Dalam Handbook of Disaster Research, yang disunting oleh Havidán RodrÃguez, William Donner, dan Joseph E. Trainor (2018, Springer), terma “disaster” dipahami dalam konteks yang lebih luas dan sosial dibandingkan sekadar sebagai bahaya alam. Buku ini menekankan bahwa "disaster", bukan sekadar peristiwa alam, melainkan fenomena yang terjadi ketika peristiwa berbahaya berinteraksi dengan kerentanan masyarakat, paparan, dan kapasitas komunitas untuk merespons. Disaster didefinisikan sebagai gangguan serius terhadap fungsi suatu komunitas atau masyarakat pada berbagai skala, yang mengakibatkan kerugian dan dampak manusiawi, material, ekonomi, dan lingkungan, sehingga melebihi kemampuan masyarakat terdampak untuk mengatasinya dengan sumber daya sendiri. Dalam kerangka ini, fokus bergeser dari bahaya itu sendiri kepada struktur sosial dan kondisi yang membuat masyarakat rentan, seperti kemiskinan, perencanaan yang tidak memadai, infrastruktur yang lemah, dan kapasitas institusional yang terbatas. Oleh sebab itu, yang dikategorikan sebagai disaster tidak hanya bergantung pada terjadinya peristiwa berbahaya, tetapi juga pada bagaimana faktor sosial, ekonomi, dan institusional memengaruhi tingkat dampaknya. Handbook of Disaster Research mendorong pendekatan multidisipliner untuk memahami disaster, dengan mengintegrasikan perspektif sosiologi, kebijakan publik, perencanaan kota, dan manajemen risiko, selain studi tradisional tentang bahaya alam.Dalam konteks ini, kata bahasa Inggris “disaster” diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “bencana”. Menurut Handbook, bencana atau “disaster” dapat dipahami sebagai gangguan serius terhadap fungsi suatu komunitas atau masyarakat akibat peristiwa berbahaya yang berinteraksi dengan kondisi kerentanan dan paparan, sehingga menyebabkan kerugian manusiawi, material, ekonomi, atau lingkungan yang melebihi kemampuan komunitas untuk mengatasinya dengan sumber daya sendiri. Definisi ini menekankan bahwa bencana bukan sekadar fenomena alam, melainkan kondisi yang dimediasi secara sosial dan struktural, dimana interaksi antara bahaya, kerentanan, dan kapasitas menentukan apakah suatu peristiwa menjadi katastrofik.Handbook of Disaster Research menempatkan bencana bukan sekadar sebagai fenomena alam, melainkan sebagai konstruksi sosial. Para editor dan penulis dalam buku ini menunjukkan bahwa apa yang kita sebut “bencana” sangat tergantung pada konteks sosial: kerentanan, ketimpangan, tatakelola, dan proses historis menentukan siapa yang paling menderita dan seberapa parah dampaknya. Buku ini menghimpun analisis sosiologis, demografis, ekonomi, dan kebijakan publik untuk menunjukkan bahwa bencana mengungkap kelemahan struktural—ketidakadilan, perencanaan tatakota yang buruk, pelayanan publik yang timpang—dan bahwa upaya pemulihan, mitigasi, dan ketangguhan memerlukan langkah terhadap akar sosial, bukan hanya respons terhadap bahaya alam.
Dalam Handbook of Disaster Research, bencana digambarkan bukan hanya sebagai episode kehancuran yang disebabkan alam semata, namun sebagai peristiwa yang dimediasi secara sosial, dimana keparahan dan konsekuensinya sangat bergantung pada struktur sosial, ekonomi, demografi, dan kebijakan publik yang telah ada sebelumnya. Para penyunting dan kontributor buku ini berargumen bahwa yang menjadikan suatu peristiwa berbahaya berubah menjadi “bencana” bukan semata‑mata kekuatan alam, tetapi pertemuan antara hazard tersebut dengan kerentanan manusia yang dibentuk oleh ketidaksetaraan, stratifikasi sosial, dan distribusi sumber daya yang timpang.Dari sudut sosiologis dan demografis, buku ini menyoroti bagaimana perbedaan kelas, ras, etnis, gender, usia, disabilitas, dan garis‑garis stratifikasi sosial lain menentukan siapa yang paling rentan terhadap bencana. Misalnya, ketidaksetaraan sosial dan ekonomi—kemiskinan, marginalisasi, kurangnya suara politik—kerap membuat kelompok yang terpinggirkan menderita dengan berlebih ketika bencana terjadi. Demikian pula, anak‑anak, lanjut usia, penyandang disabilitas, atau kelompok marjinal sosial memiliki kapasitas lebih rendah untuk menghadapi dan pulih dari bencana—hal ini menunjukkan bahwa demografi dan struktur sosial memegang peran sentral dalam membentuk hasil bencana.Secara ekonomi, Handbook menunjukkan bahwa bencana cenderung memperkuat ketimpangan ekonomi yang sudah ada daripada mempengaruhi semua orang secara merata. Komunitas atau individu dengan sumber daya terbatas, pendapatan tidak stabil, rumah yang rapuh atau tanpa tabungan lebih sulit menyerap guncangan, pulih, atau membangun kembali. Dampak ekonomi — kehilangan harta, terganggunya mata pencaharian, kenaikan biaya hidup — sering paling berat di tanggung oleh mereka yang sudah berada di pinggiran. Ini menegaskan bagaimana bencana tidak hanya mencerminkan, tetapi juga memperkuat ketidakadilan struktural ekonomi.Dari perspektif kebijakan publik dan perencanaan kota, buku ini mengkritik pendekatan yang hanya memandang bencana sebagai kejadian alam terpisah yang harus ditanggulangi dengan respons darurat atau perbaikan infrastruktur semata. Sebaliknya, buku ini menekankan bahwa mitigasi jangka panjang dan ketangguhan memerlukan perubahan sistemik: perencanaan spasial yang lebih baik, kebijakan perumahan yang adil, jaring pengaman sosial, tata kelola bencana inklusif, serta kebijakan yang mengurangi kerentanan sosial. Masuknya bab seperti “Climate Change and Disasters” dan “Contributions of Technological and Natech Disaster Research to the Social Science Disaster Paradigm” mencerminkan kebutuhan untuk mengintegrasikan mitigasi hazard dengan kebijakan sosial, teknologi dan lingkungan — bukan semata merespon setelah bencana, tetapi mencegah atau meminimalkan dengan mengubah kondisi sosial yang membuat populasi rentan.Yang penting, Handbook memandang bencana sebagai peluang bagi penelitian dan refleksi sosial: selama fase bencana dan pemulihan, ketidakadilan sosial, kesiapan institusi (atau kekurangannya), ketangguhan atau fragmentasi komunitas, dan kegagalan tata kelola menjadi sangat terlihat — lebih nyata daripada di masa normal. Penampakan ini memungkinkan ilmuwan sosial, pembuat kebijakan dan masyarakat untuk mendiagnosis ketidakadilan struktural, mempertanyakan kekeliruan perencanaan atau tata kelola sebelumnya, dan mendorong reformasi yang diarahkan pada keadilan, kesetaraan, dan ketangguhan.Karenanya, menurut Handbook, mitigasi bencana dan pemulihan yang efektif harus melampaui solusi “keras” fisik atau teknis (misalnya tanggul banjir, drainase, sistem peringatan dini). Mereka juga harus menangani dimensi “lunak” struktural: mengurangi kemiskinan dan ketimpangan, memastikan akses layanan secara adil, memperkuat modal sosial dan kapasitas institusi komunitas, memperbaiki perencanaan kota, serta kebijakan inklusif yang antisipatif terhadap kerentanan. Hanya dengan mengatasi kondisi sosial dan struktural akar itulah masyarakat dapat membangun ketangguhan dan mengurangi risiko bahwa hazard masa depan berkembang menjadi bencana besar.Menurut Hazards, Risks, and Disasters in Society (suntingan Andrew E. Collins dkk., Elsevier, 2015), bahaya dan bencana tak bisa dipahami secara bermakna jika dipisahkan dari struktur masyarakat, kondisi ekonomi, dan keputusan politik, karena yang menjadikan suatu bahaya sebagai bencana bukan semata‑mata peristiwa alam atau fisik, melainkan bagaimana masyarakat dan individu ditempatkan secara sosial untuk merespons, menahan, atau justru menderita dari peristiwa tersebut.Dalam buku tersebut, bencana lingkungan dianalisis dalam konteks sejarah, politik, dan ekonomi—menunjukkan bahwa budaya individu maupun korporat menjadi penentu apakah orang menjadi rentan atau tangguh terhadap paparan bahaya. Struktur ketidaksetaraan, keputusan tatakelola pemerintahan, pembangunan ekonomi (atau ketiadaan pembangunan), organisasi sosial, dan praktik budaya membentuk bagaimana risiko didistribusikan, siapa yang terekspos, dan siapa yang menanggung dampak ketika bahaya terjadi.Lebih jauh, para penulis menunjukkan bahwa masyarakat yang memperkuat institusi sosial, membangun infrastruktur tangguh, serta mempromosikan kebijakan sosial dan ekonomi yang inklusif dapat memitigasi dampak bahaya dan mengurangi kemungkinan bahwa bahaya tersebut berubah menjadi bencana—menjadikan potensi bencana sebagai krisis yang dapat dikendalikan.Dengan demikian, bencana bukan sekadar peristiwa “alami”, melainkan fenomena yang dibentuk secara sosial: skala, intensitas, dan konsekuensinya sangat bergantung pada keputusan manusia—politik, ekonomi, budaya—serta pada kerentanan dan kapasitas sosial yang sudah ada sebelumnya.Bencana dalam masyarakat muncul dari keterjeratan antara sistem lingkungan dan sistem manusia karena tingkat keparahan dan dampak suatu bahaya tak ditentukan semata-mata oleh kekuatan alam, tetapi juga oleh kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya dimana manusia hidup. Buku ini menekankan bahwa banjir, gempa bumi, badai, atau bahaya lingkungan lainnya menjadi bencana hanya ketika berinteraksi dengan kerentanan sosial seperti kemiskinan, distribusi sumber daya yang tak merata, pemerintahan yang lemah, dan kapasitas adaptasi yang terbatas. Memahami kompleksitas ini sangat penting untuk pengurangan risiko bencana yang berkelanjutan karena mitigasi yang efektif menuntut penanganan tak hanya terhadap bahaya fisik, melainkan pula faktor struktural yang membuat populasi tertentu lebih terekspos dan kurang tangguh. Dengan menggabungkan pengetahuan tentang proses lingkungan dengan analisis sistem sosial, pembuat kebijakan dan komunitas dapat merancang strategi yang mengurangi risiko, membangun ketangguhan, dan memastikan bahwa bahayanya tidak berkembang menjadi bencana besar.Bencana alam, natural disaster, merupakan suatu peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba atau bertahap akibat proses alam di Bumi dan menimbulkan kerugian signifikan bagi manusia, properti, atau lingkungan. Peristiwa ini mencakup, tetapi tak terbatas pada, gempa bumi, banjir, tsunami, letusan gunung berapi, angin topan, tanah longsor, dan kekeringan. Bencana alam bukan hanya fenomena fisik; dampaknya sering diperparah oleh faktor manusia seperti kepadatan penduduk, perencanaan kota, ketimpangan sosial, dan kerentanan ekonomi. Intinya, bencana alam terjadi di persimpangan antara bahaya alam dan paparan atau kerentanan masyarakat. Tingkat keparahan bencana ditentukan tak semata oleh intensitas peristiwa alam itu sendiri, tapi juga oleh kesiapsiagaan, ketahanan, dan kapasitas adaptif komunitas yang terdampak.Dari perspektif yang lebih luas, bencana alam bermakna sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Bencana dapat mengganggu mata pencaharian, perekonomian, dan sistem pemerintahan, menantang praktik budaya dan kohesi komunitas, serta mengungkap kelemahan struktural yang mendasar dalam masyarakat. Dengan demikian, bencana alam merupakan peristiwa fisik sekaligus fenomena sosial, yang mencerminkan interaksi kompleks antara lingkungan dan masyarakat manusia. Pemahaman terhadap bencana alam memerlukan pendekatan interdisipliner yang menggabungkan ilmu bumi, ilmu sosial, studi kebijakan, dan kesadaran budaya, guna mengurangi risiko, mengelola dampak, dan meningkatkan ketahanan komunitas.Dari perspektif ideologi, bencana alam dapat ditafsirkan melalui lensa tanggungjawab manusia dan pemerintahan. Ideologi yang menekankan pengelolaan lingkungan oleh manusia melihat bencana sebagai sinyal ketidakseimbangan antara aktivitas manusia dan sistem alam. Sebaliknya, ideologi religius atau spiritual tertentu menafsirkan bencana sebagai kehendak ilahi atau ujian moral, yang menekankan keterbatasan kendali manusia dan perlunya perilaku etis.Dari perspektif filosofis, bencana alam menantang asumsi dasar tentang kerentanan manusia, sebab-akibat, dan sifat takdir. Para filsuf dapat menganalisis bencana sebagai pengingat kematian manusia, ketidakpastian hidup, dan kewajiban etis untuk menolong yang menderita. Bencana memunculkan pertanyaan tentang agensi manusia, kewajiban moral untuk membantu orang lain, dan ketegangan filosofis antara determinisme dan kebebasan kehendak menghadapi peristiwa yang tak terkendali.Dalam ranah politik, bencana alam merupakan ujian sekaligus instrumen pemerintahan. Pemerintah dinilai berdasarkan kesiapsiagaan, respons, dan upaya pemulihan mereka. Secara politik, bencana dapat menyingkap kelemahan institusi publik, memicu perdebatan tentang prioritas kebijakan, dan menjadi alat bagi aktor politik untuk memperoleh atau kehilangan legitimasi. Pengakuan nasional atas bencana, alokasi dana darurat, dan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah adalah tindakan yang bersifat politik.Dari perspektif sosial, bencana alam sangat mempengaruhi struktur komunitas, kohesi sosial, dan ketahanan kolektif. Pengungsian, kehilangan nyawa, dan kerusakan infrastruktur mengganggu jaringan sosial, mengubah pola demografis, dan menyoroti ketidaksetaraan. Analisis sosial menyoroti bagaimana bencana mempengaruhi populasi rentan, memperkuat kerentanan yang sudah ada, dan mendorong tindakan kolektif serta solidaritas.Bencana alam merupakan peristiwa yang dipicu oleh kekuatan alam—semisal gempa bumi, banjir, atau badai—yang menimbulkan kerugian besar bagi manusia, properti, dan lingkungan. Meskipun berasal dari alam, dampaknya dipengaruhi faktor manusia seperti kepadatan penduduk, perencanaan, dan ketimpangan sosial. Dengan kata lain, bencana alam terjadi saat kekuatan alam bertemu dengan kerentanan masyarakat: semakin besar bahaya dan semakin rentan rakyatnya, semakin parah bencananya. Memahami hubungan ini penting guna mengurangi risiko, mempersiapkan masyarakat, dan membangun ketahanan.
Dalam konteks budaya, bencana alam ditafsirkan dan diingat melalui kepercayaan lokal, narasi, dan ritual. Kerangka budaya memengaruhi bagaimana masyarakat memahami sebab, merayakan ritual berkabung, dan memobilisasi bantuan bersama. Interpretasi budaya juga membentuk memori kolektif, memengaruhi identitas komunitas terdampak, serta transmisi pelajaran dari generasi ke generasi.
Dari perspektif ekonomi, bencana alam memiliki implikasi finansial langsung dan jangka panjang. Kerusakan properti, gangguan perdagangan, hilangnya mata pencaharian, dan tekanan pada anggaran publik menantang stabilitas ekonomi. Analisis ekonomi menekankan kerugian langsung, biaya tidak langsung, investasi pemulihan, mekanisme asuransi, dan ketahanan sistem ekonomi. Kapasitas negara atau komunitas untuk pulih secara ekonomi sering menentukan dampak bencana secara lebih luas.
Singkatnya, konsep bencana alam melampaui fenomena lingkungan sederhana. Dari sisi ideologi, mencerminkan interaksi manusia-lingkungan dan tanggung jawab etis; dari sisi filosofi, menimbulkan pertanyaan tentang kematian dan agensi; secara politik, menguji legitimasi pemerintahan; secara sosial, memengaruhi kohesi dan kerentanan; secara budaya, membentuk narasi dan memori kolektif; dan secara ekonomi, menantang stabilitas serta mekanisme pemulihan. Memahami bencana melalui lensa-lensa ini memungkinkan pendekatan yang lebih komprehensif dalam pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons.
Banjir dan longsor yang saat ini melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat merupakan kasus luar biasa yang layak mendapatkan pengakuan sebagai bencana nasional. Dalam kerangka hukum Indonesia, penetapan bencana nasional bukan sekadar simbolis; hal ini memicu mobilisasi sumber daya pemerintah pusat, aktivasi mekanisme dana darurat, dan memastikan koordinasi operasi lintas provinsi. Skala, kompleksitas, dan karakter simultan dari bencana ini melampaui kapasitas pemerintah provinsi, sehingga intervensi nasional memiliki dasar operasional dan moral yang jelas.
Sebaran geografis bencana ini sangat luas. Beberapa provinsi terdampak secara simultan, dengan konsekuensi berantai pada infrastruktur, layanan publik, dan ekonomi regional. Dampak lintas provinsi ini menantang kapasitas satu provinsi saja untuk menangani bencana secara efektif. Koordinasi antarprovinsi memerlukan pengawasan pusat agar logistik, alokasi sumber daya, dan prioritas operasional dapat diselaraskan.
Jumlah korban manusia juga mengkhawatirkan. Laporan resmi menunjukkan lebih dari 400 orang meninggal, dengan ratusan orang lainnya masih hilang. Banyak wilayah tetap terisolasi akibat jembatan rusak, jalan terblokir, dan jaringan komunikasi terganggu. Skala korban dan kompleksitas operasi pencarian serta pemulihan menuntut tim khusus, termasuk unit identifikasi korban, personel forensik, dan tenaga medis, yang koordinasinya paling efektif dilakukan di tingkat nasional.
Infrastruktur kritis mengalami kerusakan luas. Jalan nasional, jembatan, jaringan listrik, dan menara komunikasi terganggu, mempengaruhi tidak hanya komunitas lokal tetapi juga perdagangan dan jaringan nasional. Aset strategis ini penting bagi stabilitas ekonomi, dan kerusakannya membutuhkan intervensi kementerian pusat, satuan teknik militer, dan perencanaan terpadu yang melampaui kapasitas provinsi.
Pengungsian puluhan ribu penduduk semakin menegaskan perlunya pengawasan nasional. Populasi yang tersebar di banyak provinsi, termasuk kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas, memerlukan standar hunian darurat, perawatan medis, dan dukungan gizi. Sumber daya provinsi saja tidak mampu mempertahankan bantuan kemanusiaan jangka panjang, sementara intervensi nasional memungkinkan distribusi bantuan yang adil dan seragam.
Kerugian ekonomi juga sangat besar. Lahan pertanian, usaha kecil, dan fasilitas publik seperti sekolah dan klinik hancur. Dampak ekonomi kumulatif ini melampaui kemampuan finansial pemerintah provinsi untuk melakukan pemulihan. Penetapan nasional memungkinkan program rekonstruksi terkoordinasi, alokasi dana yang tepat, dan strategi pemulihan ekonomi yang selaras dengan tujuan pembangunan nasional.
Mekanisme tanggap darurat provinsi berada di bawah tekanan tinggi. Otoritas lokal bekerja pada kapasitas penuh, dengan personel, peralatan, dan logistik yang terbatas. Status bencana nasional memungkinkan pengiriman sumber daya tambahan, termasuk dukungan militer, tim SAR khusus, dan unit medis darurat, sehingga operasi tetap efektif dan aman.
Pertimbangan politik dan sosial juga mendukung pengakuan nasional. Perhatian publik yang luas, pengawasan parlemen, liputan media, dan visibilitas internasional menempatkan tekanan pada pemerintah untuk merespons secara komprehensif. Dalam konteks demokrasi, pengakuan nasional adalah kebutuhan operasional sekaligus kewajiban moral, menandakan komitmen negara terhadap perlindungan warganya.
Bencana ini menyoroti kelemahan sistemik dalam manajemen bencana lokal. Pemerintah provinsi menunjukkan keterbatasan dalam kesiapsiagaan, sistem peringatan dini, dan koordinasi antar lembaga. Intervensi nasional memungkinkan standarisasi protokol darurat, penguatan kapasitas teknis, dan sinkronisasi respons daerah dengan strategi pusat.
Kriteria hukum menurut UU No. 24 Tahun 2007 memberikan dasar jelas untuk penetapan bencana nasional, termasuk jumlah individu terdampak, sebaran geografis, kerusakan infrastruktur, dan kerugian ekonomi. Situasi saat ini di Sumatra memenuhi dan bahkan melebihi ambang batas tersebut, memberikan dasar hukum dan operasional yang kuat untuk menaikkan status.
Dimensi internasional juga memperkuat argumen ini. Liputan media global dan perhatian kemanusiaan menciptakan ekspektasi respons nasional dan internasional yang terkoordinasi. Pengakuan sebagai bencana nasional mempermudah kerja sama dengan lembaga internasional, donor, dan LSM, sehingga upaya bantuan dan rekonstruksi sesuai standar kemanusiaan global.Faktor temporal juga penting. Hujan yang berkepanjangan, longsor berulang, dan risiko bencana susulan menciptakan keadaan darurat yang berkepanjangan, tidak dapat sepenuhnya ditangani oleh protokol provinsi standar. Status bencana nasional memastikan mobilisasi sumber daya untuk bantuan segera, pemulihan menengah, dan pengurangan risiko jangka panjang.
Kohesi sosial dan kepercayaan publik juga menjadi pertimbangan. Tindakan nasional yang cepat dan terkoordinasi dapat mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah, mencegah ketegangan sosial, dan memperkuat legitimasi otoritas publik. Sebaliknya, respons yang lambat atau terfragmentasi dapat memperburuk ketegangan sosial dan menurunkan kepercayaan terhadap pemerintah.
Analisis perbandingan dengan bencana nasional sebelumnya di Indonesia, seperti tsunami Aceh 2004 dan gempa Lombok 2018, menunjukkan bahwa ketika skala, kompleksitas, dan karakter lintas provinsi dari sebuah bencana melampaui kapasitas lokal, penetapan resmi bencana nasional terbukti efektif. Preseden historis ini mendukung pendekatan proaktif dalam kasus Sumatra saat ini.
Akhirnya, dari perspektif etis, pengakuan nasional menegaskan tanggung jawab negara untuk melindungi warganya. Hal ini menegaskan akuntabilitas moral, memastikan distribusi bantuan yang adil, dan menekankan komitmen terhadap martabat manusia serta ketahanan masyarakat dalam menghadapi bencana alam.
Kesimpulannya, banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat memenuhi berbagai kriteria operasional, hukum, politik, sosial, dan etis untuk ditetapkan sebagai bencana nasional. Kombinasi dampak lintas provinsi, korban manusia, kerusakan infrastruktur, kerugian ekonomi, dan keterbatasan kapasitas daerah membuat pengakuan nasional tidak hanya wajar tetapi juga penting untuk respons yang terkoordinasi, efektif, dan bertanggung jawab secara etis.
Tidak tepat jika kita menganggap banjir dan longsor besar di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sebagai hasil dari “musibah alam” semata—yaitu hujan ekstrem atau iklim marah. Bukti dari berbagai laporan menunjukkan bahwa walau cuaca ekstrem mungkin memicu peristiwa itu, penyebab mendasar yang memperparah dampaknya jauh lebih banyak disebabkan oleh campur tangan manusia terhadap lingkungan dan tata kelola lahan yang buruk.
Pertama, kerusakan gambut dan hutan di Sumatra telah merusak ketahanan alami tanah. Dahulu gambut dan hutan bertindak sebagai spons raksasa—menyerap air hujan dan melepaskannya perlahan, menjaga agar aliran tak membanjiri sungai secara tiba‑tiba. Namun saat ini banyak areal gambut dan hutan sudah rusak, dialiri kanal, atau dikeringkan—sehingga kemampuannya menyerap air secara signifikan menurun. Ketika “spons” alami ini hilang, air hujan yang dulu bisa tertahan, sekarang langsung mengalir di permukaan dan masuk sungai dengan cepat—memicu banjir.
Kedua, konversi besar‑besar lahan hutan menjadi perkebunan monokultur (sawit, karet, dan sejenisnya) maupun penggunaan lahan lainnya telah mengubah karakter tanah dan daya resap air. Tanah yang dipadatkan, serta hilangnya vegetasi penutup tanah, membuat saat hujan lebat air tak meresap ke dalam tanah, melainkan cepat mengalir di permukaan. Dalam kawasan DAS (daerah aliran sungai) di Sumatra, perubahan penggunaan lahan tersebut telah terbukti berhubungan dengan peningkatan frekuensi dan intensitas banjir.
Ketiga, sistem sungai dan DAS di kawasan terdampak sudah melemah: sedimentasi, hilangnya tutupan vegetasi, serta perubahan bentuk sungai membuat daya tampung dan aliran sungai terganggu. Berdasarkan data dari Kementerian Kehutanan, di beberapa lokasi curah hujan ekstrem (lebih dari 150 mm/hari) menyebabkan debit air melampaui kapasitas sungai, sehingga air meluap dan menyebabkan banjir. Fakta ini menunjukkan bahwa sungai yang dulu dapat menyalurkan hujan besar dengan aman, sekarang sudah rentan—sehingga kejadian ekstrem pun menjadi bencana besar.
Keempat, banyak pihak kritis berpendapat bahwa peristiwa seperti ini tak lagi bisa disebut “alamiah murni,” melainkan hasil dari keruntuhan ekologis struktural—yaitu akumulasi degradasi lingkungan, hilangnya habitat, perubahan fungsi lahan, sekaligus penurunan daya alami tanah dan ekosistem. Di tiga provinsi tersebut, kerusakan lingkungan—deforestasi, pengeringan gambut, konversi lahan—telah berlangsung dalam jangka panjang. Kerusakan ini menjadikan tanah dan ekosistem jauh lebih rapuh—sehingga hujan ekstrem pun bisa memicu bencana besar.
Kelima, dari sudut pandang perubahan iklim, banyak ahli menyatakan bahwa kejadian hujan ekstrem yang konstan atau curah hujan yang dulu tergolong langka, kini semakin sering muncul akibat pemanasan global. Ketika tekanan iklim seperti ini dipadukan dengan lingkungan yang sudah rapuh, maka hasilnya bukan hujan deras biasa, melainkan banjir dan longsor mematikan—dengan intensitas dan frekuensi yang makin sulit diprediksi.
Dengan fakta–fakta tersebut, jelas bahwa bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukan sekadar “kejadian alam” spontan. Ia adalah hasil dari kegagalan struktural dalam perlindungan lingkungan, penggunaan lahan, dan perencanaan tataruang. Banjir dan longsor ini merupakan dampak dari kombinasi antara cuaca ekstrem dan pengelolaan lingkungan yang buruk, bukan murni “takdir alam”.
Oleh sebab itu, jika kita ingin mencegah tragedi seperti ini terulang, kita harus menyasar akar masalah: melindungi dan merehabilitasi gambut serta hutan, meninjau ulang konversi lahan, mengembalikan fungsi DAS, serta menata ulang kebijakan tataruang dan lingkungan sesuai batas keberlanjutan alam. Tanpa langkah struktural tersebut, upaya penyelamatan dan evakuasi saja takkan cukup—kita perlu restorasi ekosistem dan keberlanjutan jangka panjang.
Selama beberapa dekade terakhir, tutupan hutan di Pulau Sumatra—termasuk di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat—telah mengalami penyusutan dramatis. Data menunjukkan bahwa pada periode awal 2000‑an, deforestasi di Sumatra mencapai sekitar 0,27 juta hektare per tahun. Baru‑baru ini, data provinsi memperlihatkan bahwa antara 2021 dan 2022, Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat kehilangan 16.782 hektare tutupan hutan, meningkat dibandingkan tahun‑tahun sebelumnya.
Di Aceh, data jangka panjang menggambarkan bahwa dalam dua dekade terakhir, kerusakan hutan telah melemahkan perlindungan alam yang dulunya disediakan oleh tutupan hutan lebat. Di Sumatera Utara, sebuah studi perubahan penggunaan lahan selama 1990–2015 menunjukkan bahwa luas lahan berhutan turun jauh dari 2,322,770.86 hektare pada 1990, menunjukkan deforestasi besar. Begitu pula di Sumatera Barat—analisis tutupan hutan mengonfirmasi kehilangan hutan yang signifikan, terutama di daerah dengan kemiringan tanah landai, yang lebih mudah dikonversi menjadi perkebunan atau pertanian.
Yang membuat kehilangan hutan ini sangat relevan dengan bencana banjir‑longsor 2025 adalah kenyataan bahwa sebagian besar hutan yang hilang berada di area hulu, daerah aliran sungai, dan daerah lereng—zona ekologis yang berfungsi sebagai penyangga hidrologis: menyerap hujan, menahan aliran air, menstabilkan tanah. Dengan terjadinya deforestasi dan konversi lahan—sering untuk perkebunan atau pembangunan—struktur tanah melemah, akar pohon yang menahan tanah hilang, dan kemampuan tanah untuk menyerap air berkurang drastis. Akibatnya, ketika hujan deras turun, air permukaan mengalir cepat, sungai meluap, tanah longsor lebih mudah terjadi—sebuah proses yang oleh banyak peneliti lingkungan disebut sebagai dampak nyata dari degradasi ekologis yang dipicu manusia.
Dalam penelitian di Aceh antara 2011–2018 misalnya, ditemukan bahwa kejadian banjir lebih sering terjadi di area dengan tutupan pohon rendah, banyak perkebunan sawit, dan curah hujan tinggi—menunjukkan bahwa perubahan tutupan hutan dan penggunaan lahan secara nyata meningkatkan risiko banjir. Hal ini menunjukkan bahwa deforestasi bukan persoalan lingkungan abstrak—melainkan faktor determinan dalam membentuk kerentanan ekologis dan hidrometeorologis daerah.
Ketika hujan ekstrem dan kejadian cuaca berat melanda Sumatra pada 2025, daerah‑daerah tersebut sudah kehilangan “tameng alami.” Akibatnya, air mengalir dengan cepat, tanah tak stabil, sungai tak sanggup menampung debit besar—sehingga bencana pun meluas dengan cepat. Banyak pihak sekarang menilai bahwa bencana ini bukan sekadar kejadian alam, melainkan krisis ekologis struktural, hasil dari akumulasi deforestasi, konversi lahan, dan pengelolaan lingkungan yang buruk.
Dampak ekonominya sangat besar. Estimasi terbaru menunjukkan bahwa kerugian di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat–termasuk rumah, infrastruktur, lahan pertanian, fasilitas publik, dan hilangnya mata pencaharian–mencapai puluhan triliun rupiah. Tetapi yang lebih serius adalah hilangnya hutan sebagai “infrastruktur ekologi” jangka panjang—kemampuannya untuk mengatur aliran air, menjaga stabilitas lereng, menyimpan karbon, dan menjaga kesehatan tanah. Membangun kembali rumah dan jalan tidak akan memulihkan fungsi ekologis yang hilang.
Dengan demikian, melihat data deforestasi selama puluhan tahun dan mengaitkannya dengan bencana 2025 membentuk sebuah narasi kuat: wilayah dengan kehilangan tutupan hutan secara luas dan konversi lahan besar menjadi daerah yang sangat rentan terhadap bencana hidrometeorologi. Banjir dan longsor 2025 bukan sekadar kecelakaan alam, melainkan akibat keputusan manusia mengenai lahan, lingkungan, dan pembangunan. Tragedi ini menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk intervensi pada akar masalah: perlindungan hutan, restorasi kawasan hulu, perencanaan penggunaan lahan berkelanjutan, dan kebijakan lingkungan yang lebih berorientasi pada ketahanan ekologis—bukan hanya mitigasi darurat ketika krisis sudah terjadi.
Waktu penetapan resmi bencana nasional jarang ditentukan hanya oleh pertimbangan operasional; faktor politik sering memainkan peran penting. Dalam konteks banjir dan longsor di Sumatra, terdapat beberapa perhitungan politik yang mungkin mempengaruhi pendekatan pemerintah. Pertama, pengakuan bencana nasional membawa bobot politik dan simbolik yang besar. Hal ini menandakan keterlibatan tingkat tertinggi negara, dan dengan demikian pemerintah menjadi langsung bertanggungjawab atas kecepatan dan kecukupan respons. Dalam periode politik sensitif, misalnya menjelang pemilihan umum atau saat pengawasan publik tinggi, pemerintah mungkin menunda pengakuan resmi untuk mengelola persepsi, menghindari kritik, atau menyelaraskan komunikasi dengan strategi politik yang lebih luas.
Kedua, pertimbangan anggaran dan alokasi sumber daya dapat mempengaruhi waktu penetapan. Penetapan bencana di tingkat nasional membuka akses ke dana darurat yang besar, memerlukan pengiriman sumber daya militer dan sipil, serta mewajibkan pengawasan pusat atas operasi rekonstruksi dan bantuan. Pemerintah mungkin ingin menilai skala kerusakan sepenuhnya dan kapasitas pemerintah provinsi sebelum memobilisasi sumber daya tersebut, untuk meminimalkan risiko politik terkait persepsi salah kelola atau pemborosan dana publik.
Ketiga, dinamika antar-pemerintah juga berperan. Pemerintah pusat dan provinsi harus berkoordinasi agar tanggungjawab, rantai operasional, dan hierarki birokrasi selaras. Dalam kasus hubungan politik yang kompleks atau tegang antara pemerintah pusat dan provinsi, penetapan dapat ditunda untuk memberi waktu negosiasi terkait distribusi sumber daya, otoritas komando, dan mekanisme pelaporan. Pemerintah pusat juga mungkin ingin memastikan bahwa administrasi provinsi menunjukkan kompetensi awal, guna menjaga legitimasi dan menghindari persepsi intervensi berlebihan.
Keempat, pengelolaan opini publik dan media menjadi pertimbangan kritis. Pemerintah mungkin ingin menyelaraskan penetapan bencana nasional dengan kampanye komunikasi strategis untuk membingkai narasi, menyoroti keberhasilan upaya bantuan, atau menekankan responsivitas pemerintah. Penetapan prematur tanpa persiapan atau kesiapan logistik dapat mengekspos kelemahan dan mengundang kritik domestik atau internasional, sedangkan penetapan yang terencana memungkinkan pihak berwenang mengendalikan persepsi politik secara lebih efektif.
Kelima, pertimbangan diplomatik atau internasional dapat mempengaruhi waktu penetapan. Pengakuan bencana nasional membuka peluang bantuan internasional, keterlibatan LSM, dan liputan media asing. Pemerintah dapat menyesuaikan waktu untuk bertepatan dengan kesempatan diplomatik, mekanisme pendanaan, atau menghindari pengawasan yang tidak diinginkan, sambil menyeimbangkan kebutuhan kemanusiaan mendesak dengan kepentingan nasional yang dianggap strategis.
Keenam, preseden historis dan inersia birokrasi juga dapat memengaruhi waktu penetapan. Penetapan bencana nasional diatur oleh prosedur hukum formal dan konsultasi antar-lembaga, yang dapat memakan waktu berhari-hari atau berminggu-minggu, terutama ketika banyak provinsi terdampak. Penundaan sering bukan semata-mata politik, tetapi mencerminkan interaksi kompleks antara persyaratan hukum, penilaian operasional, dan perhitungan politik. Namun demikian, secara keseluruhan, faktor politik—persepsi akuntabilitas, timing pemilu, hubungan antar-pemerintah, optik media, dan diplomasi internasional—sering memengaruhi kapan dan bagaimana pengakuan nasional diberikan secara resmi.
Singkatnya, meskipun alasan operasional dan kemanusiaan untuk pengakuan bencana nasional jelas, waktu penetapan formal merupakan keputusan politik sama pentingnya dengan aspek birokrasi atau teknis. Pemerintah menyeimbangkan urgensi respons dengan pertimbangan akuntabilitas, pengelolaan sumber daya, persepsi publik, dan posisi diplomatik, yang dapat mengakibatkan jeda sengaja atau timing strategis sebelum pengakuan resmi dikeluarkan.
Keputusan untuk menunda atau menyesuaikan waktu penetapan bencana nasional membawa risiko politik yang signifikan, yang melampaui pertimbangan operasional langsung. Pertama, persepsi publik sangat sensitif terhadap responsivitas lembaga pemerintah. Penundaan pengakuan, terutama dalam konteks penderitaan luas dan liputan media, dapat mengikis kepercayaan publik dan memunculkan kritik dari masyarakat sipil, partai oposisi, bahkan pengamat internasional. Di era digital, media sosial mempercepat penyebaran persepsi ini, berpotensi mempengaruhi sentimen publik dan narasi politik.
Kedua, penanganan pemerintah terhadap pengakuan bencana dapat berdampak pada dinamika pemilu. Di wilayah terdampak parah, warga cenderung mengaitkan respons pemerintah dengan legitimasi politik dan kompetensi. Penundaan atau inkonsistensi dalam pengakuan dapat ditafsirkan sebagai kelalaian atau ketidakpedulian, yang dapat mempengaruhi perilaku pemilih, tingkat persetujuan publik, dan dinamika politik regional. Karenanya, waktu penetapan menjadi pertimbangan strategis, menyeimbangkan kesiapan operasional dengan optik politik.
Ketiga, pesan yang tak konsisten antara otoritas pusat dan provinsi dapat memperburuk ketidakpastian publik. Pernyataan yang bertentangan mengenai skala bencana, ketersediaan sumber daya, atau kecukupan upaya bantuan dapat memicu kritik politik dan ketegangan sosial. Penetapan nasional, jika dilakukan dengan tepat, memberikan platform komunikasi yang terpadu, memungkinkan pihak berwenang menyampaikan narasi koheren dan menenangkan publik bahwa negara mengendalikan situasi.
Keempat, pengawasan internasional menambah lapisan kompleksitas lain. Liputan media global, organisasi kemanusiaan, dan pemerintah asing memantau respons terhadap bencana alam. Penundaan pengakuan nasional dapat menimbulkan persepsi buruk mengenai tata kelola atau komitmen terhadap keamanan manusia, memengaruhi reputasi Indonesia di kancah internasional serta berdampak pada bantuan asing, investasi, dan hubungan diplomatik. Sebaliknya, pengakuan nasional yang tepat waktu dapat meningkatkan citra negara sebagai lembaga yang kompeten dan responsif.
Kelima, kepercayaan publik jangka panjang terkait erat dengan efektivitas respons awal. Pengakuan nasional yang cepat, disertai dengan mobilisasi sumber daya yang terlihat dan pelaporan transparan, memperkuat kredibilitas institusi negara. Sebaliknya, penundaan yang berkepanjangan atau persepsi politisasi manajemen bencana dapat menumbuhkan sinisme, ketidakpercayaan, dan ketegangan sosial, melemahkan kontrak sosial antara warga dan negara. Seiring waktu, erosi kepercayaan ini dapat memengaruhi kepatuhan terhadap arahan pemerintah di masa depan, termasuk kesiapsiagaan bencana, langkah kesehatan masyarakat, dan implementasi kebijakan.
Akhirnya, manajemen risiko politik memerlukan keseimbangan antara urgensi dan kredibilitas. Pengakuan segera menunjukkan responsivitas, tetapi deklarasi prematur tanpa kesiapan logistik berisiko memperlihatkan kelemahan operasional. Penetapan yang strategis bertujuan mengoptimalkan persepsi publik sekaligus mobilisasi sumber daya yang efektif, tetapi kesalahan perhitungan dapat menimbulkan biaya politik jangka panjang. Pada dasarnya, politik penetapan bencana tak terpisahkan dari legitimasi pemerintahan, kepercayaan publik, dan reputasi nasional, sehingga penting bagi pengambilan keputusan yang hati-hati dan terukur.
Senin, 01 Desember 2025
Bencana Sumatra: Lokal atau Nasional?
Langganan:
Komentar (Atom)

