[Bagian 3]"Ada momen menarik ketika Presiden Prabowo mengunjungi daerah korban banjir di Sumatera akhir November–awal Desember 2025, pas Bupati di Aceh Tenggara tiba‑tiba ngomong, “Semoga Pak Prabowo jadi presiden seumur hidup ya!”, Presiden Prabowo langsung pasang ekspresi cool‑calm: geleng sambil ngangkat tangan—sinyal tegas “enggak, bro!” Gak perlu banyak dramatisasi, cukup dengan gerakan simpel, beliau udah bilang: “Thanks, tapi nggak.”Sikap seperti itu perlu diapresiasi, sebab di tengah godaan kekuasaan, banyak pemimpin bisa kepincut pujian atau rasa kagum yang dilebih‑lebihkan. Tapi pilihan seorang Prabowo untuk menolak—dengan tenang dan tanpa drama—menunjukkan bahwa beliau (setidaknya di momen itu) punya kesadaran bahwa jabatan publik: bukan tentang ketenaran abadi, bukan tentang menyenangkan fans atau simpatisan, melainkan soal tugas nyata: bantu korban, urus negara, hormati konstitusi. Dan dalam konteks demokrasi Indonesia: menolak “presiden seumur hidup” adalah penegasan bahwa kekuasaan itu harus bersiklus—supaya tetap ada akuntabilitas, regenerasi, dan agar semangat demokrasi terus berkelanjutan."Tindakan Presiden selalu menentukan nada untuk respons seluruh pemerintahan selama krisis. Penilaian publik terhadap penanganan bencana banjir Sumatera baru-baru ini oleh Presiden Prabowo menampilkan gambaran yang beragam, tetapi secara umum dipertahankan secara politis.Di satu sisi, para pendukung beliau dan elemen-elemen dalam narasi pemerintah telah menyoroti keterlibatan langsung beliau dan mobilisasi cepat sumber daya negara. Presiden melakukan kunjungan tepat waktu ke wilayah yang terkena dampak, termasuk Tapanuli Tengah, Aceh, dan Sumatera Barat, menunjukkan bahwa negara memang hadir dan memperhatikan bencana tersebut. Tindakan cepat dan kehadiran fisik di lapangan ini digalakkan secara gencar oleh sejawat politiknya sebagai bukti kepemimpinan yang responsif dan komitmen yang kuat terhadap kesejahteraan rakyat, dengan fokus untuk memastikan pengiriman cepat bantuan mendesak semisal bahan bakar (BBM) dan pemulihan segera infrastruktur penting seperti listrik dan jalan. Beliau juga secara eksplisit mengerahkan pimpinan BUMN strategis, seperti Direktur PLN dan Pertamina, untuk mempercepat pemulihan layanan.Di sisi lain, kritik publik dan dari beberapa aktivis non-pemerintah terutama berfokus pada status bencana dan pernyataan resmi mengenai penyebabnya. Poin utama pertentangan publik adalah penilaian Presiden bahwa bencana tersebut tak perlu ditingkatkan menjadi Status Bencana Nasional, dengan alasan bahwa situasinya sudah cukup terkendali dengan sumber daya regional yang ada, serta Prosedur Operasi Standar (SOP) dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan TNI yang dinilai sudah mapan dan memadai. Sikap ini langsung mendapat kritik daring, dimana beberapa warganet dan aktivis media sosial merasa bahwa penolakan untuk meningkatkan status tersebut menunjukkan kurangnya keseriusan yang komprehensif terhadap skala tragedi dan akar penyebabnya yang mendalam, semisal dugaan pembalakan liar yang tak diatur. Mereka berpendapat bahwa penetapan status bencana nasional akan membuka lebih banyak sumber daya keuangan dan tingkat koordinasi lintas sektor yang lebih tinggi yang diperlukan bagi bencana kompleks di banyak wilayah.Penilaian publik terpolarisasi: sementara tindakan beliau mengunjungi dan memberikan perintah langsung dilihat oleh banyak orang sebagai demonstrasi 'Kehadiran Negara' dan 'Respons Cepat', keputusan beliau dalam mempertahankan status bencana di tingkat daerah menimbulkan kontroversi dan kekecewaan yang signifikan di kalangan mereka yang merasa bahwa pemerintah lebih mengutamakan pengelolaan citra dan meremehkan akar penyebab lingkungan daripada mengalokasikan sumber daya maksimum bagi pemulihan dan pencegahan.Terdapat pula perbincangan yang menarik, mengenai dugaan 'pencitraan' atau 'aksi hubungan masyarakat' para politisi yang beredar luas di media sosial Indonesia. Salah satu tokoh yang menonjol dan menghadapi kritik publik yang signifikan mengenai tindakannya di lapangan adalah Zulkifli Hasan, Menteri Koordinator Bidang Pangan. Kegiatan-kegiatannya, semisal gestur memanggul karung beras kecil dan membantu secara langsung membersihkan endapan lumpur di lokasi bencana, telah dicermati secara luas oleh pengguna di berbagai platform digital, dengan banyak yang menduga bahwa ini merupakan tindakan yang sengaja direkayasa dan ditujukan semata-mata untuk pencitraan, atau memperbaiki citra publiknya, alih-alih sebagai tindakan kebijakan pemerintah yang tulus guna penanggulangan bencana.
Terdapat penilaian publik terhadap mantan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, dan Menteri Kehutanan saat ini, Raja Juli Antoni. Akuntabilitas Siti Nurbaya Bakar (Mantan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan) atas bencana Sumatra dibingkai oleh publik dan organisasi lingkungan sebagai kegagalan kebijakan sistemik selama masa jabatannya yang panjang, alih-alih tindakan spesifik selama krisis.Siti Nurbaya menghadapi kritik yang terus-menerus dan meluas selama masa jabatannya atas pernyataan dan kebijakan yang diyakini para kritikus lebih memprioritaskan pembangunan skala besar daripada konservasi lingkungan. Pernyataan publiknya yang kontroversial bahwa "pembangunan besar-besaran... tidak boleh dihentikan... atas nama deforestasi" menjadikannya wajah narasi pemerintah yang tampaknya membenarkan perusakan hutan demi infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi.Bagi kelompok lingkungan, citranya terkait dengan pelembagaan deforestasi dan melemahnya perlindungan ekologis, yang menurut mereka secara langsung menciptakan kondisi (hilangnya kapasitas penyerapan air di dataran tinggi) yang mengubah hujan lebat menjadi banjir besar di Sumatra. Terlebih lagi, dirinya bersama Menteri saat ini, telah menjadi subjek tuntutan dari kelompok-kelompok seperti Koalisi Kawal Merah Putih (KKMP) untuk diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan keterlibatan dalam kasus suap terkait pengelolaan kawasan hutan, yang semakin menyulut kecurigaan publik terhadap etika tatakelola hutan negara.Raja Juli Antoni menghadapi reaksi keras dan langsung dari publik atas penanganan dan komentarnya pascabencana Sumatra. Kesalahan paling parah dan banyak dikecam adalah penggunaan frasa "momentum baik" untuk menggambarkan banjir dan tanah longsor yang mematikan di Sumatra, dengan alasan bahwa hal itu merupakan 'momentum baik' untuk evaluasi kebijakan. Pernyataan ini langsung dikecam secara luas oleh netizen, politisi, dan tokoh masyarakat sebagai pernyataan yang tidak peka dan kurang empati terhadap ratusan korban yang kehilangan nyawa atau rumah mereka.Citra publiknya semakin rusak oleh foto viral yang memperlihatkan dirinya bermain domino dengan mantan tersangka kasus pembalakan liar. Para kritikus dengan cepat melabeli hal ini sebagai kesalahan etika yang fatal, dengan alasan bahwa hal itu membahayakan integritas Menteri yang bertanggungjawab menindak kejahatan kehutanan, terutama ketika pembalakan liar diduga kuat sebagai akar penyebab banjir. Meskipun ia mengakui bencana tersebut sebagai tanda kegagalan mendasar dalam pengelolaan lingkungan, perhatian publik tetap tertuju pada komunikasinya yang canggung dan perlunya tindakan konkret terhadap kekuatan-kekuatan besar yang mendorong deforestasi, alih-alih retorikanya. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahkan meminta agar ia dipanggil untuk membahas temuan kayu gelondongan besar di tengah banjir.Kecaman publik terhadap Siti Nurbaya ditujukan kepada landasan kebijakan yang menciptakan masalah tersebut, sementara kecaman terhadap Raja Juli Antoni ditujukan kepada pernyataan-pernyataannya yang kurang bijak dan asosiasi-asosiasinya yang dipertanyakan dalam mengelola krisis yang sedang terjadi.Publik menganggap Bahlil Lahadalia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), bertanggungjawab atas pengaturan dan pengawasan industri pertambangan. Mengingat sebagian besar kerusakan lingkungan di hulu sungai-sungai Sumatera berkaitan dengan industri ekstraktif, termasuk pertambangan, para kritikus menuntut pertanggungjawaban atas pengawasan yang memadai yang dilakukan kementeriannya terhadap kegiatan-kegiatan tersebut. Mereka mempertanyakan apakah kementerian tersebut tak mampu mengantisipasi konsekuensi dari kegiatan pertambangan di wilayah-wilayah yang sensitif secara ekologis, terutama dalam menghadapi pola cuaca ekstrem yang sudah diketahui.
Ketiga menteri ini dimintai pertanggungjawaban oleh berbagai elemen publik bukan karena respons bencana yang mendesak, tetapi karena kegagalan kebijakan dan kelalaian administratif atas izin penggunaan lahan dan perlindungan lingkungan yang, menurut para kritikus, mengubah peristiwa curah hujan yang parah menjadi bencana ekologis berskala besar.
Balik lagi ke topik utama kita.
Karya tentang etika lingkungan biasanya mengkaji hubungan moral antara manusia dan alam. Karya ini berupaya memperluas komunitas moral melampaui manusia semata, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan semisal: Adakah hewan, tumbuhan, dan ekosistem bernilai intrinsik? Haruskah mereka dihargai hanya karena apa yang mereka tawarkan kepada kita, atau juga karena kepentingan mereka sendiri? Karya semacam ini kemungkinan akan mengkaji berbagai pendekatan filosofis—dari etika yang berpusat pada manusia (antroposentris) hingga pandangan dunia yang lebih berpusat pada kehidupan atau ekosistem.
Menurut Environmental Ethics karya Marcus Wright (2022, Bibliotex), dalam filosofi lingkungan, etika lingkungan merupakan bidang filosofi praktis yang mapan, yang merekonstruksi jenis-jenis argumentasi esensial yang dapat diajukan untuk melindungi entitas alam dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. Paradigma-paradigma utama yang saling bersaing adalah antroposentrisme, fisiosentrisme (juga disebut ekosentrisme), dan teosentrisme. Etika lingkungan memberikan pengaruh di berbagai disiplin ilmu, termasuk hukum lingkungan, sosiologi lingkungan, ekoteologi, ekonomi ekologi, ekologi, dan geografi lingkungan.Antroposentrisme, yang menganggap kepentingan manusia sebagai yang utama—sehingga sering memandang alam dan kehidupan non-manusia terutama dalam konteks instrumental, sebagai sarana bagi kemaslahatan manusia. Biosentrisme, yang memberikan nilai intrinsik kepada semua makhluk hidup, bukan hanya manusia, dalam pandangan ini, seluruh organisme hidup bernilai moral semata-mata karena mereka hidup. Ekosentrisme (atau etika holistik/ekologis), yang menganggap ekosistem—dengan spesies, komponen tak hidup, dan proses ekologisnya yang saling bergantung—sama pentingnya secara moral sebagai suatu keseluruhan, bukan hanya sebagai kumpulan individu.Marcus Wright berusaha menantang pandangan dunia yang berpusat pada manusia dengan menegaskan bahwa alam memiliki nilai intrinsik yang melampaui kegunaannya bagi manusia. Ia menekankan bahwa tanggungjawab etis hendaknya mencakup ekosistem, spesies, dan generasi mendatang, bukan semata kepentingan manusia saat ini. Wright membahas tradisi filosofis yang mendasari pemikiran lingkungan, mulai dari ekologi mendalam hingga ekofeminisme, serta mengkritik kecenderungan eksploitatif masyarakat industri. Ia menegaskan bahwa etika lingkungan bukan sekadar filosofi abstrak, melainkan kerangka praktis untuk membimbing kebijakan, teknologi, dan pilihan sehari-hari. Pada akhirnya, karya ini menyampaikan bahwa kelangsungan hidup manusia tak dapat dipisahkan dari keberlangsungan dunia alami, dan bahwa keadilan sejati menuntut pengakuan atas kedudukan moral kehidupan non-manusia.Wright berpendapat bahwa etika tradisional, yang berakar pada kesejahteraan manusia dan kontrak sosial, tak mampu memperhitungkan makna moral dari entitas non-manusia. Ia menyoroti bagaimana kemajuan industri dan budaya konsumsi telah menormalkan eksploitasi alam, dengan memandangnya semata sebagai sumber daya, bukan sebagai komunitas sistem kehidupan. Wright memperkenalkan perdebatan filosofis utama—misalnya apakah nilai itu melekat secara intrinsik pada alam atau sekadar ditetapkan oleh persepsi manusia—dan menekankan urgensi untuk menata ulang kerangka etika kita di tengah krisis ekologis. Wright menegaskan bahwa etika lingkungan sebagai koreksi yang diperlukan, mendorong pembaca agar memperluas imajinasi moral melampaui batas manusia. Jika etika konvensional selama ini terbatas pada hubungan, hak, dan kewajiban manusia, maka etika lingkungan menegaskan perlunya memperluas lingkaran kepedulian moral hingga mencakup kehidupan non-manusia dan sistem ekologis. Koreksi ini menantang asumsi bahwa alam hanyalah latarbelakang atau gudang sumber daya, dan sebaliknya memandangnya sebagai komunitas makhluk dengan nilai intrinsik. Wright berpendapat bahwa pergeseran ini penting lantaran ia mengarahkan kembali tanggungjawab manusia dari dominasi dan eksploitasi menuju pengelolaan, timbal balik, dan penghormatan. Dengan demikian, etika lingkungan menyediakan penyeimbang terhadap pandangan dunia industri dan konsumsi, serta mengingatkan bahwa keadilan dan keberlanjutan tak mungkin tercapai tanpa pengakuan atas kedudukan moral dunia alami.Menurut Wright, kemajuan industrialisasi dan munculnya budaya konsumsi secara bertahap telah menormalkan eksploitasi alam dengan menjadikannya bagian dari kehidupan sehari-hari dan sistem ekonomi. Kemajuan industri dipuji sebagai simbol pencapaian manusia, namun sesungguhnya dibangun di atas ekstraksi sumber daya tanpa henti, perubahan lanskap, dan komodifikasi sistem kehidupan. Budaya konsumsi memperkuat pola ini dengan mengajarkan individu untuk menyamakan well-being dengan kepemilikan materi, sehingga biaya ekologis tersembunyi di balik pesona kenyamanan dan kelimpahan. Seiring waktu, praktik-praktik ini begitu erat tertanam dalam norma sosial dan struktur ekonomi sehingga eksploitasi lingkungan tampak alami, tak terelakkan, bahkan diinginkan. Wright menegaskan bahwa normalisasi inilah yang harus ditantang, sebab ia membutakan masyarakat terhadap makna moral dari kerusakan ekologis dan melanggengkan pandangan dunia dimana alam direduksi menjadi gudang barang, bukan komunitas kehidupan.Wright menjelaskan bahwa etika lingkungan dan animal ethics, etika terhadap hewan, kita singkat etika hewan, berkaitan erat tapi tak identik: etika lingkungan berfokus pada nilai moral ekosistem, spesies, dan dunia alam secara keseluruhan, sementara etika hewan berfokus pada status moral dan kesejahteraan masing-masing makhluk berakal. Etika hewan, sebagaimana dijelaskan di sini, adalah pandangan filosofis bahwa hewan layak mendapatkan pertimbangan etis karena kemampuannya menderita, merasakan, dan menjalani kehidupan yang bermakna, sehingga tak boleh direduksi menjadi sekadar sumber daya untuk dimanfaatkan manusia.Wright menempatkan etika hewan sebagai pendamping penting bagi etika lingkungan, meskipun keduanya berbeda dalam penekanan. Etika lingkungan bersifat holistik, berfokus pada pelestarian keanekaragaman hayati, sistem ekologis, dan keutuhan alam sebagai entitas kolektif. Sebaliknya, etika hewan bersifat individualistik, menitikberatkan kepedulian moral pada hak dan kesejahteraan makhluk hidup yang punya kesadaran dan kemampuan untuk merasakan. Etika lingkungan kadang dapat membenarkan tindakan yang merugikan hewan individu demi keseimbangan ekosistem, sedangkan etika hewan menegaskan bahwa penderitaan dan kesejahteraan setiap makhluk hendaklah diperhitungkan secara serius. Wright menggambarkan ketegangan ini bukan sebagai kontradiksi, melainkan sebagai dialog yang diperlukan: etika lingkungan memperluas imajinasi moral kita agar mencakup keseluruhan alam, sementara etika hewan memastikan bahwa kehidupan individu tak diabaikan. Bersama-sama, keduanya membentuk kerangka etis yang lebih lengkap, mengingatkan kita bahwa keadilan harus mencakup baik keberlangsungan ekosistem maupun martabat hewan individu.Bayangkan sebuah aula besar dimana hutan hujan, mengenakan jubah zamrud, berdiri di podium sebagai ketua sidang. Di sampingnya duduk seekor kucing jalanan yang lusuh, mewakili suara hewan individu. Hutan hujan berbicara tentang keseimbangan, keanekaragaman hayati, dan kelangsungan hidup ekosistem, sementara sang kucing menyela dengan kecerdikan, mengingatkan bahwa keadilan tak berarti jika penderitaan makhluk individu diabaikan. Rapat itu segera berubah menjadi parodi politik manusia: hutan hujan mengusulkan kebijakan besar untuk melindungi sungai dan rimba, sementara sang kucing menuntut makanan, tempat tinggal, dan martabat bagi setiap makhluk. Bersama-sama mereka membongkar absurditas pandangan dunia yang merayakan kemajuan industri tetapi melupakan kedudukan moral ekosistem dan makhluk hidup yang memiliki kesadaran. Slogan poster itu berbunyi: “Tiada Keadilan Tanpa Daun dan Kumis.”
Marcus Wright dalam Environmental Ethics menggambarkan hubungan antara etika lingkungan dan etika hewan sebagai hubungan sebab-akibat, bukan sekadar paralel. Ia menjelaskan bahwa ketika kita mulai menganggap etika lingkungan secara serius—dengan mengakui nilai intrinsik ekosistem dan makna moral dunia alami—hal itu secara tak terelakkan membentuk cara kita memandang hewan individu. Etika lingkungan menyediakan kerangka yang lebih luas: ia menegaskan bahwa perusakan habitat, pencemaran, dan ketidakseimbangan ekologis adalah kesalahan moral karena merusak keutuhan alam itu sendiri. Konsekuensi dari pengakuan ini ialah etika hewan muncul sebagai perpanjangan yang diperlukan, sebab degradasi ekosistem secara langsung merugikan kehidupan makhluk sadar yang bergantung padanya. Sebaliknya, Wright berpendapat bahwa etika hewan, dengan menekankan martabat dan kesejahteraan makhluk individu, sering membawa kita kembali pada etika lingkungan, karena melindungi hewan tak mungkin dilakukan tanpa menjaga habitat dan sistem ekologis tempat mereka hidup. Dengan demikian, keduanya saling terkait secara kausal: etika lingkungan menciptakan kondisi agar etika hewan bermakna, sementara etika hewan memperkuat urgensi etika lingkungan dengan mendasarkannya pada penderitaan dan keberlangsungan makhluk individu.
[Bagian 1]

