Dari perspektif etika Islam, wacana kebijakan mengenai perayaan Natal “bersama” yang diprakarsai atau difasilitasi oleh negara melalui kementerian agama memunculkan pertanyaan mendasar tentang batas-batas toleransi (tasāmuh) dan pembedaan antara koeksistensi sosial dan partisipasi teologis. Etika Islam, yang berakar pada Al-Qur’an dan tradisi ulama Sunni klasik, dengan tegas menegaskan hidup berdampingan secara damai, keadilan, serta penghormatan terhadap martabat manusia lintas agama. Namun, pada saat yang sama, Islam juga menjaga batas yang jelas dalam urusan akidah dan ibadah. Persoalan etisnya bukan terletak pada mengucapkan selamat atau menjamin kebebasan beribadah pihak lain, melainkan pada implikasi simbolik dari tindakan negara yang berpotensi mengaburkan perbedaan teologis.Dalam etika Islam, niat dan simbol berbobot moral yang besar. Sebuah tindakan yang tampak baik secara sosial belum tentu dapat diterima secara etis apabila mengandung makna pengesahan terhadap keyakinan yang bertentangan dengan tauhid. Para ulama Sunni klasik secara konsisten membedakan antara mu‘āmalāt sebagai ranah interaksi sosial, dimana kerjasama dan kebaikan dianjurkan, dan ‘ibādāt sebagai ranah ibadah, yang sepenuhnya diatur oleh komitmen iman. Ketika negara dengan mayoritas Muslim, melalui kementerian agamanya, menggunakan bahasa yang seolah mengarah pada perayaan keagamaan kolektif, kegelisahan etis muncul bukan karena kebencian terhadap pihak lain, melainkan karena kekhawatiran bahwa kejelasan akidah dikorbankan demi harmoni simbolik.
Dari sudut pandang norma konstitusional Indonesia, persoalan ini hendaklah dianalisis melalui prinsip-prinsip Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Negara Indonesia bukan negara sekuler dalam pengertian Barat, tetapi juga bukan negara teokratis, melainkan negara yang berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa dan berkewajiban melindungi seluruh agama yang diakui. Konstitusi menjamin kebebasan beragama dan menugaskan negara agar memfasilitasi kehidupan beragama tanpa paksaan dan diskriminasi. Dalam kerangka ini, peran negara ialah memastikan setiap umat beragama dapat menjalankan ibadahnya dengan aman dan bermartabat, bukan meleburkan ekspresi keagamaan ke dalam satu narasi simbolik.
Kebijakan yang dibingkai sebagai “perayaan bersama” berisiko menimbulkan ambiguitas konstitusional. Meskipun niatnya mungkin inklusif, bahasa yang digunakan dapat secara tak sengaja memberi kesan keterlibatan negara dalam ranah teologis yang melampaui mandatnya. Konstitusi tak memberi wewenang kepada negara untuk menafsirkan ulang ritual keagamaan atau mendefinisikan ulang batas-batasnya atas nama persatuan. Oleh karenanya, kehati-hatian konstitusional menuntut pembedaan yang jelas antara memfasilitasi ibadah dan berpartisipasi secara simbolik di dalamnya. Klarifikasi dari pejabat negara menjadi sangat penting untuk mencegah kesalahpahaman yang dapat menggerus kepercayaan publik.
Mengenai persoalan yang dikemukakan di awal, ada respons dari masyarakat yang berharap bahwa Kemenag menepati komitmennya terkait sifat perayaan tersebut. Dampak wacana kebijakan ini terhadap ruang publik cukup signifikan. Alih-alih langsung memperkuat kerukunan, framing awal justru memicu reaksi yang terpolarisasi, membuka sensitivitas mendalam dalam masyarakat Indonesia terkait agama, otoritas negara, dan identitas. Bagi sebagian kalangan, kebijakan ini dipandang sebagai kemajuan moral dan tanda kedewasaan bangsa. Bagi yang lain, ia memunculkan kekhawatiran tentang pengaburan agama, toleransi yang bersifat performatif, serta meluasnya kuasa birokrasi ke dalam wilayah iman. Perbedaan ini mencerminkan ketegangan global yang lebih luas antara toleransi yang dilembagakan dan keyakinan religius yang hidup.
Di ruang publik, kontroversi ini menunjukkan betapa bahasa dan simbol dapat membentuk makna politik yang melampaui niat kebijakan formal. Ketika toleransi dipersepsikan sebagai sesuatu yang direkayasa secara administratif, bukan dipraktikkan secara organik, ia berisiko dianggap memaksa atau tidak tulus. Persepsi semacam ini justru dapat merusak kohesi sosial yang ingin dibangun. Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, di mana agama berkelindan erat dengan kehidupan publik, komunikasi kebijakan harus sensitif secara etis, presisi secara konstitusional, dan peka secara sosial.
Pendekatan yang etis dan selaras dengan konstitusi adalah pendekatan yang secara bersamaan menegaskan tiga hal: komitmen etika Islam terhadap kejelasan batas iman sekaligus keadilan sosial, kewajiban konstitusional negara untuk melindungi kebebasan beragama tanpa intervensi teologis, serta kebutuhan akan wacana publik yang menghormati perbedaan yang nyata, bukan menutupinya dengan simbolisme yang ambigu. Dalam pengertian ini, toleransi bukanlah penghapusan batas, melainkan penghormatan yang berdisiplin terhadap batasan-batasan tersebut.
Dalam pengertian umum, toleransi merujuk pada sikap dan praktik membiarkan adanya perbedaan keyakinan, pendapat, perilaku, atau identitas tanpa permusuhan, paksaan, atau diskriminasi. Toleransi mengandung pengakuan bahwa individu atau kelompok dapat berpandangan dan punya cara hidup yang berbeda dari diri sendiri, sambil tetap memilih hidup berdampingan secara damai meskipun terdapat ketidaksepakatan. Toleransi tak selalu menuntut persetujuan atau pembenaran, tetapi menuntut pengendalian diri, rasa hormat, dan penolakan untuk memaksakan kehendak dengan kekerasan.
Dalam konteks sosial dan politik, toleransi sering dipahami sebagai prinsip dasar bagi masyarakat majemuk. Ia memungkinkan berbagai komunitas hidup bersama dengan mengelola perbedaan melalui dialog dan saling menghormati, bukan melalui konflik. Bentuk toleransi ini menekankan kesetaraan di hadapan hukum, perlindungan hak, dan kebebasan hati nurani, sehingga setiap orang dapat mengekspresikan dan menjalankan keyakinannya dalam tatanan publik yang sama.
Dari sudut pandang moral, toleransi kerap dikaitkan dengan kebajikan seperti kesabaran, keterbukaan pikiran, dan empati. Ia mencerminkan kesadaran akan keberagaman manusia serta keterbatasan sudut pandang pribadi. Namun, toleransi bukan berarti relativisme moral atau ketiadaan batas. Sebagian besar definisi mengakui bahwa toleransi itu berbatas, terutama ketika suatu tindakan menimbulkan bahaya, melanggar hak orang lain, atau merusak ketertiban sosial.
Dengan demikian, dalam pemahaman umumnya, toleransi itu sikap seimbang antara penerimaan dan ketidaksepakatan. Ia bertujuan mewujudkan hidup berdampingan secara damai tanpa menuntut keseragaman, serta memelihara harmoni sosial tanpa menghapus perbedaan yang bermakna. Toleransi bukan tentang melepaskan keyakinan, melainkan tentang mengelola keberagaman dengan cara yang menjaga martabat, stabilitas, dan saling menghormati.
Dalam pengertian umum, toleransi biasanya dipahami sebagai kesediaan untuk membiarkan perbedaan keyakinan, pendapat, atau cara hidup tanpa permusuhan atau paksaan. Fokus utamanya ialah hidup berdampingan secara damai meskipun terdapat perbedaan pandangan, dengan asumsi bahwa harmoni sosial dapat terjaga selama individu menahan diri untuk tidak memaksakan keyakinannya kepada orang lain. Definisi ini bersifat praktis dan deskriptif, lebih menekankan perilaku dan relasi sosial daripada landasan filosofis atau teologis yang mendalam.
Dalam filosofi Barat, toleransi berkembang sebagai respons terhadap konflik agama dan kekerasan politik, khususnya di Eropa modern awal. Pemikir semisal John Locke memandang toleransi sebagai kebutuhan moral dan politik guna mencegah kekacauan sipil dan melindungi kebebasan hati nurani. Dalam tradisi ini, toleransi bertumpu pada kerendahan epistemik, yakni kesadaran bahwa manusia bersifat terbatas dan tak dapat mengklaim kepastian mutlak dalam urusan keyakinan. Seiring waktu, kerangka ini berkembang dan mengaitkan toleransi dengan nilai-nilai liberal semisal otonomi individu, hak-hak pribadi, dan kebebasan berekspresi. Di sini, toleransi dibenarkan bukan oleh klaim kebenaran, melainkan oleh kebutuhan menjaga kebebasan dan stabilitas sosial dalam masyarakat majemuk.
Dalam konteks hukum hak asasi manusia, toleransi dilembagakan, bukan sekadar sikap moral. Ia tertanam dalam prinsip-prinsip hukum seperti kebebasan beragama, persamaan di hadapan hukum, dan non-diskriminasi. Kerangka HAM tak menilai apakah suatu keyakinan benar atau salah, melainkan apakah individu terlindungi dari bahaya, pengucilan, atau paksaan. Toleransi dalam pengertian ini berfungsi sebagai jaminan hukum bahwa keberagaman dapat hidup dalam tatanan sipil yang sama, selama hak-hak fundamental tak dilanggar. Otoritasnya bersumber dari konsensus internasional dan norma hukum, bukan dari wahyu atau refleksi teologis.
Dalam filosofi moral, konsep toleransi banyak dibentuk oleh para pemikir liberal seperti John Stuart Mill, John Rawls, dan Bernard Williams, yang masing-masing mendasarkan toleransi pada keprihatinan moral yang berbeda. Meski sama-sama berkomitmen pada hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat yang beragam secara moral, pembenaran mereka atas toleransi berbeda dalam penekanan, cakupan, dan kedalaman filosofis.
John Stuart Mill memahami toleransi terutama melalui lensa kebebasan individu dan kemajuan intelektual. Dalam On Liberty, Mill berpendapat bahwa membungkam pendapat, bahkan yang dianggap keliru atau berbahaya, justru merugikan masyarakat secara keseluruhan. Bagi Mill, toleransi dibenarkan karena manusia bersifat tidak ma‘shum dan karena perjumpaan dengan perbedaan diperlukan agar kebenaran dapat diuji, diperbaiki, dan tetap hidup. Dengan demikian, toleransi moral berfungsi epistemik, yakni menjaga kondisi agar nalar dan individualitas dapat berkembang. Namun, toleransi Mill dibatasi oleh prinsip bahaya, yang menyatakan bahwa campur tangan hanya sah untuk mencegah bahaya terhadap orang lain, bukan sekadar untuk menegakkan keseragaman moral.
John Rawls mendekati toleransi dari sudut yang berbeda dengan mendasarkannya pada keadilan, bukan pencarian kebenaran. Dalam masyarakat yang ditandai oleh apa yang ia sebut sebagai pluralisme yang masuk akal, Rawls berargumen bahwa warga negara secara niscaya memegang doktrin moral dan filosofis yang saling bertentangan namun sama-sama rasional. Toleransi, dalam kerangka ini, lahir dari pengakuan bahwa tiada satu doktrin komprehensif pun yang berhak mendominasi ruang publik. Liberalisme politik Rawls dengan demikian memaknai toleransi sebagai tuntutan keadilan: warga harus menoleransi perbedaan karena kerja sama sosial antar individu yang bebas dan setara hanya mungkin terwujud melalui prinsip-prinsip yang dapat diterima bersama. Toleransi di sini bersifat institusional dan prosedural, tertanam dalam struktur nalar publik, bukan sekadar kebajikan personal.
Bernard Williams menawarkan pandangan yang lebih skeptis dan peka terhadap sejarah. Ia menolak gagasan bahwa toleransi dapat sepenuhnya dibenarkan oleh prinsip-prinsip abstrak. Sebaliknya, Williams menekankan realitas konflik moral dan keberlangsungan perbedaan mendalam yang tak selalu dapat diselesaikan melalui rasio. Baginya, toleransi adalah respons praktis terhadap fakta bahwa kehidupan moral sarat dengan tragedi, kebetulan, dan keterbatasan konsensus. Toleransi, menurut Williams, bukan terutama tentang merayakan pluralisme sebagai cita-cita, melainkan tentang mengelola perbedaan yang tak terelakkan tanpa jatuh pada kekejaman atau dominasi.
Jika dikontraskan dengan kerangka moral liberal tersebut, konsep toleransi dalam Islam menunjukkan orientasi moral yang berbeda secara mendasar. Dalam Islam, toleransi tak bertumpu pada ketidakpastian epistemik, keadilan prosedural, atau skeptisisme moral, melainkan pada ketaatan kepada wahyu Ilahi dan pertanggungjawaban di hadapan Allah. Islam menegaskan hidup berdampingan secara damai dan melarang paksaan dalam urusan iman, namun tak menangguhkan klaim kebenaran atau menyamakan semua doktrin moral. Toleransi dalam Islam berjalan melalui pembedaan yang jelas antara sikap sosial dan komitmen teologis: umat Islam diperintahkan untuk berlaku adil dan berbuat baik kepada sesama, sembari tetap teguh pada akidahnya.
Berbeda dengan Mill atau Rawls, toleransi Islam tak membenarkan dirinya dengan mengacu pada otonomi individu atau netralitas politik. Batas-batasnya ditentukan bukan hanya oleh bahaya atau keadilan, tetapi juga oleh kesetiaan pada perintah Allah dan penjagaan integritas moral serta spiritual. Akibatnya, sejumlah tindakan yang secara sosial dapat diterima atau bahkan dipuji dalam masyarakat liberal tetap dinilai tidak dapat dibenarkan dalam etika Islam karena bertentangan dengan prinsip wahyu.
Berbeda pula dengan liberalisme Barat, banyak tradisi etika Timur memaknai toleransi bukan sebagai hak individual, melainkan sebagai kebajikan relasional. Dalam etika Konfusianisme, misalnya, toleransi tertanam dalam upaya menjaga harmoni sosial, tanggung jawab berdasarkan peran, dan pembinaan diri moral. Perbedaan dikelola bukan melalui pembatasan berbasis hak, melainkan melalui kesopanan, moderasi, dan penyesuaian timbal balik dalam relasi yang bersifat hierarkis. Demikian pula dalam etika Buddhis, toleransi berakar pada welas asih, ketidakmelekatan, dan kesadaran akan penderitaan sebagai kondisi universal manusia. Di sini, toleransi bukan terutama soal membiarkan perbedaan, melainkan mengurangi konflik melalui transformasi batin.
Perbedaan ini semakin jelas jika dilihat dari motivasi moralnya. Toleransi liberal Barat menekankan perlindungan kebebasan di tengah perbedaan, toleransi Islam menekankan ketaatan dan batas moral di tengah koeksistensi, sementara toleransi dalam etika Timur menekankan harmoni dan disiplin diri dalam relasi sosial yang kompleks. Masing-masing merespons pluralisme, tetapi dengan titik berangkat moral, batasan, dan tujuan akhir yang berbeda.
Jadi, toleransi bukanlah satu cita-cita moral tunggal dengan fondasi universal, melainkan sekumpulan praktik yang dibentuk oleh pandangan hidup yang berbeda. Mill, Rawls, dan Williams merumuskan toleransi sebagai respons terhadap keterbatasan manusia, tuntutan keadilan, dan konflik moral dalam masyarakat liberal. Islam menempatkan toleransi dalam tatanan moral yang berpusat pada Sang Ilahi, yang menyeimbangkan rahmat dengan kebenaran. Tradisi etika Timur memahaminya sebagai kebajikan harmoni dan pembinaan diri. Memahami perbedaan-perbedaan ini membantu menjelaskan mengapa perdebatan tentang toleransi seringkali bukan sekadar perbedaan kebijakan, melainkan benturan yang lebih dalam tentang sumber dan tujuan otoritas moral itu sendiri.
Konsep toleransi dalam Islam, yang sering disebut sebagai tasāmuh, berbeda secara mendasar baik dari segi landasan maupun cakupannya. Dalam wacana keilmuan Islam, toleransi beragama sering dirujuk dengan istilah tasāmuḥ, meskipun istilah ini perlu dipahami dengan ketelitian konseptual. Secara kebahasaan, tasāmuḥ berasal dari akar kata Arab s-m-ḥ, yang mengandung makna kelapangan, kemurahan hati, kelenturan, dan keluasan akhlak. Dalam konteks Islam, tasāmuḥ menunjuk pada sikap etis berupa keadilan dan keluhuran perilaku terhadap sesama, termasuk terhadap mereka yang menganut keyakinan agama yang berbeda, tanpa mengorbankan komitmen doktrinal seseorang.
Meskipun kata tasāmuḥ tak muncul secara eksplisit dalam Al-Qur’an, prinsip-prinsip yang melandasinya tertanam kuat dalam ajaran Al-Qur’an. Al-Qur’an secara tegas menegaskan kebebasan berkeyakinan dengan menyatakan, “Tiada paksaan dalam beragama” (QS. Al-Baqarah [2]:256), yang menegaskan bahwa iman tak dapat dipaksakan dengan kekuatan. Selain itu, Al-Qur’an memerintahkan keadilan dan kebaikan terhadap non-Muslim yang hidup secara damai, sebagaimana dinyatakan dalam ayat, “Allah tak melarangmu berbuat adil dan berbuat baik kepada orang-orang yang tak memerangimu karena agama” (QS. Al-Mumtaḥanah [60]:8). Ayat-ayat ini menjadi landasan normatif bagi tasāmuḥ sebagai prinsip moral dan sosial.
Tradisi kenabian semakin menguatkan konsep ini melalui penekanannya pada kelembutan dan kemudahan dalam interaksi antarmanusia. Rasulullah ﷺ mendoakan rahmat Allah bagi orang-orang yang bersikap lapang dalam muamalah mereka, dengan menggunakan kata samḥ, yang berasal dari akar bahasa yang sama dengan tasāmuḥ. Hal ini menunjukkan bahwa toleransi dan kelapangan hati bukanlah nilai pinggiran dalam Islam, melainkan bagian esensial dari akhlak Islam.
Para ulama Sunni secara konsisten menjelaskan bahwa tasāmuḥ bukan berarti relativisme teologis atau penyamaan semua kebenaran agama. Islam tetap berpegang teguh pada klaim kebenaran akidahnya, namun sekaligus mewajibkan keadilan, penghormatan martabat, dan pengendalian etis dalam hubungan dengan pemeluk agama lain. Ibnu Taimiyyah, rahimahullah, menegaskan bahwa keadilan wajib ditegakkan terhadap siapa pun tanpa memandang agama, sementara ulama kontemporer semisal Yusuf al-Qaradawi menekankan bahwa tasāmuḥ berlaku dalam ranah relasi sosial dan hidup bersama, bukan dalam pengaburan pokok-pokok keyakinan.
Toleransi beragama dalam Islam dapat secara tepat disebut sebagai tasāmuḥ, selama ia dipahami sebagai kelapangan moral dan keadilan dalam kehidupan sosial, yang berjalan seiring dengan keteguhan dalam iman. Dengan demikian, Islam mengajarkan toleransi dalam hidup berdampingan dan konsistensi dalam keyakinan, serta menghadirkan kerangka seimbang yang memadukan komitmen religius dengan pluralisme damai melalui disiplin etika.
Tasāmuh sering digunakan baik untuk toleransi secara umum maupun untuk apa yang disebut sebagai toleransi beragama lantaran ia terletak pada struktur bahasa moral dalam Islam itu sendiri. Dalam pemikiran Islam klasik, tasāmuh bukanlah istilah teknis yang dibatasi hanya pada satu ranah tertentu, seperti agama semata. Ia merupakan disposisi moral yang luas, yang mengatur cara seorang Muslim berinteraksi dengan orang lain dalam kehidupan sosial, termasuk dalam menghadapi perbedaan keyakinan dan pandangan.
Berbeda dengan wacana Barat modern yang cenderung memisahkan kategori-kategori konseptual seperti toleransi sosial, toleransi politik, dan toleransi beragama, kosakata etika Islam tak terkotak-kotak secara ketat. Istilah moral dalam Islam umumnya merujuk pada kebajikan umum yang kemudian diterapkan sesuai konteksnya. Tasāmuh secara harfiah mengandung makna kelapangan, keringanan, dan sikap memudahkan dalam berhubungan dengan orang lain. Sifat-sifat ini berlaku dalam relasi antarindividu, muamalah ekonomi, konflik sosial, dan juga dalam interaksi dengan pemeluk agama lain.
Yang membedakan toleransi beragama dari toleransi umum dalam Islam bukanlah istilahnya, melainkan batas-batas penerapan tasāmuh itu sendiri. Dalam urusan sosial sehari-hari, tasāmuh mendorong keluwesan, kesabaran, dan kemurahan sikap. Namun ketika berhadapan dengan perbedaan agama, tasāmuh tetap mengatur perilaku dan relasi sosial, tetapi tidak meluas hingga pembenaran teologis, partisipasi ritual, atau pengaburan batas akidah. Kebajikan yang sama bekerja dalam koridor normatif yang berbeda.
Hal ini berbeda dengan kerangka sekuler modern, dimana toleransi beragama sering diperlakukan sebagai konsep tersendiri yang berakar pada kebebasan berkeyakinan dan penangguhan klaim kebenaran di ruang publik. Dalam Islam, klaim kebenaran tak ditangguhkan. Al-Qur’an menegaskan hidup berdampingan dan melarang paksaan dalam beragama, namun sekaligus menjaga pembedaan yang tegas antara iman dan kufur. Karena itu, tasāmuh mengatur sikap dan relasi sosial, bukan isi keyakinan itu sendiri.
Para ulama Sunni klasik secara implisit telah memahami pembedaan ini. Mereka menggunakan tasāmuh atau konsep moral yang sejenis untuk menjelaskan keadilan, kebaikan, dan pengendalian diri terhadap non-Muslim, sambil tetap menekankan prinsip barā’ah dalam akidah dan ḥifẓ al-dīn sebagai tujuan utama syariat. Kebajikan moral yang sama tidak boleh dibiarkan merusak komitmen teologis yang mendasar.
Dengan demikian, penggunaan istilah yang sama untuk toleransi umum dan toleransi beragama bukanlah tanda kekacauan konsep dalam Islam, melainkan cerminan dari kerangka moral yang terpadu, di mana kebajikan bersifat tetap, sementara penerapannya bergantung pada konteks. Harapan modern akan istilah yang berbeda untuk setiap ranah justru merupakan produk kategorisasi moral dan hukum sekuler, bukan tuntutan yang inheren dalam etika Islam.
Tasāmuh tak bertumpu pada relativisme moral, ketidakpastian epistemik, atau netralitas hukum, melainkan pada wahyu Ilahi dan tanggungjawab moral di hadapan Allah. Islam mengakui keberagaman sebagai realitas kehidupan manusia dan menegaskan hidup berdampingan secara damai, namun tetap berada dalam kerangka yang menjaga batas-batas teologis yang jelas. Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama, sekaligus menegaskan klaim kebenaran Islam.
Berbeda dengan konsep toleransi umum atau liberal, tasāmuh tak memandang semua keyakinan sebagai sama-sama benar, dan tidak pula menangguhkan penilaian demi harmoni sosial. Islam membedakan secara tegas antara sikap sosial dan keyakinan teologis. Umat Islam diperintahkan untuk berlaku adil, berbuat baik, dan hidup damai dengan pemeluk agama lain, tetapi pada saat yang sama diwajibkan menjaga kemurnian akidah dan integritas ibadahnya. Dengan demikian, toleransi dalam Islam berarti membiarkan perbedaan tanpa membenarkannya, menghormati manusia tanpa harus mengafirmasi seluruh keyakinannya, serta hidup berdampingan tanpa meleburkan identitas keagamaan.
Perbedaan penting lainnya terletak pada batas toleransi. Dalam kerangka liberal Barat dan HAM, batas toleransi terutama ditentukan oleh bahaya, pelanggaran hak, atau ancaman terhadap ketertiban umum. Dalam Islam, batas toleransi juga ditentukan oleh kesetiaan kepada perintah Allah dan perlindungan terhadap iman itu sendiri. Tindakan-tindakan yang secara simbolik mengafirmasi keyakinan yang bertentangan dengan teologi Islam dapat dinilai tidak dapat diterima, meskipun dipuji secara sosial atau dibolehkan secara hukum.
Meskipun definisi umum, filsafat Barat, dan hukum HAM sama-sama menekankan hidup berdampingan, pengendalian diri, dan pluralisme, konsep tasāmuh dalam Islam menempatkan nilai-nilai tersebut dalam tatanan moral yang berpusat pada Sang Ilahi. Toleransi dalam Islam bukanlah penerimaan tanpa batas terhadap keberagaman, melainkan sikap etis yang terdisiplin, yang menyeimbangkan rahmat dengan kebenaran, koeksistensi dengan keyakinan, serta perdamaian sosial dengan kesetiaan kepada Allah.
Dalam pemikiran filosofi Barat, toleransi tak dipahami secara tunggal dan seragam, sehingga tak selalu diperlakukan sebagai sebuah kebijakan. Toleransi justru menempati beberapa tingkat konseptual yang berbeda, tergantung apakah ia dibahas dalam filosofi moral, filosofi politik, atau teori hukum.
Dari sudut filosofi moral, toleransi terutama dipandang sebagai kebajikan atau sikap etis, bukan sebagai kebijakan. Ia merujuk pada disposisi pribadi berupa pengendalian diri, kesabaran, dan penghormatan terhadap keyakinan atau praktik yang tak disetujui. Pemikir seperti John Stuart Mill membahas toleransi dalam kerangka kebebasan individu dan pengendalian moral diri, bukan sebagai perintah negara, melainkan sebagai syarat bagi perkembangan moral dan intelektual. Pada tingkat ini, toleransi tak dapat direduksi menjadi kebijakan karena ia menyangkut karakter dan penilaian etis individu.
Namun, dalam filosofi politik, toleransi sering dilembagakan dan mengambil bentuk kebijakan publik. Pemikir modern awal seperti John Locke berargumen bahwa negara perlu mengadopsi toleransi sebagai prinsip politik untuk mencegah konflik agama dan menjaga perdamaian sipil. Dalam pengertian ini, toleransi memang merupakan pilihan kebijakan, yakni keputusan pemerintah untuk tak memaksakan keyakinan atau praktik tertentu, meskipun dianggap keliru oleh penguasa. Di sini, toleransi berfungsi sebagai strategi pemerintahan, bukan sebagai pembenaran moral atas keyakinan tersebut.
Dalam teori liberal kontemporer, khususnya dalam pemikiran John Rawls, toleransi tertanam dalam struktur institusi politik dan pengaturan konstitusional. Ia berfungsi sebagai prinsip prosedural yang mengatur bagaimana doktrin moral yang beragam dapat hidup berdampingan dalam satu kerangka politik bersama. Meskipun dijalankan melalui hukum dan kebijakan, toleransi Rawlsian dibenarkan bukan sebagai persetujuan moral, melainkan sebagai tuntutan keadilan di antara warga negara yang bebas dan setara. Dengan demikian, toleransi tampak seperti kebijakan dalam praktik, tetapi bersifat moral dalam justifikasinya.
Teori hukum dan hukum HAM semakin memperkuat dimensi kelembagaan ini. Toleransi muncul dalam bentuk perlindungan atas kebebasan berkeyakinan, berekspresi, dan berserikat. Dalam ranah ini, toleransi tak lagi sekadar sikap pribadi, melainkan kerangka yang dapat ditegakkan secara hukum. Namun demikian, bahkan di sini, toleransi lebih tepat dipahami sebagai prinsip yang melandasi kebijakan, bukan kebijakan itu sendiri, karena ia membentuk cara hukum dirancang, bukan merinci perilaku tertentu.
Dengan demikian, dalam pandangan filosofi Barat, toleransi dapat berwujud kebijakan pada tingkat politik dan hukum, namun tak dapat direduksi hanya sebagai kebijakan semata. Ia berawal sebagai kebajikan moral, berkembang menjadi strategi politik, dan kemudian dilembagakan sebagai prinsip hukum. Kekeliruan dalam membedakan tingkat-tingkat ini sering kali melahirkan kesalahpahaman, terutama ketika toleransi sebagai ideal moral pribadi disamakan dengan toleransi sebagai kewajiban yang dipaksakan oleh negara.
Dalam wacana filosofi Barat, toleransi tak sekadar dipahami sebagai kebajikan pribadi atau sikap antarindividu, melainkan seringkali diposisikan sebagai kebijakan publik dan desain kelembagaan. Pemahaman ini menjadi sangat jelas dalam filosofi politik liberal modern, dimana toleransi dikaitkan erat dengan peran negara dalam mengelola pluralisme, keberagaman, dan benturan pandangan moral dalam satu komunitas politik.
John Stuart Mill, misalnya, tak memahami toleransi sebagai sikap menahan diri yang pasif. Dalam On Liberty, ia berargumen bahwa negara harus secara aktif melindungi kebebasan berpikir, berekspresi, dan memilih gaya hidup, bukan karena semua keyakinan sama benarnya, tetapi karena pemaksaan justru mematikan perkembangan manusia dan kemajuan sosial. Dalam kerangka ini, toleransi menjadi prinsip pemerintahan, dimana negara membatasi dirinya sendiri agar tak memaksakan keseragaman moral, kecuali jika terdapat kerugian nyata terhadap orang lain. Dengan demikian, toleransi diwujudkan melalui kebijakan hukum yang membatasi kekuasaan negara.
John Rawls melangkah lebih jauh dengan melembagakan toleransi sebagai syarat struktural masyarakat yang adil. Dalam Political Liberalism, Rawls menegaskan bahwa masyarakat pluralistik secara niscaya mengandung doktrin-doktrin komprehensif yang saling bertentangan namun sama-sama rasional. Oleh sebab itu, negara seyogyanya menegakkan kerangka toleransi dengan bersikap netral terhadap doktrin-doktrin tersebut dan menjamin kebebasan dasar yang setara. Dalam pandangan Rawls, toleransi bukanlah kemurahan hati opsional, melainkan kemiscayaan konstitusional yang dijaga oleh hukum, pengadilan, dan akal publik.
Namun, pemahaman toleransi sebagai kebijakan ini menghadapi kritik serius dalam perdebatan kontemporer tentang apa yang sering disebut “state-enforced tolerance.” Para pengkritik berpendapat bahwa ketika toleransi diubah menjadi kewajiban yang dimandatkan oleh hukum atau birokrasi, ia justru berpotensi menjadi bentuk baru pemaksaan. Bernard Williams, misalnya, memperingatkan bahwa sistem moral dan politik yang menuntut persetujuan universal terhadap nilai-nilai tertentu berisiko menekan perbedaan etis yang sah. Ketika negara tak hanya mengatur tindakan, tetapi juga mengendalikan sikap moral yang dianggap dapat diterima, toleransi berhenti menjadi toleransi dan berubah menjadi keseragaman moral yang ditegakkan oleh kekuasaan.
Kritik kontemporer memperluas persoalan ini dengan menunjukkan bahwa toleransi yang dipaksakan negara seringkali bekerja secara selektif. Ia dapat melindungi identitas, ekspresi, atau keyakinan tertentu, sambil meminggirkan yang lain, terutama kerangka moral tradisional atau religius. Dalam situasi seperti ini, toleransi tak lagi berfungsi sebagai sikap saling menahan diri, melainkan sebagai proyek ideologis, dimana perbedaan pandangan segera dicap sebagai intoleransi, dan dengan demikian, didelegitimasi. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah toleransi yang dipaksakan justru merusak pluralisme yang diklaim untuk dilindungi?
Ketika kerangka Barat ini dikontraskan dengan konsep toleransi dalam Islam, yang sering disebut dengan istilah tasāmuh, tampak perbedaan mendasar. Dalam Islam, toleransi bukanlah kebijakan negara atau relativisme moral, melainkan sikap etis yang berakar pada perintah Ilahi. Al-Qur’an mengakui kenyataan keragaman agama, namun tetap menjaga batas-batas akidah secara tegas, sebagaimana dalam firman, “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku” (QS. Al-Kafirun: 6). Dengan demikian, toleransi bermakna hidup berdampingan secara damai, adil, dan tanpa paksaan dalam urusan iman, tetapi bukan penghapusan perbedaan teologis.
Para ulama Sunni klasik secara konsisten menegaskan bahwa toleransi tak mengharuskan pengakuan atas kebenaran seluruh keyakinan, apalagi keterlibatan dalam praktik keagamaan yang bertentangan dengan akidah Islam. Fatwa-fatwa ulama Sunni kontemporer pun melanjutkan garis ini dengan membedakan antara penghormatan terhadap martabat manusia dan pengesahan pluralisme teologis. Dari sudut pandang ini, toleransi adalah pengendalian diri moral yang dibimbing wahyu, bukan alat politik untuk menyeragamkan pandangan hidup.
Berbeda dengan konsep toleransi yang dipaksakan negara, etika Islam menempatkan tanggungjawab moral terutama pada individu dan komunitas, bukan pada negara yang memaksa keyakinan batin. Meski negara Islam secara historis melindungi minoritas agama, perlindungan itu diwujudkan melalui keadilan hukum dan ketertiban sosial, bukan melalui tuntutan simbolik agar umat Islam mengafirmasi keyakinan agama lain. Toleransi, dalam makna ini, adalah koeksistensi yang berprinsip, bukan keselarasan moral yang digerakkan oleh kebijakan.
Dengan demikian, perdebatan kontemporer tentang toleransi yang dipaksakan negara mengungkap ketegangan filosofis yang mendasar: apakah toleransi paling baik dijaga melalui pemaksaan institusional atau melalui pengendalian diri moral. Liberalisme Barat cenderung menjawabnya melalui hukum dan kebijakan, sementara Islam mendekati toleransi sebagai kewajiban etis yang dibatasi oleh kebenaran teologis. Perbedaannya bukan terletak pada ada atau tidaknya toleransi, melainkan pada sumbernya, batas-batasnya, dan tujuan akhirnya.
Toleransi beragama merujuk pada sikap menghormati, mengakui, dan memperlakukan secara adil orang-orang yang berkeyakinan agama berbeda, dengan memberi mereka kebebasan menjalankan agamanya tanpa paksaan atau diskriminasi. Toleransi tak menuntut seseorang untuk menerima, memeluk, atau menyetujui klaim teologis agama lain. Sebaliknya, toleransi beragama berpijak pada prinsip bahwa kebenaran adalah wilayah keyakinan pribadi, sementara hidup damai merupakan tanggung jawab sosial bersama.
Dalam pengertian ini, toleransi beragama mengakui hak dasar setiap individu untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agamanya sesuai dengan hati nurani, selama praktik tersebut tidak melanggar hak orang lain atau mengganggu ketertiban umum. Toleransi menuntut sikap menahan diri dari mengejek, menghalangi, atau merendahkan ritual, simbol, dan tempat ibadah agama lain, meskipun seseorang tetap berpegang teguh pada keyakinan agamanya sendiri.
Lebih jauh, toleransi beragama menuntut pemisahan yang jelas antara keyakinan pribadi dan relasi sosial. Seseorang boleh meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa agamanya adalah kebenaran yang hakiki, namun tetap berinteraksi dengan pemeluk agama lain dalam kehidupan sosial, kewargaan, dan kemanusiaan secara adil, bermartabat, dan saling menghormati. Dengan demikian, toleransi tidak meniadakan komitmen beragama, melainkan menertibkannya melalui etika.
Toleransi beragama menolak kekerasan, pemaksaan, dan intimidasi yang dilakukan atas nama agama. Toleransi menegaskan kemungkinan sekaligus keharusan untuk hidup berdampingan secara damai di tengah perbedaan keyakinan yang terus ada, dengan memandang keberagaman sebagai realitas sosial yang harus dikelola melalui kendali moral, hukum, dan saling hormat.
Dari perspektif Islam, agama dipahami sebagai kepasrahan yang sadar dan sukarela kepada Allah, yang berlandaskan iman, pengetahuan, dan tanggungjawab moral. Al-Qur’an memandang agama bukan sekadar kumpulan ritual, melainkan sebagai jalan hidup yang menyeluruh, yang mengatur keyakinan, ibadah, akhlak, dan perilaku sosial. Kepasrahan ini berakar pada pengakuan terhadap keesaan dan kedaulatan Allah sebagai otoritas tertinggi atas kehidupan manusia, sebagaimana ditegaskan dalam prinsip bahwa tidak ada paksaan dalam beragama, karena jalan kebenaran dan kesesatan telah dijelaskan.Al-Qur’an menekankan bahwa iman hendaklah lahir dari keyakinan batin, bukan dari tekanan eksternal. Keimanan yang dipaksakan dipandang tak bernilai spiritual, sebab iman sejati menuntut keikhlasan hati. Oleh sebab itu, Al-Qur’an berulangkali mengajak manusia menggunakan akal, nurani, dan perenungan, dengan memperhatikan alam semesta, sejarah, dan diri mereka sendiri sebagai tanda-tanda menuju kebenaran Ilahi. Dengan demikian, agama tak dapat dipisahkan dari kesadaran moral dan keterlibatan intelektual.
Para ulama Sunni secara konsisten memahami Islam sebagai kesatuan antara amal lahiriah dan keyakinan batiniah. Ibadah seperti shalat, puasa, dan zakat dipandang sebagai manifestasi iman, tetapi tak bernilai jika tidak disertai keikhlasan, akhlak yang baik, dan kerendahan hati. Ulama klasik seperti Al-Ghazālī menegaskan bahwa praktik keagamaan tanpa penyucian akhlak berisiko menjadi formalitas kosong, sementara Ibn Taymiyyah menekankan bahwa akidah yang benar harus tercermin dalam perilaku yang adil dan tanggung jawab sosial.
Selain itu, Islam mengakui keberagaman agama sebagai bagian dari hikmah Ilahi dalam sejarah umat manusia. Al-Qur’an mengakui keberadaan berbagai komunitas agama dan menegaskan bahwa perbedaan keyakinan akan terus ada. Meskipun Islam menegaskan klaim kebenaran teologis atas risalahnya sendiri, Islam sekaligus memerintahkan keadilan, kebaikan, dan hidup berdampingan secara damai dengan pemeluk agama lain. Keseimbangan antara keyakinan doktrinal dan pengendalian etis ini menjadi ciri utama pemahaman Sunni tentang agama.
Dalam perspektif Islam, beragama berarti hidup dalam kesadaran akan pertanggungjawaban di hadapan Allah, di mana iman membentuk karakter dan karakter mengarahkan tindakan. Agama tidak direduksi menjadi identitas atau simbol semata, melainkan diukur melalui keikhlasan, keadilan, dan kasih sayang dalam kehidupan pribadi maupun publik. Dalam pengertian ini, Islam memandang agama sebagai perjanjian moral yang mengikat manusia dengan Tuhan sekaligus mengatur tanggung jawabnya terhadap sesama manusia.
Dari perspektif Islam, agama dipahami sebagai kepasrahan yang sadar dan sukarela kepada Allah, yang berlandaskan iman, pengetahuan, dan pertanggungjawaban moral. Al-Qur’an mendefinisikan agama sebagai jalan hidup yang menyeluruh, bukan sekadar kumpulan ritual, sebagaimana dinyatakan dalam ayat, “Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam” (QS. Āli ʿImrān [3]:19). Kepasrahan ini tak lahir dari paksaan, karena Al-Qur’an dengan tegas menyatakan, “Tiada paksaan dalam beragama; sungguh telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat” (QS. Al-Baqarah [2]:256). Oleh sebab itu, iman hanya bernilai apabila tumbuh dari keyakinan yang tulus, bukan dari tekanan.
Al-Qur’an berulang kali mengaitkan keimanan dengan penggunaan akal dan perenungan moral. Manusia diajak agar merenungi alam dan sejarah, sebagaimana firman Allah, “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itulah kebenaran” (QS. Fuṣṣilat [41]:53). Dengan demikian, agama dalam Islam menyapa akal dan nurani sekaligus, serta memposisikan iman sebagai komitmen yang disadari dan direnungkan. Al-Qur’an juga menegaskan tanggungjawab moral dengan menyatakan, “Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat balasannya, dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat balasannya pula” (QS. Az-Zalzalah [99]:7–8).
Para ulama Sunni klasik secara konsisten menegaskan bahwa Islam menyatukan keyakinan batin dengan amal lahiriah. Imām Al-Ghazālī menegaskan bahwa ibadah yang tidak disertai keikhlasan dan penyucian akhlak adalah kosong secara spiritual. Dalam Iḥyāʾ ʿUlūm ad-Dīn, ia menyatakan bahwa “amal tanpa kesadaran batin ibarat jasad tanpa ruh.” Pandangan ini sejalan dengan prinsip Al-Qur’an bahwa Allah tidak semata-mata menilai bentuk lahiriah, melainkan hati dan perbuatan manusia. Ibn Taymiyyah juga mendefinisikan agama sebagai kesatuan antara iman, ucapan, dan perbuatan, dengan menegaskan dalam Majmūʿ al-Fatāwā bahwa iman sejati harus tampak dalam keadilan, kejujuran, dan tanggung jawab sosial.
Islam juga mengakui keberagaman agama sebagai bagian dari hikmah Ilahi. Al-Qur’an menyatakan, “Sekiranya Tuhanmu menghendaki, niscaya Dia menjadikan manusia satu umat saja, tetapi mereka senantiasa berselisih” (QS. Hūd [11]:118). Meskipun Islam menegaskan klaim kebenaran teologisnya, Islam sekaligus memerintahkan keadilan dan kebaikan terhadap pemeluk agama lain, sebagaimana firman Allah, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama” (QS. Al-Mumtaḥanah [60]:8). Ayat ini menegaskan kerangka hidup berdampingan secara damai dengan tetap memegang keyakinan.
Ulama Sunni kontemporer menegaskan kembali pemahaman seimbang ini. Syekh Yusuf al-Qaradawi menekankan bahwa Islam adalah agama nurani dan tanggung jawab moral, bukan sekadar kepatuhan lahiriah, serta bahwa pemaksaan iman bertentangan dengan ruh Al-Qur’an. Demikian pula Syekh Abdullah bin Bayyah menegaskan bahwa tujuan-tujuan utama syariat Islam, terutama keadilan, rahmat, dan martabat manusia, harus menjadi landasan praktik keagamaan dalam masyarakat majemuk. Pandangan-pandangan ini tetap berakar kuat pada teologi Sunni klasik sekaligus merespons tantangan zaman modern.
Dalam perspektif Islam, beragama berarti hidup dalam kesadaran terus-menerus akan pertanggungjawaban di hadapan Allah, di mana iman membentuk karakter dan karakter mengarahkan tindakan. Prinsip ini dirangkum oleh Al-Qur’an dalam firman-Nya, “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa” (QS. Al-Ḥujurāt [49]:13). Dengan demikian, agama tidak direduksi menjadi identitas atau simbol, melainkan diukur melalui keikhlasan, keadilan, dan kasih sayang dalam kehidupan pribadi maupun publik, yang mengikat manusia kepada Tuhan sekaligus menata tanggung jawab moralnya terhadap sesama.
Toleransi pada umumnya dianggap telah melampaui batas yang sah ketika ia mulai mengikis prinsip-prinsip mendasar tentang keyakinan, keadilan, dan tanggungjawab moral. Dalam konteks keagamaan, toleransi melewati batas ketika ia menuntut seseorang untuk menekan atau menyangkal keyakinan intinya demi mengakomodasi pihak lain, sehingga penghormatan terhadap perbedaan berubah menjadi keseragaman yang dipaksakan. Toleransi yang sejati membiarkan perbedaan pendapat tetap ada; ia tidak menuntut penghapusan klaim kebenaran atau komitmen etis.
Indikator lain yang jelas bahwa toleransi telah melampaui batasnya adalah ketika ia melegitimasi atau memaafkan tindakan-tindakan yang melanggar standar moral universal atau norma hukum. Ketika praktik-praktik yang merugikan dibenarkan atas nama toleransi, seperti pemaksaan, eksploitasi, atau kekerasan, toleransi tidak lagi berfungsi sebagai kebajikan moral, melainkan berubah menjadi alat untuk menormalisasi ketidakadilan. Dalam kondisi ini, keengganan untuk menilai kesalahan bukanlah bentuk keterbukaan, melainkan kegagalan dalam kepekaan moral.
Toleransi juga dianggap berlebihan ketika ia membungkam nalar kritis dan kritik etis. Masyarakat yang melabeli setiap bentuk ketidaksetujuan sebagai intoleransi pada akhirnya merusak kebebasan berpikir dan perdebatan moral yang bertanggung jawab. Dalam situasi semacam ini, toleransi berubah menjadi sarana tekanan ideologis, di mana mempertanyakan praktik atau narasi yang dominan diperlakukan sebagai kesalahan moral, bukan sebagai kewajiban kewargaan.
Selain itu, toleransi melampaui batas ketika ia menghapus perbedaan bermakna antara keyakinan, nilai, dan praktik. Ketika semua posisi diperlakukan seolah-olah sama benarnya tanpa mempertimbangkan koherensi, bukti, atau konsekuensi moralnya, toleransi merosot menjadi relativisme. Keadaan ini melemahkan kemampuan individu dan masyarakat untuk menegakkan standar kebenaran, keadilan, dan akuntabilitas, yang merupakan fondasi kepercayaan sosial dan keteraturan moral.
Toleransi kehilangan legitimasi moralnya ketika ia tak lagi melindungi martabat manusia dan harmoni sosial, melainkan justru merusaknya. Toleransi yang sehat selalu dibatasi oleh komitmen terhadap kebenaran, keadilan, dan kebaikan bersama. Ketika batas-batas ini dilanggar, toleransi berhenti menjadi kebajikan dan berubah menjadi beban bagi integritas moral dan kohesi sosial.
Dari perspektif Islam, toleransi beragama dianggap telah melampaui batas yang sah ketika ia mengorbankan atau meniadakan prinsip-prinsip pokok akidah. Islam memerintahkan keadilan, kebaikan, dan hidup berdampingan secara damai dengan pemeluk agama lain, namun Islam juga menetapkan batas yang tegas ketika toleransi menuntut pengaburan, penangguhan, atau penyembunyian keyakinan fundamental seperti keesaan Allah dan penutup kenabian. Ketika toleransi menuntut konsesi teologis yang mengaburkan perbedaan antara kebenaran dan kebatilan, ia tidak lagi menjadi tasamuh, melainkan berubah menjadi kekacauan akidah.
Dalam Islam, toleransi dianggap berlebihan bila ia mendorong keterlibatan atau pembenaran terhadap praktik ibadah agama lain yang bertentangan dengan ajaran Islam. Islam membolehkan interaksi sosial, kerjasama, dan sikap saling berbuat baik lintas agama, tetapi tak membenarkan tindakan yang secara implisit mengakui ritual atau simbol keagamaan lain sebagai setara secara teologis. Ketika toleransi bergeser dari menghormati kebebasan orang lain menjadi pengakuan atas kebenaran agama lain secara religius, maka batas yang ditetapkan syariat dan teologi Islam telah dilanggar.
Indikator lain bahwa toleransi telah melewati batasnya ialah ketika ia berujung pada ketidakadilan atau kompromi moral. Al-Qur’an menegaskan berulang kali bahwa keadilan merupakan kewajiban yang tidak boleh ditangguhkan demi harmoni sosial. Apabila toleransi dijadikan alasan untuk membenarkan kezaliman, kerusakan moral, atau pelanggaran terhadap perintah Allah, maka toleransi tersebut berubah menjadi kelalaian, bukan kebajikan. Islam tidak mengenal toleransi sebagai dalih untuk diam terhadap kemungkaran yang nyata.
Dari sudut pandang Islam, toleransi juga melampaui batas ketika ia membungkam nasihat moral dan perbedaan pendapat yang berprinsip. Al-Qur’an memerintahkan kaum beriman untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran dengan hikmah dan adab yang baik. Apabila toleransi ditafsirkan sedemikian rupa sehingga melarang kritik etis atau menutup ruang bagi nasihat yang tulus, maka ia justru merusak tanggung jawab moral utama umat Islam. Perbedaan pendapat yang santun tidak bertentangan dengan toleransi, melainkan merupakan bagian dari integritas moral.
Pada akhirnya, toleransi beragama dalam Islam dianggap telah melewati batas ketika ia melemahkan loyalitas kepada Allah dan kerangka etika yang diwahyukan dalam Al-Qur’an. Tasamuh yang benar bergerak dalam batas-batas moral dan teologis yang jelas, dengan menyeimbangkan keteguhan iman dan kelembutan akhlak. Ketika keseimbangan ini ditinggalkan, toleransi kehilangan legitimasi Islaminya dan berubah dari kebajikan moral menjadi sumber kerusakan spiritual dan etis.
Sebagai penutup, coba bandingkan cerita yang dikemukakan di awal dengan dongeng berikut ini, dengan sisi yang berbeda:
Di sebuah negara dengan mayoritas penduduk Muslim, pengumuman Pejabat Kementerian Agama bahwa negara akan menggelar perayaan Natal bersama disajikan sebagai tonggak sejarah, seolah-olah sejarah sendiri telah lama menunggu momen seremoni tersebut. Media dengan antusias membingkainya sebagai kemajuan, kebaruan, dan bukti toleransi yang maju, sembari pelan-pelan mengabaikan pertanyaan yang lebih mengganggu, yaitu apakah simbolisme kini telah menggantikan substansi. Yang sesungguhnya mencolok bukanlah perayaannya, melainkan anggapan bahwa kerukunan beragama kini harus dipertontonkan melalui peminjaman ritual, bukan dijaga melalui keadilan dan pengendalian diri.
Kebijakan ini memberi kesan bahwa toleransi telah direka ulang sebagai sebuah pertunjukan panggung, dimana identitas agama diperlakukan seperti kostum yang bisa saling dipertukarkan dalam karnaval kebangsaan. Dalam pertunjukan ini, sang Menteri tampil layaknya pembawa acara, dengan percaya diri mengaburkan batas-batas teologis dengan harapan bahwa kebingungan dapat disalahartikan sebagai persatuan. Ironinya, dalam upaya menunjukkan keterbukaan, kebijakan ini justru berisiko mereduksi agama menjadi ornamen pencitraan publik, bukan sebagai persoalan iman dan nurani yang tulus.
Dari perspektif Islam, di sinilah toleransi menjadi menyimpang secara konseptual. Toleransi dalam Islam, atau tasamuh, tak menuntut umat Islam agar ikut serta atau melembagakan ritus keagamaan agama lain. Al-Qur’an dengan tegas menetapkan prinsip hidup berdampingan tanpa peleburan teologis, dengan menegaskan hubungan damai sekaligus menjaga kejelasan batas dalam ibadah dan akidah. Ketika sebuah negara mayoritas Muslim secara resmi mensponsori perayaan keagamaan yang secara teologis khas milik agama lain, tindakan tersebut bergeser dari menghormati perbedaan menjadi pengakuan simbolik atas kesetaraan teologis, sesuatu yang tidak dituntut dan tidak dibenarkan dalam Islam.
Kegelisahan publik, dengan demikian, bukanlah bersumber dari kebencian terhadap umat Kristiani atau perayaan Natal itu sendiri, melainkan dari intuisi bahwa ada sesuatu yang esensial telah salah tempat. Islam mengajarkan bahwa keadilan, rasa aman, dan kebebasan beribadah bagi semua agama adalah penanda sejati toleransi, bukan pencampuran seremonial atas tradisi-tradisi sakral. Dengan menyamakan toleransi dengan partisipasi, kebijakan ini berisiko menyiratkan bahwa batas-batas iman adalah penghalang harmoni, bukan komitmen bermakna yang patut dihormati.
Dalam pengertian ini, momen yang disebut-sebut bersejarah tersebut justru mengungkap bukan kedewasaan toleransi, melainkan kesalahpahamannya. Toleransi Islam yang sejati bersifat tenang, berprinsip, dan teguh, memastikan umat Kristiani dapat merayakan Natal secara penuh dan bebas, sementara umat Islam tetap setia pada akidahnya tanpa gestur teatrikal demi inklusi. Ketika toleransi menuntut agama untuk diencerkan demi pencitraan, ia berhenti menjadi toleransi dan berubah menjadi tontonan, yang menyisakan bukan harmoni, melainkan ambiguitas teologis yang disamarkan sebagai kemajuan.
Jika ditinjau melalui kacamata fatwa dan pandangan ulama Sunni, kebijakan penyelenggaraan perayaan Natal bersama di negara mayoritas Muslim tampak bukan sebagai wujud toleransi yang berprinsip, melainkan sebagai penyimpangan dari batas-batas fikih yang telah mapan. Ulama Sunni klasik maupun kontemporer secara konsisten membedakan antara menghormati hak beragama pihak lain dan ikut serta, membenarkan, atau melembagakan ritual keagamaan yang secara teologis khas milik agama lain. Pembedaan inilah yang menjelaskan mengapa kegelisahan publik muncul dalam kasus semacam ini.
Ulama klasik Sunni seperti Ibnu Taymiyyah membahas persoalan ini secara tegas dalam pembahasannya tentang hari raya keagamaan. Dalam karya Iqtiḍāʾ aṣ-Ṣirāṭ al-Mustaqīm, ia berpendapat bahwa keterlibatan dalam perayaan keagamaan khas non-Muslim merupakan bentuk persetujuan implisit terhadap keyakinan yang tidak diakui Islam. Ia menegaskan bahwa meskipun Islam memerintahkan keadilan dan akhlak yang baik terhadap non-Muslim, Islam juga menuntut pembedaan yang jelas dalam urusan ibadah dan simbol keagamaan. Bagi Ibn Taymiyyah, menjaga batas ini bukanlah sikap permusuhan, melainkan kesetiaan terhadap akidah.
Pandangan serupa disampaikan oleh Ibnu al-Qayyim, yang menekankan bahwa mengucapkan selamat atau terlibat dalam perayaan keagamaan yang berakar pada teologi non-Islam berisiko menormalkan keyakinan yang bertentangan dengan tauhid. Ia mengkhawatirkan kaburnya batas doktrinal yang dapat menyesatkan masyarakat awam, seolah-olah semua agama berkedudukan teologis yang setara. Kekhawatirannya bukan soal kerukunan sosial, melainkan kejelasan akidah dan tanggungjawab moral, terutama bagi figur publik.
Lembaga fatwa Sunni kontemporer pada umumnya menggemakan posisi klasik ini. Para ulama Al-Azhar dan dewan-dewan fikih Sunni arus utama berulang kali menegaskan bahwa umat Islam wajib menjunjung hidup berdampingan secara damai, melindungi rumah ibadah, dan menjamin kebebasan beragama, namun tetap harus menghindari keterlibatan dalam ritus keagamaan yang tidak sejalan dengan akidah Islam. Syekh Yusuf al-Qaradawi, misalnya, secara tegas membedakan antara kesantunan sosial dan partisipasi religius, dengan membolehkan kebaikan bertetangga sekaligus memperingatkan agar tidak ikut dalam ritual yang mengafirmasi doktrin teologis asing bagi Islam.
Dilihat dari sudut pandang fikih ini, perayaan Natal bersama yang disponsori negara bukan sekadar ekspresi niat baik, melainkan tindakan simbolik yang menggeser posisi negara dari penjamin netral kebebasan beragama menjadi partisipan aktif dalam simbol keagamaan tertentu. Bagi ulama Sunni, pergeseran ini bermasalah karena negara di masyarakat mayoritas Muslim memikul tanggung jawab moral untuk mencerminkan batas-batas etika Islam dalam representasi keagamaan publik. Ketika batas ini dikaburkan, negara berisiko melembagakan kebingungan, bukan membangun koeksistensi yang sehat.
Keputusan yang diambil Pejabat Kementerian Agama, dalam dongeng ini, “tampak mengharukan dan mempromosikan kasih sayang antar sesama makhluk, namun belum tentu diridhai Allah”. Pada pandangan pertama, kebijakan semacam ini sering dipresentasikan sebagai kemajuan moral, dibungkus dengan bahasa universal tentang cinta, harmoni, dan niat baik. Nilai-nilai ini mudah diterima secara emosional dan tampak selaras dengan semangat hidup bersama dalam masyarakat majemuk. Namun, pertanyaan yang layak diajukan bukanlah apakah kebijakan itu terasa indah bagi publik, melainkan apakah ia selaras dengan kerangka teologis yang mendefinisikan Islam itu sendiri.
Dalam pemikiran Islam, nilai moral tak ditentukan semata oleh kesepakatan manusia atau intuisi perasaan. Kasih sayang dan kebaikan memang merupakan kebajikan utama, tetapi keduanya tak berdiri sebagai prinsip otonom yang terlepas dari wahyu. Al-Qur’an berulangkali mengingatkan bahwa penilaian manusia bersifat terbatas dan rentan keliru, sementara ilmu Allah melampaui sentimen populer. Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa manusia bisa mencintai sesuatu yang justru buruk baginya dan membenci sesuatu yang sebenarnya baik, karena Allah Maha Mengetahui sedangkan manusia tidak. Prinsip ini menggugat asumsi modern bahwa persetujuan luas masyarakat adalah ukuran yang dapat diandalkan bagi kebenaran moral.
Ketika kebijakan keagamaan dibenarkan terutama melalui bahasa kemanusiaan bersama dan simbolisme emosional, terdapat risiko pergeseran otoritas moral dari wahyu ke perasaan publik. Persoalannya bukan penolakan terhadap hidup berdampingan, apalagi permusuhan terhadap pemeluk agama lain, melainkan redefinisi batas-batas keagamaan atas nama harmoni sosial. Islam mengakui hidup berdampingan sebagai kebutuhan sosial dan kewajiban moral, tetapi pada saat yang sama menegaskan bahwa identitas teologis tidak dapat dilebur begitu saja ke dalam sentimen etis umum tanpa konsekuensi.
Para ulama Sunni, baik klasik maupun kontemporer, secara konsisten membedakan antara interaksi sosial dan partisipasi keagamaan. Mereka menegaskan keadilan, kebaikan, dan hubungan damai dengan pemeluk agama lain, sambil tetap mengingatkan agar tidak terjebak dalam praktik yang mengaburkan batas akidah atau memberi kesan pembenaran terhadap keyakinan yang bertentangan dengan Islam. Tindakan-tindakan yang secara simbolik mengafirmasi klaim teologis agama lain, meskipun didorong oleh niat baik, karenanya diperlakukan dengan kehati-hatian. Apa yang dipuji masyarakat sebagai inklusif belum tentu sejalan dengan kerangka keimanan Islam.
Dalam khazanah fikih Islam, banyak contoh tindakan yang secara umum dipandang baik, namun tetap dinilai tidak dapat diterima. Sedekah dari harta yang haram bisa menimbulkan kekaguman dan rasa terima kasih, tetapi ditolak oleh Allah karena bertentangan dengan hukum-Nya. Demikian pula praktik ibadah yang tidak bersumber dari tuntunan Nabi, meskipun terasa khusyuk dan bermakna secara personal, tetap dianggap keliru karena keikhlasan tidak dapat menggantikan kepatuhan pada wahyu. Contoh-contoh ini menunjukkan satu prinsip yang konsisten: penampilan moral tidak menjamin keabsahan spiritual.
Kekhawatiran yang lebih luas dari kebijakan semacam ini bukan semata persoalan teologis, tetapi juga etis dalam makna yang lebih dalam. Ketika agama terus-menerus diharapkan menyesuaikan batas internalnya demi mengikuti selera moral zaman, ia berisiko kehilangan perannya sebagai penunjuk arah moral dan berubah menjadi cermin tren sosial semata. Islam, sebaliknya, menempatkan dirinya sebagai sumber kritik moral sekaligus sumber penghiburan. Ia menegaskan kasih sayang, tetapi dalam struktur yang ditentukan oleh batas-batas Ilahi, bukan oleh antusiasme publik.
Pada akhirnya, toleransi yang sejati dalam Islam tak menuntut pengenceran iman, dan tidak pula mengharuskan gestur simbolik yang mengorbankan kejelasan teologis. Ia menuntut keadilan tanpa prasangka, kebaikan tanpa kekacauan makna, dan hidup berdampingan tanpa melepaskan prinsip-prinsip yang memberi agama maknanya. Sebuah kebijakan mungkin bisa menyenangkan masyarakat, menciptakan citra harmoni, dan menghasilkan tajuk berita yang positif, namun tetap tak berhasil memenuhi standar yang digunakan Islam untuk menilai kesetiaan kepada Allah.
Dengan demikian, kritik bahwa toleransi semacam ini bersifat “kebablasan” sejatinya sejalan dengan fatwa ulama Sunni yang mendefinisikan toleransi sebagai perlindungan tanpa partisipasi. Toleransi Islam, menurut mereka, berarti memastikan umat Kristiani dapat merayakan Natal secara bebas, aman, dan bermartabat, sementara umat Islam, baik secara individu maupun institusional, menahan diri dari tindakan yang mengorbankan akidahnya sendiri. Ketika toleransi didefinisikan ulang sebagai ritual bersama alih-alih keadilan bersama, ia melampaui batas yang ditetapkan fikih Sunni dan berubah dari pengendalian etis menjadi pelampauan simbolik. Wallahu a'lam bish-shawab.

