Senin, 17 Juni 2024

Cerita dari Pohon Kenanga (30)

“Seorang lelaki bercerita kepada teman sejawatnya, 'Tetangga gue pada teriak-teriak jam tiga subuh lho!'
'Apa mereka ngebangunin loe?' tanya sang rekan kerja.
'Gak ... gue dah bangun, lagi belajaran main terompet,' jawab sang lelaki."

"Haji itu laksana taman spiritual tempat jiwa bersemi dengan keharuman iman, kedamaian, dan persatuan. Haji ibarat pelukan universal, mendekap setiap jamaah dalam kehangatan persatuan dan kebersamaan cinta iman. Haji juga merupakan perjalanan surgawi, menuntun jamaah Haji melewati bintang-bintang pengabdian dan jalan cahaya ilahi. Ia berfungsi sebagai oase spiritual di tengah gurun tantangan hidup, menawarkan penyegaran, kedamaian, dan peremajaan bagi jiwa-jiwa yang lelah.
Haji itu kebangkitan spiritual, dimana jiwa yang terlelap dibangunkan oleh panggilan Ilahi. Setiap jamaah memainkan nada dalam kesatuan melodi harmonis dan pengabdian bagaikan simfoni sakral. Haji bertindak sebagai jembatan persaudaraan, menghubungkan qalbu di seluruh dunia dalam ekspresi persatuan dan iman yang mendalam. Haji berfungsi sebagai cermin kesucian, memiratkan kebaikan bawaan jiwa dan kejernihan hidup selaras dengan kehendak Ilahi,” kata Kenanga saat berdiri di Arafah. Bukit Arafah atau Jabal ʿArafāt, atau Jabal Raḥmah, 'Bukit Kasih-sayang', sebuah bukit granodiorit terletak sekitar 20 km (12 mil) tenggara Mekah, di provinsi dengan nama yang sama di Arab Saudi. Tingginya kira-kira 70 m (230 kaki), dengan titik tertinggi pada ketinggian 454 meter ( 1,490 kaki). Ia diklasifikasikan sebagai batuan granodiorit, terutama terdiri dari feldspar, kuarsa, dan muskovit. Ia telah mengalami perubahan geologis selama jutaan tahun. Bukit Arafah merupakan tempat Rasulullah (ﷺ) berdiri dan menyampaikan Khotbah Perpisahan (Khuṭbatul Wadāʿ) kepada para Saḥabat (رضي الله عنهم) selama ibadah haji menjelang akhir hidup beliau (ﷺ). Di sinilah Adam dan Hawwa' bersatu kembali di Bumi setelah turun dari Surga. Ia dipandang sebagai tempat ampunan, karenanya dinamakan Jabal Rahmah.
Bukit Arafah memainkan peran penting selama haji. Wukuf di Arafah pada hari ke 9 Dzulhijjah yang dikenal dengan Hari Arafah, jamaah haji meninggalkan Mina menuju Arafah. Hari ini dianggap sebagai hari terpenting haji. Para jamaah menghabiskan sepanjang hari di bukit ini, memohon ampun kepada Allah. Pada hari ini, para jamaah Haji berkumpul, berdiri dari bahu ke bahu, kaki ke kaki, memohon rahmat, berkah, kemakmuran, dan kesehatan yang baik kepada Allah. Bukit Arafah bermakna spiritual yang teramat besar bagi umat Islam, dan hubungannya dengan ibadah haji menjadikannya situs yang suci. Sesungguhnya, Haji itu, Wukuf di Arafah.

“Haji itu, ziarah qalbu, membimbing orang beriman mengungkap kedalaman iman dan taqwanya. Ia merupakan lentera yang bersinar di kegelapan, menerangi jalan dengan cahaya tuntunan, cinta, dan kedamaian batin. Ibarat mata air rahmat, ia melimpahkan berkah Ilahi dan pembaruan spiritual kepada mereka yang mencari airnya. Ia jalan kesucian, membuka jalan dari duniawi menuju Sang Ilahi, dimana setiap langkahnya, selangkah lebih dekat kepada Sang Pencipta. Haji berdiri sebagai mercusuar keimanan , membimbing jiwa-jiwa melewati lautan badai kehidupan menuju pantai pencerahan spiritual yang tenang. Haji bermakna spiritual yang mendalam bagi jutaan umat Islam di seluruh dunia.
Haji adalah salah satu dari Lima Rukun Islam, menjadikannya kewajiban agama yang penting bagi umat Islam, yang mampu secara fisik dan finansial melaksanakannya. Haji bermula dari Nabi Ibrahim (عليه السلام) dan keluarganya, terutama peristiwa seputar pengorbanan putranya, Ismail, yang diperingati selama haji. Tujuan utama berhaji adalah pembaruan spiritual dan menunjukkan persatuan dan kesetaraan seluruh umat Islam.

Kendati banyak agama lain yang punya ibadah berziarah yang penting, ibadah haji berskala unik, berstatus wajib bagi umat Islam, dan bermakna spiritual serta komunal yang mendalam. Haji melibatkan serangkaian ritual khusus yang harus diselesaikan dalam urutan tertentu selama beberapa hari. Ritual utama meliputi:
  • Ihram: Jamaah masuk dalam keadaan suci ruhani dengan mengenakan pakaian putih bersih, sederhana dan tak melakukan aktivitas tertentu. Ia melambangkan kesucian dan kesetaraan.
  • Tawaf: Jamaah mengitari Ka'bah berlawanan arah jarum jam, bangunan berbentuk kubus di tengah Masjidil Haram di Mekah.
  • Sa'i: Jamaah berjalan tujuh kali antara bukit Safa' dan Marwah, mengikuti Hajar sewaktu mencari air bagi putranya, Ismail.
  • Memotong Rambut: Peziarah memotong sebagian kecil rambutnya, melambangkan pembaruan spiritual.
  • Wukuf di Arafah: Jamaah menghabiskan sehari dengan berdoa dan merenung di dataran Arafah. Wukuf artinya berdiri. Ia merupakan tindakan kehadiran, walau untuk sesaat, di tempat tertentu selama berhaji. Caranya dengan meninggalkan sementara aktivitas duniawi selama beberapa jam, yakni berhenti dari aktivitas apa pun agar dapat merenungkan jati diri. Inilah ritual utama Haji.
  • Muzdalifah: Jamaah mengumpulkan kerikil untuk ritual berikutnya setelah matahari terbenam pada hari Arafah.
  • Lempar Jamrah: Jamaah haji melempar kerikil pada ketiga pilar di Mina, melambangkan penolakan terhadap kejahatan dan godaan.
  • Idul Adha: Peziarah melakukan pengorbanan hewan, memperingati kesediaan Ibrahim untuk mengorbankan putranya sebagai bentuk ketaatan kepada Tuhan. Ini diikuti dengan pesta.
  • Tawaf Ifadah: Mengelilingi Ka'bah sebagai tanda selesainya ritual besar.
Haji berlangsung setiap tahun selama bulan Dzulhijjah, terutama dari tanggal 8 hingga tanggal 12 (atau terkadang tanggal 13). Ritual inti biasanya diselesaikan selama lima hari, namun keseluruhannya, termasuk perjalanan dan persiapan, seringkali memakan waktu lebih lama.
Haji berpengaruh spiritual dan sosial. Haji menawarkan kesempatan besar bagi refleksi pribadi, pertobatan, dan hubungan yang lebih dalam dengan Allah. Haji menumbuhkan rasa persatuan dan kesetaraan Islam global, karena seluruh jamaah, apapun latar belakangnya, berpakaian seragam dan melakukan ritual yang sama. Banyak jamaah melukiskan haji sebagai pengalaman transformatif yang secara bermakna berbuah keimanan dan pandangan hidup mereka.
Haji berfungsi sebagai platform pertukaran budaya di kalangan umat Islam di seluruh dunia, menumbuhkan pemahaman dan solidaritas yang lebih dalam di antara beragam komunitas. Haji meningkatkan perekonomian, memberikan pendapatan dari perhotelan, layanan perjalanan, dan wisata religi. Intinya, haji merupakan pengalaman keagamaan mendalam yang merangkum semangat Islam, menekankan ketaatan, kerendahan-hati, dan kesetaraan seluruh orang beriman di hadapan Allah.

Prinsip egaliter berakar pada keyakinan akan kesetaraan manusia, terutama dalam hal kesetaraan politik, sosial, dan ekonomi. Ia menegaskan bahwa semua individu bernilai fundamental atau status moral yang sama. Salah satu aspek penting dari egalitarianisme ialah penekanannya pada kesempatan yang sama bagi semua orang, tanpa memandang latarbelakang atau keadaan mereka. Hal ini berarti memastikan bahwa semua individu punya akses terhadap sumber-daya, pendidikan, dan peluang yang sama agar sukses dalam kehidupan, yang bertujuan menyamakan kedudukan dan mengurangi ketimpangan yang diakibatkan oleh kesenjangan sosial. Haji memberikan banyak pelajaran kepemimpinan yang memperkaya spiritual dan dapat diterapkan secara praktis. Selama haji, seluruh jamaah mengenakan pakaian putih sederhana, Ihram, menghilangkan perbedaan harta, status, atau kebangsaan. Praktik ini mewujudkan kerendahan-hati dan menggarisbawahi prinsip bahwa kepemimpinan sejati berakar pada melayani orang lain dan tak berada di atas mereka.
Para pemimpin belajar melihat diri mereka sebagai pelayan bagi orang-orang yang dipimpinnya, seperti halnya Rasulullah (ﷺ), yang menekankan melayani komunitasnya tanpa pamrih. Sesungguhnya, 'Servant leadership' merupakan filosofi kepemimpinan yang mengutamakan pelayanan kepada orang lain dan mengutamakan kebutuhan mereka. Fokus utama seorang 'servant leader' ialah melayani orang lain, berbeda dengan kepemimpinan tradisional yang seringkali tujuan utamanya memimpin dan mengatur. Para 'servant leader' bertujuan memberdayakan dan mengembangkan anggota timnya, membantunya tumbuh dan melakukan yang terbaik.

Di bawah 'servant leadership', sebuah tim akan sering menunjukkan semangat dan kepuasan kerja yang lebih tinggi. Ia mendorong lingkungan kerja yang lebih kolaboratif dan saling-percaya. Ia berfokus pada pertumbuhan dan keberlanjutan jangka panjang daripada keuntungan jangka pendek. Servant leadership diterapkan luas di berbagai sektor, termasuk bisnis, pendidikan, dan organisasi nirlaba, sebab menumbuhkan budaya saling-menghormati, perilaku etika dan kemasyarakatan.
Berikut karakteristik utama dari Servant Leadership: Empati: Memahami dan peka terhadap perasaan, kebutuhan, dan sudut pandang orang lain; Mendengarkan: Menghargai pendapat orang lain dan secara aktif mencari masukan sebelum mengambil keputusan; Healing: Mendukung dan memelihara kesehatan emosional dan spiritual individu; Awareness: Sadar akan kekuatan, kelemahan, dan dinamika dalam tim; Persuasi: Mempengaruhi orang lain melalui persuasi, bukan paksaan atau posisi otoritas; Konseptualisasi: Berkemampuan menyajikan illustrasi besar dan membangun visi yang menarik bagi masa depan; Pandangan ke depan: Mengantisipasi dan mempersiapkan hasil dan konsekuensi di masa mendatang; Penatalayanan (Stewardship): Mengambil tanggungjawab atas 'well-being' organisasi dan orang-orang di dalamnya; Komitmen terhadap Pertumbuhan Masyarakat: Membina lingkungan yang mendorong pengembangan pribadi dan profesional; Membangun Komunitas: Menggalakkan rasa memiliki dan kerjasama tim.
Pada intinya, servant leadership itu tentang memimpin dengan melayani orang lain, menumbuhkan budaya saling-percaya, hormat-menghormati, dan saling-mendukung, yang pada akhirnya mengarah pada organisasi yang lebih efektif dan harmonis.

Haji menuntut fisik dan mental, mengajarkan para pemimpin nilai ketekunan dalam menghadapi tantangan. Pengalaman ini menanamkan ketahanan, suatu sifat penting dalam menghadapi kesulitan dan ketidakpastian. Pemimpin belajar beradaptasi terhadap perubahan keadaan dan tantangan yang tak terduga, seperti halnya para jamaah Haji yang harus bersiap menghadapi berbagai kesulitan selama perjalanan.
Ibadah haji merupakan kegiatan komunal yang memerlukan kerjasama dan saling mendukung. Para jamaah saling-membantu, berbagi sumber-daya, dan bekerjasama menyelesaikan ritualnya, menyoroti pentingnya kerja tim dan kesatuan dalam kepemimpinan. Tujuan kolektif dalam menyelesaikan ibadah haji memupuk rasa memiliki tujuan bersama, yang menggambarkan bagaimana para pemimpin dapat menggalang timnya menuju visi bersama.

Prinsip kesetaraan selama berhaji menekankan perlakuan adil dan kesempatan yang sama, mengingatkan para pemimpin agar membanguniklimn dimana setiap orang diperlakukan dengan hormat dan berimbang. Para pemimpin belajar menghargai inklusivitas dan memastikan bahwa setiap suara didengar dan dipertimbangkan, terlepas dari latarbelakang atau statusnya.
Haji didorong oleh tujuan spiritual yang mendalam. Para pemimpin dapat menarik kesejajaran dengan mengembangkan visi dan tujuan yang jelas bagi organisasinya, menuntun tindakan dan keputusan mereka dengan makna yang lebih tinggi. Perencanaan dan persiapan yang diperlukan untuk berhaji, menggambarkan pentingnya pemikiran jangka panjang dan perencanaan strategis dalam kepemimpinan.

Pengalaman haji menyertakan penantian panjang, orang banyak, dan berbagi kesulitan, mengajarkan para pemimpin agar menumbuhkan kesabaran dan empati terhadap orang lain, memahami perjuangan mereka dan berupaya meringankannya. Para pemimpin belajar mengelola emosinya dan merespons tekanan dengan tenang, menumbuhkan sikap suportif dan empati.
Ketatnya kepatuhan terhadap ritual dan aturan selama haji memerlukan disiplin diri, yang menunjukkan kepada para pemimpin pentingnya pengendalian diri dan kepatuhan terhadap standar etika. Dimensi etika dan spiritual haji menekankan integritas dan tanggungjawab moral, memperkuat gagasan bahwa kepemimpinan sejati berakar pada perilaku beretika dan prinsip-prinsip moral. Para pemimpin belajar mewujudkan nilai-nilai yang mereka anjurkan, memberi contoh positif agar diikuti orang lain. Sifat berulang dari ritual tertentu, menyoroti pentingnya konsistensi dan rutinitas dalam menjaga ketertiban dan mencapai tujuan.

Haji menarik umat Islam dari seluruh dunia, memberikan para pemimpin pengalaman yang kaya akan keragaman budaya dan mengajarkan pentingnya kepekaan budaya dan pemikiran global. Para pemimpin dapat mempelajari pentingnya membangun jaringan global, memahami beragam perspektif, dan membina kolaborasi internasional.
Sifat reflektif haji mendorong para pemimpin supaya secara teratur melakukan refleksi atas tindakan, keputusan, dan dampak yang mereka timbulkan terhadap orang lain. Menjalani ibadah haji menumbuhkan rasa-syukur atas nikmat dan keistimewaan yang dimiliki, mengingatkan para pemimpin agar tetap rendah-hati dan bersyukur.
Penekanan pada kebersihan dan keberlanjutan selama berhaji, menyoroti pentingnya pengelolaan yang bertanggungjawab dan kesadaran lingkungan dalam kepemimpinan. Para pemimpin dapat belajar menerapkan praktik berkelanjutan dan mempertimbangkan akibat jangka panjang dari keputusan mereka terhadap lingkungan dan masyarakat.

Kesimpulannya, haji menawarkan 'leadership lessons' mendalam, yang mengantarkan pada kesempurnaan. Ia mengajarkan kerendahan-hati, persatuan, ketahanan, keberimbangan, empati, dan tanggungjawab global, menyajikan kerangka komprehensif bagi kepemimpinan yang efektif dan beretika.

Kita akan teruskan topik tentang dakwah pada episode selanjutnya, biidznillah."
Kutipan & Rujukan:
- Ibn Taymiyyah, The Rituals of Hajj and 'Umrah, Abridged by Shaykh ibn Abdullah aal ash-Shaykh, 2013, AhleDhikr Publications
- Zohreh Borujerdi, The Inner Dimensions of Hajj, 2018, IslamIFC
- Abul Hasan Ali Nadwi, The Fifth Pillar of Islam: Al-Hajj (Pilgrimage), 2020, Amazon Kindle
- Robert R. Bianchi, Guest of God: Pilgrimage and Politics in The Islamic World, 2004, Oxford University Press
- Mamdouh Nourudhin Muhammad, Haj and Umrah from A to Z, 1999, King Fahd National Library
- Iwao Hirose, Egalitarianism, 2015, Routledge
- Robert K. Greenleaf, The Power of Servant Leadership, 1998, Berrett-Koehler
- Ken Blanchard & Renee Broadwell (Eds.), Servant Leadership in Action: How You Can Achieve Great Relationships and Results, 2018, Berrett-Koehler