Jumat, 21 Juni 2024

Ocehan Seruni (1)

"Saat Ki Dalang memperkenalkan Punakawan kepada para hadirin, ia berkata, ‘Gareng dengan kearifannya menuturkan kata permata ini, ‘Mengapa siput naik ke punggung penyu? Karena ia menginginkan perjalanan yang lebih cepat!'
'Jiwa nakal Bagong terpancar melalui, 'Mengapa kera membawa tangga ke pohon mangga? Lantaran ia mendengar panorama yang lebih bagus dari atas!'
'Ada yang pernah bertanya tentang Petruk, 'Mengapa Petruk membawa tangga ke perpustakaan? Sebab ia mendengar, buku-bukunya punya standar yang tinggi!'
'Semar, sang mediator, pernah menyindir, 'Kenapa sungainya mengalir dua arah? Supaya para ikan bingung, terutama kalau nama-namanya harus dihafalin!'
'Semua ini, bayangan wayang kulit—kadang mendalam, kadang ringan, tapi selalu menawan,' pungkas Ki Dalang.”

“Ungkapan ‘setangkai kembang ros dengan apa pun sebutannya’ mengisyaratkan bahwa karakter atau kesejatian seseorang, tak ditentukan oleh nama atau penampilan luarnya. Ibarat bunga mawar yang tetap segar, apa pun namanya, sifat asli seseorang tetap terbersit,” berkata Seruni, dikenal juga dengan nama Krisan atau kerap dirujuk sebagai Krisantemum, tanaman berbunga yang sering dibudidayakan sebagai bunga hias taman atau bunga rangkaian, usai mengucapkan Basmalah dan menyapa dengan Salam. Aromanya menyenangkan dan terkadang ditambahkan ke dalam teh agar menambah rasa aromatiknya. Seruni termasuk dalam famili Asteraceae dalam beragam spesies. Bunga mekar yang indah ini, telah ada sejak zaman Cretaceous, menjadikannya kembang purwa! Puspa Seruni hadir dalam beragam rona yang menawan, antara lain putih, kuning, merah-jambu, ungu, bahkan perunggu. Setiap corak menambah pesona taman dan karangan bunga.

“Dalam Asian Culture,” lanjut Seruni, “khususnya di China dan Jepang, krisan melambangkan umur panjang, daya-tahan, dan keabadian. Kemampuannya mekar di akhir musim gugur walau setelah bunga lain memudar, melambangkan ketahanan dan siklus kehidupan. Bunga krisan dikagumi karena penampilannya yang elegan dan bermartabat. Bunga ini melambangkan kebajikan seperti kebangsawanan, kehormatan, dan integritas. Di Jepang, bunga ini perlambang Keluarga Kekaisaran. Bunga krisan diasosiasikan dengan musim gugur warna-warna cerah—semisal kuning, oranye, dan perunggu—mencerminkan perubahan dedaunan selama musim ini. Kemampuan krisan beregenerasi dan berkembang walau dalam kondisi buruk melambangkan pembaruan dan peremajaan. Dalam pengobatan tradisional Tiongkok, teh krisan diyakini memiliki manfaat kesehatan, termasuk menjadikan mata terasa sejuk, mengurangi peradangan, dan meningkatkan relaksasi. Warna emas bunga krisan membangkitkan kehangatan cahaya matahari. Bunga ini sering digunakan dalam perayaan dan festival.
Terma 'Asian Culture' sering dikacaukan dengan 'Asian Values', keduanya punya makna dan implikasi yang berbeda. Asian Culture mencakup beragam adat istiadat, tradisi, bahasa, seni, makanan, ritual, dan perilaku sosial dari berbagai masyarakat di Asia. Konsep luas inilah yang mencakup cara hidup yang kaya dan beragam di seluruh benua Asia. Budaya Asia punya keragaman geografis. Asia meliputi Asia Timur, Asia Tenggara, Asia Selatan, Asia Tengah, dan Asia Barat, masing-masing punya unsur budaya yang unik. Ada juga keragaman etnis dan agama. Wilayah ini, rumah bagi berbagai kelompok etnis dan agama, antara lain Budha, Hindu, Islam, Konghucu, dan Kristen. Kebudayaan Asia telah berkembang selama ribuan tahun, dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti migrasi, perdagangan, penaklukan, dan penjajahan. Ia terus berkembang dengan pengaruh modern dan interaksi global.

Konsep Asian Values berakar kuat pada tradisi sejarah dan filosofi Asia, terutama dipengaruhi oleh Konfusianisme, Budha, dan sistem budaya dan etika lainnya, yang menekankan komunitas, harmoni, dan penghormatan terhadap hierarki. Namun, pada akhir abad ke-20, konsepsi 'Asian Values' amat menonjol dikaitkan dengan Lee Kuan Yew, Perdana Menteri Singapura (1959–1990), dan Mahathir Mohamad, mantan Perdana Menteri Malaysia (1981–2003, 2018–2020). Kedua pemimpin tersebut mengartikulasikan dan mempromosikan gagasan Asian Values sebagai seperangkat prinsip khusus yang mendasari organisasi sosial dan politik masyarakat Asia, yang membedakannya dengan nilai-nilai Barat. Para pemimpin seperti Lee dan Mahathir mengkristalkan ide-ide ini menjadi filosofi politik yang koheren, yang digunakan agar mendukung gaya pemerintahan dan strategi pembangunan tertentu.
Lee Kuan Yew dikenal luas karena mengartikulasikan konsep Asian Values selama masa jabatannya sebagai Perdana Menteri. Ia berpendapat bahwa masyarakat Asia lebih mengutamakan komunitas dan keluarga ketimbang individualisme, menekankan keharmonisan sosial, menghormati otoritas, dan pembangunan ekonomi. Visi Lee tentang Asian Values kerap dijadikan sebagai pembenaran atas gaya pemerintahan yang lebih otoriter yang ia terapkan di Singapura, yang berfokus pada stabilitas dan kemajuan ekonomi. Ia sering membandingkan nilai-nilai ini dengan apa yang ia pandang sebagai sifat demokrasi Barat yang lebih individualistis dan konfrontatif.
Mahathir Mohamad juga merupakan suporter vokal Asian Values, agar mendukung visinya bagi pembangunan dan modernisasi Malaysia. Ia menekankan pentingnya tanggungjawab kolektif, menghormati otoritas, dan mengutamakan kepentingan nasional di atas kebebasan individu. Advokasi Mahathir terhadap Asian Values merupakan bagian dari kritiknya yang lebih luas terhadap pengaruh Barat dan penekanannya pada pengembangan jalur unik Asia menuju modernisasi dan kesuksesan ekonomi. Ia sering menggunakan konsep ini agar menyokong kebijakan yang berfokus pada pertumbuhan ekonomi dan kohesi sosial, terkadang dengan mengorbankan praktik demokrasi liberal.

Asian Values sangat ingin melemahkan konvensi hak asasi manusia internasional. Mereka berpendapat bahwa hanya rezim yang 'didisiplinkan' (yaitu otoriter) dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang cepat. Pandangan ini membuat Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew memperingatkan para pemimpin bisnis Manila bahwa negara mereka lebih membutuhkan 'disiplin daripada demokrasi'.
Mark R. Thompson menyatakan bahwa pemimpin Indonesia, Suharto, merupakan pendukung utama perkembangan otoriter di tingkat regional. Pemerintahan Orde Baru berpendapat bahwa 'demokrasi Pancasila' mencerminkan nilai-nilai kearifan lokal. Menekankan pada musyawarah ketimbang oposisi agar mencapai konsensus (mufakat), dan mengecualikan massa dari politik kecuali selama kampanye 'pemilu' singkat melalui 'prinsip massa mengambang', rezim ini mengklaim bahwa sistem politik seperti itu, diperlukan guna membangun stabilitas yang dibutuhkan bagi pertumbuhan ekonomi yang cepat. Pada saat itu, rezim militer di Burma (Myanmar) mencoba meniru 'model kediktatoran pembangunan Indonesia' dengan pembenaran kebudayaan yang serupa.
Krisis ekonomi di Indonesia, yang dimulai pada akhir tahun 1997, merupakan katalisator penggulingan kediktatoran Suharto oleh gerakan kerakyatan yang dipimpin mahasiswa. Dengan perekonomian yang berada dalam krisis dan meluasnya 'kapitalisme kroni', tiada argumen kebudayaan yang dapat menyembunyikan fakta bahwa calon diktator pembangunan telah kehilangan legitimasinya. Jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998 melenyapkan ideolog utama 'Asian Values' yang bersifat developmentalis. Dengan Orde Baru yang kini menjadi rezim lama dan Burma juga terkena dampak krisis ekonomi regional, para jenderal Burma terpaksa kembali ke pola yang lazim, yaitu mengandalkan kekerasan tanpa dalil ideologis.

Lebih lanjut Thompson mengatakan bahwa karakter 'Asian Values' pasca-perkembangan di Singapura dan Malaysia punya kemiripan dengan Imperialisme Jerman pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kesamaan ini bukan suatu kebetulan: Kekaisaran Jerman sangat mempengaruhi Jepang Meiji dan melaluinya seluruh Asia Timur dan Tenggara. Seperti Kekaisaran Jerman, Singapura dan (pada tingkat lebih rendah) Malaysia mempunyai negara birokrasi yang 'kuat', yang mendorong perkembangan industri 'terlambat'. Kekaisaran Jerman mempunyai parlemen, namun, seperti di Singapura dan Malaysia, parlemen tersebut hanya untuk pertunjukan. Bahkan mungkin bisa ditarik persamaan antara kontrol sosial yang diterapkan melalui kebijakan perumahan dan lainnya di Singapura dan negara kesejahteraan.
Namun kesamaan utamanya adalah bahwa Singapura dan Malaysia, seperti halnya Imperialisme Jerman, telah berusaha menangkis tekanan demokratisasi dengan menggunakan perbedaan budaya. Dengan hadirnya industrialisasi maju, argumen-argumen pembangunan yang mendesak penolakan sementara terhadap tujuan-tujuan demokrasi demi kepentingan modernisasi yang lebih cepat, tak dapat lagi membenarkan pemerintahan otoriter. Sebaliknya, otoritarianisme dipandang harus dipertahankan kendati pun modernitas ekonomi telah muncul.

Ide Asian Values telah menjadi bahan perdebatan dan kritik yang luas. Kritikus berpendapat bahwa konsep tersebut dipakai untuk membenarkan pemerintahan otoriter dan menekan perbedaan pendapat dengan kedok menjaga ketertiban dan stabilitas sosial. Ada juga perdebatan tentang universalitas nilai-nilai ini dan apakah nilai-nilai tersebut benar-benar berbeda dari nilai-nilai yang ditemukan di budaya lain.
Asian Values dapat pula dianggap sebagai bentuk politik identitas, khususnya dalam konteks bagaimana nilai-nilai tersebut digunakan oleh berbagai pemimpin dan pemerintahan untuk membedakan masyarakat dan model pemerintahan mereka dari masyarakat dan model pemerintahan Barat. Politik identitas mengacu pada bagaimana individu atau kelompok mengidentifikasi ide, nilai, atau ideologi politik tertentu, yang menentukan pemahaman mereka tentang masyarakat, pemerintahan, dan posisi mereka dalam lanskap politik. Asian Values menekankan keunikan budaya dan peradaban, menggambarkan Asia sebagai negara yang bertradisi keharmonisan komunal, menghormati otoritas, dan pengutamaan hak kolektif dibandingkan hak-hak individu. Kekhasan ini digunakan untuk menegaskan identitas politik yang tak hanya berbeda, namun juga resisten terhadap ideologi politik Barat, seperti demokrasi liberal dan individualisme.

Asian Value selama ini dikaitkan dengan 'Asian Way' dalam pemerintahan, yang mencakup kepemimpinan yang kuat dan tersentralisasi, fokus pada pembangunan ekonomi, dan mengutamakan ketertiban dan stabilitas sosial di atas kebebasan individu. Model pemerintahan seperti ini, yang acapkali terlihat di negara-negara seperti Singapura, Malaysia, dan China, ditampilkan sebagai alternatif yang berhasil dibanding model demokrasi Barat, sehingga memperkuat identitas politik yang unik.
Kebijakan yang berlandaskan Asian Values cenderung mengedepankan kesejahteraan masyarakat, pragmatisme ekonomi, dan kohesi sosial. Misalnya, kerangka kebijakan Singapura mencerminkan komitmen terhadap nilai-nilai ini melalui langkah-langkah yang bertujuan menjaga keharmonisan sosial dan pertumbuhan ekonomi. Landasan ideologis Asian Values memberikan dasar untuk menolak tekanan eksternal guna mengadopsi reformasi demokrasi gaya Barat, sehingga memperkuat rasa otonomi dan identitas politik.
Asian Values telah digunakan menolak apa yang dipandang sebagai pemaksaan norma-norma budaya dan politik Barat. Perlawanan ini, merupakan bagian penting dari politik identitas yang berupaya menjaga kedaulatan dan integritas budaya dalam menghadapi globalisasi. Dengan menegaskan Asian Values, para pemimpin politik di Asia mampu menyusun narasi yang mendukung legitimasi model pemerintahan mereka, sekaligus menantang kritik Barat terkait hak asasi manusia dan kebebasan demokratis.

Asian Values sebagai doktrin developmentalisme dapat dipahami sebagai klaim bahwa, hingga kemakmuran tercapai, demokrasi tetap merupakan sebuah kemewahan yang tak terjangkau. 'Etika Protestan' yang membentuk 'Asian Values' ini, kata Thompson, mengaitkan tingkat pertumbuhan yang tinggi dengan ciri-ciri budaya tertentu. Ciri-ciri tersebut antara lain kerja-keras, berhemat, disiplin, dan kerjasama tim. Demokrasi Barat menghambat pembangunan yang cepat, demikian klaim penguasa otoriter di Asia Pasifik, dan oleh karenanya harus ditunda hingga pembangunan substansial tercapai.
Bentuk-bentuk korupsi kecil mungkin ditoleransi secara budaya atau bahkan diterima sebagai cara memfasilitasi proses birokrasi atau menjaga hubungan sosial. Contohnya, di China, konsep 'guanxi' (jaringan dan hubungan pribadi) kerap melibatkan pertukaran bantuan, yang dapat mengaburkan batas antara praktik sosial yang dapat diterima dan perilaku korup. Entah untuk membenarkan argumen seseorang atau pembenaran lainnya, belakangan muncullah pendapat, dengan dalih Asian Values, bahwa 'korupsi diperbolehkan selama semua orang bahagia'. Pendapat ini sangat problematis dan mencerminkan pola pikir berbahaya, yang dapat menimbulkan implikasi amat negatif tergadap masyarakat. Ungkapan ini menunjukkan bahwa standar etika dan integritas boleh dikorbankan demi kebahagiaan dangkal atau kepuasan jangka pendek. Ia merusak prinsip-prinsip dasar kejujuran, kepatutan, dan keadilan. Membiarkan korupsi, meski berkedok agar membuat masyarakat bahagia, mengikis kepercayaan terhadap institusi dan pemimpin. Kepercayaan adalah komponen penting dalam masyarakat yang sehat, dan erosi kepercayaan dapat menyebabkan meluasnya sinisme dan pelepasan tanggungjawab sebagai warga negara. Jika korupsi diterima selama hal tersebut dapat memuaskan masyarakat, maka korupsi akan menjadi hal yang normal dan tertanam dalam tatanan budaya masyarakat. Normalisasi ini dapat mempersulit pemberantasan korupsi dan menegakkan standar etika dalam jangka panjang. Sekalipun korupsi nampaknya membawa manfaat atau kebahagiaan jangka pendek, kerugian jangka panjang yang diakibatkannya terhadap struktur masyarakat, keadilan, dan kesetaraan, lebih besar dibanding keuntungan sementara.

Korupsi sering mengakibatkan alokasi sumber daya yang tak efisien, dimana keputusan diambil berdasarkan keuntungan pribadi dan bukannya kepentingan umum atau efisiensi ekonomi. Ia dapat menyebabkan pemborosan dan penurunan produktivitas. Korupsi biasanya meningkatkan harga barang dan jasa karena individu atau perusahaan perlu membayar suap atau terlibat dalam praktik korupsi guna menyelesaikan sesuatu, sehingga menyebabkan harga lebih tinggi dan daya saing berkurang.
Korupsi memunculkan lingkungan bisnis yang tak dapat diprediksi, yang dapat menghalangi investasi dalam dan luar negeri. Investor lebih memilih lingkungan dimana peraturannya jelas dan ditegakkan, ketimbang dimana kesuksesan bergantung pada praktik korupsi. Akibatnya, korupsi dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, mengurangi kesempatan kerja, dan menurunkan standar hidup masyarakat luas.
Korupsi acapkali menguntungkan kelompok yang berkuasa dan kaya, dengan mengorbankan kelompok miskin dan terpinggirkan. Ia memperburuk kesenjangan dengan mengalihkan sumber daya yang seharusnya digunakan untuk layanan publik seperti layanan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Sumber daya yang hilang oleh korupsi merupakan sumber daya yang tak tersedia bagi layanan sosial yang penting, sehingga merugikan kesejahteraan dan pembangunan masyarakat secara keseluruhan.

Membiarkan korupsi mengendurkan supremasi hukum, menyebabkan tatakelola yang lemah dan penegakan hukum menjadi sewenang-wenang. Ia dapat mengakibatkan kurangnya akuntabilitas dan transparansi dalam operasional pemerintah. Korupsi dapat memicu ketidakstabilan politik dengan mencimbulkan ketidakpuasan dan kebencian di kalangan masyarakat. Ia dapat menimbulkan protes, kerusuhan, dan bahkan revolusi, jika masyarakat merasa kebutuhan mereka tak dipenuhi secara wajar. Ketika korupsi ditoleransi, ia akan menumbuhkan budaya sinisme dan kekecewaan terhadap para pemimpin dan institusi politik. Ia dapat menyebabkan sikap apatis dan acuh tak acuh dalam proses politik, sehingga melemahkan demokrasi. Masyarakat akan semakin kecil kemungkinannya berpartisipasi dalam pemilu atau kegiatan sipil jika mereka yakin bahwa korupsi akan membuat suara mereka tak didengar atau suara mereka tak berarti.
Pendapat seperti itu, sangat cacat dan berbahaya. Pendekatan ini mengabaikan kerusakan jangka panjang yang disebabkan oleh korupsi terhadap tatanan moral masyarakat, kesehatan ekonomi, keadilan sosial, dan stabilitas politik. Masyarakat yang berkelanjutan dan adil memerlukan komitmen terhadap integritas, transparansi, dan akuntabilitas, dimana korupsi dilawan secara aktif dan tak dibolehkan dalam keadaan apa pun.

Kendati Asian Values tak secara eksplisit membenarkan politik dinasti, interpretasi tertentu terhadap nilai-nilai ini, terutama yang berkaitan dengan penghormatan terhadap otoritas, kesetiaan keluarga, dan pentingnya stabilitas sosial, dapat dipakai untuk mendukung atau merasionalisasi kelanjutan kekuasaan politik dalam keluarga. Namun pembenaran ini, masih kontroversial dan dapat dikritik, terutama dalam konteks prinsip-prinsip demokrasi modern dan potensi penyalahgunaan kekuasaan yang terkait dengan pemerintahan dinasti. Misalnya, keluarga Park di Korea Selatan, dengan Park Chung-hee dan putrinya Park Geun-hye keduanya menjabat sebagai presiden, merepresantisikan dinasti politik. Keluarga Nehru-Gandhi telah menjadi dinasti politik yang menonjol, dengan banyak generasi memegang posisi politik terkemuka.
Kritikus berpendapat bahwa pembenaran politik dinasti dengan menggunakan Asian Values amat mungkin berfungsi sebagai cara menghindari norma-norma demokrasi dan mempertahankan kekuasaan dalam kelompok kecil elit. Politik dinasti dapat menimbulkan pemusatan kekuasaan dan potensi korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan wewenang sehingga dapat melemahkan prinsip meritokrasi dan tatakelola pemerintahan yang baik. Gagasan bahwa kekuasaan harus tetap berada di dalam sebuah keluarga dapat bertentangan dengan nilai prestasi dan pentingnya memilih pemimpin berdasarkan kemampuan dan kualifikasi, bukan berdasarkan garis keturunan.

Simbolisme bunga dapat bervariasi berdasarkan konteks budaya dan interpretasi personal. Dalam kebudayaan Bali, bunga punya makna yang dalam. Bunga kamboja (Plumeria) yang berkelopak lima, melambangkan keterhubungan seluruh makhluk hidup dengan kosmos. Ia mewakili lima elemen alam semesta: bumi, air, api, udara, dan eter. Teratai (Padma) muncul dengan anggun dari kedalaman berlumpur, melambangkan kemakmuran dan kesuburan. Sedap Malam dipuji karena keharumannya di malam hari, Ia dipercaya terhubung dengan ketenangan dan keharmonisan spiritual. Marigold merupakan bunga cerah yang melambangkan matahari, kehidupan, dan energi positif. Warna kuning cerah dan oranye digunakan dalam persembahan untuk melindungi dari energi negatif dan roh jahat.
Bali lebih dari sekedar tempat. Suasananya, keeksotisannya, dengan indah menangkap esensi Bali yang mempesona, dimana setiap momen terasa bagaikan mimpi. Inilah pola pikir tropis. Bali adalah tempat dimana dirimu dapat melangkah dan menemukan sesuatu yang indah. Tapi Bali bukanlah sebuah negara, ia bagian dari sebuah Negara. Pepohonan boleh berdiri sendiri-sendiri, namun akar-akarnya yang saling berkaitan, menopang keseluruhan ekosistem. Persatuan terletak pada pengakuan atas kesamaan yang kita miliki, walau tak langsung terlihat. Persatuan bukan tentang menghapus perbedaan; ia tentang menselebrasikannya, sembari menemukan titik temu.
Dan daku akan membersamaimu ngobrol ngalor ngidul pada episode berikutnya, biidznillah."

Sebelum melangkah ke episode selanjutnya, Seruni membacakan sajak,

Di negeri tempat banyak senyum diobralkan,
Dimana hikayat kebajikan sering dituturkan,
Otak licik mulai merayap,
"Biarlah korupsi berlagak, tapi bungkamlah, jangan meratap."
Dengan kantong penuh dan hati setengah kersang,
Mereka berseru, “Bersenanglah, milik kita sudah berbilang!”
Kutipan & Rujukan:
- Mark R. Thompson, Whatever Happened to "Asian Values"?, Journal of Democracy, Volume 12, Number 4, October 2001, The Johns Hopkins University Press
- Michael D. Barr, Lee Kuan Yew and the "Asian Values" Debate, Asian Studies Review, Volume 24, Number 3, September 2000, Taylor and Francis Group
- Michael Freeman, Human rights, Democracy and ‘Asian values’, The Pacific Review, Vol. 9 No. 3, 1996, Routledge
- Greg Sheridan, Asian Values, Western Dreams: Understanding the New Asia, 1999, Allen & Unwin