[Bagian 2]Dalam penjelasan publik mereka seusai gelar perkara khusus yang diselenggarakan Polda Metro Jaya, Dr Roy Suryo dan Dr Tifa menyatakan bahwa keraguan mereka terkait keaslian ijazah mantan Presiden Joko Widodo belum terjawab oleh proses tersebut. Menurut mereka, persoalan utamanya bukan sekadar apakah sebuah dokumen diperlihatkan, melainkan dapatkah dokumen itu diperiksa dengan cara yang sejalan dengan prinsip verifikasi dan keterbukaan.Mereka menjelaskan bahwa dalam forum tersebut, ijazah memang ditunjukkan kepada pihak tertentu, tetapi tak dapat disentuh, diamati secara dekat, atau dianalisis secara independen oleh pihak yang mempertanyakan keasliannya. Dari sudut pandang mereka, pembatasan ini menghalangi pemeriksaan terhadap aspek-aspek material yang biasanya menjadi dasar penilaian keaslian, semisal ciri fisik dokumen, teknik pencetakan, atau indikator forensik lainnya. Karenanya, mereka menilai bahwa proses tersebut belum memenuhi standar pemeriksaan bukti yang layak.Keduanya juga menegaskan bahwa sikap mereka tak dimaksudkan sebagai serangan personal, melainkan sebagai bentuk sikap kritis terhadap prosedur yang mereka anggap belum tuntas. Mereka memosisikan diri sebagai pengaju pertanyaan, dengan pandangan bahwa kepercayaan terhadap kesimpulan resmi seharusnya bertumpu pada proses yang dapat diuji, bukan semata-mata pada otoritas institusional. Dalam kerangka itu, mereka berpendapat bahwa hasil gelar perkara belum mampu menghilangkan keraguan karena tidak adanya ruang verifikasi independen.Berpikir kritis adalah kemampuan untuk menilai suatu informasi, gagasan, atau peristiwa secara sadar, rasional, dan bertanggungjawab, bukan sekadar menerimanya begitu saja. Ia menuntut seseorang agar bertanya, memeriksa alasan, menimbang bukti, serta menyadari kemungkinan bias—baik dari luar maupun dari dalam diri sendiri.Dalam berpikir kritis, seseorang tidak berhenti pada apa yang diucapkan, melainkan bergerak lebih jauh kepada mengapa hal itu dilontarkan, siapa yang diuntungkan, apa asumsi di baliknya, dan apa konsekuensi jika ia dipercaya atau ditolak. Dengan kata lain, berpikir kritis merupakan upaya mencari kebenaran yang paling masuk akal, bukan sekadar kebenaran yang paling nyaman.Berpikir kritis juga bukan sikap sinis atau gemar membantah. Ia justru menuntut kerendahan hati intelektual: kesiapan mengakui bahwa pandanganku bisa keliru, dan bahwa bukti baru dapat mengubah kesimpulan lama. Orang yang berpikir kritis tak alergi terhadap otoritas, tapi juga tak menelannya mentah-mentah; otoritas diuji melalui argumen dan data, bukan disembah atau ditolak secara emosional.Dalam kehidupan sehari-hari, berpikir kritis tampak ketika seseorang tak mudah terpancing hoaks, tidak serta-merta percaya pada jargon politik, iklan, atau kutipan religius yang dipotong dari konteksnya, serta mampu membedakan antara fakta, opini, dan manipulasi emosi. Ia bertanya: benarkah ini, atau hanya terasa benar?Berpikir kritis adalah disiplin akal budi—upaya sadar untuk menjaga pikiran tetap jernih di tengah banjir informasi, kepentingan, dan retorika. Tanpanya, manusia mudah digiring; dengannya, manusia berpeluang tetap merdeka dalam bernalar.Dalam Critical Thinking: Tools for Taking Charge of Your Learning and Your Life, Richard Paul dan Linda Elder (2013, Pearson) memaparkan berpikir kritis sebagai cara berpikir yang disiplin, sadar diri, dan terus memperbaiki diri, yang bertujuan meningkatkan kualitas berpikir. Mereka menjelaskan bahwa berpikir kritis pada dasarnya adalah “seni berpikir tentang berpikir sambil berpikir untuk memperbaikinya,” yang melibatkan tiga fase yang saling berkaitan: menganalisis cara berpikir seseorang, mengevaluasinya untuk menemukan kekuatan dan kelemahan, lalu memperbaikinya dengan memperkuat kelebihan dan mengurangi kelemahannya. Definisi ini menekankan bahwa pemikir kritis hendaklah bersedia memeriksa, mengenali, dan merekonstruksi cara berpikirnya sendiri, menyadari ketika cara berpikirnya tidak jelas, bias, atau tak logis, kemudian menerapkan standar dan kebajikan intelektual seperti kejelasan, ketepatan, keadilan, dan pikiran terbuka guna meningkatkan kualitasnya. Pada dasarnya, berpikir kritis dipresentasikan bukan sekadar seperangkat keterampilan tetapi sebagai proses refleksi dan koreksi diri yang aktif yang memungkinkan pembelajar mengambil kendali atas pembelajaran dan kehidupannya.Manusia secara alami tak berpikir dengan baik, sehingga berpikir yang baik seyogyanya dipelajari, dilatih, dan didisiplinkan secara sengaja. Paul dan Elder berpendapat bahwa sebagian besar cara berpikir sehari-hari dibentuk secara tidak sadar oleh egosentrisme, sosiosentrisme, asumsi-asumsi tersembunyi, dan reaksi emosional, sehingga manusia sering merasa dirinya rasional padahal sebenarnya berpikir secara lemah.Buku ini menekankan bahwa mengambil kendali atas pembelajaran dan kehidupan berarti mengambil tanggungjawab atas cara berpikir sendiri. Para penulis menegaskan bahwa banyaknya informasi, kecerdasan, atau pendidikan formal tak otomatis menjamin penilaian yang sehat jika seseorang tidak secara aktif memeriksa bagaimana ia bernalar, asumsi apa yang digunakannya, dan standar apa yang ia pakai untuk menilai kebenaran dan relevansi. Dalam pengertian ini, berpikir kritis dipandang sebagai tanggungjawab moral dan intelektual, bukan sekadar keterampilan akademik.Pesan penting lainnya adalah bahwa cara berpikir dapat diperbaiki secara sistematis dengan menerapkan standar intelektual universal, seperti kejelasan, ketepatan, ketelitian, relevansi, kedalaman, keluasan, dan keadilan, pada setiap proses penalaran. Paul dan Elder menegaskan bahwa berpikir kritis bukan hanya soal meragukan pendapat orang lain, melainkan terutama tentang mempertanyakan keyakinan, inferensi, dan kesimpulan diri sendiri secara sungguh-sungguh. Tanpa pemeriksaan diri ini, manusia mudah terjebak dalam kepuasan intelektual dan sikap dogmatis.Buku ini menyampaikan bahwa berpikir kritis merupakan syarat bagi kehidupan yang bermakna, mandiri, dan etis. Dengan belajar berpikir kritis, seseorang memperoleh kendali yang lebih besar atas keputusan, nilai, dan tindakannya, alih-alih dibentuk secara pasif oleh otoritas, tradisi, media, atau tekanan sosial. Dengan demikian, berpikir kritis menjadi praktik seumur hidup yang memberdayakan manusia untuk hidup lebih reflektif, bertanggung jawab, dan berorientasi tujuan.Dalam konteks Indonesia, pesan Paul dan Elder dalam Critical Thinking menjadi sangat relevan karena kehidupan publik kita masih kuat dipengaruhi oleh otoritas, hierarki, dan narasi emosional, bukan oleh penalaran yang matang. Banyak pendapat diterima bukan karena argumennya kuat, melainkan karena datang dari figur yang memiliki kekuasaan, status, pengaruh keagamaan, atau sorotan media. Kondisi ini persis seperti yang diperingatkan oleh penulis: kecenderungan menggantikan penalaran dengan otoritas.Dalam dunia pendidikan, berpikir kritis sering direduksi menjadi hafalan dan pencapaian nilai ujian, sementara peserta didik jarang dilatih untuk mempertanyakan asumsi, menganalisis argumen, atau menilai bukti secara mandiri. Akibatnya, belajar menjadi tindakan patuh, bukan proses memahami. Penegasan Paul dan Elder bahwa individu hendaknya mengambil kendali atas cara berpikirnya sendiri secara langsung menantang model ini, dengan menyerukan lahirnya pembelajar yang bertanggungjawab secara intelektual, bukan sekadar penurut.Dalam politik dan wacana publik, absennya berpikir kritis tampak dari cepatnya penyebaran slogan, janji populis, dan narasi emosional yang mematikan refleksi. Persoalan sosial yang kompleks disederhanakan menjadi kalimat-kalimat menarik, dan warga didorong untuk memilih kubu, bukan memeriksa fakta. Penekanan buku ini pada standar intelektual seperti kejelasan, ketepatan, dan keadilan menawarkan penawar yang kuat terhadap budaya penyederhanaan berlebihan tersebut.Kehidupan beragama di Indonesia juga menunjukkan pentingnya pesan Paul dan Elder. Iman kadang diperlakukan sebagai penghentian pertanyaan, bukan sebagai upaya disiplin untuk memahami, merenung, dan bertindak secara etis. Padahal, berpikir kritis sebagaimana dijelaskan dalam buku ini tak merusak iman; justru ia melindungi keyakinan dari peniruan buta dan penyalahgunaan oleh otoritas. Dengan mendorong muhasabah dan pemeriksaan diri, berpikir kritis memperkuat keikhlasan dan tanggung jawab moral.Islam secara tegas dan konsisten mengajak umatnya agar berpikir kritis, merenung, dan bertanggungjawab secara intelektual. Al-Qur’an berulangkali menyeru manusia agar berpikir, menggunakan akal, dan melakukan refleksi mendalam, melalui ungkapan semisal afalā ta‘qilūn (tidakkah kalian menggunakan akal), afalā tatafakkarūn (tidakkah kalian berpikir), dan afalā yatadabbarūn (tidakkah kalian mentadabburi). Seruan-seruan ini menunjukkan bahwa iman dalam Islam bukanlah kepatuhan buta, melainkan komitmen yang sadar dan bernalar.Islam tak meminta akal agar dimatikan, melainkan digunakan dalam kerangka moral dan epistemik yang disiplin. Al-Qur’an sering mengkritik orang-orang yang mengikuti tradisi, otoritas, atau mayoritas tanpa dalil, dan menggambarkan perilaku tersebut sebagai kelalaian intelektual, bukan keshalihan. Dalam hal ini, Islam sangat sejalan dengan prinsip inti berpikir kritis menurut Paul dan Elder, yakni bahwa suatu klaim hendaklah diuji berdasarkan bukti dan penalaran, bukan semata-mata siapa yang mengatakannya.Tradisi keilmuan Islam klasik semakin menegaskan etos kritis ini. Ilmu ushul fiqh, ‘ulum al-hadits, dan kalam dibangun di atas metode analisis, verifikasi, klasifikasi, dan kritik yang ketat. Para ulama tak menerima riwayat, pendapat hukum, atau klaim teologis hanya karena otoritas, melainkan meneliti sanad, koherensi logis, konteks, dan kesesuaiannya dengan prinsip dasar. Hal ini menunjukkan bahwa berpikir kritis bukanlah impor Barat modern, melainkan bagian integral dari peradaban intelektual Islam.
Namun, Islam juga menetapkan batas yang jelas bagi berpikir kritis. Akal dimuliakan, tetapi tidak diabsolutkan. Wahyu berfungsi sebagai penuntun yang mengarahkan penalaran, mencegah kesombongan, dan mengekang egosentrisme. Dalam keseimbangan ini, berpikir kritis dalam Islam tak bertujuan pada skeptisisme tanpa ujung, melainkan pada kebenaran, keadilan, dan tanggungjawab moral. Karenanya, Islam bukan menentang berpikir kritis; justru Islam mengangkat, mendisiplinkan, dan mengarahkannya pada tujuan-tujuan etis.
Richard Paul dan Linda Elder mendefinisikan berpikir kritis sebagai proses disiplin dalam menganalisis, mengevaluasi, dan memperbaiki cara berpikir dengan menerapkan standar intelektual serta membangun kebajikan intelektual. Kerangka mereka berangkat dari asumsi bahwa cara berpikir manusia secara alami cacat, rentan terhadap bias, egosentrisme, dan asumsi yang tak diuji, sehingga memerlukan pemantauan dan koreksi diri yang berkelanjutan. Dalam model ini, akal menjadi alat utama untuk menilai klaim kebenaran dan menjalankan tanggung jawab intelektual.
Dalam epistemologi Islam, akal juga menempati posisi yang sangat penting, namun tak berdiri sendiri. Akal dipandang sebagai anugerah Allah yang ditugaskan untuk memahami tanda-tanda, menarik kesimpulan, dan membedakan kebenaran dari kebatilan. Sejalan dengan Paul–Elder, Islam mengakui bahwa penalaran manusia dapat diselewengkan oleh hawa nafsu, kesombongan, dan tekanan sosial. Namun, Islam memahami penyimpangan ini bukan semata sebagai kesalahan kognitif, melainkan sebagai kondisi moral dan spiritual yang mempengaruhi cara kerja akal.
Perbedaan paling mendasar terletak pada peran wahyu. Dalam kerangka Paul–Elder, tak ada rujukan epistemik final yang melampaui akal manusia; standar intelektual dibenarkan melalui refleksi rasional dan kesepakatan manusia. Dalam Islam, wahyu berfungsi sebagai jangkar epistemik yang mengarahkan akal, membatasi spekulasi berlebihan, dan memberikan kepastian pada wilayah yang tak mampu dijangkau sepenuhnya oleh akal. Wahyu tak mematikan berpikir kritis, tetapi mendisiplinkannya agar akal tak menjadi absolut dan memuja dirinya sendiri.
Konsep qalb menghadirkan dimensi lain yang tak ditemukan dalam model Paul–Elder. Dalam epistemologi Islam, qalb bukan sekadar pusat emosi, melainkan pusat moral dan spiritual yang memengaruhi persepsi, niat, dan penilaian. Qalb yang rusak dapat membutakan akal, sedangkan qalb yang sehat melahirkan kejernihan dan keikhlasan dalam memahami kebenaran. Sebaliknya, Paul dan Elder menitikberatkan kebajikan intelektual seperti keadilan dan keterbukaan, tanpa mengaitkannya secara eksplisit dengan kondisi spiritual manusia.
Meski demikian, terdapat titik temu yang kuat antara kedua pendekatan ini. Penekanan Paul dan Elder pada pemeriksaan diri, kerendahan hati intelektual, dan penolakan terhadap otoritas buta sangat selaras dengan konsep muhasabah, penolakan terhadap taqlid a‘ma, serta tuntutan keadilan dalam penilaian menurut Islam. Keduanya sepakat bahwa kebenaran tidak dijamin oleh status, tradisi, atau suara mayoritas, melainkan harus dicari secara aktif dan dijaga dengan tanggung jawab.
Paul dan Elder memandang berpikir kritis sebagai disiplin sekuler untuk meningkatkan kualitas penalaran dan otonomi individu, sedangkan Islam memandang berpikir sebagai tindakan moral dan spiritual yang dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Jika Paul dan Elder bertanya bagaimana cara berpikir dapat dibuat lebih baik, Islam bertanya sekaligus bagaimana cara berpikir dapat menjadi benar dan bagaimana sang pemikir dapat menjadi lurus. Keduanya tidak saling meniadakan, melainkan dapat saling melengkapi, selama akal tidak dipuja secara berlebihan dan tidak pula diabaikan.
Pesan buku ini menyentuh tantangan demokrasi Indonesia secara lebih luas. Sebuah masyarakat tak dapat sungguh-sungguh demokratis jika warganya tak terbiasa mencermati informasi secara kritis, mempertanyakan kekuasaan secara bertanggungjawab, dan merefleksikan bias dirinya sendiri. Paul dan Elder mengingatkan bahwa kebebasan tanpa berpikir kritis mudah berubah menjadi manipulasi, padahal berpikir kritis itu sendiri mengubah kebebasan menjadi tanggungjawab.Dalam berpikir kritis, pernyataan dari otoritas tak dapat dipercaya begitu saja, sebab kebenaran tak melekat pada siapa yang ngomong, melainkan pada alasan, bukti, dan koherensi dari apa yang diucapkan. Otoritas memang dapat memiliki keahlian, pengalaman, atau posisi resmi, tetapi hal itu tidak otomatis menjamin bahwa setiap pernyataannya benar, lengkap, atau bebas dari kepentingan.Salah satu alasannya adalah bahwa otoritas tetaplah manusia. Mereka dapat keliru, bias, terikat kepentingan politik, ekonomi, institusional, atau bahkan terjebak dalam paradigma lama yang belum diperbarui oleh bukti baru. Sejarah ilmu pengetahuan dan kebijakan publik menunjukkan bahwa banyak klaim yang dahulu dianggap benar karena diucapkan oleh otoritas, kemudian terbukti keliru atau perlu direvisi.Dalam konteks berpikir kritis, istilah otoritas tak merujuk semata pada penguasa politik atau pejabat pemerintah, meskipun mereka dapat termasuk di dalamnya. Otoritas merupakan konsep epistemik yang lebih luas, yang mencakup individu, institusi, atau sistem apa pun yang pernyataannya lazim diterima sebagai kredibel, sah, atau mengikat tanpa verifikasi langsung.
Otoritas dapat hadir dalam berbagai bentuk. Ia bisa berupa otoritas politik, seperti presiden, menteri, atau lembaga negara, yang kekuasaannya bersumber dari mandat hukum dan kendali atas administrasi publik. Ia juga dapat berupa otoritas institusional, seperti universitas, pengadilan, organisasi profesi, atau aparat penegak hukum, yang kredibilitasnya bertumpu pada prosedur formal, keahlian, dan standar yang diakui. Selain itu, terdapat pula otoritas epistemik atau intelektual, yang melekat pada akademisi, ilmuwan, pakar, atau cendekiawan publik, yang pendapatnya dipercaya karena kualifikasi, pengalaman, atau reputasinya.
Lebih jauh lagi, otoritas dapat bersifat sosial atau kultural. Pemimpin agama, tokoh masyarakat, figur media, atau organisasi berpengaruh dapat berfungsi sebagai otoritas karena mereka membentuk keyakinan, norma, dan opini publik. Bahkan dokumen itu sendiri, seperti sertifikat resmi, laporan, atau data statistik, dapat memiliki status otoritatif ketika diterbitkan atau disahkan oleh lembaga yang diakui.
Berpikir kritis tak menuntut penolakan terhadap otoritas itu sendiri. Yang dituntut adalah kesadaran bahwa otoritas, dari sumber mana pun, tak bersifat ma‘shum atau bebas dari kekeliruan. Pernyataan otoritas bisa benar, sebagian benar, menyesatkan, atau bahkan keliru. Karenanya, berpikir kritis memperlakukan otoritas sebagai penunjuk awal, bukan sebagai penentu akhir kebenaran. Ia mempertanyakan apakah klaim otoritas didukung oleh bukti yang transparan, penalaran yang masuk akal, dan prosedur yang memungkinkan pengujian independen.
Dalam pengertian ini, sikap skeptis terhadap otoritas bukanlah tindakan pembangkangan, melainkan disiplin intelektual. Ia mencerminkan pemahaman bahwa kebenaran tak dijamin oleh jabatan, kekuasaan, atau prestise, melainkan oleh mutu bukti dan keterbukaan proses pembenaran suatu klaim.
Selain itu, berpikir kritis menyadari adanya kekeliruan logika yang dikenal sebagai appeal to authority. Kekeliruan ini terjadi ketika sebuah klaim dianggap benar semata-mata karena disampaikan oleh figur berkuasa atau terkenal, tanpa memeriksa dasar argumennya. Dalam nalar kritis, otoritas hanya dapat memperkuat klaim jika ia disertai argumen yang masuk akal dan bukti yang dapat diuji, bukan menggantikannya.
Berpikir kritis juga menuntut kesadaran terhadap konteks dan kepentingan. Otoritas sering berbicara dari posisi tertentu yang membawa tujuan, agenda, atau batasan institusional. Karena itu, pertanyaan seperti dalam kapasitas apa pernyataan ini disampaikan, untuk kepentingan siapa, dan apa yang tidak dikatakan menjadi sama pentingnya dengan isi pernyataannya sendiri.
Penting pula dipahami bahwa bersikap kritis terhadap otoritas bukan berarti anti-otoritas. Berpikir kritis tidak menolak keahlian, tetapi menempatkannya secara proporsional. Otoritas dihormati karena argumennya diuji dan terbukti kuat, bukan karena statusnya semata. Dengan cara ini, kepercayaan menjadi hasil dari penalaran, bukan kepatuhan buta.
Pada akhirnya, jika pernyataan otoritas diterima tanpa pemeriksaan, akal budi kehilangan perannya dan manusia mudah digiring oleh retorika, jabatan, atau simbol kekuasaan. Berpikir kritis justru hadir untuk menjaga agar penghormatan terhadap otoritas tetap sejalan dengan tanggung jawab intelektual—yakni memastikan bahwa yang diterima sebagai kebenaran memang layak dipercaya.
Pada saat yang sama, mereka mengakui bahwa kepolisian menjalankan prosedurnya sendiri, tetapi mempertanyakan apakah prosedur tersebut cukup untuk menjawab kontroversi publik atas persoalan yang berdampak nasional. Bagi mereka, keraguan yang tersisa bukanlah bukti bahwa ijazah tersebut palsu, melainkan penanda—menurut pandangan mereka—bahwa prosesnya belum mencapai tingkat keterbukaan yang mampu menyelesaikan persoalan secara meyakinkan.
Dalam kerangka berpikir kritis, sikap Roy Suryo dan rekan-rekannya dapat dikatakan memenuhi sebagian prinsip berpikir kritis, tetapi belum seluruhnya, tergantung pada bagaimana keraguan itu dibangun dan disampaikan. Dari sisi yang selaras dengan berpikir kritis, keraguan mereka tak lahir semata dari sikap membantah otoritas, melainkan dari keterbatasan akses terhadap bukti. Dalam berpikir kritis, sebuah klaim—terlebih klaim penting yang berdampak publik—memang tak cukup semata diperlihatkan secara sepihak, apalagi jika pihak yang menilai tak diberi kesempatan untuk mengamati secara memadai. Ketika suatu objek bukti tak boleh disentuh, diuji, atau diperiksa secara independen, maka muncul masalah verifiabilitas, dan keraguan dalam situasi seperti itu secara epistemologis wajar. Dalam makna ini, sikap mereka bisa dibaca sebagai penerapan prinsip kritis: klaim memerlukan bukti yang dapat diperiksa, bukan sekadar ditunjukkan.
Dalam berpikir kritis, keraguan adalah kebajikan awal. Keraguan mendorong pertanyaan, bukan penyangkalan. Ia membuka ruang bagi penyelidikan dengan memancing pertanyaan tentang dasar suatu klaim, bukti yang menopangnya, serta kemungkinan penjelasan lain. Tanpa keraguan awal ini, berpikir mudah merosot menjadi sekadar pengulangan pendapat, slogan, atau narasi institusional yang sudah diterima begitu saja.Disebut sebagai kebajikan intelektual karena keraguan yang dimaksud bersifat terlatih, bukan merusak. Ia tak sama dengan sinisme atau kebiasaan tak percaya pada apa pun. Keraguan yang bernilai justru bersifat sementara dan bertujuan: ia menangguhkan penilaian sambil mencari kejelasan, bukti, dan keterpaduan nalar. Tujuannya bukan meruntuhkan kebenaran, melainkan memastikan bahwa apa yang diterima sebagai kebenaran memang layak diterima.Berpikir kritis adalah kemampuan menilai suatu informasi, gagasan, atau peristiwa secara sadar, rasional, dan bertanggungjawab, bukan sekadar menerimanya begitu saja. Ia menuntut seseorang agar bertanya, mencermati alasan, menimbang bukti, serta menyadari kemungkinan bias—baik dari luar maupun dari dalam diri sendiri.
Dalam berpikir kritis, seseorang tak berhenti pada apa yang diucapkan, melainkan bergerak lebih jauh kepada mengapa hal itu dilontarkan, siapa yang diuntungkan, apa asumsi di baliknya, dan apa konsekuensi jika ia dipercaya atau ditolak. Dengan kata lain, berpikir kritis adalah usaha untuk mencari kebenaran yang paling masuk akal, bukan sekadar kebenaran yang paling nyaman.
Berpikir kritis juga bukan sikap sinis atau gemar membantah. Ia justru menuntut kerendahan hati intelektual: kesiapan untuk mengakui bahwa pandangan daku bisa keliru, dan bahwa bukti baru dapat mengubah kesimpulan lama. Orang yang berpikir kritis tidak alergi terhadap otoritas, tetapi juga tidak menelannya mentah-mentah; otoritas diuji melalui argumen dan data, bukan disembah atau ditolak secara emosional.
Dalam kehidupan sehari-hari, berpikir kritis tampak ketika seseorang tidak mudah terpancing hoaks, tidak serta-merta percaya pada jargon politik, iklan, atau kutipan religius yang dipotong dari konteksnya, serta mampu membedakan antara fakta, opini, dan manipulasi emosi. Ia bertanya: apakah ini benar, atau hanya terasa benar?
Singkatnya, berpikir kritis adalah disiplin akal budi—upaya sadar untuk menjaga pikiran tetap jernih di tengah banjir informasi, kepentingan, dan retorika. Tanpanya, manusia mudah digiring; dengannya, manusia berpeluang tetap merdeka dalam bernalar.

