[Bagian 2]Kok Superman punya anjing? Superman punya anjing karena, meskipun doski alien superkuat, doski tetep butuh temen setia, pelipur lara, dan rasa ‘normal’ di tengah hidupnya yang extraordinary. Anjingnya, Krypto, si Anjing Super, bukan cuma peliharaan biasa—doski semacam simbol ikatan terakhir Superman dengan planet asalnya, Krypton. Ceritanya, Krypto dikirim duluan ke Bumi pakai roket uji coba sama ayahnya Superman, Jor-El, dan akhirnya ketemu lagi ama Kal-El (nama asli Superman). Krypto punya kekuatan mirip Superman, tapi yang paling penting, doi sayang banget ama Superman tanpa peduli sekuat apa orangnya. Di dunia yang sering mengagung-agungkan Superman kek dewa, Krypto tuh kayak sahabat polos yang narik doi balik ke bumi—secara harfiah dan emosional.Hubungan antara Superman dan Krypto, sang anjing super, ternyata bisa nyambung juga ke isu lingkungan—asal kita mau ngeliat lebih dalem. Intinya, relasi mereka itu nunjukin bahwa bahkan makhluk paling kuat pun butuh sentuhan alam buat tetep waras dan manusiawi. Di tengah krisis iklim, hutan yang ditebangi, dan hewan-hewan yang makin punah, kehadiran Krypto jadi semacam pengingat lembut: hidup bareng alam itu bukan pilihan, tapi kebutuhan. Superman udah kehilangan planet asalnya karena kehancuran ekologis—tragedi yang mirip banget ama ancaman Bumi sekarang. Lewat Krypto, kita disadarkan bahwa kalau Superman aja masih jagain sisa-sisa “alam” miliknya, kita juga harusnya mati-matian jagain Bumi ini. Menyelamatkan planet itu bukan cuma soal cuaca ekstrem atau laut pasang, tapi soal nyelametin sukma dunia ini—yang kadang bentuknya berkaki empat dan ekornya goyang-goyang.Etika Lingkungan itu intinya ngajak kita mikir: gimana sih mestinya interaksi kita dengan alam? Bukan cuma soal buang sampah sembarangan atau enggak, tapi tentang tanggungjawab moral atas semua yang kita ambil, rusak, dan acuhkan dari Bumi ini. Krisis iklim bukan cuma urusan sains dan teknologi. Ia persoalan nurani. Soal nilai dan keadilan. Etika Lingkungan bikin kita ngaca: selama ini kita hidup buat nyenengin diri sendiri, tapi planetnya makin nelangsa.
Dalam Environmental Ethics: A Very Short Introduction (2018, Oxford University Press), Robin Attfield ngejelasin bahwa teori etika dan isu lingkungan itu kayak dua sahabat yang gak bisa dipisahin—karena pas kita mikir soal gimana cara hidup yang baik, otomatis kita juga harus mikir gimana cara memperlakukan alam. Doi ngulik gimana teori etika klasik kayak utilitarianisme, deontologi, sampai etika kebajikan bisa “diupgrade” buat ngadepin masalah lingkungan. Misalnya, utilitarianisme nyuruh kita mikir dampak tindakan kita buat semua makhluk hidup—bukan cuma manusia, tapi juga hewan dan mungkin ekosistem. Deontologi ngajarin soal kewajiban dan hak, yang bisa diperluas jadi “kita punya tanggungjawab buat ngejaga alam” atau “generasi depan juga punya hak atas bumi yang sehat.” Etika kebajikan lebih ke soal jadi orang yang punya karakter: rendah hati, bertanggungjawab, dan peduli—kayak superhero lingkungan. Intinya, Attfield bilang etika harus evolve biar bisa ngimbangin krisis lingkungan zaman now. Jadi, mikir etis itu bukan cuma soal nentuin yang bener dan salah, tapi juga soal nyari arah di tengah badai perubahan iklim, punahnya spesies, dan ketidakadilan ekologis.Attfield ngajak kita masuk ke obrolan serius tapi penting banget soal gimana seharusnya hubungan moral antara manusia dan alam. Doi ngupas empat isu kunci yang saling terkait dan super relevan: nilai intrinsik alam, pembangunan berkelanjutan, keadilan ekologis, dan tanggungjawab kita ke generasi masa depan.Pertama, soal nilai intrinsik. Attfield bilang, alam itu punya nilai bukan karena bisa dimanfaatin manusia, tapi karena emang berharga dengan sendirinya. Jadi hutan, sungai, gajah, sampai lumut pun pantas dihormatin—bukan cuma dilihat sebagai “aset” buat dijual atau dieksploitasi. Ini ngebanting balik cara pikir manusia-sentris yang selama ini bikin alam babak belur.Trus, doi ngebahas pembangunan berkelanjutan bukan cuma sebagai jargon politik, tapi sebagai keharusan moral. Intinya: jangan egois. Kita harus mikir gimana caranya hidup hari ini tanpa ngerusak peluang hidup anak-cucu kita besok.Lalu, ada keadilan ekologis—ini bukan cuma soal adil antar manusia, tapi juga antara manusia dan makhluk hidup lainnya. Jangan sampai alam dirusak atas nama kemajuan, tapi yang nanggung akibatnya malah orang miskin, suku adat, atau satwa liar yang nggak bisa demo.Attfield juga menekankan betapa pentingnya tanggungjawab ke generasi mendatang. Walau mereka belum lahir, mereka tetap punya hak atas bumi yang layak. Jadi setiap keputusan yang kita ambil hari ini bakal nentuin nasib mereka. Kalau kita cuek, ya sama aja kayak ninggalin rumah penuh sampah buat mereka tempatin nanti.Attfield ngajarin: etika itu bukan cuma soal hubungan kita sama sesama manusia, tapi juga soal gimana kita bersikap ke bumi dan semua makhluk yang hidup bareng kita.Environmental Ethics: An Introduction to Environmental Philosophy karya Joseph R. DesJardins (2013, Wadsworth) ngajak kita mikir ulang hubungan manusia dengan alam lewat kacamata filsafat moral. Gak sekadar ngebahas teori kayak utilitarianisme atau etika kebajikan, doski juga masuk ke isu-isu kekinian kayak keadilan ekologis, nilai intrinsik alam, dan tanggungjawab kita ke generasi masa depan. Bener-bener kayak tamparan filosofis buat siapa pun yang selama ini ngerasa nyampah itu cuma urusan pribadi. Ini bacaan wajib buat yang pengen jadi aktivis lingkungan, atau sekadar gak mau jadi penonton pas Bumi sekarat.Menurut DesJardins, hubungan manusia dengan alam gak bisa lagi dilihat cuma dari sudut pandang “kita yang punya kuasa.” Doi ngajak kita supaya nyadar bahwa etika itu gak cuma berlaku antar manusia, tapi juga ke makhluk lain—binatang, tumbuhan, hutan, bahkan planet ini sendiri. Jadi, kalau selama ini kita mikir alam itu cuma ‘alat’ buat manusia cari untung, DesJardins bilang, “Eh, jangan egois dong.” Doski ngajak kita mikir, “Apa iya alam itu gak punya nilai kalau gak berguna buat kita?” Di sinilah pentingnya kesadaran moral: bukan cuma mikirin diri kita sekarang, tapi juga anak-cucu kita yang nanti bakal hidup di sisa-sisa bumi yang kita tinggalin. Jadi, intinya, jangan mentang-mentang bisa, terus seenaknya. Mulai sekarang, coba ganti mode dari “bos alam” ke “penjaga bumi.”DesJardins ngajak kita buat mikir gak cuma pakai otak, tapi juga pakai hati, soal isu-isu lingkungan yang lagi panas-panasnya. Doski gak cuma ngelempar istilah keren kayak “sustainability” atau “keadilan ekologis,” terus ditinggal begitu aja. Doi masukin semuanya ke dalam cerita nyata—kayak krisis iklim, hutan yang makin gundul, spesies yang punah, dan bumi yang makin ngos-ngosan gara-gara ulah manusia. Bukan sekadar tanya, “Apa gunanya alam buat kita?”, tapi juga ngajak kita mikir, “Apa alam itu kagak punya nilai kalau gak bisa dijual?” Trus doi juga kasih kita PR moral: “Kalo loe mikirin cucu loe, masih mau buang sampah sembarangan hari genne?” Lewat pertanyaan-pertanyaan filosofis yang kadang bikin kepala cenat-cenut, doi ngedorong kita buat berhenti mikir kayak bos alam, dan mulai bertindak kayak penjaga rumah yang kita tempatin bareng makhluk lain. Ini bukan sekadar teori buku kuliah, bro—ini tamparan elegan buat bangkit dari tidur panjang dan mulai peduli.Menurut DesJardins, filosofi lingkungan itu semacam usaha mikir serius soal “gimana seharusnya kita memandang dan memperlakukan alam,” tapi dari sisi moral dan konsep dasar. Ini bukan cuma soal teknik ngejaga bumi, tapi soal ngebedah cara kita mikir selama ini—apakah alam itu cuma barang dagangan? Mesin tanpa jiwa? Atau justru sahabat hidup yang layak dihormati? DesJardins ngajak kita buat banting setir dari pola pikir “manusia pusat segalanya” ke cara pandang yang lebih humble—yang ngeliat nilai hidup bukan cuma di diri manusia, tapi juga di hewan, pohon, dan laut yang selama ini kita anggap cuma latar belakang. Falsafah lingkungan itu semacam GPS moral buat dunia yang tersesat: dia gak cuma ngasih kritik, tapi juga arah baru buat mikir soal keberlanjutan, tanggungjawab, dan rasa satu nasib bareng seluruh isi bumi. Intinya, ini ngajak kita mikir ulang: “Apa sih artinya jadi manusia di planet yang cuma satu ini—yang rapuh, terbatas, tapi luar biasa indah?”Dalam A New Environmental Ethics: The Next Millennium for Life on Earth karya Holmes Rolston III yang terbit tahun 2012 itu bisa dibilang kayak "wake-up call" buat umat manusia—semacam tamparan keras biar kita sadar kalau Bumi ini bukan supermarket yang isinya bebas kita embat. Rolston ngajak kita semua buat stop mikir cuma soal kepentingan manusia doang. Dia bilang, alam itu bukan cuma 'alat bantu' buat hidup kita, tapi punya nilai dan martabatnya sendiri, bahkan tanpa keterlibatan manusia.Doski semacam ngajarin kita buat pindah mindset: dari "Aku manusia, aku berkuasa," jadi "Aku bagian dari Bumi, dan aku harus menghargainya." Mirip-mirip kaya narasi film Avatar, tapi ini versi filsuf seriusnya. Rolston minta kita jangan egois—enggak cukup lagi cuma peduli sama masa depan anak cucu, tapi juga sama hewan, tumbuhan, bahkan sungai dan gunung yang juga punya 'hak hidup'. Buku ini bukan buat dibaca sambil ngantuk, karena isinya dalam banget dan bikin kita mikir, “Eh, jangan-jangan selama ini gue tuh villain-nya Bumi?”
Intinya, kalau loe peduli sama masa depan planet ini dan enggak mau anak cucu loe tinggal di dunia kayak Mad Max, mending mulai deh kenalan ama etika lingkungan yang ditawarin Rolston. Etika ini bukan sekadar teori, tapi semacam kode etik baru buat hidup barengan alam—bukan jadi bosnya, tapi jadi partner-nya.Masalahnya, dari dulu kita selalu nganggep Bumi kayak supermarket 24 jam: ambil aja sesuka hati, stok kagak bakalan abis. Cara pikir ini udah mendarah daging dari zaman kolonialisme analog sampai kapitalisme digital sekarang. Sayangnya, sistem dan kebijakan sekarang masih percaya sama dongeng pertumbuhan tak terbatas. Padahal logikanya udah gak masuk akal. Masa iya, planet yang kecil ini disuruh menopang ambisi tak terbatas?Pertanyaannya sekarang bukan “perlu gak sih peduli lingkungan?”, tapi “ngapain juga baru sekarang panik?”. Setiap hari kita tunda aksi, kita makin deket ke titik kagak bisa balik. Yang nikmatin hasil perusakan lingkungan biasanya duduk di ruangan ber-AC, menikmati fasilitas mewah bersama keluarga yang disediain negara kalo doski pengambil kebijakan. Tapi yang jadi korban: warga miskin, kampung adat, petani kecil, anak-anak di pinggir laut yang rumahnya abis kena banjir rob. Komunitas yang dimarjinalkan selalu kena duluan. Racun limbah, udara kotor, lahan direbut, suara gak didengar. Ini bukan kebetulan—ini namanya rasisme lingkungan.
Etika Lingkungan ngajak kita mikir soal keadilan lintas generasi. Apa kita tega ninggalin planet yang rusak parah buat anak-cucu cuma demi nikmatin gaya hidup instan hari ini?Gaya hidup serba cepat dan praktis—mulai dari sedotan plastik sampai fast fashion—punya jejak etika yang nggak bisa dihapus cuma karena kita gak mau ribet.Kita udah lewat dari masa “yang penting daur ulang” atau “nanem pohon sekali setahun”. Kalau gak berani bongkar sistem yang bikin alam jadi korban, ya itu semua cuma kamuflase doang. Kalau kita gak berani kritik kapitalisme rakus, kita gak akan pernah bisa keluar dari krisis. Selama uang dan pertumbuhan jadi prioritas utama, keadilan bakal selalu jadi korban.
Hubungan kita sama alam perlu dibedah. Kita ini penjaga, penakluk, atau malah parasit? Jawaban dari pertanyaan itu nunjukin siapa kita sebenarnya. Filsafat jangan cuma jadi bahan tugas kampus. Doi kudu turun ke lapangan—ngeliat hutan yang dibabat, laut yang tercemar, dan desa yang tenggelam. Kita mesti dengerin suara-suara yang sering dikesampingkan—terutama masyarakat adat dan aktivis akar rumput. Mereka bukan kuno, mereka visioner. Krisis iklim bikin semua dilema moral makin nyata. Siapa yang diselamatkan? Apa yang dikorbankan? Jawabannya gak bisa cuma berdasarkan angka—harus berdasarkan hati nurani.
Sayangnya, kita sering tutup mata karena nyaman. Kita gak lihat pabrik yang nyemarin, gak tahu siapa yang kerja rodi buat baju murah kita, gak peduli hutan mana yang digundulin. Tapi etika dimulai dari kesadaran. Kita harus berani ngeliat lebih dalam, mikir lebih jauh, dan ngerasa lebih dalam soal dampak dari pilihan kita. Bukan cuma kasih tahu orang harus ngapain, tapi ngajak mereka ngebayangin dunia yang beda—yang Bumi-nya bukan objek, tapi rumah.
Pendidikan penting banget. Etika Lingkungan harus diajarin bukan cuma buat nilai, tapi buat bekal hidup. Di sekolah, di media, di obrolan warung kopi. Hukum pun harus berubah. Masa sih sungai kagak punya hak hukum? Masa sih hutan cuma di'itung nilainya kalau bisa jadi duit? Kita gak bisa pisahin krisis ekologi dari krisis sosial. Planet ini gak mati sendiri—ia dibunuh sama sistem yang juga nindas manusia. Perjuangan demi keadilan lingkungan itu juga perjuangan untuk martabat manusia. Gak ada yang boleh dikorbanin cuma buat kenyamanan segelintir orang. Kita harus balik arah. Bukan jadi penguasa alam, tapi jadi bagian dari jaringan kehidupan. Kurangin omong, banyakin denger dan bertindak.
Pertanyaannya tinggal: kita mau dikenang sebagai generasi pengecut atau generasi yang akhirnya bertanggungjawab? Etika Lingkungan ngajak kita berhenti hidup ala autopilot. Kuy bayangin ulang cara hidup kita—bukan sebagai perusak, tapi sebagai penjaga keajaiban bersama. Harapan itu bukan soal optimisme polos. Tapi soal keberanian buat bertanggungjawab. Selama kita masih punya nurani dan mau bareng-bareng bertindak, belum terlambat. Etika itu soal bagaimana kita memperlakukan sesuatu yang gak bisa diganti. Bumi ini cuma satu. Kalau rusak, kagak ada backup plan. Saatnya bertindak, bukan besok, tapi sekarang.

