"Menentukan apakah 'pendidikan gratis' atau 'program makanan gratis' lebih baik bagi Indonesia bergantung pada tujuan, tantangan saat ini, dan kebutuhan masyarakat. Kedua inisiatif tersebut membahas isu-isu penting—pendidikan dan gizi—tetapi punya dampak yang berbeda. Pendidikan gratis memiliki kelebihan dan tantangannya sendiri," lanjut sang penjelajah waktu. "Pendidikan gratis menghilangkan hambatan finansial, sehingga lebih banyak anak dapat bersekolah, terutama di keluarga berpenghasilan rendah. 'Education for All: Global Monitoring Report 2006' oleh UNESCO menekankan bahwa pendidikan gratis amatlah penting bagi meningkatkan literasi dan mempromosikan mobilitas sosial. Laporan tersebut menyoroti bahwa literasi merupakan hak asasi manusia yang mendasar dan landasan pembelajaran lebih lanjut, penting bagi pemberdayaan individu dan pembangunan masyarakat.
Literasi menawarkan banyak manfaat yang berkontribusi pada pertumbuhan individu dan masyarakat. Literasi meningkatkan harga diri dan pemberdayaan dengan memperluas pilihan pribadi dan memfasilitasi akses ke hak-hak dasar lainnya, yang mendorong perkembangan individu. Individu yang melek huruf lebih mungkin turut dalam kegiatan politik, berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dan berkontribusi dalam memperkuat proses demokrasi. Literasi juga memungkinkan para individu mempertanyakan norma dan sikap masyarakat, memperkaya keterlibatan budaya dan mempromosikan kesadaran sosial. Selain itu, literasi mengarah pada hasil kesehatan yang lebih baik dengan meningkatkan pengetahuan tentang perawatan kesehatan, keluarga berencana, dan pencegahan penyakit, sekaligus mendorong orang tua mendidik anak-anak mereka, sehingga memutus siklus buta huruf. Secara ekonomi, investasi dalam literasi menghasilkan keuntungan yang substansial dengan meningkatkan kemampuan kerja, mengurangi kemiskinan, dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Dengan mengatasi manfaat yang saling terkait ini, literasi berfungsi sebagai alat yang ampuh memberdayakan individu dan mendorong kemajuan masyarakat.
Berinvestasi dalam pendidikan gratis akan meningkatkan tenaga kerja terampil, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan mengurangi kemiskinan dari generasi ke generasi. 'The Economics of Education' (2020, Academic Press) karya Steve Bradley dan Colin Green mengeksplorasi bagaimana pendidikan memengaruhi hasil ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Pendidikan dipandang sebagai investasi dalam modal manusia, membekali individu dengan keterampilan dan pengetahuan yang meningkatkan produktivitas mereka. Bradley dan Green menekankan bagaimana akses gratis ke pendidikan memastikan bahwa lebih banyak orang, terlepas dari latarbelakang sosial ekonomi mereka, dapat memperoleh keterampilan ini, yang mengarah pada tenaga kerja yang lebih besar dan lebih cakap.
Bradley dan Green meneliti bagaimana tenaga kerja terampil berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Individu yang berpendidikan tinggi berinovasi, beradaptasi dengan teknologi baru, dan meningkatkan efisiensi dalam proses produksi, sehingga mendorong perluasan ekonomi. Pendidikan gratis menghilangkan hambatan finansial, memastikan bahwa bakat tak terbuang sia-sia oleh kendala ekonomi, sehingga memaksimalkan potensi pertumbuhan ekonomi.
Mereka menyoroti peran pendidikan dalam memutus siklus kemiskinan. Dengan akses ke pendidikan gratis, anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah dapat memperoleh keterampilan yang mengarah pada pekerjaan dengan gaji lebih tinggi. Hal ini meningkatkan standar hidup dan keturunan mereka. Dari generasi ke generasi, seiring dengan semakin banyaknya orang yang mengakses pendidikan, ketimpangan pendapatan masyarakat cenderung menurun, dan tingkat kemiskinan secara keseluruhan pun menurun.
Bradley dan Green membahas bagaimana manfaat pendidikan tak semata dirasakan oleh individu. Orangtua yang berpendidikan cenderung lebih menginvestasikan uangnya pada pendidikan dan kesehatan anak-anak mereka, sehingga menciptakan siklus umpan balik positif lintas generasi.
Mereka menggarisbawahi landasan rasional ekonomi bagi pendanaan publik terhadap pendidikan. Pendidikan gratis bukan sekadar barang sosial, melainkan investasi ekonomi dengan keuntungan tinggi. Masyarakat dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi mengalami tingkat kejahatan yang lebih rendah, hasil kesehatan yang lebih baik, dan partisipasi masyarakat yang lebih kuat, yang secara tak langsung meningkatkan stabilitas ekonomi. Analisis Bradley dan Green mendukung gagasan bahwa berinvestasi dalam pendidikan gratis membangun efek berantai: pendidikan gratis mengembangkan tenaga kerja terampil, mendorong inovasi dan produktivitas, serta mengurangi kemiskinan melalui kesempatan kerja yang lebih baik dan transfer kekayaan antargenerasi. Investasi ini tak hanya meningkatkan kehidupan individu tapi juga memperkuat ekonomi dan masyarakat yang lebih luas.
Pendidikan gratis mendorong kesetaraan gender dengan memungkinkan anak perempuan mengakses pendidikan tanpa kendala finansial. Laporan Oxfam International 'Educating Girls: Gender Equality in Education' (2017) menekankan bahwa pendidikan gratis memainkan peran penting dalam mendorong kesetaraan gender, khususnya dengan mengurangi hambatan finansial yang kerap berdampak tak proporsional pada anak perempuan.
Keluarga dengan sumber daya terbatas sering memprioritaskan pendidikan anak lelaki ketimbang anak perempuan, menganggap anak lelaki sebagai pencari nafkah masa depan. Dengan menyediakan pendidikan gratis, beban keuangan biaya sekolah, seragam, dan perlengkapan sekolah terangkat, sehingga lebih banyak anak perempuan dapat mengakses pendidikan. Pendidikan gratis menyebabkan peningkatan signifikan dalam penerimaan anak perempuan di sekolah, karena biaya merupakan salah satu alasan utama orangtua menahan anak perempuan untuk bersekolah. Hal ini terutama berdampak pada masyarakat berpenghasilan rendah dan daerah pedesaan. Pendidikan membekali anak perempuan dengan keterampilan dan pengetahuan untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Dengan menyediakan akses ke sekolah gratis, anak perempuan lebih mungkin keluar dari siklus kemiskinan dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi, yang menguntungkan keluarga dan masyarakat mereka. Keterbatasan keuangan sering mendorong keluarga menikahkan anak perempuan lebih awal atau melibatkan mereka dalam pekerjaan agar berkontribusi pada pendapatan rumah tangga. Pendidikan gratis menawarkan alternatif dengan memberikan kesempatan bagi anak perempuan agar tetap bersekolah lebih lama, menunda pernikahan dan memiliki anak.
Dengan menyediakan akses pendidikan bagi anak perempuan, masyarakat mulai menyadari pentingnya mendidik anak perempuan. Hal ini membantu menantang dan secara bertahap mengubah norma sosial yang mengutamakan anak lelaki daripada anak perempuan dalam hal pendidikan. Laporan tersebut menyoroti bahwa pendidikan gratis bukan sekadar solusi finansial, melainkan pula katalisator bagi perubahan masyarakat yang lebih luas. Dengan menghilangkan hambatan ekonomi, pendidikan gratis menyeimbangkan persaingan dan memungkinkan anak perempuan menyadari potensi mereka, yang berkontribusi pada kesetaraan gender dan pembangunan keberkelanjutan yang lebih besar.
Akan tetapi, pendidikan gratis punya tantangan tersendiri. Kualitas dapat menurun jika sumber dayanya terlalu terbatas karena tingginya jumlah pendaftar. Infrastruktur, ketersediaan guru, dan relevansi kurikulum tetap menjadi tantangan di daerah pedesaan Indonesia.
Program Makanan Gratis juga memiliki kelebihan dan tantangan tersendiri. Nutrisi yang tepat meningkatkan fungsi kognitif, konsentrasi, dan kehadiran di sekolah, sehingga memberi manfaat pendidikan yang langsung. Dalam School Meals: Building Blocks for Healthy Children (2010, The National Academies Press) oleh Institute of Medicine, hubungan penting antara nutrisi dan pendidikan disorot. Nutrisi yang tepat menyediakan nutrisi penting, seperti glukosa, vitamin, mineral, dan asam lemak omega-3, yang sangat penting bagi perkembangan dan fungsi otak. Otak yang ternutrisi dengan baik memproses informasi dengan lebih efisien, mendukung retensi memori, dan mengembangkan kemampuan memecahkan masalah, yang sangat penting untuk pembelajaran. Anak-anak yang mengonsumsi makanan seimbang cenderung tak mengalami gangguan akibat rasa lapar selama jam sekolah. Nutrisi semisal zat besi dan protein berperan dalam menjaga tingkat energi dan fokus, sementara kekurangan dapat menyebabkan kelelahan dan kesulitan berkonsentrasi. Malnutrisi dan kelaparan dikaitkan dengan meningkatnya kerentanan terhadap penyakit dan ketidakhadiran di sekolah. Akses terhadap makanan bergizi dapat membantu anak-anak menjaga kesehatan yang lebih baik, sehingga mereka dapat menghadiri sekolah secara konsisten dan turut-serta dalam kegiatan akademis.
Bila anak-anak diberi makan dengan baik, kemampuan mereka mengikuti pelajaran, berpartisipasi dalam kegiatan kelas, dan menyelesaikan tugas akan meningkat. Program semisal inisiatif makanan sekolah bertujuan mengatasi kekurangan gizi, memastikan bahwa anak-anak dari beragam latarbelakang sosial ekonomi berenergi dan dukungan kognitif yang dibutuhkan bagi pembelajaran yang efektif. Nutrisi yang tepat berperan sebagai dasar bagi kemampuan belajar dan berkembang anak secara akademis dengan secara langsung mempengaruhi fungsi otak, konsentrasi, dan kesehatan, yang sekaligus meningkatkan pengalaman pendidikan mereka.
Program makanan gratis ini memiliki tantangan tersendiri. Biaya yang tinggi dan kendala logistik untuk menjangkau daerah terpencil, serta pengendalian mutu dan kesesuaian makanan.
Mana yang lebih baik untuk Indonesia? Jika kekurangan gizi dan stunting merupakan masalah yang mendesak, program makanan gratis akan berdampak yang lebih langsung. Jika akses pendidikan dan literasi merupakan tantangan utama, pendidikan gratis hendaknya diutamakan.
Ketimbang memilih salah satu di atas yang lain, mengintegrasikan kedua program tersebut dapat memberikan hasil terbaik bagi Indonesia. Pendekatan gabungan selaras dengan contoh global semisal Brasil dan India, dimana inisiatif semacam itu telah berhasil meningkatkan hasil pendidikan dan kesehatan.
Namun sayangnya, banyak masyarakat Indonesia, kecuali 'ternak Mulyono', meragukan program makan gratis di Indonesia ini. Program ini lebih tampak seperti kepentingan politik dinasti yang dijalankan oleh 'nepo baby'. Menggunakan program makan gratis sebagai alat politik, terutama dalam konteks politik dinasti seperti yang dikaitkan dengan 'nepo baby', dapat menimbulkan konsekuensi sosial, ekonomi, dan politik yang signifikan.
Politisi dapat menggunakan program kesejahteraan seperti skema makan siang gratis untuk membangun citra positif, terutama di antara kelompok berpendapatan rendah, guna mengamankan suara dan loyalitas politik. Jika program tersebut dilihat sebagai taktik untuk keuntungan politik dan bukan kesejahteraan yang sebenanrnya, dapat merusak kepercayaan publik terhadap inisiatif pemerintah. Politisi yangberakses ke sumber daya negara, semisal 'nepo baby', dapat memperoleh keunggulan yang tidak adil atas lawan, sehingga merusak persaingan yang demokratis.
Ketika program kesejahteraan dikaitkan dengan tokoh politik tertentu, program tersebut dapat memperkuat dominasi dinasti politik. Para pemilih dapat mengaitkan manfaat ini dengan kepemimpinan keluarga, sehingga kekuasaan mereka semakin kuat. Jika program dianggap berhasil berdasarkan popularitas dan bukan dampak yang terukur, efektivitas dan keberlanjutan program tersebut mungkin tak terlalu diperhatikan.
Anggaran yang seharusnya digunakan secara adil akan terkonsentrasi di area tempat keluarga politik ingin meningkatkan pengaruhnya, sehingga daerah lain kurang terlayani. Program yang dibuat terutama bagi keuntungan politik akan tak punya perencanaan jangka panjang, yang berujung pada pembatalan mendadak atau inefisiensi saat tujuan politik berubah.
Menggunakan program kesejahteraan untuk mendulang suara mendorong budaya Klientelisme dan Patronase, dimana warga negara merasa berkewajiban mendukung politisi tertentu dengan imbalan manfaat. Klientelisme, yang sering disebut sebagai politik klien, merupakan sistem politik yang dicirikan oleh pertukaran barang dan jasa guna dukungan politik. Hubungan ini biasanya melibatkan pengaturan quid pro quo, dimana politisi memberikan manfaat kepada konstituen sebagai imbalan atas dukungan elektoral mereka.
Klientelisme berakar sejarah dalam berbagai konteks sosial, dari Romawi kuno hingga sistem feodal, dimana hubungan yang tak setara merupakan hal yang umum. Meskipun ada prediksi bahwa modernisasi akan memberantas praktik semacam itu, klientelisme tetap ada dalam sistem politik kontemporer. Klientelisme sering dikritik karena mendorong korupsi dan inefisiensi, karena posisi dapat diisi berdasarkan kesetiaan daripada prestasi, yang mengarah pada hasil tatakelola yang buruk. Dalam demokrasi modern, klientelisme dipandang sebagai penghalang bagi keterlibatan dan akuntabilitas demokrasi yang sejati. Hal ini merusak prinsip-prinsip imparsialitas birokrasi dan distribusi sumber daya yang adil, yang sering mengakibatkan "patologi" politik yang menghambat legitimasi demokrasi. Klientelisme didasarkan pada hubungan dua arah antara patron (politisi) dan klien (pemilih), dimana kedua belah pihak memiliki peran dan harapan tertentu. Hubungan klientelisme sifatnya berkelanjutan dan bukan pertukaran sesaat, sehingga mendorong siklus ketergantungan dan harapan antara pihak-pihak yang terlibat.
Patronase merujuk pada dukungan, dorongan, atau bantuan keuangan yang diberikan individu atau organisasi kepada orang lain. Secara historis, patronase telah memainkan peran penting dalam seni, dimana individu atau lembaga kaya mensponsori seniman, musisi, dan penulis. Dukungan ini sering membantu seniman menciptakan dan mempromosikan karya mereka. Patronase yang terkenal termasuk keluarga Medici selama Renaisans, yang mendanai banyak seniman dan proyek untuk meningkatkan status politik dan sosial mereka. Istilah "patron" berasal dari bahasa Latin patronus, yang berarti orang yang memberikan manfaat kepada klien. Sepanjang sejarah, sistem patronase telah dikaitkan dengan hierarki sosial dan dinamika kekuasaan, yang kerap memperkuat struktur kelas. Dalam masyarakat feodal, misalnya, patronase akan menawarkan perlindungan dan sumber daya kepada klien mereka sebagai imbalan atas kesetiaan. Dalam konteks politik, patronase dapat merujuk pada praktik pemberian pekerjaan, kontrak, atau manfaat lain sebagai imbalan atas dukungan politik. Sistem ini dapat menyebabkan favoritisme dan korupsi tetapi terkadang dibenarkan sebagai sarana mengakui dan memberdayakan komunitas minoritas dalam struktur pemerintahan. Patronase juga menggambarkan bisnis yang diberikan kepada tempat usaha semisal toko atau restoran oleh pelanggan tetap. Bentuk patronase ini penting bagi kelangsungan hidup banyak bisnis, karena secara langsung mempengaruhi pendapatan mereka.
Saat ini, patronase terus berkembang. Meskipun tetap menjadi aspek penting dari pendanaan seni dan sistem politik, patronase juga menimbulkan pertanyaan etis tentang favoritisme dan kesetaraan dalam konteks budaya dan pemerintahan.
Jadi, dengan menggunakan program makan siang gratis sebagai alat politik dalam politik dinasti, semisal yang melibatkan 'nepo baby', posisi kepemimpinan akan tak mencerminkan kapabilitas melainkan ikatan keluarga, yang berpotensi mengarah pada pemerintahan yang tidak efektif.
Program kesejahteraan dapat menjadi alat bagi dinasti memperkuat cengkeraman mereka pada struktur politik, menciptakan lingkaran umpan-balik dimana sumber daya negara digunakan mempertahankan dominasi keluarga. Dinasti politik dapat memanfaatkan inisiatif ini untuk menekan oposisi dengan memonopoli sumber daya dan perhatian publik, sehingga mempersulit kandidat alternatif bersaing secara fair. Ketika inisiatif kesejahteraan dikaitkan dengan pencitraan keluarga, garis antara melayani publik dan berkampanye menjadi tak dapat dibedakan, sehingga mengurangi akuntabilitas demokratis.
Dalam jangka panjang, menggunakan program kesejahteraan sebagai alat politik berisiko merusak integritas lembaga demokrasi, melanggengkan ketidaksetaraan, dan menghambat reformasi sistemik. Dinasti politik akan memprioritaskan konsolidasi kekuasaan mereka daripada mengatasi akar penyebab masalah sosial, sehingga lebih memunculkan siklus ketergantungan ketimbang pemberdayaan.
Bayangkan sejenak jika kita punya mesin waktu yang dapat digunakan. Kita dapat kembali dan mengatasi ketidakadilan historis seperti akses yang tak merata terhadap pendidikan atau program gizi yang tak memadai. Namun, kita semestinya punya program pendidikan dan gizi yang memainkan peran sebagai mesin waktu metaforis kita. Program-program ini seharusnya 'menulis ulang masa lalu' dengan mengatasi ketidakadilan yang sudah ada sejak lama semisal kekurangan gizi dan buta huruf. Secara teori, program-program ini semestinya 'menciptakan masa depan' dengan mempersiapkan anak-anak berkembang di dunia yang kelak akan mereka pimpin—bukan meninggalkan warisan seperti 'Warisan Mulyono', yang dipenuhi dengan beban proyek-proyek Mercusuar dan Proyek-proyek Strategis Nasional, yang tampaknya hanya menguntungkan antek-anteknya. Aduhai, masa depan tampak cerah, bukan? Itu takkan berlaku jika dikau mau menanggung beban blunder-blunder yang kemarin!"