahaman dan rasa-hormat yang tulus, bukan paksaan. John Locke menekankan bahwa toleransi sejati tak dapat ditegakkan oleh kekuatan eksternal, karena toleransi semestinya datang dari keyakinan batin dan rasa-hormat terhadap hak orang lain atas keyakinan dan praktiknya.
Toleransi yang dipaksakan cenderung bersifat dangkal, dan boleh jadi, tak membawa perubahan nyata dalam sikap atau keyakinan. Keadaan ini dapat menumbuhkan kebencian dan kemunafikan daripada penerimaan dan rasa-hormat yang tulus. Memaksakan toleransi akan melemahkan hak pilihan moral individu, yang amat penting bagi pertumbuhan pribadi dan etika. Masyarakat hendaknya bebas mengambil keputusan moral mereka sendiri mengenai apa yang mau mereka toleransikan, yang pada gilirannya akan mendorong timbulnya masyarakat yang lebih bermakna dan berlandaskan etika.

Dikala toleransi bersifat sukarela, ia menumbuhkan keharmonisan sosial yang sejati dan saling-menghormati. Sebaliknya, memaksakan toleransi dapat menimbulkan ketegangan dan kebencian, yang pada akhirnya bakalan memunculkan konflik. Pemaksaan toleransi bertentangan dengan esensi toleransi itu sendiri, yakni penerimaan yang bebas dan tulus terhadap keberagaman. Melalui pemahaman dan rasa-hormat secara sukarela, maka, toleransi sejati dapat tumbuh subur, sehingga berkontribusi terhadap masyarakat yang lebih harmonis dan inklusif.
Toleransi tak boleh merusak nilai-nilai demokrasi dan kebebasan. Membiarkan ideologi anti-demokrasi berkembang dapat mengancam stabilitas dan berfungsinya lembaga-lembaga demokrasi. Toleransi merupakan prinsip penting guna meningkatkan keharmonisan dan rasa hormat dalam masyarakat yang beragam, namun ia bukannya tanpa batas. Batasan ini penting guna menjaga hak-hak individu, keselamatan publik, dan integritas standar demokrasi dan etika. Menyeimbangkan toleransi dengan pertimbangan-pertimbangan ini, akan memastikan bahwa toleransi berkontribusi terhadap masyarakat yang adil dan damai. Menggalakkan toleransi melalui pendidikan, dialog, dan pertukaran budaya, lebih efektif ketimbang pemaksaan. Ia membantu individu memahami dan menghargai keberagaman, sehingga menghasilkan toleransi yang lebih langgeng dan tulus.

Terkadang dalam Dakwah, kita banyak menghabiskan waktu menyampaikan poin-poin dan menjelaskan bukti-bukti, sebab gaya inilah yang kita kembangkan dalam mempelajari Islam. Karenanya, kita menggunakan teks-teks Al-Qur'an dan Hadits guna membuktikan pendapat kita. Namun, jika kita berhenti sejenak dan merenung, kita tahu bahwa sebagian besar non-Muslim yang kita dakwahi, gak paham gaya bahasa ini. Mereka gak ngerti, 'Allah berfirman,' 'Rasulullah (ﷺ) bersabda,' 'Para sahabat berkata,' 'Syekh fulan bilang begini,' dll.' Atau terma lain yang, jangankan non-Muslim, sesama Muslim pun mungkin kurang paham. Mereka tak memahami terminologi jenis ini atau maknanya. Maka, kita hendaknya 'menempatkan diri pada posisi mereka' dan bersabar. Kita seyogyanya berusaha menyadari kesan yang kita berikan kepada mereka. Nah inilah yang diriku maksud 'bukan tentang toleransi,' melainkan tentang 'a good attitude (sikap yang baik)'. Ia merupakan bagian dari 'adab' dan 'akhlak' dalam perspektif Islam. Empati umumnya dipandang sebagai 'attitude' atau 'sikap' yang baik dan berharga. Aspek inilah yang mendasari kecerdasan emosional dan memainkan peran penting dalam membina hubungan yang sehat, komunikasi yang efektif, dan keharmonisan sosial. Thomas Jefferson pernah berkata, 'Nothing can stop the person with the right mental attitude from achieving their goal; nothing on earth can help the person with the wrong mental attitude' [Tiada yang dapat menghentikan orang yang bersikap mental benar agar mencapai sasarannya; tiada apa pun di dunia ini yang bisa menolong orang yang bersikap mental keliru].
Sikapmu bertindak sebagai filter bagaimana engkau memandang dunia di sekitarmu. Sikap positif membantu dirimu melihat peluang dan solusi, sedangkan sikap negatif bisa terfokus pada masalah dan hambatan. Sikap positif mengarah pada ketahanan dan kemampuan pemecahan masalah yang lebih besar. Keyakinan dan sikapmu dapat membangun prediksi yang, atas perkenan Allah, menjadi kenyataan dan terpenuhi dengan sendirinya. Jika engkau yakin bisa sukses, kemungkinan besar engkau akan mengambil tindakan yang membawa kesuksesan. Pemimpin optimis yang mengharapkan hasil positif, seringkali menginspirasi timnya mencapai hasil tersebut, dengan menunjukkan sikap yang secara alami terpenuhi dengan sendirinya. So, never underestimate the power of attitude. Sikap berdampak sangat kuat, sehingga pola pikir seseorang dapat terpengaruh pada berbagai aspek kehidupannya, mulai dari 'well-being' hingga kesuksesan profesional.

Ketika dikau masuk ke sebuah ruangan dan mendapati dirimu berada di depan sekelompok orang, atau dikau pergi ke pusat perbelanjaan dan melihat seseorang tertarik pada Islam, sebaiknya engkau membaca situasi terlebih dahulu dengan cermat, sebelum membuat pernyataan apa pun. Maksudnya, engkau hendaknya menyadari elemen unik dari keadaan tersebut dan menyesuaikan pendekatanmu. Disaat engkau menemukan dirimu dalam sebuah situasi, dikau membaca situasi itu dengan cara yang mirip dengan caramu membaca buku. Kita seyogyanya menyadari dua hal utama: pertama, keadaan sekitar, dan kedua, individunya.
Kita akan perbincangkan di episode berikut, biidznillah."
Kutipan & Rujukan:
- Faisal Fahim, Importance of Salah, Salat, Islaah and Dawah to Non Believers/Muslims, 2014, CreateSpace Independent Publishing Platform
- Sayyid Abul A'la Mawdudi, Towards Understanding Islam, 1960, U.K.I.M Bawah Centre
- D. A. Carson, The Intolerance of Tolerance, 2012, Wm. B. Eerdmans
- Richard Vernon (Ed.), Locke on Toleration, 2010, Cambridge University Press
- Denis Lacorne, The Limits of Tolerance: Enlightenment Values and Religious Fanaticism, 2019, Columbia University Press
- Michael Walzer, On Toleration, 1997, Yale University Press
- Susan Mendus & David Edwards (Eds.), On Toleration, 1987, Clarendon University Press