“Cerita-cerita dalam Pewayangan memuat legenda dan peristiwa sejarah lokal, yang kerap membawa pelajaran moral atau etika. Cerita-ceritanya menekankan pentingnya keseimbangan dan keselarasan. Cerita-cerita tersebut acapkali memberikan pelajaran tentang moralitas, keadilan, dan manfaat kebajikan. Ia berfungsi sebagai alegori terhadap dilema kehidupan nyata dan pilihan etika. Wayang juga dapat meliput isu-isu kontemporer, dengan mengintegrasikan tema-tema modern semisal keadilan sosial, politik, dan masalah lingkungan ke dalam narasi tradisional. Teknologi dan media modern seyogyanya digunakan untuk memperkenalkan bentuk seni ini kepada generasi muda dan khalayak internasional.Lalu, Ki Dalang kita bertutur, 'Tatkala Petruk dinobatkan jadi Raja, ia memerintahkan agar sebuah tangga dibawa ke tempat pertemuan. Para menterinya heran dan bertanya, 'Mengapa Kang Mulyo meminta dibawakan sebuah tangga?''Untuk mengatasi isu-isu di tingkat tinggi!' jawab sang Panembahan disusul bunyi keprak Ki Dalang.”"Perencanaan efektif yang menguntungkan semua orang dapat disamakan dengan skala yang berimbang: skala perencanaan yang adil dan sebanding memastikan tiadanya kelompok yang menanggung beban tak semestinya. Perencanaan ini mendistribusikan manfaat secara adil, mengangkat semua orang. Atau pohon yang memberi nutrisi: seperti pohon yang sehat memberikan naungan, buah-buahan, dan oksigen bagi semua, perencanaan yang matang merawat masyarakat, menawarkan layanan dan peluang penting. Atau tarian inklusif: bayangkan sebuah tarian harmonis dimana setiap langkahnya amat bermakna. Perencanaan inklusif mengundang semua orang agar berpartisipasi, membangun kota yang dinamis dan saling terhubung. Atau prasmanan: kota yang terencana menyerupai prasmanan yang beragam—banyak pilihan bagi semua. Perumahan, pendidikan, ruang hijau, dan pekerjaan dapat diakses oleh semua orang. Atau kompas yang menenteramkan: perencanaan yang efektif memandu kita menuju rasa kasih sayang, empati, dan pemahamannya, menunjuk pada solusi yang mengangkat semangat seluruh masyarakat. Intinya, perencanaan yang baik akan memberikan manfaat bagi semua orang, dan tiada seorang pun yang tertinggal,” ucap Seruni sembari melihat ke arah patung Garuda di Monumen Pancasila Sakti.“Pemerintah di beberapa negara memindahkan ibukotanya oleh berbagai alasan, dengan memperhatikan berbagai pertimbangan strategis, ekonomi, lingkungan, dan budaya. Keputusan tersebut biasanya ditujukan untuk mengatasi permasalahan nasional yang mendesak dan mendorong tujuan pembangunan jangka panjang.Pemindahan ibukota merupakan keputusan momentum dan kompleks yang dibuat oleh pemerintah. Beragam dalil dapat mendorong pilihan ini, seringkali menggabungkan faktor politik, ekonomi, lingkungan hidup, dan sosial. Pemindahan ibukota dapat membantu desentralisasi kekuasaan politik dan mengurangi kemacetan di ibukota saat ini. Dapat pula bertujuan mendistribusikan sumberdaya secara lebih merata ke seluruh negeri. Ibukota saat ini mungkin rentan terhadap bencana alam, serangan teroris, atau ancaman geopolitik. Pemindahan ibukota dapat meningkatkan keamanan nasional. Ibukota baru dapat melambangkan terobosan dari masa lalu, seperti transisi pasca-kolonial atau pergantian rezim. Ia mungkin merepresentasi awal baru atau komitmen terhadap persatuan nasional.Pembentukan ibukota baru dapat merangsang pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal. Ia dapat menarik investasi, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan infrastruktur di wilayah-wilayah yang mungkin terabaikan. Ibukota yang ada mungkin mengalami kepadatan yang berlebihan, kemacetan lalu lintas, polusi, dan beban infrastruktur yang berat. Memindahkan ibukota dapat membantu meringankan permasalahan ini dan mengurangi beban terhadap kota yang ada.Jika ibukota saat ini rawan bencana alam seperti gempa bumi, banjir, atau naiknya permukaan air laut, maka pemindahan ibukota dapat menjadi langkah preventif menjaga fungsi pemerintahan dan stabilitas nasional. Beberapa negara dapat memindahkan ibukotanya ke lokasi yang tak terlalu rentan terhadap dampak perubahan iklim, seperti kenaikan suhu dan perubahan pola cuaca.Ibukota yang berlokasi lebih terpusat dapat memfasilitasi tatakelola dan komunikasi yang lebih baik di seluruh negeri. Hal ini dapat memastikan bahwa layanan dan infrastruktur pemerintah lebih mudah diakses oleh segmen masyarakat yang lebih luas. Ibukota baru dapat direncanakan dengan infrastruktur modern, termasuk jaringan transportasi yang lebih baik, gedung administrasi, dan sistem komunikasi, sehingga meningkatkan efisiensi.Pemindahan ibukota dapat membantu mempromosikan identitas nasional yang lebih inklusif, khususnya di negara-negara dengan latarbelakang etnis atau budaya yang beragam. Jika ibukota saat ini memiliki situs sejarah atau budaya yang penting, merelokasi ibukota dapat membantu menjaga kawasan tersebut dari tekanan perkotaan dan gangguan pembangunan.Beberapa contoh relokasi ibukota termasuk Brasil, yang memindahkan ibukotanya dari Rio de Janeiro ke Brasília pada tahun 1960 guna mendorong pembangunan ekonomi di pedalaman negara tersebut dan mengurangi kesenjangan regional. Nigeria memindahkan ibukotanya dari Lagos ke Abuja pada tahun 1991 agar mempromosikan netralitas dan sentralitas di negara yang beragam dan mengurangi kemacetan di Lagos. Kazakhstan memindahkan ibukotanya dari Almaty ke Astana (sekarang Nur-Sultan) pada tahun 1997 karena alasan strategis dan ekonomi, termasuk posisi yang lebih baik bagi pertumbuhan dan pembangunan di masa depan.Impian pemindahan ibukota tak semudah menjentikkan jari. Meskipun pemindahan ibukota menghadirkan manfaat, namun pula berdampak buruk. Pemindahan ibukota memerlukan biaya yang sangat besar—infrastruktur, gedung pemerintahan, dan perumahan bagi para pejabat. Hal ini dapat membebani perekonomian. Membangun ibukota baru merupakan upaya yang mahal dan memerlukan sumberdaya keuangan yang besar bagi pembangunan dan relokasi. Pemindahan ibukota dapat mengganggu komunitas lokal, menggusur rakyat, dan mengubah tatanan sosial. Keberhasilan ibukota baru memerlukan komitmen jangka panjang dan investasi berkelanjutan, yang dapat menjadi tantangan bagi beberapa negara.Warga negara menghadapi pergolakan—relokasi rumah, pekerjaan, dan sekolah. Keakraban dengan ibukota lama hilang. Reaksi masyarakat terhadap pemindahan ibukota mungkin berbeda-beda. Ada yang mendukung langkah tersebut, melihatnya sebagai kemajuan dan simbol pembangunan nasional. Yang lain menolak karena keterikatan sentimental terhadap ibukota lama atau kekhawatiran akan gangguan. Secara keseluruhan, keputusan-keputusan ini memicu perdebatan dan membentuk identitas masing-masing negara.Ibukota lama menyimpan makna sejarah dan budaya. Relokasi berisiko menghapus sebagian 'heritage' (pusaka peninggalan) suatu bangsa. Cultural heritage memainkan peran penting dalam reaksi warga terhadap pemindahan ibukota. Orang kerap merasa terhubung secara emosional dengan ibukota lama mereka karena peristiwa sejarah, kenangan, dan landmark budaya. Pemindahan ibukota akan mengganggu keterikatan ini. Ibukota mewakili identitas suatu bangsa. Warga mengasosiasikan simbol budaya, tradisi, dan warisan dengan ibukota yang ada. Relokasi dapat menimbulkan perasaan kehilangan atau perubahan, sehingga menimbulkan ketegangan dan perdebatan politik.Membangun ibukota baru butuh waktu. Kesenjangan infrastruktur mungkin masih ada selama masa transisi. Diperlukan perencanaan yang matang memitigasi dampak buruk ini.Ada beberapa contoh kasus dimana upaya pemindahan ibukota gagal atau menimbulkan dampak negatif. Kegagalan-kegagalan ini dapat disebabkan oleh berbagai masalah semisal beban keuangan, tantangan logistik, ketidakpuasan sosial, dan konsekuensi ekonomi yang tak diharapkan.Myanmar (Burma), ibukotanya dipindahkan dari Yangon ke Naypyidaw pada tahun 2005, dilaporkan karena alasan strategis dan untuk menghindari Yangon yang padat dan rentan. Pembangunan Naypyidaw sebagian besar didanai oleh pemerintah Myanmar sendiri. Kendati China telah menjadi investor yang cukup berarti dalam proyek infrastruktur Myanmar, relokasi dan pembangunan Naypyidaw terutama didorong oleh pertimbangan politik dan strategis dalam negeri tersebut.Kendati terdapat investasi besar, Naypyidaw masih kekurangan penduduk dan sebagian besar kota tak berpenghuni dan tak digunakan. Kota ini secara geografis terisolasi dan aktivitas ekonominya kurang bergairah seperti di Yangon, sehingga menyebabkan terbatasnya peluang ekonomi. Banyak warga dan pegawai negeri yang enggan pindah karena minimnya fasilitas dan infrastruktur sosial.Malaysia, ibukotanya dipindahkan ke Putrajaya untuk mengurangi kemacetan di Kuala Lumpur dan membangun pusat administrasi yang lebih terpusat. Putrajaya sebagian besar didanai oleh pemerintah Malaysia melalui anggaran nasional dan lembaga pembangunan tertentu. Pembangunan Putrajaya memakan biaya yang sangat besar, sehingga menimbulkan kekhawatiran mengenai kelayakan ekonominya. Banyak pegawai pemerintah dan dunia usaha yang ragu-ragu pindah, sehingga menyebabkan pertumbuhan populasi yang lebih lambat dari perkiraan dan terbatasnya aktivitas ekonomi. Beban keuangan dalam membangun dan memelihara Putrajaya telah menimbulkan pertanyaan mengenai dampaknya terhadap keuangan nasional.Nigeria, pindah dari Lagos ke Abuja pada tahun 1991 untuk mengurangi kemacetan di Lagos dan menyediakan ibukota yang lebih netral dan berlokasi terpusat. Relokasi dan pembangunan Abuja didanai oleh pemerintah Nigeria, dengan dukungan dari berbagai mitra internasional termasuk China. Relokasi tersebut belum cukup mengurangi kemacetan dan kesenjangan ekonomi di Lagos. Biaya yang dikeluarkan bagi pengembangan Abuja sangat besar, dan kesulitan finansial telah berdampak pada bidang pembangunan nasional lainnya. Beban ekonomi dan permasalahan infrastruktur yang tak lengkap lebih berkaitan dengan keterbatasan anggaran internal Nigeria dan tantangan perencanaan dibandingkan dengan investasi eksternal. Beberapa wilayah di Abuja masih kekurangan infrastruktur penting, sehingga menimbulkan tantangan dalam mencapai peran yang diharapkan sebagai ibukota yang berfungsi penuh.Kazakhstan, berpindah dari Almaty ke Nur-Sultan (sebelumnya bernama Astana) pada tahun 1997 untuk mendorong pembangunan ekonomi dan mengurangi kerentanan strategis Almaty. Pembangunan Nur-Sultan didanai besar-besaran oleh pemerintah Kazakh dengan menggunakan pendapatan dari sumber daya alam negara, khususnya minyak dan gas. Nur-Sultan menghadapi kondisi cuaca buruk sehingga kurang menarik bagi warga dan bisnis. Pembangunan kota ini memakan banyak biaya, sehingga membebani keuangan negara. Kota ini kesulitan menarik populasi dalam jumlah besar, sehingga menimbulkan masalah infrastruktur dan layanan yang kurang dimanfaatkan.Tanzania, ibukotanya dipindahkan dari Dar es-Salaam ke Dodoma pada tahun 1973 untuk mendorong pembangunan di wilayah tengah dan mengurangi kemacetan di Dar es Salaam. Relokasi ke Dodoma merupakan proyek jangka panjang yang didanai oleh pemerintah Tanzania, dengan dukungan sporadis dari mitra internasional termasuk China. Relokasi berjalan lambat, karena banyak fungsi pemerintahan masih berpusat di Dar-es-Salaam. Dodoma belum bisa menandingi Dar es-Salaam dalam hal pembangunan ekonomi dan peluang. Pembangunan di Dodoma lamban, dan kota ini kekurangan infrastruktur guna mendukung perannya sebagai ibu kota. Lambatnya pembangunan dan infrastruktur yang tak memadai, terkait dengan kendala perencanaan dan anggaran internal Tanzania.Meskipun relokasi ibukota dapat memberikan manfaat potensial, namun penuh dengan risiko dan tantangan yang memerlukan perencanaan matang, pendanaan yang memadai, serta pertimbangan terhadap dampak sosial dan ekonomi yang lebih luas. Pemindahan ibukota memerlukan sumberdaya finansial yang amat besar. Kesalahan pengelolaan atau perkiraan biaya yang terlalu rendah dapat menyebabkan tekanan ekonomi yang berarti.Masyarakat kerap menolak pindah ke ibukota baru karena keterikatan dengan tempat tinggal mereka saat ini, kurangnya infrastruktur, dan terisolasinya lokasi baru. Iklim yang berat, lokasi yang terpencil, dan perencanaan yang buruk, juga dapat menimbulkan kesulitan praktis dalam menjadikan ibukota baru berfungsi dan layak huni. Ibukota baru akan mengalami pula kesulitan karena infrastrukturnya yang kurang berkembang, sehingga sulit menarik penduduk dan dunia usaha, dan karenanya tak berhasil mencapai manfaat ekonomi yang diinginkan. Pemindahan ibukota tak selalu mengurangi kemacetan atau kesenjangan ekonomi di ibukota asal. Dalam beberapa kasus, bahkan dapat memperburuk masalah dengan teralihkannya sumberdaya.Ibukota yang baik dapat diibaratkan seperti detak jantung, sama halnya jantung yang memompa darah pemberi kehidupan ke seluruh tubuh, ibukota berdenyut dengan energi, pemerintahan, dan semangat budaya. Atau seumpama mercusuar, yang memandu kapal melewati lautan badai, ibukota menerangi jalan suatu negara, melambangkan harapan, persatuan, dan kemajuan. Atau panggung megah, ibukota yang menjadi tuan rumah teater negara—tempat dimana sejarah, politik, dan budaya terungkap dalam skala yang dahsyat. Atau laksana panci peleburan, semisal kuali yang mendidih, sebuah ibukota memadukan beragam bahan—manusia, gagasan, dan tradisi—ke dalam masakan budaya yang ghani. Atau pusat saraf, yang mengirimkan sinyal, ibukota menghubungkan wilayah, keputusan, dan aspirasi, sehingga memastikan kelancaran fungsi suatu negara. Intinya, ibukota yang baik melambangkan vitalitas, tujuan, dan persatuan.Sebaliknya, ibu kota yang kurang ideal dapat digambarkan sebagai jalan buntu, seumpama cul-de-sac yang tiada jalan keluarnya, ibukota yang buruk menghambat kemajuan, menjebak warganya dalam inefisiensi dan stagnasi. Atau kompas yang rusak, ibukota yang salah arah, tak punya arah, menyebabkan bangsa tersesat—jarum kompasnya berputar tanpa tujuan. Atau ruang gema, semisal ruang dimana suara-suara memantul dari dinding, sebuah ibukota yang miskin mengisolasi dirinya dari berbagai sudut pandang, dan melanggengkan kebijakan-kebijakan yang cacat. Atau atap yang bocor, sebuah ibu kota yang tak berfungsi dengan baik karena tak mampu melindungi warganya—bagaikan atap yang bocor saat terjadi badai, yang memungkinkan masalah merembes ke dalam. Atau seperti mercusuar yang memudar, ketika terang benderang, ibukota yang sedang terpuruk akan kehilangan kilaunya, memunculkan bayangan daripada memberi petunjuk. Singkatnya, ibu kota yang buruk menghambat kemajuan, tak memiliki visi, dan tak mampu melayani rakyatnya.Pembangunan ibukota baru Indonesia, Nusantara, menghadapi berbagai tantangan dan kegagalan yang dapat menghambat keberhasilannya. Proyek ambisius yang dimaksudkan memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur di pulau Borneo ini, menemui kendala yang cukup besar.Proyek ini, dengan perkiraan biaya sebesar $32 miliar, mengalami kesulitan mendapatkan pendanaan yang memadai. Keterbatasan anggaran pemerintah telah menyebabkan penundaan dan pengurangan rencana. Upaya menarik investasi swasta ditanggapi dengan skeptis karena kekhawatiran terhadap stabilitas politik, masalah peraturan, dan kelangsungan proyek dalam jangka panjang.Perkiraan awal sebagian besar terlampaui karena inflasi, masalah rantai pasokan, dan pengeluaran tak terduga. Hal ini menyebabkan salah urus keuangan dan pembengkakan anggaran. Perencanaan yang buruk dan korupsi mengakibatkan alokasi sumberdaya yang tak efisien, sehingga semakin membebani anggaran proyek.Pembangunan Nusantara telah menyebabkan deforestasi besar-besaran di Borneo, wilayah yang masyhur dengan kekayaan anekaragam hayatinya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran mengenai kerusakan habitat dan hilangnya spesies. Deforestasi dan aktivitas konstruksi dalam skala besar berkontribusi terhadap emisi karbon yang serius, sehingga melemahkan komitmen Indonesia terhadap mitigasi perubahan iklim.Wilayah ibukota baru menghadapi tantangan pasokan air akibat penggundulan hutan dan perubahan pola curah hujan, yang berpotensi menyebabkan kelangkaan air bagi penduduk kota baru. Perubahan pada bentang alam telah meningkatkan risiko banjir, memperburuk dampak proyek terhadap lingkungan dan membahayakan pembangunan di masa depan.Proyek ini telah menyebabkan tergusurnya masyarakat lokal dan adat, mengganggu mata pencaharian dan praktik budaya mereka. Banyak warga yang terkena dampak menerima kompensasi dan dukungan yang kurang memadai, sehingga dapat menyebabkan kerusuhan sosial dan perselisihan hukum.Kegiatan konstruksi mengancam situs warisan budaya lokal, yang menyebabkan hilangnya identitas sejarah dan budaya wilayah tersebut. Masuknya penduduk baru dan pekerja konstruksi telah mengganggu budaya dan struktur sosial setempat, sehingga berpotensi memunculkan ketegangan dan konflik.Proyek ini terhambat oleh proses yang rumit dan lambat. Proyek ini menghadapi ketidakpastian karena pergeseran prioritas politik dan perubahan kepemimpinan, sehingga mempengaruhi kesinambungan dan komitmen terhadap proyek. Terdapat juga penolakan keras dari berbagai kelompok politik dan organisasi masyarakat sipil, dengan pertimbangan kekhawatiran terhadap dampak lingkungan, kelayakan finansial, dan keadilan sosial.Ibukota baru ini kekurangan infrastruktur penting seperti jalan raya, angkutan umum, dan utilitas, sehingga menimbulkan tantangan logistik dan kondisi kehidupan yang buruk. Tahap perencanaan tak cukup mengatasi isu-isu utama seperti pelestarian lingkungan, dampak sosial, dan integrasi ekonomi, sehingga mengakibatkan pelaksanaan proyek yang cacat.Kritikus berpendapat bahwa proyeksi manfaat ekonomi bagi Nusantara terlalu optimis dan tak mungkin membenarkan investasi yang sangat besar. Pemindahan ibukota dapat mengganggu kegiatan perekonomian di daerah lain sehingga menimbulkan ketimpangan dan inefisiensi. Fokus proyek pada pembangunan pesat telah mengabaikan keberlanjutan, sehingga menimbulkan kekhawatiran mengenai dampak lingkungan jangka panjang dan penipisan sumber daya. Model ekonomi ibukota baru mungkin tak berkelanjutan dalam jangka panjang, terutama jika model tersebut tak mampu menarik pertumbuhan bisnis dan populasi yang memadai.Relokasi ke Kalimantan Timur, wilayah dengan etnis dan tensi politik yang tinggi, menimbulkan risiko terhadap stabilitas dan keamanan ibukota baru. Proyek ini telah memperburuk kesenjangan regional, dengan kekhawatiran bahwa ibukota baru akan mengalihkan sumber daya dan perhatian dari daerah-daerah tertinggal lainnya. Keterlibatan perusahaan asing dalam proyek tersebut telah menimbulkan kekhawatiran mengenai kedaulatan, ketergantungan ekonomi, dan pengaruh geopolitik. Dampak lingkungan dari proyek ini telah menuai kritik internasional, dan berpotensi memperburuk hubungan diplomatik Indonesia dengan mitra-mitra lingkungan hidup dan regional.Proyek Nusantara, meski ambisius, menghadapi rintangan serius yang menyoroti kompleksitas upaya berskala besar. Kendala keuangan, degradasi lingkungan, pergeseran sosial, inefisiensi birokrasi, dan keraguan terhadap kelangsungan ekonomi, merupakan tantangan besar bagi keberhasilannya. Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan perencanaan yang komprehensif, tatakelola yang transparan, dan komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan, yang menyeimbangkan kebutuhan masyarakat, perekonomian, dan lingkungan.Coba bayangkan, anggaran Nusantara seumpama peti harta karun yang berlubang besar di bagian bawahnya, yang setiap kali dikau melempar koin emas, koin itu akan menggelinding dan jatuh ke dalam jurang birokrasi. Pendanaan yang diberikan kepada Nusantara bagaikan seorang pengemis yang memimpikan sebuah istana emas, mengandalkan uang receh dari orang-orang yang skeptis dan kepo apakah impian ini pantas beroleh uang receh mereka. Membangun Nusantara ibarat menaiki Money Pit Express, yang harga tiketnya terus naik dua kali lipat setiap kilometernya, dan tujuan yang dituju tetaplah fatamorgana yang jauh. Berupaya mendanai sebuah kota dengan membobol celengan birokrat, namun ternyata celengan tersebut berisi uang mainan monopoli.Pembangunan Nusantara ibarat simfoni gergaji mesin, melodi alam tenggelam oleh deru penggundulan hutan yang sumbang. Ibukota baru ini laksana alunan musik terakhir di hutan hujan yang dulunya rimbun, tempat pepohonan takluk memberi jalan bagi hutan beton yang luas dan tak terencana. Sumber daya air bagi Nusantara ibarat sumur kering, dimana setiap upaya mencari rezeki dibalas dengan gaung janji-janji kosong dan bumi yang kering. Membangun Nusantara ibarat melempar dadu, hadiahnya risiko banjir, dan hiburannya tanah longsor, yang memastikan semua pihak kalah.Merelokasi masyarakat ke Nusantara ibarat memaksa seorang pengembara menetap di sebuah taman hiburan, dimana setiap tenda menjadi loket tiket dan pusaka peninggalan budaya menjadi sebuah rintangan yang tak nyaman. Kompensasi bagi komunitas pengungsi ibarat membangun kota hantu dari janji-janji kosong, dimana penghuninya hanyalah bisikan keadilan dan kepatutan yang tak pernah terwujud. Pembangunan Nusantara ibarat mengendarai buldoser menembus mesin waktu, menghapus landmark budaya purwa dengan terburu-buru membuka sejarah dengan modernitas yang terlupakan. Tak terbayangkan sebuah warisan budaya seperti sebuah rumah kartu yang rapuh, yang mudah dirobohkan oleh hembusan kemajuan dari lokasi pembangunan di Nusantara.Menavigasi pembangunan di Nusantara seperti berjalan melalui labirin birokrasi, dimana setiap kelokan mengarah ke jalan buntu birokrasi yang dipenuhi dengan dokumen-dokumen yang tiada guna. Pengelolaan proyek ibarat perjalanan yang tiada akhir. Masa depan Nusantara sama tak pastinya dengan pendulum yang berayun liar di ruang politik, dimana setiap pemerintahan baru berubah arah, meninggalkan kota ini dalam ketidakpastian abadi.Berinvestasi di Nusantara ibarat membuang uang ke dalam lubang hitam, dimana laba atas investasi sulit diperoleh, bagaikan cahaya yang lepas dari cakrawala peristiwa. Janji-janji ekonomi yang dimiliki Nusantara bagaikan elang laut berlapis emas, mengesankan tapi mahal, namun pada akhirnya menjadi beban yang menurunkan harapan akan kemakmuran sejati.Klaim keberlanjutan Nusantara bagaikan fatamorgana lingkungan hidup, tampak hijau dan subur dari jauh, namun berubah menjadi gurun janji yang tak ditepati jika dilihat dari dekat. Model perekonomian kota ini ibarat berjalan di tali, di atas pasir hisap, dimana satu kesalahan dalam menjaga keberlanjutan dapat mengakibatkan kegagalan yang tak dapat diubah. Proyek ini ibarat kebalikan dari Robin Hood, merampok sumber daya dari daerah-daerah yang sedang kesulitan, banyak manfaatnya diberikan kepada kota baru yang menjanjikan banyak hal, namun semata menyajikan sedikit hasil.Menarik investasi asing bagi Nusantara ibarat menjual saham di kapal yang tenggelam, dimana calon investor lebih tertarik terjun ke laut ketimbang membelinya. Dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh Nusantara ibarat kentang panas diplomasi yang diombang-ambingkan oleh kritikus internasional menyalahkan kegagalannya.Hikayat ibukota baru Nusantara merupakan salah satu ambisi besar yang dibayangi oleh kesalahan pengelolaan keuangan, degradasi lingkungan, pergolakan sosial, dan ketidakstabilan politik. Inilah kisah dimana setiap langkah maju dibarengi dengan dua langkah mundur, dan impian akan ibukota baru yang berkembang, akan selalu tampak lebih seperti khayalan belaka ketimbang realitas yang nyata. Proyek ini menjadi sebuah kisah peringatan tentang kompleksitas dan tantangan awal dalam membangun kota baru, terutama dalam perspektif yang penuh dengan hambatan ekonomi, lingkungan, dan sosial. Penentangan masyarakat terhadap proyek ini ibarat sirkus kotak sabun, dimana setiap pemain berkeluh-kesah yang berbeda, namun mereka semua sepakat bahwa pemeran utamanya—Nusantara—cuma sebuah dagelan Tik Tok.Kita masih dalam topik tentang Indonesia di episode berikutnya, biidznillah.”Seruni lalu bersenandung,My head's underwater[Kepalaku terpendam air]But I'm breathing fine[Tapi ana bernapas dengan baik]You're crazy and I'm out of my mind *)[Ente majnun wa ana 'rah waras]
Kutipan & Rujukan:
- Vadim Rossman, Capital Cities: Varieties and Patterns of Development and Relocation, 2017, Routledge
- David Walters, Designing Community: Charrettes, Masterplans and form-based Codes, 2007, Elsevier
- Pablo Baisotti (Ed.), New Global Cities in Latin America and Asia: Welcome to the Twenty-First Century, 2022, University of Michigan Press
- David L.A. Gordon (Ed.), Planning Twentieth Century Capital Cities, 2006, Routledge
*) "All of Me" karya John Stephens & Tobias Gad