Senin, 13 Januari 2025

Mesin Waktu (15)

"Gagasan tentang mesin waktu memungkinkan kita meninjau kembali masa lalu dan menelaah lagi keputusan, kebijakan, dan tindakan yang menyebabkan keadaan saat ini," kata sang penjelajah waktu. "Jika kita dapat 'melakukan perjalanan kembali ke masa lalu,' kita dapat mengevaluasi praktik pengelolaan lahan, penggundulan hutan, dan perluasan kota ke daerah rawan kebakaran. Pengabaian strategi mitigasi perubahan iklim di masa lalu dapat ditinjau kembali, menyoroti dimana tindakan proaktif dapat mencegah beberapa dampak. Masyarakat adat secara historis menggunakan pembakaran terkendali untuk mengelola vegetasi. Mesin waktu metaforis dapat membantu kita mengintegrasikan kembali pelajaran dari masa lalu ini ke dalam praktik modern.
Mesin waktu kerap menempatkan karakter dalam posisi menghadapi konsekuensi langsung dari tindakan masa lalu. Krisis kebakaran hutan saat ini mencerminkan perluasan kota yang tak terkendali selama beberapa dekade, yang menekankan biaya mengabaikan batas-batas ekologis. Kebakaran hutan saat ini diperparah oleh pemanasan global—konsekuensi berkelanjutan dari emisi karbon era industri. Gagasan perjalanan waktu sering kali berfungsi sebagai peringatan, mendesak kita agar mengubah lintasan kita guna mencegah hasil yang membawa bencana. Jika pola saat ini terus berlanjut, kebakaran hutan di masa mendatang mungkin akan menjadi lebih dahsyat. Mesin waktu menantang kita membuat pilihan yang berkelanjutan sekarang.
Kisah perjalanan waktu sering mengungkap bagaimana 'history repeats itself unless lessons are learned'. Kebakaran hutan telah menjadi bagian dari ekosistem California selama berabad-abad, tetapi campur tangan manusia (atau kurangnya campur tangan?) telah memperburuk intensitas dan frekuensinya. Belajar dari bencana masa lalu—semisal Kebakaran Camp 2018—dapat membantu mencegah bencana di masa mendatang. Kebakaran hutan, yang dikenal sebagai Sunset Fire, baru-baru ini terjadi di Hollywood Hills, yang mendorong evakuasi dan mengancam landmark di dekatnya.
Daerah yang paling terdampak di Los Angeles dari kebakaran hutan baru-baru ini meliputi: Pacific Palisades, Kebakaran Palisades telah membakar lebih dari 23.000 hektar dan menghancurkan lebih dari 1.000 bangunan, yang menyebabkan evakuasi yang signifikan; Kebakaran Eaton, kebakaran ini telah berdampak pada Los Angeles utara, menghabiskan lebih dari 14.000 hektar dan juga mendorong evakuasi. Hollywood Hills, Sunset Fire telah mengancam daerah ikonik ini, merusak rumah-rumah di sepanjang Sunset Boulevard; Pasadena, penduduk telah menghadapi evakuasi dan kerusakan properti karena kebakaran menyebar dari daerah sekitarnya.

Tiada bukti kredibel yang mendukung klaim bahwa kebakaran hutan di Los Angeles ini digunakan sebagai dalih untuk membangun 'Smart City'. Kebakaran hutan tersebut terutama disebabkan oleh kombinasi kondisi kekeringan ekstrem, suhu tinggi, dan angin kencang Santa Ana, yang telah membuat lingkungan yang sangat mudah terbakar. Investigasi terhadap penyebab spesifik kebakaran masih berlangsung, dengan para pejabat mengesampingkan sumber umum penyulutnya semisal petir dan sebaliknya berfokus pada aktivitas manusia dan saluran utilitas sebagai pemicu potensial. Kebakaran hutan telah mengakibatkan kerusakan yang berarti, dengan puluhan ribu hektar lahan terbakar dan ribuan rumah hilang. Situasi tersebut telah menarik perhatian pada implikasi yang lebih luas dari perubahan iklim terhadap perilaku kebakaran di California.
Setidaknya 24 orang telah kehilangan nyawa akibat kebakaran tersebut. Sekitar 150.000 penduduk telah dievakuasi dari rumah mereka. Lebih dari 12.000 bangunan telah hancur, termasuk rumah, bisnis, dan tempat bersejarah budaya. Sekitar 64.000 orang tak punya listrik karena kerusakan pada jaringan listrik. Kerugian ekonomi diperkirakan antara $135 miliar dan $150 miliar, yang berpotensi menjadikan kebakaran hutan ini sebagai bencana alam paling mahal dalam sejarah AS. Kebakaran tersebut telah secara signifikan memperburuk kualitas udara, menimbulkan risiko kesehatan bagi penduduk, terutama mereka yang memiliki masalah pernapasan. Landmarks atau tempat bersejarah seperti Will Rogers Ranch House dan Pasadena Jewish Temple and Center luluh lantak. Petugas pemadam kebakaran berjuang melawan angin kencang, yang menghambat upaya penanggulangan dan menimbulkan risiko penyebaran lebih lanjut. Pihak berwenang, termasuk Biro Alkohol, Tembakau, dan Senjata Api, sedang menyelidiki kemungkinan penyebabnya, dengan kecurigaan mulai dari pembakaran hingga peralatan yang rusak. Situasinya tetap kritis, dengan layanan darurat bekerja tanpa lelah menangani bencana dan mendukung masyarakat yang terkena dampaknya.

Ada banyak teori konspirasi seputar kebakaran hutan di Los Angeles dan wilayah lain di California. Meskipun teori-teori ini tak punya bukti kuat dan sering dibantah, teori-teori ini cenderung muncul selama atau seusai peristiwa kebakaran hutan besar.
Beberapa penganut teori konspirasi mengklaim bahwa kebakaran hutan disebabkan oleh senjata berteknologi tinggi, seperti laser atau sinar energi terarah, yang secara sengaja menargetkan area tertentu. Teori ini sering mendapat perhatian ketika foto atau video pola kebakaran yang tak biasa dibagikan secara daring, meskipun pola tersebut biasanya dapat dijelaskan oleh perilaku kebakaran alami, angin, dan kondisi bahan bakar.
Teori lain menyatakan bahwa kebakaran hutan sengaja dilakukan atau dibiarkan menyebar untuk membuka lahan bagi proyek pemerintah, pembangunan perumahan, atau kepentingan perusahaan. Para pendukung teori ini percaya bahwa kebakaran merupakan strategi untuk memaksa orang keluar dari area tertentu demi keuntungan ekonomi.
Beberapa pihak menduga bahwa aktivis atau kelompok lingkungan sengaja membakar hutan untuk menarik perhatian pada perubahan iklim atau isu ekologi. Pihak lain meyakini pembakaran hutan dilakukan untuk memanipulasi sentimen publik tentang kebijakan pengelolaan hutan atau penebangan.
Climate Engineering (Rekayasa Iklim), teori ini menyatakan bahwa kebakaran hutan merupakan hasil sampingan dari eksperimen rekayasa geo, seperti program modifikasi cuaca yang melibatkan bahan kimia yang disebarkan ke atmosfer. Para pendukung teori ini berpendapat bahwa aktivitas semacam itu mengganggu pola cuaca, membuat daerah lebih rentan terhadap kekeringan dan kebakaran.

Untuk mengungkap teori konspirasi dan menghubungkannya dengan realitas kejadian kebakaran hutan, mari kita analisis setiap teori lebih dalam sambil mempertimbangkan temuan ilmiah dan interpretasi logis.
Senjata Energi Terarah (Directed Energy Weapons, DEWs). Para pendukung teori ini, berpendapat bahwa senjata berbasis laser digunakan untuk menyalakan api secara sengaja. Mereka mengutip gambar 'pola pembakaran yang tidak biasa,' seperti mobil yang meleleh di samping tumbuhan yang tidak terbakar, sebagai 'bukti.' Pola pembakaran yang tak biasa sering kali disebabkan oleh arah angin, intensitas api, dan mudah terbakarnya material. Misalnya, mobil terbuat dari logam dan plastik, yang dapat terbakar di bawah panas yang tinggi, sementara beberapa tanaman menahan kelembapan dan tahan terbakar. Energi yang dibutuhkan untuk menyalakan api dari luar angkasa atau dari jarak jauh dengan presisi akan sangat besar dan tak praktis dengan teknologi saat ini. Misinformasi mungkin menyebar dengan cepat selama bencana, dan foto-foto yang tak sesuai konteks memicu teori-teori ini. Penyebab sebenarnya kemungkinan adalah komunikasi yang buruk dan kesalahpahaman tentang dinamika kebakaran.
Government or Corporate Land Grabs (Perampasan Lahan oleh Pemerintah atau Perusahaan). Teori ini mengklaim bahwa kebakaran hutan diatur untuk membersihkan lahan bagi pembangunan bernilai tinggi, infrastruktur, atau proyek perusahaan. Meskipun ada konflik penggunaan lahan, tiada bukti kredibel yang menghubungkan kebakaran hutan dengan pembukaan lahan yang sistematis dan disengaja untuk proyek-proyek tersebut. Undang-undang lingkungan di California mempersulit pembebasan lahan dari area yang terbakar. Perluasan kota ke area rawan kebakaran hutan menciptakan persepsi adanya penargetan, tetapi hal ini lebih merupakan cerminan dari pertumbuhan populasi dan permintaan perumahan. Fokus semestinya beralih ke perdebatan kebijakan tentang pencegahan kebakaran hutan dan perencanaan kota daripada teori yang belum terbukti. Perencanaan yang buruk di zona berisiko tinggi merupakan masalah nyata.
Terorisme Ekologi atau Sabotase. Beberapa orang mengklaim kebakaran hutan dimulai oleh aktivis untuk mempromosikan agenda lingkungan atau oleh faksi politik demi memanipulasi kebijakan.
Meskipun sebagian kecil kebakaran hutan disebabkan oleh pembakaran, tindakan ini jarang dikaitkan dengan gerakan terorganisasi. Lebih sering, kebakaran hutan merupakan hasil dari individu dengan niat jahat atau kelalaian. Perubahan iklim merupakan masalah yang mendesak, dan kebakaran hutan merupakan hasil sampingan alami dari meningkatnya suhu global. Hubungannya logis tetapi tak diatur. Kampanye kesadaran seputar kebakaran hutan dan perubahan iklim memang diperlukan, tetapi tak boleh disamakan dengan konspirasi. Pendidikan dan aksi iklim merupakan alat yang lebih baik guna mengatasi akar penyebabnya.
Rekayasa Iklim. Sebagian orang percaya kebakaran hutan terjadi akibat eksperimen rekayasa geo (misalnya, "chemtrails") yang mengganggu pola cuaca atau secara sengaja mengeringkan suatu wilayah.
Riset rekayasa geo memang ada, tetapi fokusnya pada solusi teoritis bagi perubahan iklim, bukan manipulasi cuaca. Tiada bukti yang mendukung klaim tentang membuat kekeringan yang disengaja. Kebakaran hutan di California diperburuk oleh kombinasi perubahan iklim (kondisi yang lebih panas dan kering), pengelolaan hutan yang buruk, dan angin musiman semisal Santa Ana. Ini merupakan fenomena alam, bukan hasil rekayasa. Perubahan iklim tak dapat disangkal terkait dengan tingkat keparahan kebakaran hutan. Kebijakan-kebijakan yang berfokus pada pengurangan emisi gas rumah kaca dan adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan respons praktis terhadap krisis.
Teori-teori konspirasi ini tak didukung oleh bukti yang kredibel. Penyebab kebakaran hutan didokumentasikan dengan baik oleh para ahli dan mencakup faktor alam (seperti sambaran petir) dan aktivitas manusia (semisal kerusakan jaringan listrik, api unggun, dan pembakaran). Perubahan iklim, pengelolaan hutan yang buruk, dan meningkatnya hubungan antara perkotaan dan hutan belantara memperburuk frekuensi dan intensitas kebakaran ini.
Lha trus, nape sih teori-teori ini muncul? Masyarakat kadang gak percaya pada lembaga pemerintah dan perusahaan, yang menyebabkan mereka mempertanyakan penjelasan resmi. Media sosial memperkuat spekulasi dan klaim yang tak terverifikasi, terutama selama peristiwa yang menegangkan semisal kebakaran hutan. Ilmu pengetahuan tentang kebakaran hutan dan perubahan iklim sifatnya bernuansa, sehingga teori yang terlalu disederhanakan atau disalahartikan mudah berkembang.
Penjelasan yang paling masuk akal akan meningkatnya kebakaran hutan adalah kombinasi faktor alam dan faktor yang disebabkan manusia, terutama yang terkait dengan perubahan iklim dan pengelolaan lahan. Sementara teori konspirasi menyoroti ketidakpercayaan masyarakat dan tuntutan tentang penjelasan yang sederhana, mengatasi masalah ini memerlukan fokus pada, antara lain, penguatan strategi pencegahan dan respons kebakaran hutan; penerapan kebijakan penggunaan lahan yang berkelanjutan; dan investasi dalam mitigasi perubahan iklim.

Mesin waktu menawarkan momen introspeksi bagi individu dan masyarakat. Merenungkan kerugian pribadi yang disebabkan oleh kebakaran hutan menggarisbawahi perlunya tindakan kolektif. Sama seperti mesin waktu yang sering menyoroti keterkaitan tindakan, kebakaran hutan mengingatkan kita tentang tanggung jawab kolektif dalam mengatasi perubahan iklim.
Sekarang mari kita telusuri lebih jauh hubungan antara Sunnatullah, bencana alam seperti kebakaran hutan di Los Angeles, dan implikasi yang lebih luas dari ketegangan politik, termasuk peringatan Presiden terpilih Donald Trump tentang Timur Tengah.

Pertama, bencana alam berdasarkan sunnatullah. Bencana alam, semisal kebakaran hutan di Los Angeles, merupakan manifestasi hukum Allah yang mengatur alam semesta. Peristiwa-peristiwa ini tak terjadi secara acak, tapi terjadi dalam kerangka hikmah dan keadilan Ilahi. Dalam Islam, manusia dipandang sebagai pengurus (khalifah) Bumi, yang dipercayakan merawat dan memeliharanya. Al-Quran menyatakan,
وَاِلٰى ثَمُوْدَ اَخَاهُمْ صٰلِحًا ۘ قَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗ ۗهُوَ اَنْشَاَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيْهَا فَاسْتَغْفِرُوْهُ ثُمَّ تُوْبُوْٓا اِلَيْهِ ۗاِنَّ رَبِّيْ قَرِيْبٌ مُّجِيْبٌ
'Kepada (kaum) Samud (Kami utus) saudara mereka, Shalih. Ia berkata, 'Wahai kaumku, sembahlah Allah! Sekali-kali tiada tuhan bagimu selain Dia. Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya (Manusia dijadikan penghuni dunia untuk menguasai dan memakmurkannya). Oleh karena itu, mohonlah ampunan kepada-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Rabbku sangat dekat lagi Maha Memperkenankan (doa hamba-Nya)..' [QS. Hud (11):61]
Kehancuran luas yang disebabkan oleh kebakaran hutan seringkali dapat ditelusuri kembali kepada kelalaian manusia, semisal perubahan iklim akibat konsumsi berlebihan dan aktivitas industri; penggundulan hutan yang mengganggu ekosistem; dan perencanaan kota yang buruk, mengabaikan risiko yang ditimbulkan oleh kekuatan alam.

Sunnatullah dalam konteks ini mengingatkan kita bahwa dikala manusia melanggar keseimbangan (mizan) yang telah ditetapkan oleh Allah, maka akibatnya tak terelelakkan. Hal ini sejalan dengan peringatan Al-Quran,
اَلَّا تَطْغَوْا فِى الْمِيْزَانِ وَاَقِيْمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيْزَانَ
'Agar kamu tak melampaui batas dalam timbangan itu. Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi timbangan itu.' [QS. Ar-Rahman (55):8-9]
Bencana alam punya banyak tujuan dalam teologi Islam. Sebagai pengingat akan Kekuasaan Allah, bencana alam menunjukkan kekuasaan Allah, mengingatkan manusia bahwa meskipun teknologi mereka maju, mereka tetap bergantung kepada-Nya. Bencana alam merupakan ujian keimanan dan kesabaran. Bagi orang beriman, cobaan seperti itulah kesempatan menunjukkan kesabaran (sabr) dan ketergantungan kepada Allah (tawakkal). Bencana alam juga merupakan kesempatan untuk bertobat. Al-Quran menghubungkan cobaan dengan kesempatan untuk mereformasi moral dan spiritual,
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَآ اِلٰٓى اُمَمٍ مِّنْ قَبْلِكَ فَاَخَذْنٰهُمْ بِالْبَأْسَاۤءِ وَالضَّرَّاۤءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُوْنَ
'Sungguh, Kami telah mengutus (para rasul) kepada umat-umat sebelum engkau, (tetapi mereka membangkang,) kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kemelaratan dan kesengsaraan, agar tunduk merendahkan diri (kepada Allah).' [QS. Al-An'am (6):42]
Oleh karenanya, kebakaran hutan dapat menjadi momen refleksi bersama: Sudahkah kita menjalankan peran kita sebagai pengelola Bumi? Selaraskah hidup kita dengan hukum alam yang telah ditetapkan Allah?

Berikutnya, ketegangan politik dan sunnatullah. Peringatan Presiden terpilih Donald Trump bahwa 'all hell will break out" in the Middle East if hostages are not freed (neraka akan pecah" di Timur Tengah jika sandera tak dibebaskan) mencerminkan keseimbangan kekuatan yang genting dalam politik global. Islam memberikan panduan tentang hakikat kekuasaan, kepemimpinan, dan konflik, yang dapat dianalisis berdasarkan Sunnatullah.
وَلَا تَرْكَنُوْٓا اِلَى الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُۙ وَمَا لَكُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ مِنْ اَوْلِيَاۤءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُوْنَ
'Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim sehingga menyebabkan api neraka menyentuhmu, sedangkan kamu tak mempunyai seorang penolong pun selain Allah, kemudian kamu takkan diberi pertolongan.' [QS. Hud (11):113]
Retorika Trump, jika mengarah pada eskalasi yang tak perlu, dapat mengakibatkan penderitaan manusia yang sangat besar. Retorika ini mencerminkan prinsip Al-Quran bahwa ambisi atau kesombongan yang tak terkendali, kerap berujung pada bencana.
Islam mengajarkan bahwa ketika penindasan (zulm) meluas, maka akan mengundang konsekuensi Ilahi. Al-Quran menuturkan kisah bangsa-bangsa masa lalu yang hancur oleh ketiranian mereka,
وَكَاَيِّنْ مِّنْ قَرْيَةٍ عَتَتْ عَنْ اَمْرِ رَبِّهَا وَرُسُلِهٖ فَحَاسَبْنٰهَا حِسَابًا شَدِيْدًاۙ وَّعَذَّبْنٰهَا عَذَابًا نُّكْرًا
'Betapa banyak (penduduk) negeri yang mendurhakai perintah Rabb mereka dan rasul-rasul-Nya, maka Kami buat perhitungan terhadap penduduk negeri itu dengan perhitungan yang ketat, dan Kami azab mereka dengan azab yang mengerikan.' [QS. At-Talaq (65):8]
Jika tindakan politik mengabaikan keadilan, kedamaian, dan kesucian hidup, tindakan tersebut berisiko melanggengkan siklus kekerasan yang dapat melanda kawasan tersebut dan sekitarnya.

Dari sudut pandang Islam, ranah alam dan politik saling terkait erat, karena keduanya beroperasi berdasarkan Sunnatullah. Manusia bertanggungjawab atas tindakan kolektifnya, baik dalam cara mereka memperlakukan lingkungan maupun cara mereka mengelola konflik. Sama seperti mengabaikan tanggungjawab lingkungan dapat menyebabkan bencana semisal kebakaran hutan, mengabaikan keadilan dalam masalah politik dapat menyebabkan kekacauan yang meluas. Keduanya merupakan pengingat akan perlunya menyelaraskan tindakan manusia dengan tuntunan Ilahi. Sifat dunia saat ini yang saling terhubung berarti bahwa tiada bangsa atau individu yang dapat bertindak sendiri. Kebakaran di Los Angeles atau krisis politik di Timur Tengah mempengaruhi semua orang. Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Tamsil orang-orang mukmin dalam cinta, kasih-sayang, dan welas-asih mereka ibarat satu tubuh: Jika satu bagian tubuh terasa sakit, seluruh tubuh merespons dengan tak bisa tidur dan demam.' (HR Bukhari & Muslim)
Islam menganjurkan upaya proaktif untuk mengatasi krisis lingkungan dan politik. Upaya ini meliputi: mengakui kesalahan kolektif dan menohon petunjuk kepada Allah; bekerja lintas komunitas dan negara guna menemukan solusi yang adil bagi krisis; membantu mereka yang terkena dampak bencana dan konflik, dan memenuhi seruan Al-Quran agar membantu yang tertindas.

Dalam Islam, sifat arogan atau angkuh (kibr) merupakan sifat yang sangat dikecam, terutama pada pemimpin. Kepemimpinan membawa tanggungjawab besar untuk bertindak adil dan rendah hati, karena konsekuensi dari keputusan mereka mempengaruhi banyak orang. Disaat pemimpin bertindak arogan—mengabaikan keadilan, kebenaran, dan petunjuk Ilahi—seringkali menyebabkan kerusakan yang meluas.
Al-Quran kerap membahas tentang kejatuhan para pemimpin yang arogan yang menentang perintah Allah dan menindas rakyatnya semisal Firaun, kaum 'Ad, dan Tsamud. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa kesombongan seringkali mengundang peringatan Allah, melalui cobaan atau bencana, yang memberi para pemimpin dan bangsa kesempatan bertobat dan mengubah cara hidup mereka.
Bencana dan krisis mengingatkan manusia akan kerentanannya dan perlunya kerendahan hati di hadapan Allah. Bencana dan krisis menjadi kesempatan bagi para pemimpin dan individu untuk mengakui kesalahan mereka, bertobat kepada Allah, dan menyelaraskan kembali tindakan mereka dengan keadilan dan belas kasih. Peristiwa seperti kebakaran hutan dan ketidakstabilan politik mengingatkan kita bahwa kekuatan manusia terbatas. Pemimpin, tak peduli seberapa berpengaruhnya, pada akhirnya tunduk pada ketetapan Allah,
وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۚ اِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْاَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُوْلًا
'Janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong karena sesungguhnya engkau takkan dapat menembus bumi dan takkan mampu menjulang setinggi gunung (manusia dengan segala keangkuhannya, tetaplah mahluk yang lemah dan kecil).' [QS. Al-Isra (17):37]
Ketika para pemimpin terus menerus bersikap arogan, korup atau merusak, ataupun tidak adil, hukum-hukum Ilahi Sunnatullah akan membawa konsekuensi yang tak dapat dihindari. Para pemimpin yang bertindak egois atau gegabah sering memunculkan efek berantai berupa ketidakstabilan, penderitaan, dan kehancuran—baik bagi diri mereka sendiri maupun bagi mereka yang berada di bawah kekuasaannya. Terkadang, malapetaka merupakan konsekuensi dari arogansi atau pengabaian kolektif. Misalnya, bencana lingkungan semisal kebakaran hutan dapat terjadi akibat kesalahan pengelolaan manusia selama bertahun-tahun dan mengabaikan hukum alam Allah. Retorika Presiden terpilih Donald Trump, khususnya pernyataan bahwa 'neraka akan pecah' jika sandera di Timur Tengah tidak dibebaskan, mencerminkan pendekatan yang dapat meningkatkan ketegangan dan kerusakan. Bahasa seperti itu dapat dikaitkan dengan arogansi, karena hal itu menyampaikan: pertama, terlalu percaya diri pada kekuasaan, percaya bahwa kekuatan atau ancaman dapat menyelesaikan konflik yang berakar dalam, tanpa mengatasi ketidakadilan atau keluhan yang mendasarinya. Kedua, mengabaikan konsekuensinya. Para pemimpin yang arogan dapat bertindak tanpa mempertimbangkan implikasi yang lebih luas dari tindakan mereka, yang menyebabkan kerusakan dan penderitaan yang lebih besar. Jika tindakan-tindakan seperti itu bersumber dari kesombongan dan tak diperbaiki, maka hal ini sesuai dengan prinsip Al-Quran tentang konsekuensi bagi pemimpin yang menindas,
وَلَا تَحْسَبَنَّ اللّٰهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظّٰلِمُوْنَ ەۗ اِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيْهِ الْاَبْصَارُۙ
'Janganlah sekali-kali engkau mengira bahwa Allah lengah terhadap apa yang orang-orang zalim perbuat. Sesungguhnya Dia menangguhkan mereka sampai hari ketika mata (mereka) terbelalak.' [QS. Ibrahim (14):42]
Peristiwa terkini—kebakaran hutan di Los Angeles dan ketegangan politik di Timur Tengah—dapat dilihat sebagai peringatan sekaligus konsekuensi, tergantung pada konteks dan cara penanganannya. Jika peristiwa tersebut merupakan hasil dari kesombongan manusia, maka peristiwa tersebut berfungsi sebagai pengingat yang jelas tentang hukum-hukum Ilahi (Sunnatullah) yang mengatur dunia. Para pemimpin, khususnya mereka yang berada di posisi yang berpengaruh besar, bertanggungjawab agar bertindak dengan rendah hati, adil, dan berwawasan ke depan, agar mereka tak menghadapi konsekuensi dari tindakan mereka.
Dengan mengakui peristiwa-peristiwa ini sebagai kesempatan untuk refleksi dan reformasi, baik individu maupun bangsa dapat menyelaraskan kembali diri mereka dengan prinsip-prinsip keadilan, kerendahan hati, dan ketergantungan kepada Allah.
Sunnatullah terlihat jelas dalam keseimbangan dan keteraturan alam semesta. Sebagaimana hukum fisika semisal gravitasi tak dapat diubah, demikian pula hukum moral dan spiritual yang mengatur perilaku manusia. Memahami hukum-hukum ini memerlukan refleksi dan kesadaran spiritual. Tak bisa belajar dari sejarah dan tanda-tanda Sunnatullah, itu disebabkan oleh kebutaan spiritual, bukan keterbatasan fisik. Al-Quran menyatakan,
اَفَلَمْ يَسِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَتَكُوْنَ لَهُمْ قُلُوْبٌ يَّعْقِلُوْنَ بِهَآ اَوْ اٰذَانٌ يَّسْمَعُوْنَ بِهَاۚ فَاِنَّهَا لَا تَعْمَى الْاَبْصَارُ وَلٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوْبُ الَّتِيْ فِى الصُّدُوْرِ
'Tidakkah mereka berjalan di bumi sehingga hati mereka dapat memahami atau telinga mereka dapat mendengar? Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang berada dalam dada.' [QS. Al-Hajj (22):46]
Sunnatullah memastikan bahwa mereka yang mengabaikan refleksi dan menolak petunjuk akan menghadapi konsekuensi dari tindakan mereka. Sunnatullah bersifat konstan, yang menegaskan bahwa hasil dari tindakan manusia, baik ketaatan maupun pembangkangan, akan selalu mengikuti pola Ilahi. Wallahu a'lam."