"Dahulu kala di desa unik Ngerok, hiduplah seorang petani bernama 'Pak Mul'. Pak Mul bukanlah petani biasa; doi ahli dalam memelihara kodok. Kolamnya dipenuhi kodok dengan beragam rupa, ukuran, dan suara ngerok, membuatnya menjadi buah bibir di kota. Sementara sebagian besar penduduk desa bercocok tanam padi, gandum, dan sayur-sayuran, Pak Mul sangat menyukai kodok," Semar lanjut dengan sebuah cerita. "Para-para kodok Pak Mul kesohor dengan suara ngeroknya yang merdu dan warna-warna cerahnya. Penduduk dari desa-desa sekitar akan berbondong-bondong datang ke desa Ngerok cuma untuk menyaksikan konser kodok setiap malam dan mengagumi pertunjukan para amfibi tersebut. Meskipun berhasil, Pak Mul gak pernah merasa puas. Gak peduli berapa banyak kodok yang dimilikinya, ia selalu menginginkan lebih. Ia bermimpi menjadi Raja Kodok, yang memerintah sebuah kerajaan dengan suara ngerok yang ga'ada habisnya.
Suatu hari, ketika Pak Mul sedang menghitung kodoknya untuk yang kelima puluh kalinya pagi itu, ia menghela napas dramatis dan bergumam, 'Kalau saja aku punya kodok dua kali lebih banyak! Maka aku akan benar-benar menjadi peternak kodok terhebat di seluruh negeri!'
Kabar keserakahan Pak Mul sampai ke telinga Pak Tua yang bijak dan aneh, yang memutuskan mengunjunginya. Pak Tua itu mendapati Pak Mul sedang berdiri di tepi kolamnya, memandangi para-para kodoknya dengan perasaan campur aduk antara bangga dan gak puas.
'Pak Mul,' seru Pak Tua, 'Mengapa dirimu terlihat begitu murung meski punya kolam yang amat indah dan penuh dengan kodok?'
Pak Mul mendongak, terkejut. 'Oh, Pak Tua, kodok-kodokku hebat sekali, tetapi aku butuh lebih banyak lagi. Aku ingin menjadi peternak kodok terhebat sepanjang masa, dan karenanya, aku butuh lebih banyak kodok!'
Pak Tua terkekeh, matanya berbinar-binar nakal. 'Ah, Pak Mul, lihatlah, keagungan sejati gak datang dari punya lebih banyak kodok. Ia datang dari menghargai kodok-kodok yang sudah dikau miliki. Coba deh dengerin cerita ini.'
Pak Mul mengangguk penuh semangat, berharap menemukan rahasia harta-karun kodok yang tak terbatas.
'Dahulu kala, ada seorang petani yang memiliki kolam penuh kodok, seperti kolammu. Namun, alih-alih bersyukur, ia selalu menginginkan lebih. Ia menghabiskan siang dan malamnya menangkap lebih banyak kodok, memenuhi setiap sudut dan celah dengan para kodok. Suatu hari, ia membanggakan diri kepada penduduk desa bahwa ia akan menangkap setiap kodok di negeri itu. Saat ia mengejar seekor kodok yang sangat sulit ditangkap, ia terpeleset dan jatuh ke dalam kolam. Para kodok, yang sudah muak dengan keserakahannya, memutuskan memberinya pelajaran. Mereka mengerok keras, membentuk paduan suara yang bergema di seluruh desa: 'Keserakahan menuntun pada kebodohan, dan kebodohan mambawa masuk ke kolam!' Petani itu, yang basah kuyup dan terhina, belajar bahwa kekayaan sejati terletak pada rasa puas, bukan pada akumulasi yang tak berujung.'
Pak Mul mendengarkan. 'Pak Tua, engkau benar. Saking fokusnya aku mendapatkan lebih banyak kodok, sehingga aku lupa menghargai yang sudah kumiliki.'
Pak Tua menepuk punggung Pak Mul. 'Ingat, Pak Mul, kunci kebahagiaan bukan pada banyaknya kodok yang dikau miliki, tapi pada sukacita yang mereka berikan kepadamu.'
Namun, ternyata Pak Mul punya bakat melupakan sesuatu, dan nasihat Pak Tua hanya masuk kuping kanan dan keluar telinga kiri. Beberapa hari kemudian, sang peternak kodok tampak duduk di singgasana dengan mahkota di hadapan para-para kodoknya, mungkin lagi ngajakin kodoknya itu,'Yuk kita main presiden-presidenan!"
"Sekarang mari kita lanjut dengan topik kita. Alternatif keempat ialah Keterlibatan dan Komunikasi Publik. Fokusnya pada penilaian transparansi pemerintah, strategi komunikasi, dan upaya melibatkan warga negara. Analisis dilakukan terhadap frekuensi dan kejelasan jumpa pers, pernyataan publik, dan upaya penjangkauan semisal rapat umum atau konsultasi publik. Komunikasi yang efektif membangun kepercayaan publik dan menyampaikan akuntabilitas atau rasa tanggungjawab.
Dalam 'The Political Brain: The Role of Emotion in Deciding the Fate of the Nation' (2007, PublicAffairs), Drew Westen menekankan bahwa komunikasi yang efektif dan keterlibatan emosional sangat penting dalam membentuk kepercayaan publik terhadap para pemimpin politik. Westen berpendapat bahwa keputusan pemilih sebagian besar dipengaruhi oleh respons emosional daripada pertimbangan rasional. Ia berpendapat bahwa kampanye politik seringkali gagal jika hanya mengandalkan argumen logis, mengabaikan aspek emosional yang beresonansi dengan para pemilih. Dengan menyusun pesan yang membangkitkan emosi seperti harapan, ketakutan, atau empati, para pemimpin dapat menciptakan hubungan yang lebih kuat dengan para pemilih, sehingga meningkatkan kepercayaan publik. Analisis Westen menggarisbawahi perlunya politisi mengintegrasikan daya tarik emosional ke dalam strategi komunikasi mereka dalam melibatkan dan membujuk publik secara efektif.
Drew Westen menekankan bahwa emosi secara signifikan mempengaruhi pengambilan keputusan politik. Westen berpendapat bahwa pilihan pemilih lebih sering didorong oleh respons emosional daripada analisis rasional. Ia menyarankan bahwa komunikasi politik yang berhasil hendaknya melibatkan aspek emosional pemilih untuk membangun kepercayaan dan dukungan.
Dengan menghubungkan ide-ide ini, 100 hari pertama berfungsi sebagai jendela penting bagi pemerintahan baru dalam melibatkan publik secara emosional. Dengan mengomunikasikan pencapaian secara efektif dan menunjukkan kemajuan selama periode ini, para pemimpin dapat membangkitkan emosi positif seperti harapan dan keyakinan di antara warga negara. Keterlibatan emosional ini sejalan dengan pernyataan Westen bahwa menarik emosi pemilih sangat penting bagi keberhasilan politik.
Oleh karenanya, hubungan antara evaluasi pemerintah selama 100 hari dan karya Westen terletak pada penggunaan strategis periode awal ini untuk menumbuhkan hubungan emosional dengan publik. Dengan memprioritaskan tindakan dan komunikasi yang beresonansi secara emosional, para pemimpin dapat membangun fondasi kepercayaan dan dukungan yang sangat penting bagi keberlangsungan dan efektivitas pemerintahan mereka.
Alternatif kelima ialah Penataan Kelembagaan dan Administrasi. Penataan ini berfokus pada evaluasi pembentukan struktur administrasi yang fungsional dan kompeten. Penataan ini mengkaji pengangkatan pejabat kunci, organisasi kementerian, dan langkah awal dalam mereformasi proses birokrasi. Administrasi yang terorganisasi dengan baik sangat penting dalam melaksanakan kebijakan secara efisien.
Dalam Presidential Power and the Modern Presidents: The Politics of Leadership from Roosevelt to Reagan karya Richard E. Neustadt (1991, Free Press), kompetensi kelembagaan pada tahap awal masa jabatan presiden ditekankan sebagai hal yang penting guna membangun fondasi kepemimpinan yang efektif. Kerangka kerja Neustadt berfokus pada kemampuan presiden mempengaruhi orang lain dalam struktur kelembagaan dan politik pemerintahan, dan kompetensi kelembagaan memainkan peran penting dalam hal ini.
Neustadt berpendapat bahwa tahap awal masa jabatan presiden sangat penting karena tahap tersebut membentuk pola perilaku, proses pengambilan keputusan, dan hubungan dengan pemangku kepentingan utama. Penggunaan sumber daya kelembagaan yang efektif menandakan kompetensi dan kewenangan kepada Kongres, birokrasi, dan publik.
Kompetensi awal dalam mengelola cabang eksekutif dan menavigasi dinamika kelembagaan memperkuat kredibilitas presiden. Neustadt menekankan bahwa kewenangan presiden sebagian besar berakar pada persepsi kekuatan dan efektivitas, yang dibentuk oleh seberapa baik mereka menangani tantangan kelembagaan sejak awal.
Neustadt mencatat bahwa kemampuan presiden menentukan dan mengejar prioritas sangat bergantung pada pemahaman kelembagaan mereka. Kesalahan langkah organisasi di awal dapat menyia-nyiakan modal politik dan mempersulit memajukan agenda mereka di kemudian hari.
Kompetensi kelembagaan mencakup pemahaman dan pemanfaatan hubungan antara kepresidenan dan cabang pemerintahan lainnya, terutama Kongres. Neustadt menekankan bahwa persuasi dan negosiasi merupakan keterampilan yang penting, dan keterampilan ini memerlukan pengetahuan kelembagaan dan wawasan strategis.
Alternatif keenam adalah Keterlibatan Legislatif. Berfokus pada peninjauan kemampuan pemerintah berkolaborasi dengan legislatif atau badan pemerintahan lainnya, dengan menganalisis proposal legislatif yang diajukan, perdebatan yang diadakan, dan tingkat kerjasama bipartisan atau multipartai yang dicapai. Metode ini menggarisbawahi pentingnya membangun koalisi dan demokrasi yang fungsional. Dalam Congress and the Presidency: Institutional Politics in a Separated System karya Louis Fisher dan David M. Abshire (1998, University Press of Kansas), para penulis mengeksplorasi dinamika antara cabang eksekutif dan legislatif dalam sistem pemerintahan Amerika Serikat yang terpisah. Mereka menekankan perlunya kolaborasi dan rasa saling menghormati guna memastikan pemerintahan yang efektif, karena kedua cabang memiliki kewenangan dan tanggungjawab yang saling tumpang tindih, yang memerlukan negosiasi dan kompromi.
Inkompetensi atau salah urus di awal masa jabatan presiden dapat menyebabkan kekacauan internal dan persepsi kelemahan eksternal. Neustadt menyoroti bahwa kesalahan dalam mengelola staf Gedung Putih, menyiapkan struktur penasihat, atau menangani krisis dapat mengakibatkan kerusakan jangka panjang pada pengaruh presiden. Neustadt menggarisbawahi bahwa kompetensi kelembagaan bukan hanya tentang efisiensi organisasi, tetapi tentang kemampuan presiden untuk mendapatkan rasa hormat, mengelola hubungan, dan membangun basis kekuatan untuk kepemimpinan yang efektif. Pada tahap awal, kompetensi ini berfungsi sebagai landasan untuk mempertahankan otoritas dan mencapai tujuan politik di seluruh pemerintahan.
Konstitusi AS menetapkan sistem pengawasan dan keseimbangan, yang menetapkan kewenangan khusus kepada cabang eksekutif (Presiden) dan legislatif (Kongres). Sementara Presiden memiliki kewenangan melaksanakan undang-undang, Kongres bertanggungjawab membuatnya, beserta fungsi pengawasan memastikan undang-undang dilaksanakan sebagaimana mestinya. Pemisahan ini memerlukan interaksi antara kedua cabang tersebut.
Meskipun memiliki kewenangan yang terpisah, cabang eksekutif dan legislatif harus bekerjasama dalam mencapai tujuan bersama. Misalnya, Kongres bergantung pada Presiden untuk kepemimpinan dalam kebijakan luar negeri, penganggaran, dan keamanan nasional. Presiden bergantung pada Kongres untuk alokasi, otorisasi, dan dukungan legislatif bagi inisiatif kebijakan.
Fisher dan Abshire berpendapat bahwa meskipun konflik antara cabang tak dapat dihindari dan seringkali menyehatkan demokrasi, kolaborasi sangat penting dalam mengatasi masalah nasional yang kompleks. Mereka memberikan contoh dimana kolaborasi telah berhasil dan dimana konflik partisan atau institusional telah menyebabkan kebuntuan.
Karya tersebut menguraikan beberapa mekanisme yang memfasilitasi kolaborasi. Presiden membentuk tim agar bekerja secara langsung dengan Kongres guna membangun dukungan bagi agenda mereka. Upaya bersama antara anggota kedua partai dan cabang membantu menjembatani kesenjangan. Tatakelola yang efektif seringkali mengharuskan para pemimpin memprioritaskan kepentingan nasional jangka panjang daripada keuntungan politik jangka pendek.
Peningkatan polarisasi dapat menghambat kemampuan cabang-cabang dalam menemukan titik temu. Setiap cabang berusaha melindungi kewenangannya, yang menyebabkan ketegangan atas keseimbangan kekuasaan. Media dan ekspektasi publik dapat mempersulit negosiasi dengan mengintensifkan pengawasan atau mempolitisasi isu-isu.
Fisher dan Abshire memberikan contoh historis tentang kolaborasi yang sukses dan yang tak berhasil, dengan menyoroti pelajaran yang dipetik. Contoh-contoh ini menggambarkan bagaimana politik kelembagaan membentuk keseimbangan kekuasaan dan pengaruh antara cabang-cabang.
Salah satu contoh kolaborasi yang paling menonjol adalah disahkannya Marshall Plan. Usai Perang Dunia II, Amerika Serikat menghadapi tantangan membantu Eropa yang dilanda perang membangun kembali perekonomian dan politiknya. Presiden Harry S. Truman dan Kongres bekerjasama merancang dan mendanai inisiatif ambisius ini. Marshall Plan memperoleh dukungan bipartisan yang luas, yang menunjukkan bagaimana rasa tujuan nasional yang bersatu dapat melampaui perbedaan partisan. Truman memberikan kepemimpinan yang kuat, mengartikulasikan pentingnya inisiatif tersebut kepada Kongres dan masyarakat Amerika. Kongres memainkan peran penting dalam memperdebatkan, membentuk, dan mendanai rencana tersebut, memastikannya mendapat dukungan legislatif dan akuntabilitas publik.
Jadi, pelajaran yang dapat dipetik ialah ketika cabang eksekutif dan legislatif berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama, mereka dapat mencapai hasil yang transformatif. Keberhasilan ini menggarisbawahi pentingnya memprioritaskan kepentingan nasional dan internasional di atas perpecahan politik.
Di sisi lain, the War Powers Resolution, yang diberlakukan selama era Perang Vietnam, menggambarkan kegagalan kolaborasi eksekutif-legislatif. Ditolak seusai Presiden Richard Nixon memvetonya, resolusi tersebut berupaya mendapatkan kembali kewenangan konstitusional Kongres untuk menyatakan perang, yang telah terkikis oleh tindakan eksekutif yang berlebihan selama Perang Vietnam. Ketidakpercayaan yang mengakar antara Kongres dan pemerintahan Nixon merusak upaya mencapai konsensus tentang kekuasaan perang. Iklim politik, yang dipengaruhi oleh skandal Watergate dan Vietnam, memperburuk ketegangan antara cabang-cabang kekuasaan. Ambiguitas dalam Implementasi: Bahasa resolusi tersebut tidak jelas, yang menyebabkan perselisihan berkelanjutan atas penerapan dan efektivitasnya.
Pelajaran yang dipetik ialah tindakan sepihak atau ketidakmampuan menumbuhkan kepercayaan antara cabang-cabang kekuasaan dapat menyebabkan kebijakan yang sulit diimplementasikan dan tak bisa menyelesaikan masalah yang mendasarinya. Tatakelola yang efektif memerlukan komunikasi yang jelas, kepercayaan, dan rasa saling menghormati terhadap peran konstitusional.
Marshall Plan berhasil karena para pemimpin memprioritaskan kepentingan nasional dan menjaga jalur komunikasi yang terbuka. The War Powers Resolution menunjukkan bahaya pembuatan kebijakan yang didorong oleh konflik yang tak punya konsensus atau kejelasan. Kolaborasi yang berhasil seringkali berasal dari rasa hormat terhadap batasan kelembagaan dan komitmen bersama terhadap prinsip-prinsip konstitusional.
Fisher dan Abshire berpendapat bahwa kolaborasi antara cabang eksekutif dan legislatif tak hanya diamanatkan oleh konstitusi tetapi juga penting bagi tatakelola yang efektif. Mereka menekankan bahwa saling pengertian, rasa hormat terhadap peran kelembagaan, dan kemauan berkompromi sangat penting guna mengatasi tantangan dan mencapai tujuan nasional. Tanpa kolaborasi, sistem yang terpisah berisiko mengalami inefisiensi, disfungsi, dan erosi kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Kolaborasi antara cabang eksekutif dan legislatif tak melemahkan sistem checks and balances (seperti yang terjadi di negeri Khatulistiwa dimana cabang legislatif hanya bertindak sebagai 'tukang stempel'); sebaliknya, melengkapi dan memperkuatnya. Sistem ini dirancang untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh cabang mana pun dan memastikan tatakelola yang efektif melalui kerjasama dalam batasan konstitusional. Berikut ini bagaimana kolaborasi dalam kerangka kerja checks and balances:
Pertama, tatakelola kolaboratif dalam batasan konstitusional dan peran bersama. Setiap cabang bertanggungjawab yang berbeda tetapi saling bergantung. Misalnya, badan legislatif merancang dan mengesahkan undang-undang, tetapi eksekutif melaksanakannya. Eksekutif merundingkan perjanjian, tetapi badan legislatif meratifikasinya. Pengesahan anggaran tahunan memerlukan negosiasi antara Kongres (kekuasaan keuangan) dan Presiden (kepemimpinan eksekutif). Sementara setiap cabang mengecek kekuasaan cabang lainnya, kolaborasi memastikan pemerintah beroperasi dengan lancar. Bagaimana cara kerja 'checks-nya'? Kongres dapat menolak pendanaan bagi inisiatif eksekutif jika melampaui batas hukum atau tak punya akuntabilitas. Presiden dapat memveto (terjadi di Amrik, tak berlaku di Indonesia) undang-undang yang dianggap merugikan, yang memaksa Kongres meninjau kembali atau bernegosiasi lebih lanjut.
Kedua, pengecekan melalui pengawasan. Walau dalam upaya kolaboratif, badan legislatif tetap melakukan pengawasan guna memastikan eksekutif tetap berada dalam batasan konstitusionalnya. Sidang dengar pendapat Kongres, investigasi, dan konfirmasi penunjukan memungkinkan Kongres menelaah tindakan eksekutif. Selama pemerintahan Truman, Kongres mendukung Marshall Plan tetapi juga menetapkan mekanisme pengawasan untuk memantau bagaimana dana digunakan, memastikan transparansi dan akuntabilitas. Jadi, Kolaborasi bukan berarti Kongres melepaskan peran pengawasannya; Kongres tetap waspada sembari memungkinkan eksekutif bertindak secara efektif.
Ketiga, pengecekan didalam kolaborasi. Walau saat bekerjasama, cabang-cabang tetap memiliki kemampuan untuk saling membatasi jika diperlukan. Presiden dapat memveto undang-undang (sekali lagi hanya berlaku di Amrik) jika bertentangan dengan visi mereka, tetapi Kongres dapat membatalkan veto tersebut dengan mayoritas dua pertiga. Jika Presiden mengeluarkan perintah eksekutif yang mengabaikan Kongres, badan legislatif dapat mengesahkan undang-undang untuk membatasi efeknya atau menggunakan pengadilan guna menantang tindakan yang melampaui batas. Kolaborasi disini bukanlah tentang suara bulat; kolaborasi disini melibatkan negosiasi, kompromi, dan kemauan menegaskan otoritas kelembagaan jika diperlukan.
Keempat, kolaborasi mencegah 'gridlock' (jalan-buntu). Sementara sistem pengawasan dan keseimbangan melindungi dari tindakan yang melampaui batas, konflik yang berlebihan antara cabang-cabang dapat menyebabkan kebuntuan, dimana tiada pihak yang mencapai tujuannya. Kolaborasi memungkinkan Inovasi Kebijakan. Ketika kedua cabang tersebut selaras, mereka dapat memberlakukan reformasi yang komprehensif, seperti yang terlihat dalam pengesahan Social Security (Jaminan Sosial) di Amrik (1935) atau the Civil Rights Act (Undang-Undang Hak Sipil di Amrik) (1964). Kolaborasi juga memungkinkan Manajemen Krisis Nasional. Selama krisis, semisal masa perang atau kemerosotan ekonomi, kolaborasi memastikan respons yang cepat dan terpadu. Contoh, seusai 9/11, Kongres dan Presiden George W. Bush bekerjasama meloloskan Patriot Act, meskipun Kongres kemudian meninjau dan merevisi beberapa bagiannya untuk mengatasi masalah tentang kebebasan sipil.
Kelima, ketegangan meningkatkan akuntabilitas. Kolaborasi tak menghilangkan ketegangan—tetapi menyeimbangkannya. Cabang-cabang pemerintahan saling bersikap skeptis, sehingga menumbuhkan akuntabilitas. Misalnya, cabang eksekutif harus membenarkan kebijakannya kepada Kongres untuk mendapatkan pendanaan atau persetujuan legislatif. Kongres harus mempertimbangkan implikasi praktis dari undang-undangnya, yang disoroti oleh eksekutif selama negosiasi. Dinamika ini memastikan bahwa kebijakan dibuat dengan cermat dan mencerminkan keinginan rakyat (melalui Kongres) dan pertimbangan praktis implementasi (melalui eksekutif).
Singkatnya, kolaborasi dan 'check and balances' tidak saling menghilangkan, melainkan saling memperkuat. Kolaborasi memastikan tatakelola yang efektif, sementara 'check and balances' mencegah pemusatan kekuasaan dan melindungi batas-batas konstitusional. Sistem ini akan berkembang pesat bila kedua lembaga saling menghormati peran masing-masing, saling berdialog, dan memprioritaskan kepentingan bangsa di atas kepentingan partisan."