Rabu, 08 Januari 2025

Mesin Waktu (11)

"Konsep Mesin Waktu dapat menawarkan eksplorasi yang kreatif dan mendalam tentang bagaimana gizi dan pendidikan membentuk masa depan, seperti bagaimana mesin waktu dapat mempengaruhi kehidupan lintas garis waktu," lanjut sang penjelajah waktu. "Pendidikan membekali anak-anak dengan keterampilan dan pengetahuan, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat. Dalam metafora mesin waktu, pendidikan merupakan 'bahan bakar' yang mendorong individu menuju masa depan yang lebih cerah. Individu yang berpendidikan lebih mungkin memutus rantai kemiskinan, berinovasi, dan memimpin. Hal ini mirip dengan perjalanan waktu, dimana keputusan yang diambil saat ini membentuk garis waktu yang lebih sejahtera.
Gizi yang tepat selama masa kanak-kanak menjadi dasar bagi orang dewasa yang lebih sehat dan lebih cakap. Ini seperti menyetel 'mesin waktu' guna memastikan generasi mendatang terhindar dari kesalahan masa lalu (misalnya, kekurangan gizi, terhambatnya pertumbuhan). Program makanan bergizi memerangi kekurangan gizi, meningkatkan fungsi kognitif dan kehadiran di sekolah. Efek langsung ini bertindak sebagai 'tombol reset' untuk potensi anak-anak, semisal perjalanan kembali ke masa lalu untuk memperbaiki masalah mendasar.

Indonesia telah meluncurkan Program Makanan Bergizi Gratis guna memerangi kekurangan gizi dan stunting di kalangan anak-anak dan ibu hamil. Dimulai pada 6 Januari 2025, inisiatif ini bertujuan menyediakan makanan harian bagi hampir 90 juta penerima manfaat, termasuk 83 juta siswa di lebih dari 400.000 sekolah. Program ini diproyeksikan akan menelan biaya sekitar $28 miliar hingga tahun 2029. Para kritikus telah menyuarakan kekhawatiran tentang keberlanjutan finansial dan tantangan logistiknya.
Konsep penyediaan makanan sekolah sebagai inisiatif publik punya sejarah panjang, yang berakar pada penanganan kekurangan gizi anak dan peningkatan hasil pendidikan. Inggris memelopori program makanan sekolah gratis dengan Undang-Undang Pendidikan (Provision of Meals) tahun 1906, yang memungkinkan dewan lokal menyediakan makanan untuk anak-anak yang kekurangan gizi. Dalam 'A History of Education in Public Health' (2007, Oxford University Press) karya Elizabeth Fee dan Theodore M. Brown, sejarah program makanan sekolah gratis dibahas dalam konteks kesehatan masyarakat dan gerakan reformasi sosial. Ide menyediakan makanan bagi anak sekolah berasal dari Eropa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Negara-negara semisal Inggris menerapkan program makanan sekolah gratis untuk memerangi kekurangan gizi di kalangan anak-anak miskin. Program-program ini dikaitkan dengan inisiatif kesehatan masyarakat yang lebih luas yang bertujuan meningkatkan kesehatan dan produktivitas kelas pekerja.
Di AS, program makanan sekolah muncul sebagai bagian dari reformasi Era Progresif di awal abad ke-20. Para pendukungnya, termasuk pekerja sosial dan profesional kesehatan masyarakat, berpendapat bahwa menyediakan makanan di sekolah dapat mengatasi kelaparan anak dan meningkatkan hasil pendidikan dengan meningkatkan konsentrasi dan kapasitas belajar.
Fee dan Brown menggarisbawahi bahwa program makanan sekolah bukan semata tentang tentang memberi makan anak-anak, melainkan pula tentang mendidik keluarga dan masyarakat mengenai gizi dan praktik kesehatan yang tepat. Program-program ini menjadi sarana menyampaikan pesan kesehatan masyarakat yang lebih luas.
Seiring berjalannya waktu, muncul perdebatan tentang kualitas gizi makanan sekolah dan stigmatisasi anak-anak yang menerima makan siang gratis. Meskipun menghadapi tantangan ini, program makanan sekolah tetap menjadi intervensi kesehatan masyarakat yang penting, yang beradaptasi dengan perubahan kebutuhan masyarakat.
Program makan siang gratis di sekolah mencerminkan hubungan antara kesehatan masyarakat, pendidikan, dan kesejahteraan sosial, yang berkembang dari upaya akar rumput menjadi program yang diakui secara nasional yang menangani gizi dan kesejahteraan anak. Fee dan Brown menyoroti pentingnya program tersebut sebagai bagian dari inisiatif pendidikan kesehatan masyarakat yang lebih luas.

The National School Lunch Act (Undang-Undang Makan Siang Sekolah Nasional) disahkan di AS guna mengatasi kerawanan pangan dan kekurangan gizi seusai Perang Dunia II. Undang-undang ini bertujuan memastikan anak-anak dapat menerima setidaknya sekali makanan bergizi sehari di sekolah. Karya Janet Poppendieck 'Free for All: Fixing School Food in America' (2010, University of California Press) merupakan kajian terperinci mengenai berbagai masalah dalam sistem pangan sekolah di AS dan seruan mereformasi sistem tersebut. Ia mengkritik berbagai kebijakan yang ada, menyoroti ketidakadilan dan inefisiensi, serta mengusulkan sebuah visi bagi sistem yang lebih baik.
Poppendieck membahas bagaimana sistem berjenjang bagi makanan sekolah (gratis, harga diskon, dan harga penuh) menstigmatisasi siswa yang memenuhi syarat mendapatkan makanan gratis. Hal ini seringkali membuat siswa enggan berpartisipasi. Ia menyoroti bahwa program makanan sekolah kekurangan dana secara kronis, yang memaksa sekolah bergantung pada makanan olahan berbiaya rendah agar tetap sesuai anggaran. Tekanan keterbatasan anggaran menyebabkan kemitraan dengan perusahaan makanan besar, yang kerap mengutamakan keuntungan daripada menyediakan makanan bergizi. Kompleksitas administratif dalam menentukan kelayakan mendapatkan makanan gratis dan harga diskon menambah biaya dan inefisiensi yang tak perlu pada sistem tersebut.
Poppendieck menekankan bagaimana sistem saat ini mempengaruhi kesehatan anak-anak, dengan meningkatnya angka obesitas anak dan penyakit terkait pola makan. Penekanan pada makanan olahan, padat kalori, dan miskin nutrisi merusak upaya mendidik anak-anak tentang pola makan sehat. Rekomendasi utama dari karya Poppendieck ialah menyediakan makanan sekolah gratis bagi seluruh siswa, menghilangkan stigma yang terkait dengan penerimaan makanan gratis atau dengan harga yang lebih murah. Hal ini akan memastikan bahwa setiap anak memiliki akses ke makanan bergizi dan menyederhanakan proses administrasi. Poppendieck menganjurkan makanan yang lebih sehat, menekankan makanan segar dan yang diproses secara minimal, yang bersumber secara lokal jika memungkinkan. Ia menyerukan peningkatan pendanaan federal bagi program makanan sekolah guna mendukung akses universal dan meningkatkan kualitas makanan. Memasukkan pendidikan makanan ke dalam kurikulum sekolah untuk mengajarkan siswa tentang kebiasaan makan sehat, keberlanjutan, dan signifikansi budaya makanan.
Poppendieck mengaitkan perdebatan tentang makanan sekolah dengan isu-isu yang lebih besar semisal kemiskinan, keadilan sosial, dan kesehatan masyarakat. Dengan mengatasi masalah-masalah ini melalui makanan sekolah universal, menurutnya, masyarakat dapat mengambil langkah signifikan mengurangi kesenjangan dan meningkatkan hasil kesehatan secara keseluruhan. Ia menantang sikap budaya di AS yang memprioritaskan tanggungjawab individu daripada solusi kolektif. Dengan membingkai ulang makanan sekolah sebagai barang publik daripada manfaat pribadi, menurut Poppendieck, masyarakat dapat menumbuhkan masa depan yang lebih adil dan lebih sehat.

Jepang pasca-Perang Dunia II menerapkan program makan siang sekolah untuk mengatasi kekurangan gizi yang meluas di kalangan anak-anak. Inisiatif tersebut berkembang dengan menyertakan makanan seimbang dan menumbuhkan kebiasaan makan yang baik. 'Japanese School Lunches: History and Contemporary Practice' (Makan Siang Sekolah Jepang: Sejarah dan Praktik Kontemporer) karya Akiko Kurosu (2009, Seikatsu Hyakka Publishing) meneliti evolusi makan siang sekolah di Jepang, menawarkan wawasan tentang bagaimana praktik ini dibentuk oleh pengaruh sejarah, sosial, dan budaya.
Makan siang sekolah, atau kyūshoku (給食), dimulai pada akhir tahun 1800-an sebagai respons terhadap kesenjangan ekonomi dan kebutuhan gizi siswa, terutama di daerah pedesaan. Makan siang sekolah pertama yang tercatat diperkenalkan pada tahun 1889 di sebuah sekolah kuil di Prefektur Yamagata, yang terdiri dari makanan sederhana semisal bola nasi, ikan panggang, dan acar.
Pada Era Pra-Perang (1920-an–1930-an) dengan industrialisasi, sekolah-sekolah perkotaan mengadopsi program makan siang sekolah sebagai bagian dari inisiatif kesehatan masyarakat yang lebih luas dalam mengatasi kekurangan gizi di kalangan anak-anak. Program-program awal ini sering didukung oleh masyarakat setempat atau organisasi amal dan belum terstandardisasi.
Pada Rekonstruksi Pasca-Perang dan Penekanan Gizi (1945–1950-an), setelah Perang Dunia II, Jepang menghadapi kekurangan pangan yang meluas, dan makan siang sekolah menjadi bagian penting dari upaya pemulihan gizi. Pemerintah AS, melalui program bantuan pangannya, menyumbangkan susu bubuk dan tepung terigu, yang mempengaruhi pengenalan roti dan susu ala Barat ke dalam makan siang sekolah Jepang. Pada tahun 1954, Undang-Undang Makan Siang Sekolah (Gakkō Kyūshoku Hō) diberlakukan, yang menjadikan program makan siang sekolah wajib di sekolah dasar dan meletakkan dasar bagi standardisasi nasional.
Selama periode pertumbuhan ekonomi Jepang yang pesat (1960-an–1980-an), program makan siang sekolah diperluas dalam skala dan ditingkatkan kualitasnya. Menu mulai mencerminkan campuran hidangan Jepang dan Barat, yang memastikan variasi dan gizi seimbang. Program ini menekankan pengajaran tentang gizi dan budaya makanan kepada anak-anak, dan mengintegrasikan makan siang sekolah ke dalam kurikulum pendidikan.
Pada tahun 1990-an hingga sekarang, makan siang sekolah tak lagi sekadar sarana penyediaan gizi; tetapi menjadi cara menanamkan rasa hormat terhadap makanan, pertanian, dan praktik diet tradisional Jepang.
Saat ini, makanan direncanakan dengan cermat oleh ahli gizi berlisensi untuk memenuhi pedoman diet pemerintah, dengan fokus pada bahan-bahan musiman dan yang bersumber secara lokal. Praktik ini juga mempromosikan pendidikan makanan (shokuiku), yang mendorong anak-anak untuk menghargai keragaman dan keberlanjutan makanan.
Kurosu menyoroti bagaimana makan siang sekolah Jepang berevolusi dari ukuran kesejahteraan dasar menjadi praktik selebrasi budaya dan pendidikan, yang mencerminkan perubahan masyarakat lebih luas di Jepang. Ini menunjukkan perpaduan unik antara kebijakan publik, pelestarian budaya, dan inovasi pendidikan.

Pada tahun 1955, Brazil's National School Feeding Program (PNAE) diperkenalkan untuk meningkatkan ketahanan pangan di kalangan anak-anak dan mendukung pertanian lokal. Kini program ini melayani lebih dari 40 juta siswa setiap hari.

Di pertengahan 1990-an, India meluncurkan Mid-Day Meal Scheme (MDMS) untuk meningkatkan penerimaan murid sekolah dan memerangi kekurangan gizi. Ini merupakan salah satu program terbesar di dunia, yang melayani lebih dari 120 juta anak setiap hari. Dalam 'India's Mid-Day Meal Program: Exploring the Impact' (2013, Penguin Books) Amartya Sen dan Jean Drèze menganalisis secara ekstensif Mid-Day Meal Scheme di India, dengan menyoroti signifikansinya dalam meningkatkan gizi anak, meningkatkan penerimaan murid sekolah, dan mempromosikan kesetaraan sosial. Mereka berpendapat bahwa menyediakan makan siang gratis di sekolah mengatasi defisit pendidikan dan gizi, khususnya di kalangan masyarakat yang kurang mampu. Dalam karya mereka tahun 2002, 'Democracy and the Right to Food', Drèze menekankan bahwa meskipun makanan siang bukanlah solusi menyeluruh bagi tantangan gizi di India, makanan tersebut merupakan contoh tindakan efektif mewujudkan hak atas pangan. Ia mencatat bahwa program semacam itu dapat memainkan peran penting dalam menegakkan hak ini. Analisis mereka menggarisbawahi manfaat beraneka ragam dari the Mid-Day Meal Scheme, yang menganjurkan perluasan dan penerapannya yang efektif untuk memerangi kekurangan gizi, meningkatkan hasil pendidikan, dan mempromosikan inklusi sosial di India.

Program makanan sekolah punya kelebihan dan kekurangan. Makanan sekolah membantu memerangi kekurangan gizi, terhambatnya pertumbuhan, dan masalah kesehatan lainnya, memastikan anak-anak menerima setidaknya satu makanan seimbang setiap hari. Nutrisi yang cukup meningkatkan kinerja kognitif, konsentrasi, dan memori, sehingga meningkatkan hasil akademis. Studi dari Brazil’s National School Feeding Program (PNAE) menunjukkan kinerja akademis yang lebih baik di antara siswa yang bergizi baik. Makanan gratis bertindak sebagai insentif bagi orangtua agar menyekolahkan anak-anak mereka, khususnya di masyarakat berpenghasilan rendah. Program Makanan Sekolah Kenya meningkatkan angka pendaftaran, khususnya di kalangan anak perempuan. Sumber makanan lokal mendukung petani dan menciptakan lapangan kerja dalam persiapan dan logistik makanan. PNAE Brasil mengamanatkan bahwa 30% makanan harus berasal dari petani lokal. Program mengurangi kelaparan dan kerawanan pangan di kalangan anak-anak, khususnya di wilayah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Berbagi makanan di sekolah mendorong sosialisasi, inklusivitas, dan kesadaran akan kebiasaan makan yang sehat.

Program pemberian makanan di sekolah umumnya mengalami berbagai kekurangan yang dapat mempengaruhi efektivitas dan keberlanjutannya. Kritikus sering kali menunjukkan bahwa kualitas makanan yang disediakan mungkin tak memenuhi standar gizi, yang menyebabkan masalah semisal obesitas di antara siswa yang mengonsumsi makanan tidak sehat.
Biaya penerapan dan pemeliharaan program ini bisa jadi sangat berarti, sehingga menimbulkan kekhawatiran tentang pendanaan jangka panjang dan alokasi sumber daya. Beban pembayar pajak dapat meningkat karena pemerintah berupaya mendukung inisiatif ini. Banyak program menghadapi kendala operasional, semisal fasilitas dapur yang tak memadai, keterlambatan pengiriman makanan, dan pelatihan yang tak memadai bagi staf yang bertanggungjawab atas persiapan makanan.
Anak-anak yang menerima makanan gratis akan menghadapi stigma atau perundungan dari teman sebaya jika mereka dianggap membutuhkan bantuan, yang dapat mempengaruhi interaksi sosial dan harga diri mereka.

Di Indonesia, para pengkritik Program Makanan Bergizi Gratis menyuarakan keprihatinan terutama tentang tantangan logistik. Peluncuran program tersebut mengalami penundaan karena peralatan dapur yang diperlukan menyiapkan makanan tak memadai. Selain itu, ada kekhawatiran mengenai keberlanjutan finansial program dan apakah program tersebut dapat secara efektif menjangkau seluruh penerima manfaat tanpa mengorbankan kualitas.
Kekhawatiran tentang pendanaan jangka panjang dan alokasi sumber daya dapat mempengaruhi kelangsungan program. Para pemangku kepentingan menekankan perlunya perencanaan dan alokasi sumber daya yang lebih baik untuk memastikan keberhasilan program. Penolakan dari sekolah dan masyarakat karena kurangnya kesadaran atau dukungan dapat menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi.
Anggapan bahwa Program Makanan Bergizi Gratis Indonesia terutama merupakan alat politik bagi Vivivavi alias 'nepo baby,' untuk meningkatkan citra publiknya menjelang aspirasi presiden yang potensial telah mendapat perhatian di kalangan kritikus. Para kritikus berpendapat bahwa inisiatif makanan gratis dapat dimanfaatkan sebagai langkah strategis mendapatkan dukungan publik dalam pemilihan umum mendatang. Dengan mempromosikan program tersebut, 'nepo baby' dapat memposisikan dirinya secara positif di antara para pemilih, terutama mereka yang peduli dengan gizi dan kesejahteraan anak. Cakupan program yang luas, yang bertujuan menyediakan makanan bagi hampir 80 juta anak, menimbulkan kekhawatiran tentang keberlanjutan finansialnya. Para analis memperingatkan bahwa biaya yang diproyeksikan sekitar $30 miliar per tahun dapat membebani anggaran belanja Indonesia, yang berpotensi mengalihkan dana dari sektor-sektor penting lainnya semisal kesehatan dan pendidikan. Ada keyakinan bahwa inisiatif tersebut lebih berfungsi sebagai upaya pencitraan self-branding ketimbang upaya nyata mengatasi masalah kekurangan gizi dan pendidikan. Para kritikus berpendapat bahwa meskipun program tersebut bertujuan mulia, implementasinya mungkin dibayangi oleh motivasi politik. Beberapa ahli memperingatkan bahwa menyediakan makanan gratis dapat menumbuhkan rasa ketergantungan di antara masyarakat daripada mendorong kemandirian. Hal ini dapat mengubah pola pikir dan harapan publik mengenai dukungan pemerintah.

Jika demikian, mana yang lebih baik bagi Indonesia, 'pendidikan gratis' atau 'program makan gratis'?"