Sabtu, 01 Juni 2024

Cerita dari Pohon Kenanga (23)

“Seorang mahasiswa kedokteran bertanya kepada rekannya, 'Kenapa ya, tengkorak gak punya Tapera?'
'Karena doi gak punya 'badan' lagi buat ditinggali!' jawab sang kolega."

“Dinamika dan pengaruh politik meresap ke seluruh aspek kehidupan manusia, lebih dari sekadar struktur formal pemerintahan dan proses legislatif. Politik dapat diamati dalam keluarga, persahabatan, dan tempat kerja dimana dinamika kekuasaan dan negosiasi kerap mendikte interaksi dan pengambilan keputusan. Strategi politik, seperti negosiasi, persuasi, dan kompromi, digunakan dalam menyelesaikan konflik dan mengelola hubungan hierarki, dan proses pengambilan keputusan. Sekolah dan perguruan tinggi juga menunjukkan perilaku politik melalui kebijakan administratif, tatakelola kampus, dan organisasi kemahasiswaan,” Kenanga bergerak maju.

“Dalam hidup keseharian kita, keputusan tentang produk apa yang akan dibeli, merek mana yang akan didukung, dan bagaimana membelanjakan uang, dapat mencerminkan keyakinan politik dan pertimbangan etika. Misalnya, membeli merek lokal yang ramah lingkungan mencerminkan nilai-nilai lingkungan dan ekonomi; memilih kopi yang perusahaannya menerapkan sistem perdagangan berkelanjutan agar mencapai keadilan produsen yang terpinggirkan (fair-trade), atau memboikot perusahaan tertentu oleh praktik-praktik ketidaklayakan ketenagakerjaan atau pendanaannya, mencerminkan keyakinan politik. Demikian pula preferensi pola makan kita, dapat bersifat politis.
Berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat lokal, seperti asosiasi lingkungan, kelompok sukarelawan, dan pemerintahan lokal, pada dasarnya bersifat politis. Lingkaran sosial kita acapkali mencerminkan afiliasi politik kita. Kita cenderung bergaul dengan orang-orang yang berpandangan serupa. Turut-serta dalam forum online, grup media sosial, atau mengikuti influencer tertentu, dapat bermotif politik. Ruang-ruang ini, memungkinkan kita mengekspresikan pendapat, belajar, dan berinteraksi dengan orang lain, yang berperspektif sejalan.
Interaksi di tempat kerja menyertakan dinamika kekuasaan, hierarki, dan pengambilan keputusan. Menavigasi politik kantor, mempengaruhi lintasan karier kita. Upaya mendorong keberagaman, kesetaraan, dan inklusi dalam organisasi pada dasarnya bersifat politis. Advokasi bagi persamaan kesempatan dan keterwakilan merupakan bagian dari politik sehari-hari.

Agenda Setting, peran media dalam membentuk wacana publik dan mempengaruhi opini merupakan contoh nyata dari tindakan politik. Bagaimana berbagai kelompok terwakili di media dapat mencerminkan dan memperkuat ideologi politik.
Platform media sosial telah menjadi arena politik digital: keterlibatan politik, aktivisme, dan wacana yang menyoroti sifat politik interaksi digital. Masalah privasi dan pengawasan data oleh pemerintah dan perusahaan pada dasarnya bersifat politis, sehingga mempengaruhi kebebasan dan hak individu. Kebijakan dan praktik ekonomi yang menentukan distribusi sumber daya dan kekayaan bersifat sangat politis. Dinamika antara pengusaha, pekerja, dan serikat pekerja, melibatkan negosiasi politik mengenai upah, kondisi kerja, dan hak-haknya.

Jika dikau punya ponsel pintar, dirimu turut-serta dalam politik dan politik turut-serta pula bersamamu. Dimana pun engkau tinggal, keputusan politik yang diambil pemerintah, kemungkinan besar akan mempengaruhi isi telepon cerdikmu itu, dan caramu menggunakannya. China melarang aplikasi semisal Facebook dan Google. Sebelum pemilu Uganda tahun 2021, pemerintah menutup akses internet sepenuhnya. Di India, pemerintah mendistribusikan manfaat langsung kepada warganya melalui telepon genggam mereka. Di negara penghasil ponsel, regulasi—salah satu jenis aturan yang dibuat pemerintah lewat tindakan politik—secara virtual menyentuh hampir setiap aspek produksi, penjualan, dan komunikasi ponselmu. Telepon genggammu juga memungkinkannu ikut dalam aksi politik. Dikau dapat menggunakan handphonemu, berbicara tentang politik atau menelepon perwakilan setempat menyampaikan pandanganmu. Engkau dapat mengatur kampanye melalui WhatsApp, berbagi video kebrutalan oknum polisi atau beraksi protes damai, atau berkontribusi melalui uang digital atau duit elektronikmu bagi tujuan politik favoritmu.
Engkau dapat melibatkan diri dalam politik melalui ponselmu, dan politik dapat mempengaruhi cara telepon selulermu itu dirancang dan dioperasikan. Dirimu dapat menggunakan ponsel, belajar tentang politik, keterlibatan politik, dan apa yang dilakukan politisi dalam negeri dan di seluruh dunia. Keputusan politik pemerintah daerah dan nasional, serta organisasi internasional, dapat mempengaruhi air yang engkau minum, makanan yang dikau makan, pakaian yang dirimu kenakan, dan tempat tinggal yang engkau sebut sebagai rumah. Politik dan kebijakan dapat berperan dalam detail terintim dalam hidupmu, termasuk hak reproduksi, hak pernikahan, dan bahkan bagaimana tubuhmu akan diperlakukan setelah dirimu mangkat.

Ekonom pemenang Hadiah Nobel Paul Krugman menegaskan bahwa di Amrik abad ke-21, 'everything is political', dengan kata lain, 'politics is everywhere'. Terlepas apakah dirimu peduli dengan politik atau tidak, politik berkepentingan terhadapmu. Hal ini menggarisbawahi sifat politik yang luas dalam membentuk interaksi manusia, struktur masyarakat, dan norma budaya. Politik memang tersebar luas—politik membentuk pilihan, interaksi, dan struktur masyarakat. Disadari atau tidak, kekuatan politik mempengaruhi kehidupan kita dalam aneka bentuk. Politik tak sebatas pada pemilu atau debat legislatif—politik sudah terjalin dalam kehidupan kita. Setiap pilihan yang kita buat, dan setiap interaksi yang kita lakukan, membawa implikasi politik.
Politik telah ada selama manusia menghadapi kelangkaan, berkeyakinan dan berpreferensi yang berbeda, dan harus menyelesaikan perbedaan-perbedaan tersebut, sembari mengalokasikan sumber daya yang langka. Ia akan terus ada selama kondisi kemanusiaan ini masih ada—se-la-ma-nya. Politik itu, hal mendasar bagi kondisi manusia. Politik punya makna berbeda bagi orang berbeda. Politik, dan terma yang berkaitan, semisal politik dan politikus, dapat berkonotasi positif dan negatif. Filsuf Yunani Aristoteles berpendapat bahwa manusia itu, 'hewan politik', yang berarti bahwa dengan semata berperan dalam politik, manusia dapat mencapai potensi tertingginya. Namun seringkali, istilah politik dan politisi dapat digunakan dengan cara yang merendahkan, merujuk pada individu yang menggunakan tipu-daya atau manipulasi agar mendapatkan atau mempertahankan status maupun otoritasnya. Secara lebih formal, politisi adalah seseorang yang mencalonkan diri atau menjabat di dalamnya, atau sebagai orang yang menggunakan keterampilan politisi dalam interaksi sosial lainnya. Aktor politik ialah siapa saja yang terlibat dalam aktivitas politik. Politik melibatkan seluruh tindakan pemerintah dan semua orang yang mengabdi dan bekerja untuk pemerintah, atau yang mempertanyakan pemerintah. Politik itu, tentang siapa mendapatkan apa, kapan, dimana, bagaimana, dan mengapa.

Setiap peristiwa politik berbeda. Protes massal di Hong Kong pada tahun 2020, yang terinspirasi oleh mereka yang berupaya melindungi hak-hak politiknya, tak sama dengan protes Black Lives Matter di Amrik, atau aksi perubahan iklim oleh aktivis lingkungan asal Swedia, Greta Thunberg. Kendati situasi politik amat beragam, terdapat kesamaan dalam peristiwa-peristiwa tersebut dan aktivitas politik secara keseluruhan. Kapan pun dikau ingin memahami suatu peristiwa politik—baik pemilu di Tanzania, protes di Estonia, maupun program kesehatan masyarakat (BPJS) di Indonesia, yang belakangan pelayanan institusinya di kritisi (representasi dari sekian banyak komplain tak tersampaikan tentang aturan dan pelayanan BPJS) oleh penyanyi dan aktor kenamaan Indonesia, Ikang Fawzi—ada baiknya, dikau berfokus pada hal-hal berikut: 'rules', 'reality', dan 'choices'. Rules atau aturan-aturan memberikan batasan dan peluang. 'The reality' atau kenyataannya, menghadirkan sumber daya dan tantangan. Choices atau pilihan-pilihan yang diambil para pemerannya dalam menghadapi aturan dan realitasnya, menentukan hasil politik.
Pentingnya aturan dalam politik atau kehidupan, tak bisa dilebih-lebihkan. Dalam hampir setiap usaha manusia, individu tersukses pun cenderung berilmu mendalam tentang aturan, dan cara menggunakan (atau, boleh jadi, melanggar) aturan demi keuntungannya. Ketidaktahuan akan aturan membuat pencapaian tujuanmu jadi lebih sulit. Aturan ada dimana-mana dalam politik. Keluargamu punya aturan—kendati aturan utamanya 'gak ada peraturan', tapi teuteup aja, 'ada aturannya'—sebagaimana di sekolah, kampus, dan tempat kerjamu.

Aturan dan institusi punya hubungan yang erat. Alternatifnya, institusi dapat berupa organisasi, yang merupakan sekelompok orang yang bekerja bersama demi tujuan bersama, yang tindakannya diatur oleh aturan. Boleh jadi, aturan tampak netral—artinya, aturan tersebut tampak adil dan tak dirancang memihak satu kelompok terhadap kelompok lain—namun, ini tak sepenuhnya benar. Misalnya saja di Indonesia, aturan sering diutak-atik untuk kepentingan tertentu, sehingga memunculkan kesan gak fair. Aturan-aturan, seperti Robert’s Rules of Order, mengatur badan legislatif, sistem peradilan pidana, sistem perpajakan, dan sistem imigrasi nasional, semuanya didasarkan, paling tidak pada prinsipnya, ada aturan.
Jika peraturan sering diubah secara negatif atau bagi kepentingan tertentu, dampak-dampak merugikan dapat terjadi:
  • Erosi Kepercayaan. Masyarakat dapat kehilangan kepercayaan terhadap institusi atau sistem dikala mereka merasa bahwa peraturan dimanipulasi secara tak adil. Terkikisnya kepercayaan ini, dapat menyebabkan menurunnya kepatuhan dan keturut-sertaan masyarakat.
  • Manfaat yang Tak Berimbang: Perubahan peraturan yang terus menerus demi keuntungan kelompok tertentu, dapat menimbulkan persaingan yang tak seimbang, dimana individu atau organisasi tertentu, beroleh keuntungan yang tak semestinya dibanding yang lain. Hal ini dapat memperburuk kesenjangan dan menumbuhkan kebencian.
  • Ketidakstabilan. Peraturan yang sering berubah dan negatif, dapat memunculkan lingkungan yang tak stabil. Disaat aturan tak dapat diprediksi, maka akan sulit bagi individu dan organisasi merencanakan dan beroperasi secara efektif, sehingga menyebabkan inefisiensi dan ketidakpastian.
  • Sirnanya Integritas. Integritas badan pembuat peraturan yang dirasakan dapat dikompromikan. Jika suatu badan atau organisasi pimpinan dianggap korup atau bias, otoritas dan legitimasinya dapat dilecehkan.
  • Penurunan 'Morale'. Morale mengacu pada suasana hati, sikap, dan rasa 'overal well-being' [sulit menemukan terjemahan 'well-being', ia merujuk pada keadaan rasa-nyaman, sehat, atau bahagia. Keadaan ini mencakup berbagai aspek kehidupan 'seseorang', termasuk kesehatan fisik, mental, dan emosional. Well-being kerap dipandang secara holistik, dengan mempertimbangkan beberapa dimensi: Physical Well-being: cakupannya menjaga kesehatan fisik yang baik melalui nutrisi yang tepat, olahraga teratur, istirahat yang cukup, dan menghindari perilaku berbahaya. Dapat pula mencakup akses terhadap layanan kesehatan dan tiadanya penyakit kronis atau rasa-perih; Mental Well-being: Aspek ini berfokus pada fungsi kognitif dan kesehatan emosional. Ia mencakup kemampuan mengelola stres, kecemasan, dan masalah kesehatan mental lainnya, serta punya pandangan hidup yang positif, harga diri yang baik, dan kemampuan mengatasi tantangan hidup; Emotional Well-being: melibatkan pengalaman emosi positif semisal kebahagiaan, kepuasan, dan keterpenuhan, dan secara efektif mengelola emosi negatif seperti kesedihan, kemarahan, dan frustrasi. Bisa juga mencakup kualitas hubungan pribadi dan interaksi sosial; Social Well-being: Dimensi ini mencakup kualitas dan kedalaman hubungan individu dan jaringan sosial. Ia melibatkan adanya hubungan sosial yang mendukung, rasa memiliki, dan interaksi positif dengan orang lain; Financial Well-being: Stabilitas keuangan dan kemampuan mengelola sumber daya keuangan secara efektif berkontribusi terhadap kesejahteraan secara keseluruhan. Ia termasuk beroleh pendapatan yang cukup memenuhi kebutuhan dasar, serta keamanan finansial dan bebas dari hutang yang berlebihan; Environmental Well-being: melibatkan hidup di lingkungan yang aman, sehat, dan berkelanjutan. Ia mencakup lingkungan sekitar, seperti tempat tinggal dan tempat kerja, serta lingkungan alam yang lebih luas; Occupational Well-being: berkaitan dengan kepuasan kerja, keseimbangan kehidupan kerja, dan punya tujuan dan pencapaian dalam kehidupan profesional seseorang. Pula mencakup peluang bagi pertumbuhan pribadi dan karier; Spiritual Well-being: Bagi banyak orang, Spiritual Well-being merupakan dimensi yang penting. Ia melibatkan rasa memiliki tujuan dan makna dalam hidup, yang mungkin terkait dengan keyakinan agama, nilai-nilai pribadi, atau rasa keterhubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri. Overal well-being tercapai manakala seseorang mengalami hasil positif dalam berbagai dimensi, yang mengarah pada kehidupan yang seimbang dan memuaskan. Keadaan dinamis inilah yang dapat dipengaruhi oleh pilihan pribadi, relationships, faktor sosial, dan keadaan lingkungan], kepuasan, dan antusiasme di antara sekelompok orang, terutama di tempat kerja, organisasi, atau tim. Ia mencakup keadaan mental dan emosional kolektif individu dan punya dampak penting terhadap kinerja, produktivitas, dan kohesinya. Morale yang tinggi ditandai dengan: Sikap Positif: Individu merasa optimis dan positif terhadap lingkungan dan perannya; Antusiasme dan Motivasi: Orang-orang bersemangat berpartisipasi, berkontribusi, dan melakukan upaya terbaik mereka; Kekompakan: Adanya rasa persatuan dan persahabatan antar anggota kelompok; Kepuasan Kerja: Individu merasa lega dan puas dengan pekerjaan dan kondisi pekerjaannya. Sebaliknya, morale yang rendah ditandai dengan: Sikap Negatif: Orang mungkin merasa pesimis, tak puas, atau tak mau turut berperan. Kurangnya Motivasi: Individu cenderung kurang produktif atau melakukan upaya ekstra; Konflik dan Perpecahan: Mungkin terjadi peningkatan ketegangan, konflik, dan kurangnya kerja sama dalam kelompok; Ketidakpuasan Kerja: Orang merasa tidak bahagia atau frustrasi dengan pekerjaan dan kondisi kerja mereka. Faktor-faktor yang mempengaruhi morale meliputi kualitas kepemimpinan, kondisi kerja, komunikasi, pengakuan dan penghargaan, keamanan kerja, dan budaya organisasi. Morale yang tinggi cenderung menghasilkan kinerja yang lebih baik, tingkat turnover yang lebih rendah, dan lingkungan kerja yang lebih positif, sedangkan morale yang rendah dapat mengakibatkan penurunan produktivitas, tingkat ketidakhadiran yang lebih tinggi, dan peningkatan turnover.Di lingkungan seperti tempat kerja atau sekolah, jika peraturan dianggap dimanipulasi guna menguntungkan orang-orang tertentu, dapat menyebabkan penurunan morale, motivasi, dan kepuasan keseluruhan di antara mereka yang merasa dirugikan.
  • Konflik dan Pembelahan. Memanipulasi aturan demi kepentingan tertentu, dapat menimbulkan perpecahan dan konflik dalam masyarakat, organisasi, bahkan negara. Mereka yang merasa diperlakukan tak adil, akan melakukan perlawanan, sehingga menimbulkan perselisihan dan kurangnya kohesi.
  • Konsekuensi Jangka Panjang. Seiring berjalannya waktu, tindakan negatif yang terus-menerus terhadap peraturan, dapat menyebabkan masalah sistemik. Keadaan ini dapat membagaskan cengkeraman korupsi, menurunkan inovasi, dan pada akhirnya, membahayakan kesehatan jangka panjang dan keberlanjutan institusi dan masyarakat.
Esensinya, integritas dan keadilan dalam pembuatan aturan, teramat penting bagi stabilitas, kepercayaan, dan fungsionalitas sistem atau masyarakat mana pun. Memanipulasi aturan demi kepentingan sempit atau dengan cara yang negatif, dapat menimbulkan konsekuensi yang luas dan merugikan.

Barangkali, seperangkat peraturan yang teramat sangat penting bagi lembaga atau organisasi mana pun adalah konstitusinya. Konstitusi merupakan dokumen hukum mendasar atau seperangkat prinsip yang menguraikan struktur, fungsi, dan kekuasaan suatu pemerintahan, serta hak dan kewajiban warga negaranya. Ia berfungsi sebagai hukum tertinggi suatu negara atau organisasi, memberikan kerangka bagi pemerintahan dan supremasi hukum. Konstitusi biasanya dipandang sebagai otoritas hukum tertinggi di suatu negara, artinya seluruh undang-undang dan tindakan pemerintah, harus sesuai dengan prinsip-prinsipnya. Ia menentukan organisasi pemerintahan, termasuk pemisahan kekuasaan di antara cabang-cabang yang berbeda (misalnya eksekutif, legislatif, yudikatif) dan hubungan antara cabang-cabang tersebut. Konstitusi menggambarkan wewenang dan tanggung jawab masing-masing cabang pemerintahan, memastikan adanya sistem checks and balances guna mencegah salah satu cabang pemerintahan menjadi amat sangat berkuasa. Ia mengabadikan hak-hak dasar dan kebebasan bagi warga negara, seperti kebebasan berbicara, beragama, dan berkumpul, serta menyediakan mekanisme agar melindungi hak-hak tersebut.
Konstitusi biasanya mencakup prosedur melakukan amandemen atau perubahan terhadap dokumen tersebut, sehingga memungkinkannya beradaptasi dengan kebutuhan dan nilai-nilai masyarakat yang terus berkembang. Ia menetapkan kerangka hukum membuat, menegakkan, dan menafsirkan undang-undang, sering termasuk pembentukan pengadilan dan sistem peradilan. Selain menguraikan hak-hak, konstitusi juga dapat menentukan tugas dan tanggung jawab warga negara, seperti mematuhi hukum dan membayar pajak. Dalam sistem federal, konstitusi dapat menguraikan pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah, sedangkan dalam sistem kesatuan, konstitusi memusatkan wewenang pada tingkat pusat.
Konstitusi dapat tertulis (dikodifikasi) atau tak tertulis (tidak dikodifikasi). Konstitusi tertulis merupakan dokumen formal, sedangkan konstitusi tak tertulis terdiri dari undang-undang, keputusan pengadilan, konvensi, dan sumber kewenangan hukum lainnya. Terlepas dari bentuknya, konstitusi memainkan peran penting dalam membentuk tatakelola dan kerangka hukum suatu masyarakat. Konstitusi dapat merupakan seperangkat peraturan yang terpenting dalam suatu negara karena, bagaimanapun juga, konstitusi hanyalah lembaran kertas. Pentingnya konstitusi suatu negara bergantung pada politik negara tersebut. Baik itu presiden, anggota dewan, atau kelompok atau individu lain di masyarakat—diharapkan mematuhi konstitusi. Namun hal ini tak selalu terjadi di semua tempat. Para politisi di negara mana pun, bisa tergoda mengabaikan konstitusi mereka, terutama jika menyangkut hak-hak yang mereka jamin, dan kemenangan politisi tersebut, bergantung pada kemauan dan kemampuan aktor politik lain, yang hendak menjunjung tinggi konstitusi.

Aturan memandu dan membatasi perilaku, namun kenyataan di lapangan pada waktu tertentu, berdampak pula pada hasil politik. Karena peraturan mempengaruhi alokasi kekuasaan dan sumber daya langka lainnya, para aktor politik menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk memperebutkannya. Secara umum, aktor politik berupaya menetapkan aturan yang menguntungkan dirinya dan sekutunya.
Realitas—fakta—bukanlah soal opini, meski orang bisa memperdebatkan hakikat realitas. Sesuatu disebut fakta, misalnya bila terdapat bukti kuat bahwa suatu peristiwa telah terjadi atau suatu kondisi memang ada. Matahari terbit di Timur: kenyataan. PBB adalah organisasi internasional: fakta (realitas). Sudahkah PBB menjadikan dunia, tempat yang lebih baik? Nah, ini soal pendapat, meski mereka yang mengatakan 'ya' atau 'tidak' bisa memberikan fakta yang mendukung pandangan tentang kenyataannya.
Dalam catur, peraturannya konstan, tak pernah berubah selama pertandingan. Realitasnya berubah seiring berjalannya permainan—setiap saat setiap pemain memiliki sejumlah bidak tertentu di tempat tertentu di atas papan caturnya. Apa yang terjadi kemudian bergantung pada pilihan yang diambil para pemain. Hal ini juga berlaku dalam politik dan permainan lainnya. Perbedaan utama antara catur dan politik adalah, dalam politik, para pemainnya sendiri dapat mengubah aturan permainan saat mereka bermain. Politik dapat diibaratkan bercirikan suatu permainan. Para pemain—siapa pun yang turut terlibat dalam aksi politik—membuat pilihan-pilihan strategis, dengan mempertimbangkan peraturan dan kondisi saat ini, dalam upaya 'memenangkan' permainan dengan mencapai tujuan mereka.

Aturan menyajikan batasan dan peluang. Realitas menghadirkan sumber daya dan tantangan. Pilihan diambil oleh para pemeran dalam menghadapi aturan, dan realitanya, menentukan hasil politik. Pilihan ada setiap kali aktor politik menghadapi pilihan, dan ini yang selalu mereka lakukan. Jika ada dua kandidat dalam suatu pemilihan untuk sebuah jabatan, pemilih harus memilih di antara keduanya, tak boleh memilih keduanya. Sekalipun hanya ada satu calon, pemilih tetap punya pilihan: memilih calon tersebut atau abstain.
Dalam sebuah demokrasi, dan inilah arti pentingnya pemilu yang 'free and fair', kandidat yang menang akan unggul karena lebih banyak pemilih yang ikut nyoblos dan memilih kandidat tersebut, dibanding opsi lainnya. Penentuan sebenarnya dari demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dimana rakyat dapat memilih pemimpin mereka atau, dalam beberapa hal, kebijakan yang akan mereka ambil.
Hasil politik selalu bersifat kontingen; hal tersebut tak dapat diprediksi dengan pasti sebelumnya. Namun, hal ini bukan berarti bahwa hasilnya benar-benar tak dapat diprediksi. Dengan mempertimbangkan aturan, cara kerja perilaku manusia, dan realitas yang ada, kita dapat memprediksi secara masuk akal apa yang mungkin terjadi dan menjelaskan apa yang akan terjadi.

Sekarang kita balik ke topik membangun koalisi. Prinsip rules, reality, dan choices, juga bisa diterapkan. Pembangunan koalisi dalam sistem presidensial mengacu pada proses dimana presiden berupaya membentuk aliansi dengan berbagai partai politik dan faksi guna beroleh dukungan legislatif bagi agenda kebijakan mereka. Praktik ini lebih umum terjadi dalam sistem presidensial multipartai, dimana tiada satu partai pun yang memegang mayoritas di badan legislatif. Di negara-negara yang mempunyai banyak partai politik, presiden acapkali perlu membentuk koalisi agar mencapai mayoritas di badan legislatif. Fragmentasi memerlukan aliansi antar kelompok politik yang berbeda-beda dengan kepentingan dan ideologi yang berbeda-beda.
Mitra koalisi menegosiasikan perjanjian kebijakan, yang seringkali memerlukan kompromi pada isu-isu utama. Koalisi mungkin melibatkan pengaturan pembagian kekuasaan, termasuk posisi kabinet, peran kepemimpinan legislatif, dan penunjukan pemerintah lainnya. Presiden mencari mitra koalisi yang dapat memberikan dukungan legislatif yang dapat diandalkan agar meloloskan rancangan undang-undang dan anggaran yang substansial. Membentuk koalisi dapat meningkatkan stabilitas politik dengan memastikan pemerintah memiliki dukungan yang cukup guna memerintah secara efektif.

Beberapa contoh pembangunan koalisi dalam sistem presidensial: Sistem presidensial Brazil ditandai dengan adanya badan legislatif yang sangat terfragmentasi dengan banyak partai politik. Membangun koalisi sangat penting bagi presiden agar memerintah secara efektif. Namun, hal ini menimbulkan pula tantangan semisal ketidakstabilan politik dan skandal korupsi.
Kenya punya sejarah pemerintahan koalisi, khususnya setelah pemilu yang diperebutkan. Pembentukan koalisi sangat penting agar menjaga perdamaian dan stabilitas, meskipun terkadang hal ini menghasilkan perjanjian pembagian kekuasaan yang dapat melemahkan efektivitas kebijakannya.

Presiden Indonesia sering membentuk koalisi dengan banyak partai guna dukungan legislatif. Hal ini tak semata membantu menjaga stabilitas politik, namun juga mengarah pada negosiasi dan kompromi yang rumit. Dan Slater menulis bahwa karena para presiden berbagi kekuasaan lebih luas dari yang diperkirakan, oposisi tak muncul secara otomatis seperti yang diharapkan setelah Indonesia mengalami demokratisasi. Hasilnya adalah apa yang Slater sebut sebagai kartelisasi partai ala Indonesia.
Pembagian kekuasaan secara serampangan merupakan hal yang strategis bagi partai-partai politik di parlemen Indonesia, kata Slater, karena memungkinkan mereka mempertahankan akses istimewa terhadap perlindungan negara, bahkan ketika mereka kalah dalam pemilu parlemen nasional. Bagian inilah yang tak terlalu mengejutkan dalam perjanjian pembagian kekuasaan. Hal yang lebih membingungkan bahwa presiden terus-menerus menemukan keuntungan strategis dalam membangun koalisi yang tak hanya beranggotakan banyak orang, namun terkadang mencakup semua partai penting, sehingga memusnahkan seluruh oposisi partai dalam proses tersebut. Presiden Indonesia tak mengadopsi apa pun yang menyerupai 'koalisi kemenangan minimum'. Sebagai gambaran: intuisi intinya bahwa membangun koalisi yang lebih luas bukan berarti presiden harus membagi lebih banyak kekuasaan atau sumber dayanya. Artinya, masing-masing partai dalam koalisi harus berbagi lebih banyak dari partainya. Pembagian kekuasaan dapat membuat presiden yang dipilih secara langsung menjadi lebih kuat, bukan lebih lemah secara absolut.
Lebih lanjut Slater berpendapat bahwa implikasi yang teramat menarik dari pengalaman Indonesia dalam pembagian kekuasaan secara demokratis sebagai berikut: Presiden terkadang melihat koalisi yang luas sebagai sumber, bukannya pengurasan kekuasaan dan sumber dayanya. Koalisi 'gemoy' biasanya dipandang lebih mahal bila dipertahankan. Memperluas jumlah partai dalam kabinet 'mencairkan kemampuan eksekutif memonopoli sumber daya dan pengaruh kebijakan.' Tapi ini mungkin bukan cara pandang presiden, kata Slater, setidaknya dalam kondisi tertentu. Koalisi yang 'oversized' mungkin lebih baik dipahami sebagai cara bagi presiden menyebarkan jumlah sumber daya yang sama kepada lebih banyak pihak yang mengajukan klaim, sehingga memastikan bahwa tiada satu mitra pun yang bisa menjadi saingan yang terlalu kuat. Terlebih lagi, kegigihan dan evolusi kartelisasi partai, gaya Indonesia menunjukkan bahwa pembagian kekuasaan tak boleh dilihat sebagai kesempatan bagi presiden bagi-bagi kekuasaan secara gratis.

Lalu apa dong tantangannya membagun koalisi? Mitra koalisi yang beragam dapat memiliki prioritas yang bertentangan, sehingga menyebabkan kesulitan dalam mencapai konsensus mengenai kebijakan. Kebutuhan mengakomodasi seluruh mitra koalisi dapat mengakibatkan kebijakan-kebijakan yang dipermudah dan kurang koheren dan efektif.
Koalisi pada dasarnya bisa menjadi tidak stabil, dimana mitra-mitranya menarik dukungan jika tuntutan mereka tak dipenuhi. Ketidakstabilan dapat menyebabkan seringnya pergantian pemerintahan, sehingga menghambat perencanaan dan implementasi kebijakan jangka panjang.
Perjanjian koalisi dapat menyertakan perkoncoan, dimana dukungan politik ditukar dengan posisi dan bantuan pemerintah, sehingga mendorong korupsi. Presiden perlu terus bernegosiasi dengan mitra koalisi, sehingga melemahkan kemampuannya menghadirkan kepemimpinan yang kuat dan tegas.
Koalisi seringkali dibentuk oleh kebutuhan, terutama disaat tiada satu partai pun yang mayoritas. Namun, bisa menjadi rapuh dan rentan ambruk. Koalisi dapat memprioritaskan stabilitas dibandingkan perubahan kebijakan yang berani. Agar menghindari konflik internal, pemerintahan koalisi kerap melakukan perubahan bertahap ketimbang melakukan reformasi radikal. Hal ini dapat mengakibatkan inersia kebijakan atau lambatnya kemajuan.
Mitra koalisi dapat menghadapi perbedaan pendapat internal. Di masing-masing partai, faksi mungkin tak sepakat dengan keputusan koalisi. Mengelola konflik internal ini, memerlukan kepemimpinan yang terampil.
Koalisi kemungkinan tak memiliki arah kebijakan yang jelas. Jika banyak pihak terlibat, koherensi kebijakan bisa terganggu. Sikap yang saling bertentangan mengenai isu-isu yang berbeda, dapat membingungkan para pemilih dan menghambat efektivitas tata kelola.
Para pemilih mungkin menganggap koalisi tak tegas atau lemah. Ketika partai-partai berkompromi secara berlebihan, masyarakat dapat menganggap pemerintah tidak efektif. Hal ini dapat mengikis kepercayaan publik dan berdampak pada prospek pemilu.
Kendati membangun koalisi dapat meningkatkan tatakelola dengan menjamin dukungan legislatif dan inklusivitas, ia menimbulkan pula tantangan besar seperti policy gridlock, ketidakstabilan, dan potensi korupsi. Efektivitas membangun koalisi bergantung pada konteks politik, kemampuan para pemimpin mengelola beragam kepentingan, dan keseluruhan kerangka kelembagaan dimana koalisi beroperasi.

Lantas, apa jadinya jika tak ada partai oposisi formal dalam sistem presidensial? Akan kita perbincangkan pada episode berikutnya, biidznillah."
Kutipan & Rujukan:
- Mark Carl Rom, Masaki Hidaka & Rachel Bzostek Walker, Introduction to Political Science, 2022, OpenStax
- Michel Rosenfeld & Andras Sajo (Eds.), The Oxford Handbook of Comparative Constitutional Law, Oxford University Press
- Jason Colquitt, Jeffery LePine & Michael Wesson, Organizational Behavior: Improving Performance and Commitment in the Workplace, 2023, McGraw Hill
- Susan A. David, Ilona Boniwell & Amanda Conley Ayers (Eds.), The Oxford Handbook of Happiness, 2013, Oxford University Press
- Daniel Kahneman, Ed Diener & Norbert Schwarz (Eds.), Well-Being: The Foundations of Hedonic Psychology, 1999, Russel Sage Foundation
- Dan Slater, Party Cartelization, Indonesian-Style: Presidential Power-Sharing and the Contingency of Democratic Opposition, Journal of East Asian Studies, 2018, Cambridge University Press