Jumat, 17 Januari 2025

Ketika Bagong Belajar dari Kearifan Semar (2)

"Sebagai rekan dekat Presiden, dan juga, Wakil Presiden, selebritas RA semestinya menjaga nama baik, perilaku dan menjalankan tugasnya dengan baik. Oh, dan patwal itu? Cuma buat bikin konten dan pamerin mobil baru ke kawan yaq. Kalo dipecat kaan enggak enak pulak," ujar Bagong usai melihat unggahan di jagat maya.
"Ah, sudahlah, mari kita lanjutin topik kita," kata Semar.
“Para pengkritik yang mengevaluasi kinerja pemerintah dalam 100 hari pertama menyoroti beberapa kekhawatiran mengenai praktik ini,” lanjut Semar. "Evaluasi 100 hari kerap mereduksi proses pembuatan kebijakan yang rumit menjadi metrik yang sederhana, dengan berfokus pada hasil yang langsung dan nyata ketimbang keberlanjutan jangka panjang. Hal ini dapat menyebabkan pengabaian terhadap perubahan sosial yang lebih dalam dan implikasi yang lebih luas dari kebijakan yang diterapkan selama periode ini.Pengawasan media yang ketat selama 100 hari pertama dapat menghasilkan liputan yang sensasional, dimana kesalahan kecil disorot sementara pencapaian substansial diabaikan. Hal ini dapat memunculkan persepsi publik yang menyimpang tentang kemampuan seorang presiden.
Evaluasi awal seringkali tak bisa memperhitungkan warisan dan tindakan pemerintahan sebelumnya, yang dapat sangat mempengaruhi kemampuan presiden baru memerintah secara efektif. Hal ini mempersulit penilaian yang adil atas kinerja mereka.
Para kritikus menekankan bahwa berfokus pada 100 hari pertama mengabaikan konsekuensi jangka panjang sebuah kebijakan. Keputusan awal mungkin berkonsekuensi yang terungkap selama bertahun-tahun, sehingga penting mengadopsi pendekatan evaluasi yang lebih longitudinal.

Beberapa pihak berpendapat bahwa 100 hari terlalu singkat untuk menilai efektivitas kebijakan yang mungkin memerlukan waktu bertahun-tahun agar membuahkan hasil. Para pemimpin mungkin ditekan agar memprioritaskan kemenangan cepat daripada strategi jangka panjang yang matang. Pemerintah yang berbeda menghadapi tantangan yang berbeda-beda, dan perbandingan yang kaku bisa jadi tak adil.
Para kritikus berpendapat bahwa batas waktu 100 hari adalah tolok ukur sewenang-wenang yang mungkin tak secara akurat mencerminkan kemampuan presiden atau kompleksitas pemerintahan. Hal ini sering mengarah pada penilaian yang dangkal berdasarkan tindakan langsung daripada hasil jangka panjang.
Hari-hari awal masa jabatan presiden dapat sangat dipengaruhi oleh warisan dan tindakan para pendahulunya, sehingga sulit menilai kinerja presiden baru secara independen. Misalnya, Harry Truman menghadapi tantangan karena rasa sayang publik yang masih ada terhadap FDR, yang mempengaruhi evaluasi awalnya meskipun ada kontribusi di kemudian hari dalam masa jabatan presidennya.
Fokus media pada 100 hari pertama dapat menimbulkan sensasionalisme, dimana kesalahan kecil dibesar-besarkan sementara pencapaian substansial diabaikan. Hal ini dapat memunculkan persepsi yang menyimpang tentang efektivitas presiden berdasarkan reaksi jangka pendek, bukan tujuan dan kebijakan jangka panjang. Banyak kritik yang menyoroti bahwa evaluasi awal sering mengabaikan implikasi jangka panjang dari keputusan yang dibuat selama periode ini. Misalnya, Bill Clinton menghadapi kritik yang tajam dalam 100 hari pertamanya tetapi kemudian mencapai keberhasilan penting di kemudian hari dalam masa jabatan kepresidenannya.
Sifat dinamis dari pembuatan kebijakan bermakna bahwa mengevaluasi kinerja pemerintah memerlukan pendekatan yang lebih bernuansa daripada sekadar melihat beberapa bulan pertama. Para kritikus berpendapat bahwa budaya evaluasi yang lebih longitudinal diperlukan, yang mempertimbangkan dampak kebijakan yang berkelanjutan dari waktu ke waktu.

Dalam "Presidents in Crisis: Tough Decisions Inside the White House from Truman to Obama" (2015, Arcade Publishing), Michael K. Bohn mengeksplorasi kompleksitas pengambilan keputusan presiden selama krisis. Ia memberikan wawasan berharga tentang mengapa 100 hari pertama akan tak selalu menjadi kerangka waktu yang adil atau praktis bagi evaluasi.
Bohn menekankan bahwa krisis sering muncul dadakan, sehingga para presiden tak punya banyak waktu mempersiapkan diri. Setiap krisis menghadirkan tantangan yang unik, yang memerlukan respons yang disesuaikan, bukan agenda yang telah direncanakan sebelumnya. Mengevaluasi masa jabatan presiden berdasarkan tindakan yang diambil dalam 100 hari pertama dapat mengabaikan waktu yang dibutuhkan untuk menilai, menyusun strategi, dan menerapkan solusi yang efektif terhadap krisis yang muncul.
Menurut Bohn, tekanan yang sangat besar guna membuat keputusan dengan informasi yang terbatas merupakan ciri khas manajemen krisis. Ia menyoroti contoh presiden, semisal Harry Truman selama awal Perang Dingin atau John F. Kennedy selama Krisis Rudal Kuba, yang mengambil keputusan berisiko tinggi, yang sering tak punya jawaban yang 'benar'. Keputusan-keputusan ini mungkin tak sesuai dengan kerangka evaluasi 100 hari, karena hasilnya kerapkali membutuhkan waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun agar terwujudkan.
Bohn menunjukkan bahwa presiden baru menghadapi kelesuan institusional dan perlawanan politik, yang dapat memperlambat pengambilan keputusan. Sebagai contoh, membangun kepercayaan dengan Kongres, menyusun tim yang andal, dan memahami seluk-beluk lembaga federal memerlukan waktu. Oleh karenanya, 100 hari pertama mungkin lebih banyak tentang meletakkan dasar ketimbang mencapai hasil yang nyata.
Bohn membahas bagaimana para presiden seringkali perlu memprioritaskan strategi jangka panjang daripada hasil langsung. Misalnya, Barack Obama menghadapi kritik karena tak mencapai pemulihan ekonomi yang cepat selama 100 hari pertamanya, tetapi kebijakannya, semisal paket stimulus, dirancang agar lebih memberikan dampak yang berkelanjutan daripada perbaikan cepat.
Bohn meneliti bagaimana ekspektasi publik dan media terhadap perubahan dramatis dalam 100 hari pertama dapat membuat tekanan yang tak realistis terhadap presiden. Kesenjangan ini sering mengarah pada evaluasi yang dangkal, yang berfokus pada gerakan simbolis atau inisiatif yang terburu-buru, bukan kemajuan yang substantif. Bohn mencatat bahwa Truman menghadapi dilema etika dan strategis yang belum pernah terjadi sebelumnya tak lama setelah menjabat. Mengevaluasi masa jabatannya berdasarkan keputusan awalnya saja akan mengabaikan konteks dan konsekuensi yang lebih luas dari pilihan tersebut. Sementara Obama bertindak tegas untuk mengatasi keruntuhan ekonomi, banyak kebijakannya dinilai terlalu dini, dengan dampak penuhnya baru terlihat beberapa tahun kemudian.
Bohn berpendapat bahwa meskipun 100 hari pertama dapat memberikan gambaran singkat tentang prioritas dan gaya kepemimpinan seorang presiden, itu tak selalu menunjukkan keberhasilan atau kompetensi jangka panjang. Krisis memerlukan pengambilan keputusan yang bijak dan adaptif, yang kerap melampaui kerangka waktu simbolis ini. Dengan demikian, evaluasi yang adil hendaknya mempertimbangkan kompleksitas dan sifat pengambilan keputusan presiden yang sensitif terhadap waktu selama krisis.

Dalam 'What It Takes: The Way to the White House' (1992, Random House), Richard Ben Cramer menelaah tekanan besar yang dihadapi oleh para kandidat presiden dan pemimpin yang baru terpilih, khususnya harapan yang diberikan kepada mereka selama hari-hari awal pemerintahannya. Karya ini memberikan analisis mendalam tentang tuntutan politik, media, dan publik yang membentuk keputusan kepemimpinan.
Cramer menyoroti bagaimana para pemimpin terbebani oleh janji-janji yang mereka buat selama kampanye. Setelah menjabat, presiden diharapkan agar segera menepati janji-janji nya, meskipun realitas politik atau ekonomi membuat tindakan segera menjadi tidak praktis. Tuntutan akan hasil yang cepat ini memunculkan tekanan agar memprioritaskan 'kemenangan' yang terlihat ketimbang strategi jangka panjang yang matang.
Cramer menekankan pengawasan ketat yang dihadapi presiden dari media dan publik. Pada masa-masa awal pemerintahan, media kerap menentukan narasi, dengan fokus pada apakah pemimpin baru memenuhi harapan atau gagal. Perhatian yang tak henti-hentinya ini dapat menyebabkan keputusan yang terburu-buru atau tindakan simbolis yang dirancang menenangkan opini publik alih-alih mengatasi akar permasalahan.
Cramer mencatat bahwa para presiden hendaknya segera membangun otoritas dan kredibilitas mereka guna mendapatkan kepercayaan dari Kongres, publik, dan para pemimpin internasional. Kegagalan bertindak tegas di masa-masa awal dapat mengakibatkan persepsi kelemahan, yang dapat melemahkan kemampuan pemerintahan untuk memerintah secara efektif.
Menurut Cramer, presiden baru sering menghadapi perlawanan dari kepentingan politik yang mengakar, termasuk partai oposisi dan kelambanan birokrasi. Menyeimbangkan kebutuhan untuk bekerjasama dengan urgensi guna memberikan hasil, menambah lapisan kompleksitas lain dalam pengambilan keputusan awal.
Cramer mengeksplorasi konsep momentum politik yang paling kuat segera setelah pemilihan umum. Para Presiden diharapkan memanfaatkan momentum ini guna mendorong inisiatif-inisiatif utama sebelum memudar, menciptakan mentalitas 'sekarang atau tidak sama sekali' yang mendorong tindakan dini. Cramer menggambarkan perjuangan George H. W. Bush untuk mendefinisikan masa jabatannya sebagai presiden setelah menggantikan Ronald Reagan, menghadapi tekanan dalam membedakan dirinya dan mempertahankan keberlanjutan. Cramer juga membahas fokus Jimmy Carter dalam memberikan reformasi cepat dalam memenuhi janji kampanyenya, yang berujung pada keberhasilan dan kekeliruan.

Dalam 'Measuring Presidential Performance', yang disunting oleh John W. Self dan Chris J. Dolan (2016, Routledge), para penyunting dan kontributor mengkritik tolok ukur 100 hari dalam mengevaluasi presiden. Karya akademis ini mengeksplorasi kompleksitas penilaian kinerja para presiden dan menyoroti keterbatasan penggunaan 100 hari pertama sebagai tolok ukur definitif.
Para kontributor berpendapat bahwa tolok ukur 100 hari bersifat sewenang-wenang dan tak sejalan dengan realitas tatakelola. Meskipun tolok ukur ini menjadi tersohor oleh pencapaian Franklin D. Roosevelt yang belum pernah terjadi sebelumnya, tolok ukur ini tak sepenuhnya bermakna bagi semua pemerintahan atau konteks. Kebijakan dan inisiatif sering memerlukan waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun agar membuahkan hasil, sehingga evaluasi berdasarkan 100 hari pertama menjadi prematur.
Tolok ukur 100 hari menekankan tindakan simbolis, semisal menandatangani perintah eksekutif atau mengumumkan inisiatif yang berani, ketimbang pencapaian substantif. Tindakan ini dapat memunculkan persepsi produktivitas daripada memberikan hasil jangka panjang yang nyata. Para kontributor menyoroti bahwa presiden yang berbeda mewarisi keadaan yang sangat berbeda. Sebagai misal, FDR menjabat selama Depresi Besar [kemerosotan ekonomi parah yang dimulai di Amerika Serikat pada tahun 1929 dan berlangsung selama satu dekade. Krisis ekonomi inilah yang terburuk dalam sejarah dunia Barat yang terindustrialisasi], yang memerlukan tindakan segera dan dramatis.
Sebaliknya, presiden yang mewarisi keadaan yang relatif stabil mungkin punya lebih sedikit tugas mendesak, yang mengarah pada perbandingan yang tak adil. Tolok ukur tersebut tak bisa memperhitungkan tantangan atau krisis spesifik yang mungkin dihadapi seorang presiden selama masa jabatan awal mereka.

Standar 100 hari acapkali mengukur keberhasilan berdasarkan jumlah RUU yang disahkan atau tindakan eksekutif yang diambil. Para kontributor berpendapat bahwa pendekatan ini mengabaikan pentingnya kualitas daripada kuantitas. Mengesahkan undang-undang yang tak dirancang dengan baik demi tindakan dini dapat mengakibatkan konsekuensi yang tak diinginkan. Menurut para kontributor, media dan publik sering menggunakan tolok ukur 100 hari guna menuntut hasil langsung, yang mendorong ekspektasi yang tak realistis. Tekanan ini dapat memaksa presiden memprioritaskan keuntungan jangka pendek daripada perencanaan strategis yang matang, yang berpotensi mengorbankan tatakelola pemerintahan dalam jangka panjang.
Para editor menekankan bahwa kepemimpinan yang efektif melibatkan penetapan visi dan pembangunan koalisi, yang mungkin tak membuahkan hasil yang terlihat dalam 100 hari pertama. Mengevaluasi masa jabatan presiden hanya berdasarkan pencapaian legislatif awal berisiko mengabaikan aspek-aspek penting kepemimpinan lainnya, semisal manajemen krisis atau kebijakan luar negeri.
Para editor juga meneliti beberapa masa jabatan presiden, termasuk Barack Obama, upaya awalnya mengatasi krisis keuangan 2008 dan meloloskan the Affordable Care Act (Undang-Undang Perawatan Terjangkau) menggambarkan ketegangan antara urgensi dan perencanaan jangka panjang; George W. Bush; 100 hari pertamanya yang relatif tenang sangat kontras dengan peristiwa transformatif 9/11, yang menunjukkan bagaimana evaluasi awal mungkin tak menangkap lintasan akhir masa jabatan presiden.
Jadi, para editor dan kontributor berpendapat bahwa tolok ukur 100 hari adalah alat yang terlalu disederhanakan dan sering menyesatkan untuk mengevaluasi presiden. Alat ini memprioritaskan tindakan jangka pendek dan hasil legislatif sambil mengabaikan kompleksitas tatakelola pemerintahan, konteks yang berbeda-beda dari berbagai masa jabatan presiden, dan pentingnya visi jangka panjang. Karya ini menyerukan pendekatan yang lebih bernuansa dan komprehensif untuk menilai efektivitas presiden.

Meskipun berasal dari Amerika Serikat, '100 hari pertama' telah menjadi tolok ukur global untuk mengevaluasi pemerintahan, pemimpin, dan bahkan eksekutif perusahaan yang baru. Konsep ini mencerminkan harapan umum bahwa tindakan awal menandakan visi dan efektivitas pemerintahan.
Terma '100 hari' juga digunakan untuk menggambarkan kembalinya Napoleon ke tampuk kekuasaan pada tahun 1815 antara pelariannya dari pengasingan dan kekalahannya dalam Pertempuran Waterloo. Meskipun tak berhubungan, gaung historis terma tersebut menambah keunggulannya. Dalam 'Napoleon: A Life' karya Andrew Roberts (2014, Viking), penulis memberikan penjelasan terperinci tentang 'Seratus Hari' dramatis Napoleon Bonaparte usai kembali dari pengasingan di pulau Elba. Periode ini, dari 20 Maret hingga 28 Juni 1815, merupakan salah satu periode paling kondang dalam sejarah Eropa dan merupakan bukti karisma, ambisi, dan kerapuhan aliansi Eropa milik Napoleon.
Setelah kurang dari setahun di Elba, Napoleon melarikan diri pada tanggal 26 Februari 1815, dengan sekelompok kecil pendukung. Ia bermaksud merebut kembali tahtanya di Prancis, didorong oleh ketidakpuasan terhadap monarki Bourbon dan kerusuhan politik di Eropa pasca-Napoleon. Roberts menjelaskan bagaimana pawai Napoleon ke Paris ditandai dengan dukungan yang semakin besar. Saat ia maju, tentara yang dikirim untuk menangkapnya membelot, dengan masyhur menyatakan, 'Vive l'Empereur!'
Napoleon memasuki Paris pada tanggal 20 Maret 1815, saat Raja Louis XVIII melarikan diri. Kepulangannya ditandai oleh kegembiraan sekaligus ketakutan. Roberts menyoroti strategi awal Napoleon, yang melibatkan menampilkan dirinya sebagai pemimpin reformis, menjanjikan perdamaian, dan menawarkan reformasi konstitusional melalui Acte Additionnel, sebuah revisi Konstitusi Napoleon.
Kendati Napoleon berusaha keras berdamai, negara-negara besar Eropa—termasuk Inggris, Prusia, Austria, dan Rusia—dengan cepat bersatu melawannya, membentuk the Seventh Coalition (Koalisi Ketujuh). Mereka memandang kepulangannya sebagai ancaman terhadap tatanan pascaperang yang rapuh yang ditetapkan oleh Kongres Wina. Roberts membahas upaya Napoleon mengonsolidasikan kekuasaan di dalam negeri, mengatur ulang militer, dan menggalang dukungan publik sembari menghadapi pertentangan internasional yang besar.
Roberts menuturkan persiapan menuju the Battle of Waterloo pada tanggal 18 Juni 1815, saat Napoleon menghadapi pasukan Sekutu-Inggris milik Duke of Wellington dan pasukan Prusia di bawah pimpinan Gebhard Leberecht von Blücher. Meskipun ada saat-saat gemilang, kampanye berakhir dengan kekalahan karena miskomunikasi di antara para komandannya, cuaca buruk, dan ketahanan lawan-lawannya.
Roberts merenungkan makna simbolis dari Seratus Hari [les Cent-Jours yang juga dikenal sebagai Perang Koalisi Ketujuh (Guerre de la Septième Coalition)], menggambarkannya sebagai bukti utama kemampuan Napoleon mengilhami kesetiaan dan rasa takut sekaligus menyingkapkan batas-batas kekuasaannya dalam menghadapi oposisi yang bersatu. Setelah Waterloo, posisi Napoleon tak dapat dipertahankan. Ia turun takhta untuk kedua kalinya pada tanggal 22 Juni 1815, dan berupaya mendapatkan suaka di Inggris tetapi akhirnya diasingkan ke Saint Helena, sebuah pulau terpencil di Atlantik Selatan."

"Adakah pendekatan alternatif dan lebih bernuansa mengevaluasi kinerja pemerintahan selama tiga bulan pertama, atau hari-hari awal, yang melampaui tolok ukur simbolis 100 hari?" tanya Bagong kepo.