"Dalam Time Machine karya H.G. Wells, perjalanan waktu memungkinkan protagonis atau tokoh utamanya menyaksikan konsekuensi jangka panjang dari perubahan masyarakat. Demikian pula, konsep perjalanan waktu dapat dilihat sebagai metafora untuk memahami implikasi historis dan masa depan dari keputusan politik, semisal the presidential threshold (ambang batas pemilihan presiden), yang membentuk jalannya peristiwa politik dari waktu ke waktu," kata sang penjelajah waktu. "Sama seperti penjelajah waktu yang punya kekuatan menavigasi waktu, partai politik dan koalisi menggunakan pengaruh melalui presidential threshold. Kemampuan memenuhi ambang batas ini dapat menentukan peran mereka dalam membentuk kepemimpinan masa depan negara. Baik cerita perjalanan waktu maupun skenario politik melibatkan spekulasi tentang berbagai kemungkinan masa depan. Sementara "The Time Machine" menyajikan visi fiktif tentang masa depan, perbincangan tentang presidential threshold melibatkan prediksi hasil strategi politik dan dampaknya terhadap masyarakat.
Presidential threshold merupakan terma yang digunakan terutama dalam sistem politik dengan perwakilan proporsional guna menggambarkan tingkat dukungan minimum yang harus dicapai oleh partai politik atau koalisi dalam pencalonan seorang kandidat presiden. Ambang batas ini sering dinyatakan sebagai persentase suara dalam pemilihan parlemen atau legislatif dan digunakan untuk membatasi jumlah partai yang dapat mencalonkan seorang kandidat presiden, mengurangi fragmentasi politik, dan memastikan bahwa hanya partai dengan dukungan elektoral signifikan yang berpartisipasi. Tujuan utama ambang batas presidensial adalah memastikan bahwa kandidat presiden memiliki dukungan parlemen yang substansial, mempromosikan stabilitas politik, dan mendorong pembentukan koalisi yang lebih besar di antara partai-partai. Sistem ini dirancang untuk mencegah representasi politik yang terfragmentasi dan memastikan bahwa presiden terpilih punya dukungan legislatif yang berarti. Misalnya di Indonesia, Ambang Batas Presidensial mengharuskan partai atau koalisi memiliki setidaknya 20% kursi di DPR atau 25% suara nasional dalam pemilihan legislatif sebelumnya untuk mencalonkan seorang calon presiden. Ambang batas ini ditetapkan berdasarkan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Akan tetapi, ambang batas tersebut dikritisi karena berpotensi membatasi partisipasi politik, khususnya bagi partai-partai kecil, yang dapat mengurangi pilihan pemilih dalam pemilihan presiden. Negara lain mungkin menerapkan aturan yang berbeda atau tak punya ambang batas seperti ini.
Ambang batas presidensial dan parlementer merupakan mekanisme elektoral yang digunakan mengatur partisipasi politik dalam pemilu, tetapi keduanya bertujuan yang berbeda dan berlaku untuk konteks yang berbeda. Ambang batas parlementer merujuk pada persentase minimum suara yang harus diterima partai politik dalam pemilihan legislatif guna beroleh perwakilan di parlemen. Ambang batas ini biasanya ditetapkan lebih rendah dari ambang batas presidensial dan bervariasi menurut negara. Ambang batas parlementer dirancang untuk mencegah fragmentasi dalam legislatif dengan memastikan bahwa hanya partai-partai dengan tingkat dukungan publik yang signifikan. yang dapat memasuki parlemen. Hal ini mendorong partai-partai yang lebih besar membentuk koalisi, yang dapat mengarah pada pemerintahan yang lebih stabil.
Dalam 'Electoral Systems and Democracy' (2006, Johns Hopkins University Press) yang disunting oleh Larry Diamond dan Marc F. Plattner, dampak ambang batas dalam sistem elektoral dibahas dalam konteks pengaruhnya terhadap tatakelola, representasi, dan demokrasi. Ambang batas yang lebih rendah cenderung mengarah pada fragmentasi politik yang lebih besar karena memungkinkan partai-partai yang lebih kecil memperoleh representasi di badan legislatif. Hal ini dapat membuat pembentukan koalisi menjadi lebih rumit dan menghasilkan pemerintahan yang kurang stabil. Ambang batas yang lebih tinggi dapat mengurangi jumlah partai di badan legislatif, mendorong tatakelola yang lebih stabil dengan mendorong partai-partai politik atau koalisi yang lebih besar dan lebih kohesif. Namun, ambang batas yang terlalu tinggi dapat mengecualikan kelompok-kelompok politik yang lebih kecil namun berarti, yang berpotensi mengasingkan segmen-segmen pemilih.
Ambang batas yang lebih rendah umumnya lebih inklusif, memastikan bahwa partai-partai kecil dan kepentingan minoritas terwakili di badan legislatif. Inklusivitas ini dapat meningkatkan legitimasi sistem politik dengan mencerminkan opini publik yang lebih luas. Ambang batas yang lebih tinggi dapat mendistorsi proporsionalitas dengan secara tak proporsional menguntungkan partai-partai besar dan membatasi representasi partai-partai kecil. Hal ini dapat meminggirkan suara-suara minoritas dan menyebabkan ketidakpuasan di antara para pemilih yang mendukung kelompok-kelompok yang dikecualikan.
Ambang batas yang lebih rendah mendorong persaingan dan pluralisme politik dengan memberikan partai-partai yang lebih kecil kesempatan yang realistis agar berpartisipasi secara bermakna dalam proses demokrasi. Hal ini dapat meningkatkan keterlibatan dan inovasi demokrasi. Jika ambang batas terlalu rendah, hal itu dapat menyebabkan fragmentasi yang berlebihan, yang mempersulit proses legislatif dan berpotensi mendorong partai-partai ekstrem atau pinggiran mendapatkan perwakilan. Hal ini dapat memecah belah lanskap politik dan menghambat pengambilan keputusan yang demokratis. Ambang batas yang lebih tinggi dapat menyederhanakan sistem partai, sehingga memudahkan para pemilih memberikan akuntabilitas kepada partai-partai yang berkuasa. Namun, hal ini dapat mengorbankan keberagaman dan inklusivitas dalam sistem politik.
Tiada persentase standar universal Ambang Batas Presidensial, karena sangat bervariasi tergantung pada negara dan undang-undang pemilihannya. Berbagai negara mengadopsi ambang batas yang mencerminkan konteks politik, sosial, dan sejarah mereka. Namun, ambang batas umum berkisar antara 10% dan 25% kursi di parlemen atau suara dalam pemilihan sebelumnya. Ambang batas merupakan pilihan antara memastikan adanya berbagai macam suara di legislatif dan mempertahankan sistem yang efisien dan mampu menghasilkan pemerintahan yang stabil. Ambang batas yang ideal bergantung pada konteks politik, sosial, dan budaya suatu negara. Diamond dan Plattner menyoroti bahwa ambang batas elektoral memainkan peran penting dalam membentuk hasil demokrasi. Sementara ambang batas yang lebih tinggi dapat berkontribusi pada stabilitas dan pemerintahan, ambang batas tersebut juga dapat menekan keberagaman dan representasi. Sebaliknya, ambang batas yang lebih rendah mendorong inklusivitas tetapi dapat mengakibatkan pemerintahan yang terfragmentasi dan tidak stabil. Para pembuat kebijakan hendaknya secara hati-hati mengkalibrasi ambang batas untuk menyeimbangkan prioritas yang saling bersaing ini berdasarkan konteks demokrasi dan kelembagaan mereka yang unik.
Jadi, ambang batas yang lebih tinggi mengurangi jumlah kandidat, mendorong stabilitas tetapi berpotensi mengecualikan partai-partai yang lebih kecil. Ambang batas yang lebih rendah mendorong inklusivitas tetapi dapat menyebabkan fragmentasi politik. Sistem perwakilan proporsional kerap mengadopsi ambang batas untuk merampingkan pemilihan presiden. Ambang batas dirancang untuk memastikan bahwa hanya kandidat dengan dukungan politik yang signifikan yang dapat mencalonkan diri sebagai presiden. Sistem mayoritas dapat menghindari ambang batas sepenuhnya.
Dalam Designing Democracy: What Constitutions Do (2001, Oxford University Press), Cass R. Sunstein mengeksplorasi berbagai mekanisme konstitusional dan perannya dalam membina stabilitas dan konsolidasi demokrasi. Ambang batas memainkan peran penting dalam proses ini karena menetapkan standar atau kriteria minimum yang dapat membentuk perilaku politik, pengambilan keputusan, dan fungsi kelembagaan. Ambang batas dapat mendorong musyawarah dengan mensyaratkan tingkat konsensus yang tinggi sebelum keputusan atau perubahan penting dibuat. Misalnya, ambang batas konstitusional untuk mengubah konstitusi (misalnya, persyaratan mayoritas super) memastikan bahwa hanya perubahan yang disetujui secara luas yang diterapkan, yang mendorong stabilitas dan mengurangi risiko keputusan yang berubah-ubah atau memecah belah.
Dengan menetapkan ambang batas untuk tindakan semisal pemakzulan, persetujuan legislatif, atau perubahan kebijakan, konstitusi dapat melindungi hak-hak minoritas dan mencegah mayoritas memaksakan kehendaknya tanpa kendali. Hal ini memastikan bahwa prinsip-prinsip demokrasi, seperti inklusivitas dan pluralisme, dipelihara.
Ambang batas sering mengharuskan aktor politik agar bekerjasama lintas partai atau perbedaan ideologi. Misalnya, ambang batas elektoral yang tinggi untuk memasuki parlemen dapat mendorong partai-partai kecil membentuk koalisi, sehingga mendorong lingkungan politik yang lebih inklusif dan kooperatif. Ambang batas yang tinggi bagi keputusan-keputusan penting, semisal referendum atau hasil pemilu, membantu memastikan bahwa hasilnya mencerminkan dukungan yang luas. Hal ini meningkatkan legitimasi yang dirasakan dari lembaga-lembaga dan keputusan-keputusan, yang sangat penting bagi konsolidasi demokrasi.
Sunstein mencatat pentingnya ambang batas dalam menyeimbangkan fleksibilitas konstitusional dengan stabilitas. Sementara ambang batas yang rendah dapat membuat konstitusi terlalu lentur, ambang batas yang tinggi dapat membuatnya terlalu kaku. Desain ambang batas yang tepat memastikan bahwa konstitusi dapat beradaptasi dengan perubahan masyarakat sekaligus tetap kuat terhadap tekanan jangka pendek. Ambang batas dapat bertindak sebagai mekanisme pendinginan dengan menunda atau mempersulit keputusan yang tergesa-gesa selama masa polarisasi politik yang meningkat. Hal ini memungkinkan adanya periode refleksi dan negosiasi, mengurangi kemungkinan konflik dan mendorong ketahanan demokrasi.
Dalam sistem elektoral, ambang batas bagi representasi dapat mencegah pencalonan yang sembrono atau gerakan politik yang terpecah-pecah, yang dapat mengganggu stabilitas sistem. Partai atau individu diberi insentif guna menunjukkan daya tarik dan akuntabilitas yang luas kepada para pemilih. Sunstein menekankan bahwa efektivitas ambang batas dalam mendukung konsolidasi demokrasi bergantung pada kalibrasi yang cermat terhadap konteks politik, budaya, dan sejarah sebuah masyarakat. Ambang batas yang terlalu tinggi dapat mengecualikan suara dan menghambat reformasi yang diperlukan, sementara ambang batas yang terlalu rendah dapat merusak stabilitas. Dengan demikian, merancang ambang batas yang tepat merupakan aspek utama rekayasa konstitusional dalam demokrasi.
Dalam Presidentialism, Parliamentarism, and Democracy (2007, Cambridge University Press), yang disunting oleh José Antonio Cheibub dan Fernando Limongi, para penulis mengeksplorasi berbagai dinamika kelembagaan demokrasi presidensial dan parlementer, termasuk bagaimana ambang batas elektoral mempengaruhi sistem ini. Ambang batas merujuk pada persentase minimum suara yang harus diterima suatu partai untuk memperoleh perwakilan di badan legislatif. Ambang batas ini dapat mempengaruhi jumlah dan ukuran partai politik, persaingan elektoral, dan stabilitas pemerintahan. Ambang batas yang lebih tinggi dalam sistem parlementer cenderung membatasi jumlah partai kecil yang masuk ke badan legislatif. Hal ini dapat mempermudah pembentukan koalisi dengan mengurangi fragmentasi dan meningkatkan peluang pembentukan pemerintahan yang stabil. Ambang batas yang lebih tinggi dapat mendorong sistem parlementer ke arah hasil mayoritas, yang berpotensi mengarah pada pemerintahan satu partai, terutama bila dikombinasikan dengan sistem pemenang suara terbanyak.
Dalam sistem presidensial, ambang batas juga dapat mengurangi fragmentasi legislatif, yang mengarah pada badan legislatif yang lebih kohesif. Hal ini dapat meningkatkan kemampuan presiden memerintah secara efektif dengan memfasilitasi negosiasi yang lebih lancar antara cabang eksekutif dan legislatif.
Jumlah partai yang lebih sedikit karena ambang batas yang lebih tinggi dapat menyederhanakan dinamika legislatif tetapi juga dapat melemahkan representasi kepentingan minoritas, sehingga mengurangi keragaman pengawasan terhadap kekuasaan presiden.
Ambang batas memainkan peran penting dalam membentuk kualitas demokrasi dalam sistem Presidensial dan Parlementer. Meskipun ambang batas yang lebih tinggi dapat meningkatkan stabilitas pemerintahan di kedua sistem, ambang batas tersebut berisiko mengecualikan partai-partai kecil dan suara-suara minoritas, yang berpotensi menimbulkan ketidakpuasan atau keresahan. Ambang batas yang dikalibrasi dengan baik dapat menyeimbangkan kebutuhan akan stabilitas dengan representasi berbagai sudut pandang, yang sangat penting bagi legitimasi rezim demokrasi.
Menetapkan Ambang Batas Presidensial menjadi 0%—yang berarti tiada persyaratan minimum bagi partai politik atau koalisi untuk mencalonkan kandidat presiden—punya kelebihan dan kekurangan. Ambang Batas Presidensial 0% memungkinkan seluruh partai politik, terlepas dari ukurannya, mencalonkan kandidat, yang mempromosikan keberagaman dan inklusivitas dalam proses politik. Partai-partai yang lebih kecil dan kandidat independen berkesempatan untuk bersaing, yang berpotensi membawa ide-ide segar. Tanpa ambang batas, pemilih disajikan dengan lebih banyak kandidat, yang meningkatkan partisipasi dan kepuasan demokrasi. Ambang Batas Presidensial 0% mencegah dominasi oleh partai-partai besar atau koalisi, yang mengurangi sentralisasi dan favoritisme politik. Partai-partai kecil atau yang sedang berkembang dapat menguji platform politik mereka dalam pemilihan presiden, yang mengarah pada politik yang lebih dinamis dan kompetitif.
Negara-negara seperti Prancis dan Kenya pada dasarnya tak memiliki ambang batas formal untuk mencalonkan kandidat presiden, tetapi mereka sering menerapkan mekanisme lain, seperti mensyaratkan dukungan atau setoran, untuk mencegah fragmentasi yang berlebihan. Tiadanya ambang batas dapat menyebabkan munculnya kandidat pinggiran atau tidak serius, yang mempersulit pemerintahan jika salah satu dari mereka menang atau mempengaruhi pemilihan secara tak proporsional. Sejumlah besar kandidat dapat memecah suara, sehingga menyulitkan satu kandidat mencapai mayoritas, yang berpotensi memerlukan pemilihan putaran kedua yang mahal dan memakan waktu.
Tanpa ambang batas, lanskap politik yang dihasilkan akan terlalu terfragmentasi untuk membangun koalisi yang efektif, sehingga menghambat kolaborasi eksekutif-legislatif. Daftar kandidat yang panjang dapat membanjiri pemilih, sehingga mengurangi kualitas pengambilan keputusan dalam pemilu. Sumber daya kampanye (perhatian media, pendanaan, dll.) akan terlalu sedikit tersebar di antara banyak kandidat, sehingga mengurangi fokus pada isu-isu substantif.
Di Indonesia, penghapusan ambang batas pemilihan presiden diperkirakan akan berdampak positif dan negatif terhadap kesejahteraan rakyat. Dengan dihapuskannya ambang batas pemilihan presiden, partai politik yang lebih kecil dan baru dapat mengajukan calon presiden mereka sendiri. Diversifikasi ini dapat menghasilkan representasi kepentingan dan suara yang lebih luas dalam pemerintahan, yang berpotensi menangani isu-isu yang lebih relevan bagi berbagai segmen masyarakat, sehingga meningkatkan kesejahteraan secara keseluruhan.
Ketersediaan lebih banyak kandidat memungkinkan pemilih untuk memilih dari berbagai platform dan kebijakan politik. Pilihan ini dapat memberdayakan warga negara dan mendorong keterlibatan masyarakat yang lebih besar, karena merasa preferensi mereka terwakili dengan lebih baik dalam pemilu. Kelompok kandidat yang lebih beragam dapat menghasilkan usulan kebijakan inovatif yang membahas berbagai masalah sosial yang mendesak, semisal pengentasan kemiskinan, pendidikan, dan perawatan kesehatan. Kandidat dari partai yang lebih kecil dapat berfokus pada kebijakan peningkatan kesejahteraan tertentu yang mungkin diabaikan oleh partai yang lebih besar. Dengan memulihkan kemampuan semua pihak berpartisipasi dalam pencalonan presiden, putusan tersebut meningkatkan praktik demokrasi di Indonesia. Demokrasi yang lebih kuat dapat menghasilkan tatakelola pemerintahan yang lebih baik, akuntabilitas, dan respons terhadap kebutuhan warga negara, yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan publik.
Akan tetapi, penghapusan ambang batas dapat menyebabkan biaya kampanye yang lebih tinggi karena jumlah kandidat yang bersaing mendapatkan suara semakin banyak. Beban keuangan ini dapat mengalihkan sumber daya dari layanan publik dan program kesejahteraan yang penting, yang berdampak pada overall societal well-being. Jumlah kandidat yang lebih banyak dapat menyebabkan fragmentasi dalam pemilih, sehingga sulit bagi satu kandidat mencapai mayoritas. Keadaan ini dapat mengakibatkan pemerintahan yang tidak stabil dan sulit menerapkan kebijakan yang efektif, yang dapat berdampak buruk pada inisiatif kesejahteraan publik.
Potensi meningkatnya persaingan di antara banyak kandidat dapat meningkatkan ketegangan dan konflik politik selama pemilu. Ketidakstabilan tersebut dapat mengganggu kehidupan sehari-hari dan menghambat kegiatan ekonomi, yang berdampak negatif pada kesejahteraan warga negara. Jika banyak partai memperoleh perwakilan tanpa mayoritas yang jelas, hal itu dapat mempersulit proses legislatif dan menghambat tata kelola yang efektif. Ketidakefisienan ini dapat menunda atau menghalangi undang-undang dan program penting terkait kesejahteraan.
Singkatnya, meskipun penghapusan ambang batas presidensial menghadirkan peluang untuk meningkatkan representasi politik dan keterlibatan pemilih yang dapat meningkatkan kesejahteraan publik, penghapusan tersebut membawa pula risiko terkait dengan meningkatnya biaya, fragmentasi politik, dan potensi ketidakstabilan yang dapat merusak manfaat ini. Dampak sebenarnya akan bergantung pada bagaimana partai politik beradaptasi dengan lanskap baru ini dan seberapa efektif mereka dapat memenuhi kebutuhan konstituen mereka.
Terhitung sejak 2 Januari 2025, Mahkamah Konstitusi (MK) telah resmi menghapus ambang batas pemilihan presiden di Indonesia. Keputusan ini memungkinkan semua partai politik mengajukan calon presiden tanpa harus memenuhi persyaratan sebelumnya, sehingga secara berarti mengubah lanskap politik menjelang pemilihan umum mendatang. Penghapusan ambang batas ini diharapkan dapat membangun lingkungan pemilihan yang lebih kompetitif, sehingga memungkinkan lebih banyak kandidat berpartisipasi dalam pemilihan presiden.
Dan begitulah, hubungan antara mesin waktu dan presidential threshold terletak pada tema bersama tentang perubahan dan konsekuensi. Penghapusan ambang batas pemilihan presiden merupakan momen penting dalam evolusi politik Indonesia, seperti perjalanan melintasi waktu yang berupaya memperbaiki keterbatasan masa lalu sembari menavigasi ketidakpastian pemerintahan di masa depan. Seiring dengan kemajuan Indonesia, hasil dari keputusan ini akan terungkap seperti narasi yang dibentuk oleh konteks sejarah dan aspirasi kontemporer bagi demokrasi."