Jumat, 10 Januari 2025

Mesin Waktu (13)

"Waktu tak semata ukuran kehidupan, melainkan pula saksi atas terungkapnya hukum-hukum Allah. Dalam Islam, waktu merupakan bagian integral dari Sunnatullah, yang menyingkapkan konsekuensi tindakan dari generasi ke generasi.," sang penjelajah waktu meneruskan.
"Al-Qur’an berulang kali bersumpah demi waktu guna menarik perhatian pada pentingnya waktu,
وَالْعَصْرِۙ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ࣖ
'Demi masa (sumpah yang Allah ikrarkan dengan waktu sepanjang zaman). Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.' [QS. Al-Asr (103):1-3]
Imam Fakhruddin al-Razi (w. 1209 M) dalam tafsirnya tentang Surah Al-Asr menegaskan, 'Bersumpah dengan waktu merupakan indikasi betapa besar nilainya, karena di sanalah berbagai amal dilakukan dan akibat-akibat terungkap sesuai dengan hukum-hukum Allah.'
Islam menganjurkan refleksi intelektual dan spiritual guna memahami Sunnatullah. Dengan mengamati alam, sejarah, dan wahyu ilahi, manusia dapat menyelaraskan tindakan mereka dengan hukum Allah dan menghindari kehancuran. Al-Qur'an juga berulangkali menyerukan renungan atas sejarah guna memahami prinsip-prinsip Allah yang tak berubah:
اَوَلَمْ يَسِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَيَنْظُرُوْا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِيْنَ كَانُوْا مِنْ قَبْلِهِمْ ۗ كَانُوْا هُمْ اَشَدَّ مِنْهُمْ قُوَّةً وَّاٰثَارًا فِى الْاَرْضِ فَاَخَذَهُمُ اللّٰهُ بِذُنُوْبِهِمْ ۗوَمَا كَانَ لَهُمْ مِّنَ اللّٰهِ مِنْ وَّاقٍ
'Tidakkah mereka berjalan di muka bumi, lalu memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka? Orang-orang itu lebih hebat kekuatannya daripada mereka dan (lebih banyak) peninggalan (peradaban)-nya di bumi. Akan tetapi, Allah mengazab mereka karena dosa-dosanya. Tiada suatu pun yang melindungi mereka dari (azab) Allah. [QS Gafir (40):21]
Islam memperingatkan bahwa mengabaikan Sunnatullah akan membawa kepada kehancuran, sebagaimana terlihat dalam kisah-kisah umat terdahulu (misalnya, Aad, Tsamud, Fir'aun). Kisah-kisah ini menjadi pelajaran bagi umat manusia guna menyelaraskan diri dengan petunjuk Ilahi.

Konsep Sunnatullah (سُنَّةُ اللَّهِ) dalam teologi Islam mengacu pada pola, hukum, dan prinsip yang ditetapkan Allah untuk mengatur alam semesta dan keberadaan manusia. Hukum-hukum Ilahi ini bersifat universal, tak berubah, dan berlaku secara konsisten di seluruh ruang dan waktu. Hukum-hukum tersebut disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an dan merupakan inti dalam memahami hubungan antara kehendak Ilahi, kausalitas, dan tanggungjawab manusia dalam Islam. Terma Sunnatullah menggabungkan dua kata: Sunnah (cara, jalur, atau praktik yang mapan) dan Allah (nama Tuhan yang sebenarnya). Dengan demikian, Sunnatullah bermakna 'cara atau hukum Allah.'
Sunnatullah bersifat konsisten dan tak berbeda-beda pada setiap orang, zaman, atau bangsa. Allah menyebutkan dalam Al-Qur'an,
سُنَّةَ اللّٰهِ الَّتِيْ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلُ ۖوَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللّٰهِ تَبْدِيْلًا
'(Demikianlah) sunnatullah yang sungguh telah berlaku sejak dahulu. Sekali-kali takkan kamu temukan perubahan pada sunnatullah itu.' [QS. Al-Fath (48):23]
Pola-polanya berlaku bagi individu dan masyarakat. Misalnya, kebangkitan dan kejatuhan bangsa-bangsa diatur oleh prinsip-prinsip moral dan etika semisal keadilan, rasa syukur, dan ketaatan pada perintah-perintah Ilahi. Sunnatullah sering menyoroti hubungan sebab-akibat di dunia, baik di alam fisik (misalnya, hukum alam semisal gravitasi) maupun alam spiritual dan moral (misalnya, konsekuensi dari tindakan baik atau buruk). Sunnatullah berfungsi sebagai pedoman bagi mereka yang merenungkan dan mematuhinya. Pada saat yang sama, ia memastikan akuntabilitas atas tindakan, karena individu dan masyarakat menuai konsekuensi dari perbuatan mereka.

Sunnatullah merangkum hikmah dan konsistensi hukum-hukum Allah dalam penciptaan, masyarakat, dan spiritualitas. Sunnatullah mengajarkan umat Islam mengenali pola-pola ini, hidup selaras dengannya, dan mengambil pelajaran dari konsekuensi tindakan manusia sebagaimana tercatat dalam Al-Qur'an dan sejarah. Memahami dan mematuhi Sunnatullah memungkinkan individu dan masyarakat berkembang di dunia ini dan mencapai kesuksesan di akhirat.
Al-Qur'an memberikan banyak contoh tentang Sunnatullah dalam tindakan, yang mencerminkan pola-pola Ilahi yang mengatur alam semesta, bangsa-bangsa, dan individu-individu. Tentang merubah keadaan masyarakat, Al-Qur'an menyatakan,
اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ وَاِذَآ اَرَادَ اللّٰهُ بِقَوْمٍ سُوْۤءًا فَلَا مَرَدَّ لَهٗ ۚوَمَا لَهُمْ مِّنْ دُوْنِهٖ مِنْ وَّالٍ
'... Sesungguhnya Allah tak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka. Apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, tiada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia. [QS. Ar-Ra'd, 13:11]
Ayat ini menyoroti bahwa reformasi masyarakat dimulai dengan perbaikan diri individu dan kolektif.
Tentang kebangkitan dan kejatuhan sebuah bangsa, Al-Qur'an menyatakan,
وَمَآ اَهْلَكْنَا مِنْ قَرْيَةٍ اِلَّا لَهَا مُنْذِرُوْنَ ۖ ذِكْرٰىۚ وَمَا كُنَّا ظٰلِمِيْنَ
'Kami tak membinasakan suatu negeri, kecuali setelah ada pemberi peringatan kepadanya. (Hal itu) sebagai peringatan. Kami sekali-kali bukanlah orang-orang zalim.' [QS. Ash-Shu'ara (26):208-209]
Hukum Allah bahwa sebuah bangsa akan makmur atau hancur berdasarkan kepatuhan mereka pada keadilan, perilaku moral, dan tuntunan Ilahi.
Tentang akibat dari ketidakadilan, Al Quran menyatakan,
وَاِنَّ كُلًّا لَّمَّا لَيُوَفِّيَنَّهُمْ رَبُّكَ اَعْمَالَهُمْ ۗاِنَّهٗ بِمَا يَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
'Rabbmu takkan membinasakan negeri-negeri secara zalim sedangkan penduduknya berbuat kebaikan.' [QS. Hud (11):117]
Adapun siklus kemakmuran dan kemunduran, Al Quran menyatakan,
وَاِنْ نَّشَأْ نُغْرِقْهُمْ فَلَا صَرِيْخَ لَهُمْ وَلَاهُمْ يُنْقَذُوْنَۙ اِلَّا رَحْمَةً مِّنَّا وَمَتَاعًا اِلٰى حِيْنٍ
'Jika Kami menghendaki, Kami akan menenggelamkan mereka. Kemudian, tidak ada penolong bagi mereka dan tidak (pula) mereka diselamatkan. Akan tetapi, (Kami menyelamatkan mereka) karena rahmat yang besar dari Kami dan untuk memberi mereka kesenangan hidup sampai waktu tertentu.' [QS. Yasin (36):43-44]
Ayat ini menggambarkan kekuasaan Allah atas takdir dan kelangsungan hidup manusia, menekankan kasih sayang-Nya dan siklus cobaan yang telah ditentukan sebelumnya.
Adapun tentang persatuan dan perpecahan antar manusia, Al Quran menyatakan,
وَاَطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَلَا تَنَازَعُوْا فَتَفْشَلُوْا وَتَذْهَبَ رِيْحُكُمْ وَاصْبِرُوْاۗ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَۚ
'Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya, janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkanmu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang, serta bersabarlah. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.
' [QS. Al-Anfal (8):46]
Perpecahan mendatangkan kelemahan, sedangkan kerjasama dan kesabaran mendatangkan kekuatan dan kesuksesan.
Adapun tentang keterkaitan antara perbuatan dan hasilnya, Al Quran menyatakan,
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
'Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).' [QS. Ar-Rum (30):41]
Ayat ini mencerminkan hukum bahwa tindakan manusia memiliki konsekuensi langsung terhadap lingkungan dan stabilitas masyarakat.

Dalam pemikiran Islam, tiada konsep 'karma' seperti yang dipahami dalam agama Hindu, Buddha, atau Jainisme—dimana karma dipandang sebagai hukum kosmik sebab dan akibat yang menentukan kehidupan masa depan atau kelahiran kembali seseorang berdasarkan tindakan. Namun, Al-Quran memang memuat ayat-ayat yang membahas tindakan dan konsekuensinya, yang menekankan akuntabilitas dan gagasan tentang balasan, yang memiliki beberapa kesamaan dengan karma tetapi punya perbedaan teologis yang penting. Ulama Sunni menafsirkan konsep-konsep Al-Quran ini dalam kerangka penghakiman Ilahi, tanggungjawab pribadi, dan konsekuensi moral dari tindakan, semuanya dalam satu masa hidup yang mengarah pada sekali penghakiman.
Al-Quran sering menyatakan bahwa setiap orang akan diberi pahala atau hukuman di akhirat sesuai dengan perbuatannya. Konsep keadilan ilahi ini menyatakan bahwa segala perbuatan—baik atau buruk—akan dicatat dan akan dinilai oleh Allah. Namun, tak seperti karma, balasan bukanlah hukum alam, melainkan hasil langsung dari kehendak dan hikmah Allah.
فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ ࣖ
'Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah, ia akan melihat (balasan)-nya. Siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah, ia akan melihat (balasan)-nya.' [QS. Az-Zalzalah (99):7-8]
Ulama Sunni menafsirkan hal ini sebagai jaminan keadilan Ilahi dan akuntabilitas individu. Setiap tindakan, sekecil apa pun, punya konsekuensi yang akan terungkap pada Hari Pengadilan, bukan melalui siklus kelahiran kembali, tetapi melalui perhitungan Ilahi.
Dalam Islam, setiap orang bertanggungjawab secara pribadi atas perbuatannya dan akan menanggung sendiri akibat dari tindakannya. Tak seperti karma, yang mungkin menunjukkan bahwa tindakan seseorang mempengaruhi kelahiran kembali mereka, Al-Quran menyatakan bahwa perbuatan seseorang secara langsung mempengaruhi hasil akhirat mereka. Dalam Islam, beberapa ulama mengakui bahwa dosa dan perbuatan baik dapat berkonsekuensi langsung atau tertunda dalam kehidupan ini, yang agak mirip dengan aspek sebab-akibat karma. Namun, konsekuensi ini dipandang sebagai bagian dari ketetapan Allah, yang dimaksudkan sebagai ujian atau penyucian.
Akibat dari tindakan adalah hasil langsung dari penghakiman Allah, bukan prinsip kosmik yang bekerja sendiri. Keadilan Allah diimbangi dengan rahmat, yang memungkinkan pengampunan dan pertobatan. Islam mengajarkan bahwa setiap jiwa memiliki satu kehidupan, diikuti oleh kematian, masa tunggu (di alam barzakh), dan penghakiman terakhir. Tiada reinkarnasi atau siklus kehidupan, seperti yang disarankan oleh karma dalam agama-agama Timur.
Tak seperti karma, yang bekerja secara mekanis, ajaran Islam menekankan bahwa Allah dapat mengampuni dosa melalui pertobatan. Artinya, hasil akhir yang dicapai seseorang tak semata-mata ditentukan oleh perbuatannya di masa lalu, tetapi dipengaruhi oleh pertobatan yang tulus dan rahmat Ilahi.

Surah Ar-Ra’d, ayat 5 (13:5) sering dipahami oleh para ulama Sunni sebagai salah satu ayat Al-Quran yang menolak gagasan reinkarnasi, karena menekankan kebangkitan dan kembalinya manusia kepada Allah, bukan siklus kelahiran kembali. Ayat tersebut menyatakan:
وَاِنْ تَعْجَبْ فَعَجَبٌ قَوْلُهُمْ ءَاِذَا كُنَّا تُرٰبًا ءَاِنَّا لَفِيْ خَلْقٍ جَدِيْدٍ ەۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِرَبِّهِمْۚ وَاُولٰۤىِٕكَ الْاَغْلٰلُ فِيْٓ اَعْنَاقِهِمْۚ وَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
'Jika engkau (Nabi Muhammad) heran, (justru) yang mengherankan adalah ucapan mereka (orang-orang kafir), “Akankah bila kami telah menjadi tanah, kami benar-benar (dikembalikan) menjadi makhluk yang baru?” Mereka itulah orang-orang yang kufur kepada Rabb-nya. Mereka itulah orang-orang (yang dilekatkan) belenggu di lehernya. Merekalah para penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.'
Ayat ini dipahami sebagai bantahan terhadap konsep reinkarnasi, dimana jiwa terlahir kembali dalam berbagai bentuk di berbagai kehidupan. Sebaliknya, ayat tersebut merujuk pada konsep kebangkitan satu kali dimana Allah akan menghidupkan kembali semua orang dalam ciptaan baru setelah kematian, terlepas dari bagaimana tubuh mereka telah membusuk. Dihidupkan kembali inilah peristiwa tunggal di akhirat, bukan siklus yang berulang. Ayat tersebut mencerminkan keraguan yang diungkapkan oleh orang-orang kafir yang tak dapat memahami kebangkitan, terutama setelah tubuh fisik hancur menjadi debu. Ulama Sunni menafsirkan keheranan mereka pada kebangkitan sebagai bentuk ketidakpercayaan terhadap kekuatan Allah untuk menghidupkan kembali orang mati. Ketidakpercayaan ini ditanggapi dengan keyakinan bahwa Allah mampu menciptakan kembali bentuk apa pun setelah akhirat, yang bertentangan dengan gagasan tentang jiwa yang kembali dalam berbagai bentuk duniawi. Ayat tersebut secara eksplisit menyebutkan hukuman orang-orang kafir di Neraka, dimana mereka akan tinggal selamanya. Hasil kekal ini kontras dengan gagasan reinkarnasi, dimana jiwa akan terus-menerus mengalami berbagai kehidupan. Dalam eskatologi Islam, akhiratlah keadaan akhir yang kekal—baik di Surga maupun Neraka—berdasarkan perbuatan dan keyakinan seseorang dalam kehidupan ini.

Ulama Sunni menekankan bahwa dalam Islam, setiap jiwa diberi kehidupan yang unik di dunia ini sebagai ujian. Usai kematian, ada masa tunggu (barzakh) hingga Hari Penghakiman, saat setiap individu akan diadili dan diberi pahala atau hukuman sesuai dengan perbuatannya. Reinkarnasi bertentangan dengan keyakinan ini dengan menyiratkan bahwa jiwa kembali berulang kali untuk diuji, yang tak didukung oleh ajaran Islam.
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini sebagai indikasi yang jelas tentang finalitas kehidupan dan ketidakmungkinan kembali ke dunia ini dalam bentuk yang berbeda setelah kematian. Ia menjelaskan bahwa pertanyaan orang-orang kafir tentang menjadi "debu" dan dihidupkan kembali berakar pada penolakan mereka terhadap kebangkitan. Ayat tersebut membahas penolakan mereka dengan menekankan kekuatan mutlak Allah menciptakan mereka kembali dalam bentuk baru, sekali dan untuk selamanya.
Ar-Razi menelaah ketidakpercayaan yang ditunjukkan oleh orang-orang yang menolak Hari Berbangkit. Ia menyatakan bahwa keheranan mereka berasal dari kesalahpahaman tentang kemampuan Allah yang tak terbatas. Ar-Razi menafsirkan ketidakpercayaan mereka sebagai bentuk ketidaktahuan spiritual yang tak mampu memahami realitas akhirat dan kebangkitan satu kali.
At-Tabari juga menjelaskan bahwa ayat ini membantah gagasan tentang kehidupan ganda. Bagi At-Tabari, penyebutan ayat tersebut tentang hukuman bagi orang-orang kafir pada Hari Pengadilan menekankan bahwa tiada siklus kembali ke kehidupan, melainkan akhir yang menentukan yang diikuti oleh akhirat. Penafsiran Sunni terhadap Surah Ar-Ra'd, ayat 5, sepakat bahwa ayat tersebur menegaskan kebangkitan sebagai peristiwa satu kali dan menolak reinkarnasi. Ayat tersebut menjelaskan bahwa setiap jiwa hidup satu kali, mati, dan kemudian akan dibangkitkan untuk penghakiman terakhir. Reinkarnasi, sebagaimana dipahami dalam sistem kepercayaan lain, dipandang tak sesuai dengan teologi Islam Sunni, yang menekankan perkembangan linier kehidupan, kematian, barzakh, dan kebangkitan. Kerangka kerja ini menggarisbawahi keunikan dan finalitas ujian setiap jiwa dalam kehidupan ini, yang mengarah pada konsekuensi abadi di akhirat."