Selasa, 14 Januari 2025

Ketika Bagong Belajar dari Kearifan Semar

"Kenapa 100 hari, kenapa gak 1001 malam aja, Ramanda?" tanya Bagong, mengasumsikan dirinya filsuf besar berikutnya saat ia menemui 'Yoda dalam Pewayangan', Semar.
"Evaluasi pemerintahan baru dalam 100 hari pertama merupakan tradisi yang bermula dari masa awal kepresidenan Franklin D. Roosevelt (FDR). Periode ini sering dipandang sebagai tolok ukur penting menilai efektivitas dan arah pemerintahan baru," jawab Semar. "Konsep 100 hari pertama dipopulerkan selama masa kepresidenan FDR, yang dimulai pada 4 Maret 1933. Menghadapi the Great Depression (Depresi Besar), Roosevelt menerapkan agenda agresif pemulihan ekonomi. Selama tiga bulan pertama masa jabatannya, ia berhasil meloloskan sejumlah besar langkah legislatif—15 rancangan undang-undang utama dan total 77 undang-undang—yang dirancang mengatasi tantangan ekonomi berat yang dihadapi negara. Tindakan cepat dan berani ini menjadi preseden bagi presiden-presiden berikutnya, yang menetapkan standar yang akan digunakan mengukur kinerja awal mereka.
Dalam pidato radio pada tanggal 25 Juli 1933, Roosevelt menyebut fase awal ini sebagai '100 hari pertama,' yang mencerminkan peristiwa penting, yang terjadi selama masa itu. Terma ini kemudian menjadi simbol urgensi dan pentingnya tindakan tatakelola awal.
'The Defining Moment: FDR's Hundred Days and the Triumph of Hope' oleh Jonathan Alter (2006, Simon & Schuster) menelaah kepemimpinan dinamis Presiden Franklin D. Roosevelt selama fase awal masa jabatannya, yang berperan penting dalam membentuk New Deal. Pendekatan Roosevelt dicirikan oleh tindakan yang cepat dan tegas, kemauan bereksperimen dengan berbagai solusi, dan kemampuan menginspirasi harapan di antara penduduk Amerika selama Depresi Besar. Gaya kepemimpinan yang proaktif dan adaptif ini tak semata memfasilitasi penerapan kebijakan New Deal yang cepat, tetapi juga menetapkan tolok ukur dalam mengevaluasi efektivitas presiden pada hari-hari awal pemerintahannya. Terma 'Hundred Days' mengacu pada periode dari 9 Maret hingga 16 Juni 1933, saat Roosevelt dan Kongres bekerja keras meloloskan serangkaian undang-undang penting yang ditujukan bagi pemulihan ekonomi. Istilah ini, sejak saat itu menjadi ukuran standar menilai pencapaian awal presiden masa depan. Dalam karyanya, Alters menulis, 'The Hundred Days sendiri telah dimitologikan sedemikian rupa sehingga yang sebenarnya hampir tak dapat dikenali. Frasa tersebut dipinjam dari periode waktu yang sangat singkat antara pelarian Napoleon yang penuh kemenangan dari Elba dan kekalahan terakhirnya di Waterloo pada tahun 1815. Frasa tersebut pertama kali digunakan oleh FDR pada tanggal 24 Juli 1933, merujuk pada tepat 100 hari (tampaknya sebuah kebetulan) yang berlalu antara pembukaan sesi khusus Kongres ke-73 pada tanggal 9 Maret dan penutupannya pada tanggal 17 Juni, sebuah sesi yang menghasilkan sejumlah besar undang-undang baru yang memecahkan rekor.
Tiada yang disengaja tentang sesi sepanjang ini. Selama minggu pertama masa jabatan kepresidenannya, FDR memperkirakan Kongres akan bertemu selama dua minggu guna meloloskan agenda daruratnya, lalu menangguhkan sidang. Volume undang-undang juga tak diantisipasi. Dengan margin 196 suara di DPR dan margin 23 suara di Senat, Demokrat di Kongres sering digambarkan hanya menyetujui agenda FDR. Namun, sebagian besar Demokrat selatan setidaknya sama konservatifnya dengan Republik, sementara beberapa Republik progresif utara dan barat bergerak ke kiri. Maka, sementara RUU darurat awal berhasil lolos, sebagian besar lainnya adalah produk dari memberi-dan-menerima yang biasa di Capitol Hill. Urgensi waktu membuat tawar-menawar menjadi sangat cepat.'

'FDR' karya Jean Edward Smith (2007, Random House) memberikan penjelasan terperinci tentang 100 hari pertama masa jabatan Presiden Franklin D. Roosevelt, yang menyoroti pencapaian legislatif penting selama periode ini. Smith menekankan bahwa pendekatan proaktif Roosevelt menghasilkan banyak rancangan undang-undang yang ditujukan bagi pemulihan ekonomi dan reformasi sosial, yang menetapkan standar tinggi pemerintahan mendatang.
Jean Edward Smith memaparkan 100 hari pertama masa jabatan Presiden Franklin D. Roosevelt, dengan menyoroti beberapa pencapaian utama. Roosevelt mendeklarasikan 'bank holiday (hari libur bank)' nasional untuk mencegah penarikan dana lebih lanjut dan memulihkan kepercayaan pada sistem keuangan. Kongres meloloskan Undang-Undang Perbankan Darurat, yang hanya membolehkan bank-bank yang stabil secara finansial agar dibuka kembali, yang membantu menstabilkan sektor perbankan.
Civilian Conservation Corps (CCC) didirikan untuk menyediakan lapangan kerja bagi para pemuda dalam proyek-proyek konservasi. CCC menangani masalah pengangguran dan lingkungan.
Agricultural Adjustment Administration (AAA) dibentuk guna mendukung para petani dengan mengurangi produksi tanaman pangan agar menaikkan harga. AAA bertujuan merevitalisasi sektor pertanian.
National Industrial Recovery Act (NIRA) berupaya merangsang pemulihan industri dengan menetapkan kode-kode persaingan yang adil dan standar ketenagakerjaan, yang mendorong pertumbuhan ekonomi dan praktik ketenagakerjaan yang adil.
Tennessee Valley Authority (TVA) didirikan untuk mengembangkan wilayah Tennessee Valley melalui pengendalian banjir, elektrifikasi, dan pembangunan ekonomi, yang berfungsi sebagai model perencanaan regional.
Inisiatif-inisiatif ini, antara lain, menandai perluasan penting bagi keterlibatan federal dalam kesejahteraan ekonomi dan sosial, yang menjadi preseden bagi intervensi pemerintah di masa mendatang selama krisis.

Antara 9 Maret dan 16 Juni 1933 (100 hari pertama masa jabatannya), FDR dan Kongres meloloskan 15 undang-undang utama yang dahsyat, yang membahas berbagai isu semisal pengangguran, perbankan, dan pertanian. Keberhasilan periode legislatif yang intens ini menjadi tolok ukur, dan para pemimpin berikutnya mulai dinilai berdasarkan pencapaian mereka dalam 100 hari pertama.
Tapi kenapa sih 100 hari? Pertama, ia merupakan Simbolisme 'Masa Tenggang'. 100 hari dipandang sebagai waktu ketika seorang pemimpin atau pemerintah memiliki modal politik dan niat baik publik yang paling besar, yang memungkinkan mereka memberlakukan perubahan yang berani. Kedua, kerangka waktu yang dapat dikelola. 100 hari adalah periode yang singkat tetapi cukup untuk menetapkan prioritas, menentukan arah, dan menunjukkan niat. Ketiga, tolok ukur historis. Terma ini menjadi dikenal dengan FDR, dan sejak itu, telah digunakan sebagai penanda yang mudah digunakan untuk mengevaluasi kinerja awal.

Dalam 'The New Deal: A Modern History' karya Michael Hiltzik (2011, Free Press) menyoroti mengapa 100 hari pertama Franklin D. Roosevelt menjadi tolok ukur historis karena beberapa alasan. Hiltzik menekankan bahwa FDR, selama 100 hari pertamanya menjabat (9 Maret hingga 16 Juni 1933), mempelopori sejumlah besar tindakan legislatif sebagai respons terhadap 'the Great Depression'. Lebih dari 15 undang-undang utama disahkan, yang membahas reformasi perbankan, bantuan pengangguran, dan pemulihan industri. Tingkat produktivitas legislatif ini belum pernah terjadi sebelumnya, membuat standar baru tentang seberapa cepat pemerintah dapat bertindak di saat krisis.
Hiltzik merinci bagaimana FDR memangku jabatan di tengah krisis ekonomi terburuk dalam sejarah AS, dengan pengangguran mencapai rekor tertinggi dan sistem perbankan di ambang kehancuran. Harapan publik terhadap tindakan segera dan tegas sangat besar, dan kemampuan FDR melaksanakan reformasi cepat memberikan kesan abadi tentang apa yang dapat dicapai pemerintahan yang kompeten dalam waktu singkat.
Hiltzik menjelaskan bagaimana inisiatif FDR selama 100 hari pertama secara fundamental mengubah peran pemerintah federal. Program semisal Civilian Conservation Corps (CCC) dan Agricultural Adjustment Act (AAA) mengisyaratkan pergeseran ke arah intervensi federal dalam isu-isu ekonomi dan sosial. Upaya-upaya ini menetapkan corak New Deal yang lebih luas dan menunjukkan potensi pemerintahan transformatif dalam jangka waktu yang terbatas. Menurut Hiltzik, 100 hari pertama FDR bukan hanya tentang kebijakan tetapi juga tentang memulihkan harapan dan kepercayaan pada publik Amerika. Penggunaannya yang inovatif berupa 'obrolan santai' berkomunikasi langsung dengan warga meyakinkan mereka bahwa pemerintah mereka secara aktif bekerja mengatasi masalah mereka. Hiltzik menggarisbawahi bahwa keberhasilan FDR dalam 100 hari pertamanya menjadi tolok ukur bagi pemerintahan mendatang, karena hal itu menunjukkan bagaimana seorang pemimpin dapat memobilisasi sumber daya, menjalin aliansi, dan mengambil mandat politik mengatasi krisis. Meskipun istilah '100 hari pertama' pada awalnya tak dicetuskan oleh FDR sendiri, signifikansi historis dari periode ini menjadi preseden dalam mengevaluasi efektivitas kepemimpinan selama awal pemerintahan.
Hiltzik menggambarkan 100 hari pertama FDR sebagai momen yang menentukan dalam sejarah Amerika, tak hanya karena dampak langsungnya dalam meringankan Depresi Besar tetapi juga karena membuat tolok ukur simbolis tentang keberhasilan pemerintah. Kombinasi urgensi, inovasi, dan tindakan tegas selama hari-hari awal ini meninggalkan jejak yang tak terhapuskan pada cara penilaian pemimpin masa depan.

Apa saja kriteria evaluasi dalam 100 Hari Awal? Pertama, implementasi kebijakan: Berapa banyak dan jenis kebijakan atau reformasi apa yang telah dimulai? Kedua, persepsi publik: Apakah pemerintah memenuhi janji kampanye atau menetapkan corak pemerintahannya? Ketiga, manajemen krisis: Seberapa efektif pemerintah mengatasi tantangan langsung?
Dalam 'Presidential Leadership in Political Time: Reprise and Reappraisal' (2020, University Press of Kansas), Stephen Skowronek mengeksplorasi bagaimana presiden AS, termasuk Franklin D. Roosevelt, memanfaatkan hari-hari awal jabatan mereka membangun otoritas politik, yang secara signifikan mempengaruhi efektivitas kepemimpinan jangka panjang mereka. Tesis 'political time' Skowronek menyatakan bahwa presiden beroperasi dalam kerangka kerja yang dibentuk oleh pendahulu mereka dan konteks politik yang berlaku. Di masa-masa awal mereka, presiden harus menavigasi warisan sejarah ini sambil menegaskan otoritas mereka dalam menerapkan perubahan. Ini melibatkan, pertama, perhitungan dengan pendahulu. Presiden baru harus mengatasi komitmen dan kegagalan politik pemerintahan sebelumnya. Misalnya, FDR menghadapi situasi ekonomi yang mengerikan yang ditinggalkan oleh Herbert Hoover, yang memerlukan tindakan segera dan berani. Kedua, menempatkan kekuasaan dalam peristiwa terkini. Presiden kerap memanfaatkan dinamika politik kontemporer guna memperkuat otoritasnya. Prakarsa New Deal FDR merupakan respons langsung terhadap Depresi Besar, yang memungkinkannya membingkai kepemimpinannya sebagai solusi yang diperlukan untuk krisis nasional. Ketiga, mengklaim otoritas. Tindakan awal menentukan bagaimana presiden dipersepsikan dan dapat meningkatkan modal politik mereka. Prakarsa awal yang berhasil dapat menciptakan momentum yang menguntungkan upaya kebijakan di masa mendatang.

Efektivitas kepemimpinan jangka panjang seorang presiden sering bergantung pada seberapa baik mereka mengelola tantangan-tantangan awal ini. Skowronek mengidentifikasi beberapa hasil berdasarkan kemampuan seorang presiden menavigasi hari-hari awal mereka. Presiden seperti FDR dipandang sebagai pemimpin transformasional yang berhasil merekonstruksi lanskap politik melalui tindakan-tindakan awal yang tegas. Warisan ini memungkinkan mereka memberikan pengaruh yang langgeng atas pemerintahan dan arah kebijakan berikutnya.
Skowronek menguraikan bagaimana konteks politik yang berbeda—semisal periode disjungsi atau rekonstruksi—mempengaruhi otoritas presiden. Kemampuan FDR mendefinisikan ulang peran pemerintah selama masa krisis merupakan contoh kepemimpinan yang sukses dalam periode rekonstruksi.
Skowronek juga membahas bagaimana presiden modern harus bersaing dengan siklus berita 24 jam dan pengawasan publik, yang dapat memperkuat atau melemahkan upaya-upaya awal mereka. Kemampuan berkomunikasi secara efektif dan mempertahankan dukungan publik sangat penting mempertahankan otoritas dari waktu ke waktu. Singkatnya, analisis Skowronek menggarisbawahi bahwa hari-hari pertama masa jabatan presiden sangat penting dalam membangun otoritas dan menyiapkan panggung bagi efektivitas jangka panjang. Dengan meneliti persamaan historis dan tantangan kontemporer, ia memberikan wawasan tentang sifat kepemimpinan presiden yang terus berkembang dalam politik Amerika.

Gaya kepemimpinan awal Franklin D. Roosevelt berbeda dari banyak presiden AS lainnya, ditandai dengan kombinasi karisma, keberanian, dan kemauan bereksperimen dengan kebijakan sebagai respons terhadap 'the Great Depression'. Pendekatan ini menetapkan standar baru bagi kepemimpinan presiden dan telah dianalisis dalam berbagai karya ilmiah, termasuk karya Stephen Skowronek.
FDR dikenal karena kemampuan hebatnya terhubung dengan masyarakat Amerika. Penggunaan radio, khususnya melalui 'fireside chats (obrolan santai),' memungkinkannya berkomunikasi secara langsung dan personal dengan warga, sehingga menumbuhkan rasa percaya dan kepastian. Hal ini berbeda dengan presiden sebelumnya yang mungkin lebih mengandalkan pidato formal atau komunikasi tertulis. Gayanya yang karismatik tak hanya membuatnya mudah bergaul, tapi juga membantunya menggalang dukungan publik terhadap kebijakannya selama masa krisis.
Kepemimpinan FDR ditandai dengan kemauan mengambil tindakan berani dan bereksperimen dengan kebijakan baru. Ia pernah menyatakan, 'The country needs—and, unless I mistake its temper—the country demands bold, persistent experimentation (Negara ini membutuhkan—dan, kecuali aku keliru memaknai wataknya—negara ini menuntut eksperimen yang berani dan terus-menerus).' Pendekatan ini menghasilkan implementasi cepat program-program New Deal yang ditujukan bagi pemulihan ekonomi. Tak seperti beberapa pendahulu yang mungkin lebih berhati-hati atau konservatif dalam pendekatan kebijakan mereka, FDR menganut metodologi coba-coba yang memungkinkan adaptasi cepat berdasarkan hasil.
FDR memusatkan pengambilan keputusan dalam pemerintahannya, khususnya dalam hubungan luar negeri dan kebijakan dalam negeri. Ia sering meminta nasihat dari sekelompok ahli yang beragam, tetapi pada akhirnya tetap memegang kendali atas keputusan akhir. Hal ini berbeda dengan para pemimpin seperti Woodrow Wilson, yang lebih mengandalkan saluran dan penasihat formal tanpa keterlibatan publik secara langsung. Metode FDR memungkinkannya mempertahankan kendali yang kuat atas agendanya, tetapi tetap tanggap terhadap sentimen publik.
FDR menekankan kolaborasi di antara para penasihat dan anggota kabinetnya, dengan menyatukan individu-individu dari berbagai latar belakang politik guna mengatasi tantangan bangsa. Hal ini berbeda dengan pemerintahan sebelumnya yang mungkin lebih menyukai pendekatan hierarkis atau partisan. Strategi inklusifnya membantu membangun koalisi luas yang penting untuk meloloskan undang-undang penting selama 100 hari pertamanya.
FDR menekankan kolaborasi di antara para penasihat dan anggota kabinetnya, dengan menyatukan individu-individu dari berbagai latarbelakang politik untuk mengatasi tantangan bangsa. Hal ini berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, yang cenderung lebih menyukai pendekatan hierarkis atau partisan. Strategi inklusifnya membantu membangun koalisi luas untuk meloloskan undang-undang penting selama 100 hari pertamanya.
Gaya kepemimpinan awal FDR berbeda dari presiden lainnya melalui komunikasinya yang karismatik, eksperimen yang berani, pengambilan keputusan yang terpusat, dan pendekatan kolaboratif. Ciri-ciri ini tak hanya menentukan kepresidenannya, pula menetapkan norma-norma baru tentang bagaimana para pemimpin masa depan akan terlibat dengan publik dan agenda politik mereka.

Kritikus praktik evaluasi kinerja pemerintah dalam 100 hari pertama berpendapat bahwa jangka waktu ini seringkali sewenang-wenang dan tak memberikan gambaran menyeluruh tentang efektivitas presiden. Akan kita bahasa dalam sesi berikutnya, biidznillah."
*) Yoda adalah satria kelelawar bete di Star Wars

[Bagian 2]