"Kabarnya, Petruk Mulyono berencana mengumpulkan gengnya untuk melakukan perjalanan sepeda motor yang menegangkan," ungkap Bagong, sembari menunggu kedatangan ramandanya, Semar. "Namun, ceritaku ini bukan tentang 'Mulyono and the gang'; melainkan tentang 'Semar' ... teka-teki dan hakikat siapa sebenernya doi."[Sesi 6]
"Semar merupakan tokoh kultural yang sangat dihormati dalam mitologi Jawa. Semar dipandang sebagai perwujudan kearifan, kesederhanaan, dan kerendahan hati. Ia sering dilukiskan sebagai penasihat bijak yang menuntun orang lain menuju kehidupan yang berakal budi. Tak seperti tokoh mitologi lain yang dihiasi dengan kemegahan, Semar menampilkan sosok jelata, yang melambangkan orang biasa. Sebagai dhanyang (ruh teritorial) dan pamong (pemimpin atau wali), Semar diyakini melindungi dan mengawasi rakyatnya, menyajikan tuntunan dan memastikan kesejahteraan mereka. Meskipun penampilannya sederhana, karakter Semar dijiwai dengan ajaran spiritual dan filosofis yang mendalam. Sifatnya yang paradoks—menjadi dewa tetapi tampak rendah hati dan sederhana—menggambarkan gagasan bahwa kearifan dan kekuatan sejati terletak pada kerendahan hati. Cerita dan simbolisme Semar telah berkembang, memadukan kepercayaan Hindu, Buddha, Islam, dan keyakinn lokal, yang mencerminkan permadani budaya Indonesia yang kaya dan beragam.
'Mengkaji Nilai Luhur Tokoh Semar karya Dr. Purwadi, M.Hum. (2014, Penerbit Kanwa) mengupas nilai-nilai luhur yang terkandung dalam diri Semar, tokoh utama dalam pewayangan Jawa. Semar digambarkan sebagai tokoh yang bijak dan rendah hati, yang berperan sebagai pembimbing dan mentor bagi para ksatria utama sekaligus memberi nasihat untuk membantu mereka mencapai cita-cita.
Menurut Dr. Purwadi, Semar berperan sebagai representasi mendalam dari prinsip-prinsip moral dan etika yang berakar dalam falsafah Jawa. Karakternya merangkum nilai-nilai yang menuntun individu dan masyarakat menuju keselarasan, keadilan, dan keseimbangan. Dr. Purwadi menganalisis peran Semar melalui berbagai sudut pandang guna menggambarkan bagaimana ia mewujudkan dan mengajarkan prinsip-prinsip ini.
Semar digambarkan sebagai seorang punakawan yang rendah hati yang tampak biasa-biasa saja, bahkan lucu, tetapi memiliki kearifan mendalam. Kerendahan hati ini mencerminkan nilai Jawa andhap asor—kesederhanaan dan pengendalian diri [prinsip Andhap Asor dalam filosofi Jawa mewujudkan kerendahan hati dan kesantunan. Nilai ini juga dianut oleh masyarakat Madura. Pada intinya, Andhap Asor menekankan bahwa nilai seseorang tak ditentukan oleh kecerdasan, kekayaan, atau status sosialnya, melainkan oleh perilaku dan tingkat rasa hormat yang mereka tunjukkan kepada orang lain. Hal ini mendorong individu agar bersikap sederhana, menyoroti bahwa keagungan sejati terletak pada karakter dan kesopanan seseorang terhadap orang lain]. Melalui Semar, filosofi Jawa mengajarkan bahwa kekuatan sejati terletak pada kerendahan hati, bukan kesombongan; kepemimpinan dan otoritas moral datang dari melayani orang lain, bukan dari kekayaan atau status.
Semar adalah kompas moral bagi Pandawa (tokoh utama Mahabharata) dan sering turun tangan untuk memastikan keadilan ditegakkan. Ia mengingatkan para pemimpin dan prajurit agar bertindak etis, walaupun dalam keadaan sulit. Peran ini sejalan dengan prinsip-prinsip Jawa tentang bebener (kejujuran) dan keadilan, yang menekankan tindakan berdasarkan kebenaran dan keadilan universal serta menegakkan keadilan dan integritas, terutama bagi well-being setiap rakyat.
Peran Semar sebagai penjaga keseimbangan kosmis mencerminkan konsep Jawa tentang keselarasan—hubungan yang harmonis antara manusia, alam, dan Sang Ilahi. Semar senantiasa menasihati Pandawa agar menyeimbangkan pengejaran materi dengan pertumbuhan spiritual, dan menghindari perilaku yang ekstrem, serta tetap berpusat dan memperhatikan kebaikan yang lebih besar. Filosofi ini mempromosikan cara hidup holistik yang memadukan dimensi material, emosional, dan spiritual.
Semar mencontohkan cita-cita pemimpin yang melayani (servant leaders). Ia mengutamakan kebutuhan orang lain, seringkali mengorbankan kenyamanannya demi kebaikan bersama. Melalui hal ini, filosofi Jawa mengajarkan para pemimpin hendaknya melayani rakyatnya dengan ketulusan dan kasih-sayang; pelayanan tanpa pamrih merupakan bentuk perilaku moral tertinggi.
Semar menggunakan humor dan bahasa yang sederhana dalam menyampaikan pelajaran moral yang mendalam, sehingga dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Sikapnya yang ceria namun berwawasan luas mencerminkan pendekatan Jawa yang ngemong (membimbing dengan lembut) dan tepa salira (empati), dimana ajaran etika disampaikan dengan belas-kasih dan pengertian, bukan dengan paksaan atau rasa-takut. Semar melambangkan keseimbangan antara diri batiniah (nilai-nilai spiritual) dan diri lahiriah (tindakan di dunia materi). Ia mengajarkan bahwa kehidupan yang etis melibatkan penyelarasan pikiran, perkataan, dan perbuatan dengan prinsip-prinsip universal, yang mencerminkan kepercayaan Jawa pada tri kaya parisudha: Pikiran yang baik (manacika); Ucapan yang baik (wacika); Perbuatan yang baik (kayika).
Melalui tindakan, bimbingan, dan karakternya, Semar mewujudkan dan menggalakkan nilai-nilai yang merupakan bagian integral dari filosofi Jawa, yakni Kerendahan hati: Keberhasilan didasarkan pada kesederhanaan dan rasa hormat kepada orang lain; Keadilan: Perilaku etis tak dapat dinegosiasikan, biarpun dalam kesulitan; Keselarasan: Menyeimbangkan seluruh aspek kehidupan memastikan kedamaian dan well-being; Pelayanan: Kepemimpinan itu tentang melayani orang lain tanpa pamrih; dan Empati: Pelajaran moral paling baik diajarkan melalui pemahaman dan keterhubungan.
Semar berperan sebagai tokoh penting yang memastikan keharmonisan antara pemimpin dan rakyat, serta antara alam spiritual dan material. Semar berperan sebagai kompas moral bagi para Pandawa (tokoh utama Mahabharata dalam pewayangan Jawa), menasihati mereka tentang kepemimpinan yang etis dan memastikan mereka memprioritaskan kesejahteraan rakyat.
Ia kerap mengkritik para penguasa atau keputusan yang mengabaikan kebutuhan rakyat, menekankan pentingnya adil dan bijaksana dalam pemerintahan. Semar mewujudkan filosofi kepemimpinan yang melayani, mengajarkan bahwa seorang penguasa harus melayani, bukan mendominasi, dan mendengarkan suara rakyat. Ia mengingatkan para pemimpin agar tetap rendah hati, menghindari kesombongan, dan memelihara empati terhadap rakyatnya. Dengan memposisikan Semar sebagai seorang punakawan yang rendah hati, kisah-kisah pewayangan menekankan bahwa kebijaksanaan dan bimbingan moral kadangkala datang dari sumber yang tak terduga, tak semata dari mereka yang berkuasa.
Semar merepresentasikan konsep filosofi Jawa tentang kesatuan dalam dualitas (manunggaling dualitas). Ia bersifat ilahi dan manusiawi, yang mewujudkan koeksistensi antara yang sakral dan yang duniawi. Esensi ilahinya menghubungkannya dengan dunia spiritual, sementara wujud manusia dan perannya sebagai pelayan memungkinkannya berhubungan dengan dunia material dan membimbing orang lain dalam menjalaninya. Ia memastikan bahwa pengejaran spiritual dan material tetap seimbang, mencegah salah satu dari mendominasi yang lain. Ia mengingatkan tokoh-tokoh dalam Wayang bahwa fokus yang berlebihan pada kekayaan materi atau keterpisahan spiritual dapat menyebabkan ketidakseimbangan dan ketidakharmonisan. Ia sering memberikan bimbingan spiritual kepada Pandawa, membantu mereka menyelaraskan tindakan mereka dengan tatanan kosmik yang lebih besar (rukun jagad atau harmoni universal). Ia mengajarkan bahwa pemenuhan spiritual dan kesuksesan material harus saling mendukung, bukan bertentangan.
Semar menyajikan nasihat praktis untuk menyelesaikan konflik antara pemimpin dan rakyat, serta menyelaraskan cita-cita spiritual dengan realitas material. Kearifannya mencerminkan penekanan orang Jawa pada diplomasi, kesabaran, dan kompromi. Pemimpin (melambangkan alam spiritual) harus peduli pada rakyat (melambangkan alam material) untuk memastikan keharmonisan masyarakat. Peran Semar sebagai jembatan antara alam-alam ini memastikan bahwa pemerintahan mencerminkan integritas etika dan perhatian praktis terhadap kesejahteraan rakyat.
Semar sering menggunakan humor untuk meredakan ketegangan dan menyampaikan kritik, sehingga ia dapat membahas isu-isu sensitif tanpa menimbulkan konflik. Selain memberi nasihat, Semar menggunakan kekuatan ilahinya untuk melindungi Pandawa dari bahaya, yang melambangkan gagasan bahwa bimbingan moral dan spiritual merupakan kekuatan pelindung bagi masyarakat. Dalam berbagai cerita pewayangan, Semar bertindak sebagai mediator, menyelesaikan perselisihan antar tokoh dengan mengedepankan keadilan, pengertian, dan rasa saling menghormati.
Semar mencerminkan cita-cita Jawa yang berakar dalam, Rukun (Keharmonisan): Menjaga kedamaian dan keseimbangan dalam segala hubungan; Tepa Selira (Empati): Memahami dan menghormati perspektif orang lain, terutama antara pemimpin dan rakyat; Sumeleh (Berserah pada Kehendak Ilahi): Menyelaraskan tindakan pribadi dan masyarakat dengan tatanan kosmik Ilahi; Sederhana (Kebersahajaan): Menekankan kerendahan hati dan penolakan keserakahan atau kelebihan dalam kepemimpinan dan kehidupan.
Menurut Dr. Purwadi, Semar mewujudkan nilai-nilai utama Jawa semisal kebaikan, keseimbangan spiritual, dan keharmonisan dalam hidup melalui tindakan, karakter, dan ajarannya. Semar berfungsi sebagai simbol kebaikan dan perilaku etis yang tak tergoyahkan. Ia secara konsisten menasihati Pandawa agar bertindak dengan cara yang mengutamakan keadilan dan kebenaran, sejalan dengan cita-cita Jawa tentang kebajikan moral. Semar berdiri sebagai pelindung rakyat jelata, memastikan bahwa para pemimpin seperti Pandawa tetap rendah hati dan penuh welas-asih dalam pemerintahan mereka. Tindakannya mencerminkan nilai Jawa dalam melayani kebaikan yang lebih besar (ngabdi masyarakat). Meskipun rendah hati dan humoris, Semar menggunakan posisinya sebagai pelayan untuk menyampaikan hikmah yang mendalam. Hal ini menunjukkan kepercayaan Jawa bahwa kebaikan sejati kerap datang dari kerendahan hati dan tidak mementingkan diri sendiri.
Karakter Semar sebagai ilahi sekaligus manusia merepresentasikan konsep Jawa tentang manunggaling kawula lan Gusti (kesatuan antara diri dan sang Ilahi). Hal ini mencerminkan perlunya keseimbangan antara tanggungjawab duniawi dan pengejaran spiritual. Dalam pertunjukan wayang kulit, Semar sering mengajarkan Pandawa dan yang lainnya agar mencari keharmonisan dalam diri mereka sendiri dengan menyelaraskan tindakan mereka dengan prinsip-prinsip kosmik (rukun jagad atau keharmonisan universal). Nasihat Semar sering menekankan sumeleh (berserah diri kepada Sang Ilahi), atau pentingnya menerima takdir seseorang dengan keyakinan pada kehendak Ilahi, mendorong kepuasan spiritual dan kepercayaan kepada Sang Pencipta.
Semar merupakan perwujudan filosofi Jawa tentang keseimbangan antara hal-hal yang berlawanan—Ilahi dan manusiawi, spiritual dan material, kekuatan dan kerendahan hati. Dualitas ini berfungsi sebagai pengingat bahwa segala aspek kehidupan hendaknya hidup berdampingan secara harmonis. Dalam perannya sebagai punakawan, Semar sering memediasi konflik antartokoh, menyelesaikan pertikaian dengan mengutamakan pengertian dan kerjasama. Tindakannya mencerminkan prinsip rukun Jawa (menjaga keharmonisan dan kedamaian dalam hubungan). Semar mendorong kehidupan yang harmonis dengan alam dan menghormati siklusnya. Hal ini mencerminkan kepercayaan Jawa tentang keterhubungan semua makhluk dan pentingnya keseimbangan antara manusia dan lingkungan.
Semar secara konsisten mengajarkan Pandawa agar mempertimbangkan perspektif dan kebutuhan orang lain. Tindakan dan nasihatnya menyoroti nilai empati dalam menjaga keharmonisan masyarakat. Penampilan Semar yang rendah hati dan sifatnya yang lugas menekankan pentingnya kesederhanaan dan kerendahan hati sebagai dasar kehidupan yang baik. Kebijaksanaannya tidak abstrak tetapi praktis, didasarkan pada tantangan sehari-hari. Hal ini sejalan dengan penekanan orang Jawa pada penggunaan pengetahuan untuk memecahkan masalah dunia nyata.
Semar mewakili cita-cita gotong royong, dimana setiap orang bekerja bersama untuk mencapai keharmonisan kolektif. Bimbingannya sering mendorong para pemimpin mengutamakan kesejahteraan bersama di atas keinginan individu. Dengan mengatasi ketidakseimbangan spiritual dan moral, Semar memastikan bahwa keharmonisan meluas melampaui ranah manusia hingga ke tatanan kosmik yang lebih luas (alam semesta).
Dr. Purwadi menegaskan bahwa Semar bukan sekadar tokoh, melainkan representasi nilai-nilai Jawa yang mengutamakan kebaikan, keseimbangan spiritual, dan keharmonisan dalam kehidupan. Ajaran, tindakan, dan sifat gandanya menginspirasi individu agar menjunjung tinggi moralitas dan kebaikan dalam segala hubungan; menyeimbangkan pertumbuhan spiritual dengan tanggungjawab material; dan hidup dalam harmoni dengan orang lain, alam, dan Sang Ilahi.
Melalui Semar, filosofi Jawa menyampaikan pentingnya kerendahan hati, empati, dan kearifan sebagai landasan bagi kehidupan yang seimbang dan harmonis.
"Apa dan Siapa Semar" karya Sri Mulyono (1989, CV Masagung) mengupas karakter Semar, mengeksplorasi makna simbolisnya, ajaran spiritualnya, dan perannya dalam budaya dan filosofi Jawa. Karya Sri Mulyono dikenal karena memadukan ketelitian akademis dengan apresiasi mendalam terhadap warisan Indonesia, menjadikannya referensi utama bagi mereka yang tertarik memahami lapisan terdalam budaya dan filosofi wayang.
Semar dipandang sebagai salah satu tokoh pewayangan Jawa yang paling rumit dan misterius. Asal usulnya merupakan perpaduan mitologi Jawa, tradisi Hindu-Buddha, dan pengaruh Islam. Semar muncul sebelum pengaruh Islam pada budaya Jawa dan berakar kuat dalam sistem kepercayaan asli Jawa kuno. Tokohnya berasal dari kosmologi Jawa, yang menggabungkan animisme, Hinduisme, dan Buddha. Ia diyakini sebagai dewa yang turun ke dunia fana untuk membimbing manusia, khususnya para Pandawa dalam epos pewayangan. Dalam mistisisme Jawa, Semar dikaitkan dengan tatanan dan harmoni kosmik (jagad raya), yang mewujudkan kesatuan antara alam manusia dan alam dewa.
Dalam salah satu cerita asal-usulnya, Semar dulunya makhluk surgawi bernama Ismaya, kakak lelaki Sang Hyang Manikmaya. Perselisihan antara kedua bersaudara itu menyebabkan Ismaya menjelma menjadi manusia biasa, dengan tujuan melayani dan merendahkan hati. Transformasinya menjadi Semar merupakan simbol pelepasan keduniawian—meninggalkan keagungan ilahi untuk melayani tujuan moral dan spiritual yang lebih tinggi di antara manusia.
Ciri fisik Semar yang unik—perut buncit, mata juling, dan penampilan androgini [tampilan yang menggabungkan karakteristik maskulin dan feminin. Ini dapat digunakan menggambarkan identitas gender, mode, atau gaya seseorang. Seseorang yang mengidentifikasi diri sebagai androgini mungkin memiliki ciri maskulinitas dan femininitas. Mereka mungkin juga nonbiner, yang berarti mereka tak mengidentifikasi diri secara eksklusif sebagai lelaki atau perempuan. Androgini dapat diekspresikan melalui pilihan mode, semisal mengenakan rok atau fedora dengan blus yang mengalir. Barang-barang netral gender semisal kaus oblong, jeans, blazer, dan sepatu oxford dapat digunakan untuk menjadikan tampilan androgini. Riasan yang tampak alami dan potongan rambut netral gender semisal shag atau pixies juga dapat digunakan. David Bowie, misalnya, kerap mengenakan riasan dan gaun, yang menumbangkan stereotip seksual. Grace Jones dulunya dikenal dengan tampilan androgini. Billie Eilish digambarkan bergaya androgini, dengan pakaian eversized dan baggy]—sangat simbolis. Perut buncit melambangkan kelimpahan, pemeliharaan, dan bumi. Mata julingnya menandakan kemampuan melihat melampaui penampilan, ke dalam alam spiritual. Androgini-nya mencerminkan kesatuan yang bertolak belakang, melambangkan keseimbangan dan harmoni antara maskulin dan feminin, baqa' dan fana', sakral dan profan.
Semar digambarkan sebagai pelindung kebenaran, khususnya bagi Pandawa, tokoh utama dalam cerita pewayangan, yang terinspirasi dari Mahabharata. Ia bertindak sebagai kompas moral dan pembimbing spiritual, yang mengingatkan akan tugas dan tujuan mulia dari perjuangan mereka. Meskipun penampilannya sederhana dan perannya sebagai pelayan, Semar memiliki kekuatan dan kearifan yang luar biasa. Ia sering menyelesaikan konflik dan mengungkapkan kebenaran yang lebih dalam melalui humor dan kesederhanaan, mewujudkan cita-cita kepemimpinan Jawa melalui kerendahan hati.
Sri Mulyono mengontekstualisasikan peran Semar dalam evolusi budaya Jawa. Selama periode Hindu-Buddha di Jawa, Semar dimasukkan ke dalam cerita pewayangan yang terinspirasi oleh Mahabharata dan Ramayana. Namun, perannya khas Jawa, karena ia tak muncul dalam epos India asli. Semar secara unik diciptakan untuk mewujudkan nilai-nilai Jawa dan memberikan pemandu spiritual lokal bagi para penonton.
Dengan datangnya Islam di Jawa, karakter Semar ditafsirkan ulang melalui lensa Islam. Ia menjadi simbol seorang hamba Allah yang taat, mewujudkan kualitas ideal seorang pemimpin Muslim—keadilan, kerendahan hati, dan pengabdian kepada Allah. Perannya sebagai pemandu spiritual selaras dengan ajaran Islam, membuatnya relevan dengan masyarakat Jawa-Islam yang sedang berkembang.
Dalam banyak cerita pewayangan, Semar digambarkan sebagai pendukung dan pembimbing spiritual Pandawa yang teguh, khususnya Yudhistira (kakak tertua dan simbol keadilan). Pada saat Pandawa menghadapi tantangan berat atau dilema moral, Semar turun tangan mengingatkan mereka tentang tujuan hidup mereka yang lebih tinggi. Nasihatnya seringkali dibalut dalam bahasa yang sederhana, tetapi mengandung kebenaran spiritual dan etika yang dalam. Dalam tradisi Wayang Purwa, Semar sering menggunakan perumpamaan atau teka-teki untuk menjelaskan pentingnya tetap bersikap adil dan sabar, bahkan ketika dizalimi, yang mencerminkan cita-cita orang Jawa tentang andhap asor (kerendahan hati dan pengendalian diri).
Semar sering menjadi penengah pertikaian antara Pandawa dan musuh-musuh mereka, semisal Kurawa. Meskipun penampilannya sederhana, kearifan dan kewibawaannya mengundang rasa hormat dari semua pihak. Dalam cerita Semar Mbangun Kayangan ('Semar Membangun Kayangan'), Semar mengembalikan keseimbangan kosmis ketika langit sendiri sedang kacau karena kesombongan para dewa. Cerita ini menggambarkan peran Semar sebagai pelindung tatanan kosmis, bahkan melampaui para dewa dalam otoritasnya.
Dalam beberapa cerita pewayangan, Semar berperan sebagai dewa yang menghukum kesombongan dan ketidakadilan. Meskipun ia biasanya lembut dan humoris, ketika para dewa atau raja melangkahi batas mereka, Semar menampakkan wujud dewanya sebagai Sang Hyang Ismaya untuk menegur mereka. Dalam satu cerita, seorang raja yang sombong menolak mengindahkan nasihat rakyatnya dan melakukan ketidakadilan yang parah. Semar turun tangan, menggunakan kecerdasan dan kekuatan dewa untuk merendahkan raja dan memulihkan ketertiban.
Semar sering mengajarkan pentingnya keseimbangan antara hal-hal yang bertolak belakang: kehidupan spiritual dan material, kerendahan hati dan kewibawaan, serta suka dan duka. Hal ini mencerminkan filosofi Jawa tentang rukun (harmoni) dan keseimbangan (balance). Ia mendorong Pandawa agar bertindak dengan moderasi dan menjaga keharmonisan dalam hubungan mereka, bahkan ketika berhadapan dengan musuh. Tema yang berulang dalam ajaran Semar adalah sepi ing pamrih, rame ing gawe ('bebas dari kepentingan pribadi, tekun bekerja'). Ia mencontohkan cita-cita ini dengan mendedikasikan diri sepenuhnya melayani Pandawa tanpa mencari keuntungan atau pengakuan pribadi. Hal ini sejalan dengan konsep kepemimpinan etis Jawa, dimana pemimpin sejati mengutamakan kesejahteraan orang lain di atas kepentingan mereka sendiri.
Sikap Semar yang rendah hati dan tutur katanya yang jenaka merupakan pilihan yang disengaja yang mencerminkan cita-cita orang Jawa tentang andhap asor (kerendahan hati). Kendati punya kekuatan yang sangat besar sebagai makhluk ilahi, Semar memilih melayani daripada memerintah. Ia sering menasihati Pandawa agar tetap sabar dalam menghadapi kesulitan, percaya pada keadilan ilahi dan tatanan alam semesta. Dalam perannya sebagai seorang hamba, Semar menunjukkan bahwa melayani orang lain dengan tulus adalah jalan menuju pencerahan spiritual. Tindakannya menunjukkan bahwa manusia dapat mencapai pemenuhan spiritual dengan menyelaraskan keinginan mereka dengan tujuan ilahi.
Beberapa cerita pewayangan tertentu mengangkat tema-tema filosofis Jawa. Dalam cerita Semar Gugat ('Semar Menggugat'), Semar mengkritik para dewa karena mengabaikan tugas mereka dan membiarkan kekacauan menyebar di dunia fana. Keberaniannya dalam mempertanyakan otoritas ilahi mencerminkan kepercayaan Jawa bahwa kekuasaan, bahkan kekuasaan ilahi, harus dipertanggungjawabkan. Cerita ini mengajarkan pentingnya keberanian moral dan perlunya para pemimpin agar tetap adil dan penuh kasih sayang.
Dalam cerita Petruk Dadi Ratu ('Petruk jadi Raja'), putra Semar, Petruk, untuk sementara waktu menjadi raja, yang mengarah ke serangkaian peristiwa yang lucu tetapi penuh wawasan. Melalui kesialan Petruk, Semar mengajarkan bahwa kepemimpinan adalah tanggungjawab, bukan hak istimewa dan harus didasarkan pada kerendahan hati dan kearifan.
Sri Mulyono berpendapat bahwa ajaran Semar masih sangat relevan hingga saat ini. Di dunia yang sering dicirikan oleh kesombongan, materialisme, dan konflik, penekanan Semar pada kerendahan hati, harmoni, dan ketidakegoisan menawarkan pelajaran yang tak lekang oleh waktu. Perannya sebagai pelindung keadilan dan keseimbangan berfungsi sebagai pengingat akan pentingnya kepemimpinan etis dan integritas spiritual.
Peran ganda Semar yang unik sebagai punakawan (pelayan pembanyol) dan makhluk ilahi menjadikannya salah satu karakter yang paling menarik dan multifaset dalam pewayangan Jawa. Punakawan adalah karakter komedi dalam Pewayangan yang bertindak sebagai pelayan bagi para protagonis yang mulia, seperti Pandawa, tetapi peran mereka jauh dari sepele. Semar menonjol di antara para punakawan sebagai pemimpin dan tokoh paling penting, mewujudkan kearifan yang tersembunyi di balik humor dan kerendahan hati. Semar muncul sebagai orangtua yang sederhana dan humoris, sering melibatkan komedi slapstick, komentar jenaka, atau lelucon yang merendahkan diri. Kesederhanaan lahiriah ini memungkinkannya terhubung dengan para elit (Pandawa) dan orang-orang biasa di antara para penonton. Meskipun penampilannya seperti pelayan rendahan, Semar sangat dibutuhkan oleh Pandawa. Nasihatnya seringkali menyelesaikan dilema mereka, dan kehadirannya dianggap sebagai berkah Ilahi.
Sifat banyolan Semar berfungsi menyoroti kebenaran yang mendalam dengan cara yang dapat dipahami semua orang. Falsafah Jawa menghargai humor sebagai sarana untuk melembutkan kebenaran yang sulit dan membuat kebijaksanaan lebih mudah diterima. Melalui humor, Semar mengkritik norma-norma masyarakat, mengungkap kemunafikan, dan mengingatkan Pandawa (dan penonton) tentang tanggungjawab moral mereka. Sebagai seorang pelayan, kerendahan hati dan kesediaannya melayani, mengajarkan bahwa kebesaran terletak pada pengabdian kepada orang lain, bukan pada kekuasaan atau status."
[Sesi 4]