[Sesi 9]"Pernah kejadian, di negeri Kepulauan, hiduplah seorang con artist yang akrab disapa Mulyono. Ia seorang pedagang mebel yang kemudian menjadi presiden, dan berjanji membersihkan sampah-sampah di rawa-rawa politik. Tanpa diketahui para-para warga negara, doi sebenernya 'omon-omon doan," sang penjelajah waktu bertutur."Seperti kata pepatah, 'Kekuasaan itu merusak, dan kekuasaan absolut itu, pastilah merusak'—maka Mulyono akan menguji teori ini.Hipotesis pertama: KPK—A Comedy of ErrorsMulyono punya ide cemerlang, 'Mari kita beri sedikit perubahan pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)!' ungkapnya. Dengan goresan penanya, ia mengubah KPK dari lembaga pengawas independen menjadi kelompok penasihat yang ramah lingkungan. 'Buat apa sih ngebiarin mereka melakukan penyelidikan kalau kita bisa ngundang mereka minum teh?' katanya sambil terkekeh-kekeh. KPK kini lebih menyerupai social club ketimbang lembaga antikorupsi yang garang. Rakyat menyaksikan dengan tak percaya saat KPK yang dulu mereka takuti berubah menjadi sama menakutkannya dengan anak kucing di ruangan yang penuh benang rajutan.Hipotesis Kedua: Tentang Keluarga—Edisi Dinasti PolitikTapi tunggu dulu! Alur ceritanya makin rumit. Mulyono memutuskan sudah waktunya bagi putra-putranya bergabung dengan bisnis keluarga—politik! 'Kenapa enggak? Bukankah keluarga Kardashian bisa sukses!' kenangnya. Dengan keanggunan seorang ayah di acara TV realitas, ia mengumumkan pencalonan Vivivavi sebagai wakil presiden. Para kritikus terkesiap dengan apa yang mereka sebut nepotisme. "Itu bukan nepotisme," tegas Mulyono. "Itu hanya cara mengasuh anak yang baik! Aku membantu putra-putraku menemukan jalan mereka... menuju kekuasaan!" Saat Vivivavi melangkah ke panggung politik, lengkap dengan slogan-slogan kampanye yang terdengar mencurigakan seperti slogan-slogan lama ayahnya, Wajah Mulyono tampak sumringah. 'Lihatlah putra-putraku! Mereka sama sepertiku—hanya lebih muda dan dengan potongan rambut yang lebih ngetren!'Hipotesis Ketiga: Sirkus Ruang Sidang—Urusan KeluargaMasuklah Mahkamah Konstitusi, yang dibintangi Paman Usman—kerabat Mulyono! Tiba-tiba, putusan pengadilan mulai lebih menyerupai reuni keluarga ketimbang keputusan pengadilan. "Apa hubungannya dengan usia?" canda Mulyono ketika ditanya tentang perubahan batasan usia bagi para kandidat. "Itu semua tentang siapa yang Anda kenal!" Publik dibuat kepo, apakah mereka sedang menonton drama politik atau sitkom keluarga. "Ini politik atau hanya episode panjang dari 'Keeping Up with the Mulyonos?" tanya mereka sembari ngakak.Hipotesis Keempat: Public Discontent—The Reality ShowSementara itu, kekecewaan mulai terasa di kalangan warga yang merasa seperti orang-orang yang tak sadar dalam acara realitas politik Mulyono. 'Akankah presiden kita memberantas korupsi atau hanya omon-omon?' menjadi slogan hari itu. Kepercayaan publik pun luntur karena janji-janji Mulyono berubah menjadi bahan tertawaan. 'Percayalah,' katanya dalam salah satu konferensi pers, 'Saya sedang bekerja keras memberantas korupsi!' Penonton pun tertawa terbahak-bahak—guyonan iki, seko ngendi maning?Brigade 'Ternak Mulyono' berkembang pesat seperti sekawanan burung kenari yang terlalu antusias, berkicau memuji Presiden Mulyono sambil mengabaikan tanda-tanda kekisruhan politik. Para pembela yang setia ini, yang sering terlihat mengenakan kaus bertuliskan 'I ❤️ Mulyono', akan berusaha keras membenarkan setiap keputusan yang dipertanyakan—sebagaimana orangtua yang bersikeras bahwa lukisan jari-tengah anaknya itu, sebuah mahakarya. Rumor menyatakan bahwa beberapa dari loyalis ini menerima gaji, menjadikan advokasi politik sebagai pekerjaan penuh waktu, lengkap dengan bonus kinerja untuk setiap kali mereka mengabaikan skandal sebagai 'fake news' belaka. Jadi, jika dirimu pernah terlibat dalam perdebatan sengit tentang kebijakan Mulyono, ingatlah: Engkau tak berdebat dengan seorang kritikus; dirimu berhadapan dengan anggota resmi klub penggemar 'Ternak Mulyono', yang dipersenjatai dengan segudang tagar dan keyakinan yang tak tergoyahkan bahwa pemimpin yang mereka cintai takkan pernah salah—sama seperti pemilik hewan peliharaan yang setia, yang yakin bahwa ikan mas mereka adalah Picasso akuatik berikutnya!Pada tahun 2024, dunia diramaikan dengan antisipasi penghargaan tahunan 'The Most Corrupt Public Figure', yang diselenggarakan OCCRP (Organized Comedy and Corruption Reporting Project) yang bergengsi. Para juri, dengan setelan jas rapi dan kecerdasan yang amat tajam, kewalahan menghadapi para finalis.Di antara para kandidat, tak lain adalah Mulyono. Namun, saat ketegangan mencapai puncaknya, para juri mengumumkan pemenang utamanya. Penghargaan tersebut diberikan kepada mantan Presiden Suriah Bashar al-Assad, yang telah mengalahkan semua kandidat dengan aksi jahatnya. Mulyono, dengan rendah hati kembali ke masa pensiunnya yang damai, mungkin merenungkan apakah acara TV realitas tentang dinasti politik akan menjadi masa depannya. Karenanya, bab lain dari kisah 'The Most Corrupt Public Figure' pun berakhir, meninggalkan dunia dengan rasa pahit-manis antara satire dan kebenaran, dan Mulyono yang penuh harap dengan seringai tengilnya—menunggu petualangan besar berikutnya di dunia teater politik.Di ranah fantasi politik Archipelago, dimana logika dikesampingkan dan satire merajalela, para pendukung 'ternak Mulyono' kali ini telah mengalahkan diri mereka sendiri! Dengan trik seorang pesulap yang menarik kelinci dari topinya, mereka dengan berani mengklaim bahwa Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) telah menghapus seluruh berita tentang dugaan korupsi Mulyono. 'Fuh! Hilang!' seru mereka, seolah-olah berharap dengan sirnanya berita itu akan menjadi kenyataan. Namun sayang, realitas berkata lain, dan laporan OCCRP tetap keras kepala laksana kucing di bak mandi. Dikala kebenaran terungkap, para pembela ini berebut memutarbalikkan cerita, berkeras bahwa media internasional hanya bermain petak umpet dengan fakta. 'Ini semua konspirasi!' teriak mereka, sementara seluruh dunia tertawa melihat tingkah mereka. Pada akhirnya, sementara nama Mulyono akan terseret ke dalam lumpur, 'tampaknya ternak Mulyono' dengan senang hati berguling-guling di dalamnya—membuktikan sekali lagi bahwa dalam politik, absurditas tak mengenal batas!Dan begitulah, para pembaca budiman, sepanjang perjalanannya menjelajah waktu, Mulyono bertemu dengan berbagai tokoh sejarah dan mempelajari seni teater politik. Ia semestinya menyadari bahwa persepsi korupsi, seperti halnya waktu itu sendiri, bisa cair dan subjektif."
[Sesi 7]