"Ya, ada pendekatan alternatif dan lebih bernuansa dalam mengevaluasi kinerja pemerintah selama tiga bulan pertama (atau hari-hari awal) yang melampaui tolok ukur simbolis 100 hari. Metode ini mempertimbangkan kompleksitas dan keragaman tugas tatakelola sekaligus memungkinkan penilaian yang lebih holistik," Semar melanjutkan topiknya. "Alternatif pertama ialah penyelarasan dengan Janji Kampanye. Metode ini mengevaluasi apakah pemerintah telah mengambil langkah awal untuk memenuhi janji kampanyenya, menilai tindakan, rencana, atau usulan legislatif tertentu yang selaras dengan prioritas yang dinyatakan. Metode ini berfokus pada maksud dan penyelarasan daripada hasil langsung, sehingga memberikan ukuran komitmen awal yang lebih adil.
Dalam 'The Audacity to Win: How Obama Won and How We Can Beat the Partisan Divide Again' karya David Plouffe (2009, Viking), penulis meneliti peran penting janji kampanye dalam membentuk tatakelola dan menggarisbawahi pentingnya menepati janji tersebut di awal pemerintahan. Sebagai manajer kampanye Barack Obama selama pemilihan 2008, Plouffe menawarkan perspektif orang dalam tentang bagaimana komitmen kampanye memengaruhi kepercayaan publik, menentukan corak kepemimpinan, dan mempengaruhi modal politik.
Plouffe menyoroti bahwa janji-janji kampanye bertindak sebagai kontrak sosial antara kandidat dan pemilih. Komitmen ini mencerminkan prioritas dan aspirasi para pemilih. Kampanye Obama berfokus pada janji-janji utama semisal pemulihan ekonomi, reformasi perawatan kesehatan, dan mengatasi perubahan iklim. Janji-janji ini mendapat sambutan dari para pemilih selama masa krisis ekonomi dan polarisasi politik. Menurut Plouffe, memenuhi janji-janji ini sejak awal akan memvalidasi kepercayaan yang diberikan kepada seorang pemimpin dan memperkuat mandat pemerintahannya.
Plouffe berpendapat bahwa hari-hari awal pemerintahan sangat penting untuk mempertahankan momentum. Kemampuan seorang presiden bertindak cepat atas janji-janji kampanye memperkuat kredibilitas dan kewenangannya. Misalnya, Obama memprioritaskan pengesahan the American Recovery and Reinvestment Act (Undang-Undang Pemulihan dan Investasi Amerika), 2009, untuk mengatasi kemerosotan ekonomi, memenuhi janjinya menstabilkan ekonomi. Menepati janji-janji awal membangun niat baik di antara para pendukung dan memberikan daya ungkit pertempuran legislatif di masa mendatang. Sebaliknya, kegagalan bertindak berisiko mengasingkan basis dan mengikis modal politik.
Plouffe menekankan bahwa pemenuhan janji kampanye sejak dini membentuk persepsi publik terhadap kompetensi dan integritas seorang pemimpin. Persepsi ini khususnya penting dalam mengatasi perpecahan partisan dan mempertahankan dukungan yang luas. Tindakan cepat Obama atas janji-janji seperti menutup celah bagi kepentingan khusus dan meningkatkan transparansi pemerintah bertujuan untuk membangun kepercayaan dalam sistem yang menurut banyak pemilih telah rusak.
Plouffe mengakui tantangan dalam menyeimbangkan janji kampanye dengan realitas pemerintahan. Tak semua janji dapat segera ditepati karena kendala politik, ekonomi, atau logistik. Ia membahas bagaimana tim Obama dengan cermat mengomunikasikan kemajuan tujuan utama seperti reformasi layanan kesehatan, bahkan ketika penundaan atau kompromi tak dapat dihindari. Plouffe menekankan pentingnya transparansi dalam menjelaskan tantangan tersebut guna menjaga kepercayaan pemilih.
Pencapaian janji lebih awal tak hanya menguntungkan pemerintahan secara politik, tetapi juga meletakkan dasar bagi perubahan transformatif. Plouffe merefleksikan bagaimana keberhasilan awal semisal stimulus ekonomi membuka jalan bagi inisiatif yang lebih ambisius, seperti the Affordable Care Act (Undang-Undang Perawatan Terjangkau, 2010. Sebaliknya, ketidakberhasilan bertindak lebih awal dapat menyebabkan kekecewaan dan mobilisasi oposisi, yang melemahkan kemampuan pemerintahan memerintah secara efektif.
Jadi, David Plouffe mengilustrasikan bagaimana janji-janji kampanye membentuk tatakelola dengan memberikan mandat yang jelas, membangun kepercayaan, dan menetapkan prioritas pemerintahan. Ia menekankan pentingnya memenuhi janji-janji ini sejak dini guna memanfaatkan momentum politik dan mempertahankan dukungan publik. Karya Plouffe ini berfungsi sebagai panduan bagi para pemimpin menavigasi transisi dari berkampanye ke pemerintahan sambil tetap setia pada komitmen yang dibuat kepada para pemilih.
Alternatif kedua ialah Kerangka Kebijakan dan Visi. Kerangka ini berfokus pada pemeriksaan apakah pemerintah telah merumuskan kerangka kebijakan yang koheren dan visi jangka panjang, menganalisis berbagai kunci yang diutamakan, dokumen kebijakan, dan rencana anggaran yang diperkenalkan selama tiga bulan pertama. Kerangka ini menekankan kualitas perencanaan daripada kuantitas tindakan, yang mencerminkan tatakelola yang cermat.
Dalam 'The President’s Agenda: Domestic Policy Choice from Kennedy to Clinton' karya Paul C. Light (1999, Johns Hopkins University Press), penulis mengeksplorasi bagaimana para presiden AS menyusun prioritas kebijakan mereka dan menekankan pentingnya memiliki visi yang jelas untuk memandu agenda domestiknya. Light menyajikan analisis terperinci tentang proses yang digunakan presiden dalam merumuskan, memprioritaskan, dan menerapkan kebijakan sambil menavigasi kompleksitas sistem politik.
Light menjelaskan bahwa para presiden biasanya menjabat dengan berbagai janji kampanye. Tantangannya ialah mempersempit janji-janji tersebut menjadi agenda yang layak dan koheren. Penetapan agenda yang efektif memerlukan pembedaan antara kebijakan yang mendesak dan berdampak besar dengan isu-isu yang kurang mendesak.
Lingkungan politik—semisal komposisi Kongres, opini publik, dan kondisi ekonomi—memainkan peran penting dalam membentuk prioritas presiden. Contoh, Presiden dengan mayoritas anggota kongres yang kuat dapat mendorong reformasi yang ambisius. Sebaliknya, presiden yang menghadapi pemerintahan yang terbagi dapat berfokus pada tujuan bipartisan yang dapat dicapai.
Light menekankan bahwa 100 hari pertama masa jabatan presiden sangat penting dalam menentukan corak dan struktur agenda. Para Presiden sering memprioritaskan kebijakan yang memanfaatkan mandat elektoral mereka dan mengatasi masalah nasional yang mendesak.
Visi yang jelas menyediakan kerangka kerja bagi pengambilan keputusan dan membantu presiden mempertahankan fokus di tengah tuntutan tatakelola yang saling bersaing. Light berpendapat bahwa visi yang ditetapkan dengan baik memungkinkan presiden mengomunikasikan prioritas secara efektif kepada publik dan Kongres, serta menggalang dukungan dari para pemangku kepentingan utama, termasuk anggota partai, kelompok kepentingan, dan pemilih yang lebih luas. Tanpa visi yang jelas, pemerintahan berisiko bersikap reaktif daripada proaktif. Hal ini dapat menyebabkan pembuatan kebijakan yang terfragmentasi dan berkurangnya efektivitas dalam mencapai tujuan jangka panjang.
Light membahas ketegangan antara mengejar kebijakan yang berani dan transformatif serta memastikan bahwa kebijakan tersebut dapat dicapai secara realistis dalam batasan sistem politik. Presiden yang efektif mencapai keseimbangan dengan menetapkan tujuan ambisius yang menginspirasi dan memobilisasi pendukung serta memadukan tujuan tersebut dengan strategi praktis bagi implementasinya. Light meneliti bagaimana presiden semisal Lyndon B. Johnson (dengan program Great Society-nya) dan Ronald Reagan (dengan reformasi pajaknya) berhasil menyelaraskan visi mereka dengan prioritas yang dapat ditindaklanjuti, sementara yang lain tak berhasil karena melampaui batas atau kurangnya kejelasan.
Light menyoroti konsep 'policy windows (jendela kebijakan); momen ketika kondisi politik dan sosial selaras dalam membuat kebijakan tertentu dapat dilaksanakan. Presiden harus siap bertindak cepat ketika peluang ini muncul. Menyusun prioritas juga melibatkan pengurutan kebijakan dengan cara yang membangun momentum. Misalnya, presiden dapat memulai dengan kebijakan yang lebih mudah disahkan untuk membangun kredibilitas sebelum menangani isu yang lebih kontroversial.
Light mencatat bahwa para presiden hendaknya menyeimbangkan ekspektasi berbagai konstituen, mulai dari pemilih dan pemimpin partai hingga kelompok kepentingan dan sekutu internasional. Hal ini dapat mempersulit proses penentuan prioritas. Peristiwa yang tak terduga, semisal krisis ekonomi atau bencana alam (gangguan eksternal), dapat menggagalkan agenda walaupun terstruktur dengan sangat cermat.
Dengan menganalisis masa jabatan presiden dari John F. Kennedy hingga Bill Clinton, Light mengidentifikasi pola berulang dalam penetapan agenda yang berhasil dan tak berhasil, misalnya, Kennedy, awalnya berjuang dengan kurangnya pengalaman legislatif tetapi akhirnya memanfaatkan visinya untuk mendorong inisiatif seperti program luar angkasa. Johnson dengan ahli menggunakan keterampilan dan visi politiknya meloloskan undang-undang transformatif, termasuk the Civil Rights Act (Undang-Undang Hak Sipil). Clinton menghadapi tantangan di awal masa jabatannya karena agenda yang terlalu ambisius dan tak terfokus tetapi kemudian memfokuskan kembali pada prioritas utama semisal reformasi kesejahteraan.
'The President’s Agenda' karya Paul C. Light menggarisbawahi perlunya menyusun prioritas kebijakan di sekitar visi yang jelas dan dapat ditindaklanjuti. Agenda yang ditetapkan dengan baik membantu para presiden menavigasi kompleksitas tatakelola, membangun dukungan publik dan kongres, serta memaksimalkan kemampuan mereka untuk melakukan perubahan yang berarti. Karya ini memberikan wawasan berharga tentang seni dan ilmu kepemimpinan para presiden, yang menggambarkan bagaimana kejelasan tujuan dapat menentukan keberhasilan atau kegagalan masa jabatan presiden.
Alternatif ketiga adalah Manajemen Krisis, yang berfokus pada evaluasi bagaimana pemerintah menanggapi krisis yang tak terduga selama masa jabatan awalnya. Tinjauan keputusan, komunikasi, dan alokasi sumber daya dalam menangani tantangan langsung semisal bencana alam, gangguan ekonomi, atau ancaman keamanan, langkah ini menyoroti kemampuan beradaptasi dan kepemimpinan di bawah tekanan.
Dalam 'The Political Brain: The Role of Emotion in Deciding the Fate of the Nation' karya Drew Westen (2007, PublicAffairs), penulis mengeksplorasi bagaimana emosi mempengaruhi secara signifikan persepsi publik terhadap kepemimpinan, khususnya selama krisis. Westen berpendapat bahwa kemampuan seorang pemimpin berkomunikasi secara efektif dan beresonansi secara emosional dengan publik selama masa-masa sulit dapat menentukan warisan mereka dan menentukan keberhasilan politik.
Para pemimpin dinilai tak semata berdasarkan kebijakan atau keputusan mereka, melainkan pula berdasarkan kemampuan mereka terhubung secara emosional dengan publik. Dalam krisis, orang mencari kepastian, kekuatan, dan arah. Seorang pemimpin yang memproyeksikan rasa percaya diri dan empati dapat menggalang dukungan, bahkan ketika solusinya tak langsung terlihat.
Tesis inti Drew Westen berkisar pada gagasan bahwa emosi, bukan rasionalitas, merupakan pendorong utama pengambilan keputusan politik. Westen menantang asumsi tradisional bahwa pemilih membuat keputusan berdasarkan analisis logis terhadap kebijakan, platform, atau fakta. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa preferensi politik berakar dalam pada respons emosional, dibentuk oleh nilai-nilai pribadi, identitas, dan cerita yang disampaikan kandidat.
Westen berpendapat bahwa keputusan politik bukanlah hasil dari pertimbangan rasional yang terpisah. Sebaliknya, keputusan tersebut muncul dari otak emosional, yang memproses perasaan dan bias bawah sadar. Ketika dihadapkan dengan pilihan politik, orang sering mengandalkan emosi mereka untuk memutuskan apa yang terasa benar ketimbang apa yang secara objektif logis. Pemilih mungkin lebih menyukai nada bicara, bahasa tubuh, atau daya tarik emosional kandidat daripada rincian kebijakan mereka.
Cerita lebih penting daripada statistik. Westen menjelaskan bahwa manusia secara alami tertarik pada narasi yang membangkitkan hubungan emosional, menjadikan kisah-kisah sebagai alat penting dalam persuasi politik. Politisi yang sukses menyusun narasi yang menarik tentang siapa mereka, apa yang mereka yakini, dan bagaimana mereka akan memimpin, daripada membanjiri pemilih dengan fakta dan angka. Obrolan santai Franklin D. Roosevelt selama Depresi Besar menyampaikan harapan dan kepastian, menjadikannya simbol ketahanan bahkan ketika prospek ekonomi sedang buruk.
Westen menekankan bahwa loyalitas politik dibangun atas identifikasi emosional dengan seorang pemimpin atau partai. Kandidat yang membangkitkan emosi yang kuat—seperti harapan, ketakutan, atau kemarahan—lebih mungkin menginspirasi komitmen dan partisipasi pemilih. Slogan kampanye Barack Obama tahun 2008, 'Yes We Can,' membangkitkan rasa optimisme dan pemberdayaan kolektif, yang beresonansi secara emosional dengan jutaan orang.
Para politisi kerap menggunakan pemicu emosional dalam membingkai isu dengan cara yang selaras dengan keyakinan dan identitas inti pemilih. Westen menjelaskan bahwa kampanye yang sukses menargetkan emosi semisal kebanggaan, ketakutan, dan empati. Retorika pasca-9/11 sering membingkai perdebatan keamanan nasional dalam hal ketakutan dan keselamatan, yang membentuk opini publik dan prioritas kebijakan.
Westen menyoroti bahwa keputusan para pemilih kerap dikaitkan dengan nilai-nilai dan identitas mereka. Para politisi yang menarik bagi elemen-elemen ini dapat menjalin hubungan emosional yang lebih dalam. Daya tarik Ronald Reagan terhadap 'nilai-nilai tradisional Amerika' mendapat sambutan dari para pemilih yang mengidentifikasi diri dengan visi nostalgia Amerika.
Westen mengkritik para politisi yang hanya mengandalkan rincian kebijakan dan argumen logis, dengan menyatakan bahwa pendekatan tersebut tak bisa melibatkan pemilih secara emosional. Kampanye presiden Al Gore tahun 2000 disebut sebagai kasus dimana fokus kandidat pada diskusi kebijakan terperinci kurang memiliki resonansi emosional, sehingga tak bisa terhubung dengan banyak pemilih secara personal.
Westen menjelaskan bahwa cara seorang pemimpin membingkai krisis membentuk persepsi publik. Misalnya, menggunakan bahasa yang menyampaikan kendali dan harapan, semisal "Kita akan mengatasi tantangan ini," jauh lebih efektif daripada bahasa yang mengalah atau terlalu teknis. Pemimpin yang tak bisa membingkai krisis dengan tepat berisiko tampak tak peduli atau tidak kompeten.
Respons dini terhadap krisis sangat penting dalam membangun kredibilitas seorang pemimpin. Westen mengutip contoh-contoh dimana para pemimpin yang bertindak tegas, bahkan dengan solusi yang tak sempurna, memperoleh kepercayaan publik karena mereka menyampaikan rasa urgensi dan tanggungjawab. Sebaliknya, keraguan atau komunikasi yang buruk dapat mengikis kepercayaan publik, karena orang-orang menganggap tiadanya tindakan sebagai kurangnya kepemimpinan.
Westen menyoroti pentingnya membuat narasi yang menarik, yang menanamkan ketahanan pada masyarakat. Pemimpin yang membingkai krisis sebagai tantangan sementara yang dapat diatasi bersama oleh bangsa cenderung dipandang positif. Narasi ini tak semata memotivasi warga negara tetapi juga menyelaraskan keadaan emosional mereka dengan visi pemimpin.
Westen memperingatkan agar tak ada pemimpin yang hanya berfokus pada keahlian teknis atau rincian kebijakan tanpa memperhatikan kebutuhan emosional masyarakat. Pemimpin yang tampak dingin, jauh, atau terlalu penuh perhitungan mungkin akan kesulitan terhubung, yang berujung pada ketidakpuasan masyarakat, meskipun keputusan mereka tepat. Westen juga membahas dampak jangka panjang dari tindakan seorang pemimpin selama krisis. Manajemen krisis yang efektif dapat memperkuat reputasi seorang pemimpin sebagai sosok yang kuat dan tegas. Ketidakmampuan dalam mengatasi ketakutan atau kekhawatiran publik dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan dalam jangka panjang, yang dapat mempengaruhi kemampuan pemimpin memerintah secara efektif."