Jumat, 31 Agustus 2018

Ketika Kaum Muda Menentang (2)

Para Ayam jago bernalam,

Seberapapun panjang jalan itu
kebenaran ada bersama Rabb
tiada keraguan, Dia 'kan menjayakannya

Kekuatanku telah terjelma
laksana kuda pacu
dan walau kedua kakiku tersandung
harkatku beranjak

Dan kami 'kan melaju
tanpa aral
cinta 'kan berjaya
demi Allah Al-Wadud **)

Murai berkata, "Sekarang, mari kita lanjutkan diskusi kita. Wahai Tumang, silahkan, lanjutkanlah!" Lalu Tumang berkata, "Tak ada tanda-tanda tidur di tubuh mereka, meskipun telah ditidurkan selama jangka waktu yang panjang. Bahkan, mereka berada dalam kondisi bahwa siapapun yang melihat mereka. akan berpikir bahwa mereka dalam keadaan terjaga. Para mufassir, umumnya mengatakan bahwa mata mereka terbuka. Tubuh santai dalam tidur, namun relaksasinya, tak ada di sana. Perubahan dalam momentum pernapasan yang muncul saat tidur juga tak ada. Jelas bahwa keadaan ini juga, tak lain menjadi sesuatu yang luar biasa, semacam karamah, dimana pertimbangan hikmah yang jelas adalah, perlindungan terhadap orang yang akan menyerang mereka atau yang akan mengambil sesuatu dari mereka, mengira bahwa mereka tetap siaga. Jika ada yang menyaksikan mereka, tentu akan berpaling melarikan diri dan dipenuhi rasa takut terhadap mereka.
Seseorang boleh bertanya, mengapa para pemuda hamba Allah ini membawa seekor anjing bersama mereka? Bisa dibayangkan bahwa para pemuda ini, punya ladang dan ternak, mungkin saja, mereka memelihara anjing guna perlindungan dari perampok, dan karena kesetiaan seekor anjing tak diragukan lagi, anjing itu mengikuti mereka. Anjing adalah simbol saling-percaya. Sekali anjing itu percaya kepada seseorang, maka ia akan tetap setia mengikuti dan menjaganya. Allah menciptakan anjing itu, dengan naluri untuk berjaga. Allah mewahyukan bahwa anjing para pemuda ini, tak masuk ke dalam gua, melainkan merentangkan kakinya, dan berbaring di mulut gua. Ini menunjukkan bahwa tugas anjing itu, berada di luar rumah, untuk menjaga ternak dan ladang. Larangan memelihara anjing adalah perintah dari syari'at yang dibawa oleh Rasulullah (ﷺ), dan mungkin saja itu belum dilarang dalam syari'at yang dibawa Nabi Isa, alaihissalam.

Cara para pemuda ini tidur, tak seperti kebiasaan tidur kebanyakan orang, sangat mirip, kemunculan mereka juga berbeda dari kebiasaan alami. Tidur panjang mereka adalah tanda Ilahi. Demikian pula, semuanya terduduk-bangun setelah ratusan tahun - sehat dan bugar tanpa makanan - juga merupakan tanda Ilahi yang sempurna lainnya. Dan itu juga berarti bahwa mereka juga harus tahu bahwa mereka telah tidur selama ratusan tahun. Maka, Allah membangunkan mereka agar di antara mereka saling bertanya. Salah seorang di antara mereka berkata, “Sudah berapa lama kita berada di sini?” Mereka menjawab, “Kita berada di sini sehari atau setengah hari." Mereka berbeda tentang berapa lama mereka tinggal di gua itu, dan salah seorang dari mereka mengatakan hal yang benar. Para pemuda ini telah memasuki Gua di pagi hari dan ketika mereka bangun, sudah malam. Oleh karena itu, mereka berpikir, itulah hari ketika mereka memasuki gua dan lama mereka tidur hanya sekitar sehari. Namun, beberapa di antara pemuda ini menyadari bahwa, mungkin, ini bukan hari ketika mereka memasuki gua. Jika ya, siapa yang tahu berapa hari telah berlalu? Oleh karena itu, mereka memutuskan menyerahkan pengetahuan khusus tentang peristiwa ini, dengan bersandar kepada Allah. Dengan mengatakan, “Tuhanmu lebih mengetahui berapa lama kamu berada di sini. Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah ia lihat manakah makanan yang lebih baik, dan bawalah sebagian makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan jangan sekali-kali menceritakan halmu kepada siapa pun. Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melempari kamu dengan batu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka, dan jika demikian niscaya kamu takkan beruntung selama-lamanya.”
Mereka mengabaikan debat ini dan menganggapnya sebagai hal yang tak perlu, lalu mengalihkan perhatian mereka pada kebutuhan akan waktu, yaitu mengutus seorang diantara mereka ke kota, untuk mencari makanan. Orang-orang baik ini juga membawa uang ketika mereka mendatangi gua. Dari sini kita tahu bahwa pengadaan dan pengelolaan pengeluaran, penting dalam kehidupan, juga tak bertentangan dengan norma-norma Zuhud dan Tawakkal. Makanan yang mereka cari, adalah makanan Halal. Mereka mewaspadai perlunya tindakan pencegahan seperti itu karena pada saat mereka meninggalkan kota, masyarakat umumnya menyembelih hewan atas nama berhala dan itulah yang mereka jual di pasar. Oleh karena itu, mereka menekankan pada lelaki yang akan keluar, membawa pulang makanan hanya setelah memastikan bahwa makanan itu, Halal. Para pemuda ini kemudian menunjuk seorang diantara mereka untuk pergi ke kota dan memberinya uang untuk membeli makanan yang akan ia bawa pulang.
Berabad-abad telah berlalu, sang raja yang musyrik, Diqyanus, penguasa yang menindas kota itu, telah wafat. Kekuasaannya telah diambil-alih oleh para penganut aqidah murni. Raja mereka, orang yang shalih, yang namanya disebut sebagai Baidusis. Selama masa pemerintahannya, secara kebetulan terjadi perbedaan pandangan yang merajalela dalam hal orang mati yang akan dibangkitkan kembali pada Hari Kiamat. Sebuah mazhab menolak paham bahwa tubuh manusia akan dibangkitkan kembali setelah proses pembusukan, penguraian dan penyebaran sebagaimana halnya partikel terhambur di seluruh permukaan bumi. Baidusis, yang memerintah sebagai raja pada masa itu, mulai prihatin mencari cara-cara untuk menghilangkan syubhat ini. Ketika tak ada lagi cara yang berhasil, ia mengenakan pakaian compang-camping, duduk di atas tumpukan debu dan berdoa kepada Allah. Meratap dan memohon dengan sungguh-sungguh, ia berkata, 'Ya Allah, sekarang kuserahkan pada-Mu agar segalanya berjalan dengan baik sehingga keyakinan rakyatku dapat dipulihkan dan mereka kembali ke jalan yang benar.' Di satu sisi, sang raja mengadu dan memohon, sementara, di sisi lain, Allah mengatur agar permohonan sang raja dijawab sesuai kehendak-Nya. Para pemuda al-Kahfi terbangun. Mereka mengutus salah seorang diantara mereka, yang disebutkan bernama Tamlikha, ke pasar kota untuk membeli makanan. Ia masuk ke toko dan membayar makanan yang ia beli dengan uang logam perak yang berasal dari zaman raja Diqyanus, yang memerintah di sana pada tiga ratus tahun yang lalu. Penjaga toko terkejut. Darimana uang ini berasal? Berlaku kapan uang logam ini? Ia bingung. Ia menunjukkannya kepada penjaga toko lain. Semua orang menuduh pemuda itu telah merampok dan mengambil uang koin darinya. Sang pemuda berkata kepada mereka bahwa ia tak pernah melakukannya dan uang logam itu miliknya sendiri.

Para penjaga toko menahannya dan membawanya ke hadapan sang raja. Seperti disebutkan sebelumnya, sang raja adalah hanba Allah yang shalih. Dikatakan bahwa ia punya perhatian terhadap museum negara dan di bagian arkeologinya, ia juga melihat tablet bertuliskan daftar nama-nama para pemuda al-Kahfi bersama deskripsi tentang peristiwa pelarian mereka. Ada yang menyebutkan, raja yang kejam, Diqyanus, memerintahkan agar dibuat tablet semacam itu untuk menyatakan mereka sebagai buron, agar nama dan alamat mereka tetap diketahui, dan agar mereka ditangkap di tempat. Yang lain mengatakan bahwa ada orang-orang istana kerajaan yang secara diam-diam, tak menyetujui penyembahan berhala, lalu menjadikan para pemuda Al-Kahfi sebagai teladan kebenaran. Namun, mereka tak punya keberanian untuk menyatakannya secara terbuka. Apa yang mereka lakukan adalah denga menuliskan tablet itu, untuk disimpan sebagai memorabilia. Nama tablet ini adalah Raqim, karena itulah para pemuda al-Kahfi juga disebut Ashabar Raqim. Jadi, sang raja mengetahui sesuatu tentang peristiwa ini, dan saat itu, ia memohon kepada Allah semoga Dia, entah bagaimana caranya, membuat umatnya agar meyakini bahwa menghidupkan kembali orang mati bukanlah mustahil oleh kekuatan-Nya yang paling sempurna.
Karena itu, ketika ia bertanya tentang latar belakang Tamlikha, ia yakin bahwa lelaki itulah salah seorang dari para pemuda al-Kahfi. Ia berkata bahwa ia sering berdoa kepada Allah dengan harapan bahwa Dia, entah bagaimana caranya, membuatnya beruntung bertemu orang-orang yang melarikan diri dari Diqyanus, demi iman mereka. Sekarang setelah Allah mendengar doanya, ia bersyukur. Semoga, dalam peristiwa ini, bukti-bukti yang menentukan, yang dapat membuat rakyatnya yakin akan dihidupkannya kembali orang yang telah mati. Setelah mengatakan ini, sang raja meminta agar lelaki itu membawanya ke gua darimana ia berasal.
Ada yang mengatakan bahwa sang raja dan rakyatnya mengikuti pemuda itu mendaki gunung, namun ketika mereka mencapai tempat di dekat gua, mereka tak dapat menemukan arah mana yang diambil pemuda itu. Akhirnya setelah pencarian panjang, mereka tak dapat menemukan gua itu dan kembali, lalu di gunung itu mereka mendirikan sebuah tempat ibadah untuk mengingat para pemuda al-Kahfi.
Yang lain mengatakan bahwa sang raja tiba di sana beserta rombongan masyarakat dari kota. Ketika gua telah dekat, Tamlikha meminta sang raja agar menunggu sebentar, sehingga ia bisa masuk dan mengabarkan rekan-rekannya tentang keadaannya. Ia hendak mengabarkan bahwa sang raja ada di sana, ingin menemui mereka beserta rakyatnya, dan bahwa sang raja adalah orang yang beriman, seorang yang beraqidah dan demikian pula rakyatnya. Jika ia tak melakukannya, dan sang raja muncul di sana secara tiba-tiba, kemungkinan mereka akan membawanya menjadi musuh mereka seperti sebelumnya. Ketika Tamlikha masuk ke gua, ia menceritakan seluruh kejadiannya di hadapan rekan-rekanya. Mereka bersuka-cita. Mereka kemudian menyapa sang raja, memberi penghormatan padanya. Kemudian mereka kembali ke gua. Pada saat itulah Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus kematian menjemput mereka. Bagaimanapun, masyarakat kota itu sekarang dihadapkan pada keajaiban kekuatan Ilahi yang dimanifestasikan dengan begitu jelas dan nyata. Mereka menjadi yakin pada kerja kekuatan itu. Mereka melihat makhluk hidup, yang tetap hidup selama tiga ratus tahun tanpa makanan dan hal-hal yang penting dalam kehidupan. Dan kemudian, masyarakat juga melihat mereka dibangkitkan secara utuh, sehat dan bugar setelah tertidur dalam waktu yang lama. Dengan melihat semua bukti ini, sulitkah bagi kekuatan Ilahi menjadikan tubuh-tubuh ini hidup kembali setelah berjumpa dengan kematiannya? Melalui peristiwa ini, persepsi bahwa tubuh yang mati akan hidup kembali adalah sebuah proposisi yang amat-sangat tak terbantahkan. Mereka sekarang menyadari bahwa menjadikan kekuatan Rabb semesta alam pada analogi kekuatan manusia, dengan sendirinya adalah suatu kebodohan. Kemudian masyarakat memutuskan mendirikan gedung peringatan bagi mereka. Apa yang sebenarnya terjadi? Wallahu a'lam."

Beo bertanya, "Sebenarnya, berapa orangkah mereka?" Tumang berkata, "Allah berfirman, 'Nanti (ada orang yang akan) mengatakan, ”(Jumlah mereka) tiga (orang), yang ke empat adalah anjingnya,” dan (yang lain) mengatakan, “(Jumlah mereka) lima (orang), yang keenam adalah anjingnya,” sebagai terkaan terhadap yang gaib; dan (yang lain lagi) mengatakan, “(Jumlah mereka) tujuh (orang), yang ke delapan adalah anjingnya.” Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tiada yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit.” Karena itu janganlah engkau (Muhammad) berbantah tentang hal mereka, kecuali perbantahan lahir saja dan jangan engkau menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada siapapun.'
Dalam kisah ini, Allah mewahyukan apa yang diperlukan untuk objek utama dari kisah ini, yakni untuk menyadarkan kita pada kekuasaan Allah dan dibangkitannya orang mati dari kematiannya, kelak. Rincian yang diperlukan untuk kisah ini, telah diberikan. Sekarang, kita disarankan agar tak terlalu mengkhawatirkan detail-detail lain yang tak penting, yang tak ada guna mengetahuinya."
Pipit bertanya, "Mengapa didalam kisah Ashabul Kahfi ini, melibatkan kaum-muda, bukan yang lebih tua?" Tumang berkata, "Umumnya, dalam masalah takdir,  atau al-Qadr, kaum-muda masih banyak yang merasa bingung. Beriman pada Takdir, yang baik maupun buruk, adalah salah satu Rukun Iman dan Iman takkan lengkap tanpanya. Keyakinan ini mensyaratkan keyakinan bahwa Allah, Subhanahu wa Ta'ala, mengetahui apa yang akan terjadi dan apa yang telah ditetapkan bagi langit dan bumi. Rasulullah (ﷺ) telah melarang kita berdebat dan berbantah dalam masalah takdir. Melibatkan diri dan berselisih dalam soal takdir, membuat seseorang laksana jagung yang darinya ia tak punya kemampuan bertunas. Jalan keselamatan adalah bahwa engkau hendaknya bercita-cita untuk melakukan yang terbaik dan berusaha melakukan yang baik seperti yang telah diperintahkan kepadamu, karena Allah telah memberimu kecerdasan dan pemahaman, dan mengutus kepadamu para Nabi dan wahyu yang mereka bawa. Wallahu a'lam."

Kemudian Tumang berkata, "Imam al-Bukhari, rahimahullah, dalam kitab Shahihnya, meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah (ﷺ) tentang Hari Kiamat. Orang itu bertanya, ‘Kapankah Hari Kiamat itu?’ Rasulullah (ﷺ) balik bertanya, ’Apa yang telah engkau persiapkan untuk hari itu?’ Orang itu menjawab, ‘Tidak ada, hanya saja sesungguhnya aku mencintai Allah dan Rasul-Nya (ﷺ).’ Rasulullah (ﷺ) bersabda, ‘Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.’
Wahai saudara-saudariku, barangsiapa yang menyayangi orang baik, ia juga mendapat bagian dari kebaikan mereka. Lihatlah ketika anjing Ashabul Kahfi menyayangi mereka dan mengikuti mereka dengan erat serta telah menjadi bagian dari mereka, Allah menyebutnya didalam Al-Quran. Ketika seekor anjing dapat mencapai maqam ini dengan berada bersama orang-orang yang shalih dan suci, bayangkan betapa tingginya kedudukan orang-orang mukmin sejati dan beraqidah, yang menyayangi orang-orang yang shalih. Sebenarnya, ada rasa nyaman dan khabar gembira dari kisah ini bagi seorang Muslim, walau lemah dalam amal, tetapi mencintai Rasulullah (ﷺ) dengan sepenuhnya dan sepatutnya. Wallahu a'lam."

"Sungguh, orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, untuk mereka disediakan surga Firdaus sebagai tempat tinggal, mereka kekal di dalamnya, mereka tak ingin pindah dari sana.” - [QS.18:107-109]
Referensi :
- Maulana Hifzur Rahman Soeharwy, Qasasul Ambiyaa, Idara Impex
- The History of Al-Tabari Volume IV : The Ancient Kingdoms, translated by Moshe Perlmann, SUNY Press
- Maulana Mufti Muhammad Shafi, Ma'rifatul Quran, Volume V, Maktaba-e-Darul-'Uloom
- Ibn Kathir, Stories of The Qur'an, Dar Al-Manarah
*) penghargaan bagi Maydani, dkk, untuk Tsabat 1000 Mujahid
**) penghargaan bagi Maher Zain, dkk., untuk Alhubbu Yasud

Selasa, 28 Agustus 2018

Ketika Kaum Muda Menentang (1)

Para Rajawali menghentakkan kaki seraya bersorak,

Bila ada seribu Mujahid
akulah satu, diantaranya
Bila ada seratus Mujahid
akulah satu, diantaranya
Bila ada sepuluh Mujahid
akulah satu, diantaranya
Bila ada seorang Mujahid
akulah, yang
menggenggamnya

Insya Allah, Insya Allah,
Allahu Akbar *)


Lalu Kenari berkata, "Wahai Almond, sampaikanlah kepada kami kisah dalam surah Al-Kahfi. Engkau telah menyampaikan tiga kisah, yakni kisah Nabi Musa dan Khidhir, alaihimussalam, kisah Dzulqarnain yang adil dan kisah dua lelaki. Lalu, bagaimana dengan kisah tentang para pemuda di dalam gua?" Almond berkata, "Aku tahu kisahnya, akan tetapi, akan lebih baik jika kalian mendengarnya dari kawanku!" Beo berkata, "Panggillah kawanmu itu, dan mintalah ia menyampaikan kisahnya kepada kami!" Almond berkata, "Baiklah! Wahai saudaraku, silahkan tampil ke depan!" Dan salah satu makhluk ciptaan Allah, tampil ke depan. Beo berteriak, "Hati-hati saudara-saudariku! Ia akan menerkam kita!" Makhluk itu berkata, "Jangan khawatir, saudara-saudariku, aku hanya akan marah kepada mereka yang berbuat ketidakadilan." Almond berkata, "Perkenalkan dirimu, saudaraku!"
Makhluk itu berkata, "Sesungguhnya, segala puji hanya untuk Allah. Kita memuji dan memuliakan-Nya, kita memohon pertolongan-Nya, kita memohon ampunannya dan kita kembali kepadanya. Kita memohon perlindungan kepadanya dari kejahatan di dalam diri kita dan dari kejahatan yang kita lakukan. Siapapun yang mendapat petunjuk-Nya, tiada seorangpun yang dapat menyesatkannya, dan siapapun yang disesatkan oleh-Nya; tiada yang dapat memberinya petunjuk.
Wahai saudara-saudariku, terima kasih telah memberiku kesempatan berdiri di sini, menyampaikan apa yang telah kudengar dari ayahku, yang ia dengar dari ayahnya, ayahnya mendengar dari ayah dari ayahnya, ayah dari ayahnya mendengarnya dari kakek buyutku.

Namaku Tumang. Aku seekor anjing. Ya, akulah makhluk yang sangat setia dan tak perlu bersusah-payah membuatku tetap setia. Ya, akulah yang paling setia diantara mereka yang setia! Walau sedikit saja kesetiaan itu ditawarkan kepadaku, sudah cukuplah bagiku. Aku bersyukur kepada Allah, Rabb-mu dan Rabb-ku, karena telah menciptakanku. Hanyalah masalah takdir mengapa Allah berkehendak menciptakan kami bangsa anjing, sedangkan Dia memilih makhluk yang lain menjadi manusia. Jika Dia berkehendak, Dia juga dapat mengubah anjing menjadi manusia, demikian pula sebaliknya, dan tak ada yang bisa, dalam hal ini, mempertanyakan hikmah dan kehendak-Nya. Banyak manusia berpikir bahwa anjing itu, makhluk yang nista; maksudku, mereka yang melaknat atau menghina, atau sesuatu yang seperti itu, dimana manusia yang telah Allah ciptakan dan muliakan, mengumpat saudaranya, "Dasar anj***!" dengan niat untuk meremehkan dan memperhinakannya. Selama engkau tak menodai Dien dari Rabb-ku, kami bangsa anjing, tak menganggapnya sebagai penistaan, karena jika makhluk itu, anjing, bukan berarti bahwa ia telah berbuat kufur. Lalu mengapa manusia memperlakukan kami dengan buruk dan menyebut nama kami untuk penistaan? Aku akan menyalak, keberatan, menyanggah atas apa yang terjadi. Gonggonganku akan berkata, "Ini tak adil!"

Tapi, bagaimanapun juga, aku merasa senang, karena kekasih kita, Rasulullah (ﷺ), telah memerintahkan agar aku diperlakukan dengan adil. Beliau (ﷺ) bersabda, "Hasil dari perdagangan anjing, upah untuk peramal dan pemberian untuk pelacur, tak diperkenankan." Dan beliau (ﷺ) juga bersabda, “Barangsiapa memanfaatkan anjing selain anjing untuk menjaga hewan ternak, anjing pintar untuk berburu, atau anjing yang disuruh menjaga tanaman, maka setiap hari pahalanya akan berkurang sebesar satu qirath” Aku pikir, inilah keadilan. Mengapa? Karena, betapa tegakah engkau memperdagangkan anjing, sementara diluar sana, masih banyak anak-anak anjing yang mati kelaparan? Dan tahukah engkau? Kami, para anjing, dicipta Allah dengan naluri berburu dan berjaga. Jadi, kawan sejati kami adalah para pemburu. Kami menjaga kebun dan ternak mereka. Kami juga diperbolehkan menangkap hasil buruan dengan mulut kami, asalkan sang pemburu telah menyebutkan nama Allah bagi anjing yang ia perintahkan mengambilnya. Sesungguhnya, merawatku dengan baik adalah perbuatan yang sangat terpuji. Dan akan lebih baik, jika engkau menempatkanku pada tugasku. Menjaga kebun dan ternakmu, itulah tugasku, di situlah tempatku. Bukankah bangsa manusia berkata, "Letakkanlah orang yang tepat, di tempat yang tepat"? Jika engkau melakukannya, engkau telah berbuat adil padaku."
Beo menghardik, "Lalu, mana ceritanya?" Melihat perilaku Beo, para unggas saling berbisik, "Lihat tingkahnya, tak punya tatakrama sama sekali." Unggas lain berbisik, "Ya, begitulah. Ia selalu merasa lebih pintar dari yang lain. Pernah dalam diskusi, ia memaki teman berdiskusinya, mengatakan 'Kamu tolol'. Ia tak peduli perasaan orang lain, ia lebih peduli bagaimana memenangkan debat. Padahal, bila ia yang berbicara, kita tak memahami sama sekali apa yang ia bicarakan." Burung lain berkisik, "Ia memamg cocok berpasangan dengan nona Itik, sang bebek dan Gerundang, sang berudu, yang punya perilaku yang sama dengannya." Yang lain menimpali, "Juga dengan Kepuyuk, sang lipas, yang dipatuk Raven karena nafasnya yang tak sedap. Tapi, awas, mereka orang-orangnya Nuri!"

Dengan santun dan lembut, Tumang berkata, "Maafkan bila aku tak menjadi diriku. Aku mengeluhkan ketidakadilan yang terjadi." Ia berhenti sebentar, berdiri tegak, mengibaskan ekornya, lalu berkata, " Wahai saudara-saudariku, dengarkanlah kisahnya. Kakek buyutku berkata, "Kisah Ashabul Kahfi, adalah sebuah kisah tentang cobaan Iman. Para Mufassir sepakat bahwa kisah ini, terjadi setelah diutusnya Nabi Isa, alaihissalam, mendekati zaman Nabi kita tercinta (ﷺ). Pada waktu itu, ada seorang raja bernama Decius, seorang penyembah berhala. Ibnu Katsir menyebut bahwa namanya adalah Diqyanus. Dalam Surah Al-Kahfi [18]: 9, Allah berfirman, "Apakah engkau mengira bahwa orang yang mendiami gua (Ashabul Kahfi), dan (yang mempunyai) "raqim" itu, termasuk tanda-tanda (kebesaran) Kami yang menakjubkan?" Kahfi berarti gua di gunung, namun mengenai makna kata "raqim", para Mufassir berbeda pendapat. Ada yang berpendapat, bahwa itulah nama sebuah kota yang dulunya, ibu kota bagi rakyat Banu Nabit bin Ismail yang eranya sejak tahun 700 SM sampai tahun 106 SM. Dikatakan, kota itu terletak di sebelah Utara Teluk Aqaba atau Eilat, dimana dua rentang pegunungan sejajar bertemu. Suku ini dulu tinggal di salah satu daerah pegunungan dan biasa disebut ar-Raqim. Ada juga yang mengatakan, lokasi gua itu terletakdi al-Gharnatah, al-Andalus. Dan yang lain mengatakan, di Efesus atau Tarsus, kota ini terletak di pantai Barat Asia Minor, fakta ini umumnya diterima oleh para sejarawan. Tak ada bukti untuk menyatakan salah satu dari ketiganya, benar dan yang lain, salah. Adapun kemungkinannya, ketiganya bisa diterima. Bahkan, tiada yang dapat menyangkal kemungkinan bahwa peristiwa yang berkaitan dengan ketiga gua ini, meskipun mungkin benar, mungkin juga tak relevan dengan kisah Al-Kahfi yang telah disebutkan dalam Al-Qur'an. Bisa saja, terjadi di tempat lain. Dan juga, tak perlu bahwa ar-Raqim itu secara eksklusif menjadi nama kota atau bangunan. Namun kenyataannya, tak ada yang bisa menolak bahwa kemungkinan besar, ar-Raqim menunjukkan prasasti yang diukir dengan nama-nama Ashabul Kahfi pada sebuah tablet dan ditempatkan di pintu masuk ke gua oleh seorang raja tertentu. Wallahu a'lam.

Sang raja, seorang tiran. Ia suka memaksa kaumnya menyembah berhala. Di gerbang kota, ada berhala, tak ada yang boleh masuk kecuali ia telah bersujud di hadapan berhala itu. Di kota, sering diselenggarakan hari raya keagamaan, dimana setiap tahun mereka bertemu, menyembah berhala dan mempersembahkan hewan yang dikurbankan bagi berhala-berhala itu.
Para pemuda ini, putra-putra kaum bangsawan. Pada tahun itu, ketika semua orang berkumpul bersama di hari perayaan, para pemuda ini, sampai di sana, dan melihat kaum mereka membawa batu yang diukir dengan tangan mereka sendiri, menganggapnya sebagai tuhan, menyembahnya dan mempersembahkan kurban untuknya. Mereka bertemu pada suatu hari perayaan dan bersama-sama melihat ritual, kaum mereka sedang melakukan pemujaan terhadap berhala. Pada saat itu, Allah melepaskan tirai yang menutup qalbu para pemuda itu, dan merekapun tersadar bahwa kaum merekalah orang yang berbuat zhalim. Pada saat itu, Allah merahmati mereka dengan akal-sehat agar menghindari praktik yang meragukan, yang dilakukan oleh kaum mereka. Dengan demikian, ketika mereka menggunakan akal-sehat, sampailah mereka pada kesimpulan bahwa ibadah itu, tak dapat dipersembahkan kepada siapapun kecuali kepada Yang Maha Kuasa, Yang telah menciptakan langit dan bumi, serta segala apa yang ada di dalamnya. Pemikiran ini melintas dalam pikiran para pemuda itu secara bersamaan, dan mereka mulai bergerak menjauh dari sana untuk menghindari praktik syubhat kaum mereka, yang mengatasnamakan ibadah.

Imam Muslim, rahimahullah, merekam dalam Shahih-nya, "Abu Hurairah, radhiyallahu 'anhu, meriwayatkan, Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Sukma itu, laksana pasukan yang dihimpun bersama-sama dan mereka yang saling mengenal (di langit dari tempatnya berasal), akan akan saling tarik-menarik (di dunia ini); dan juga, di antara mereka yang saling bertentangan (di langit), akan cenderung ke arah yang berbeda (di dunia ini)." Seorang yang baik itu, rindu kepada orang yang seragam dengannya. Demikian pula, orang yang bersifat buruk, juga akan menyukai orang yang seperti dirinya. Maka, saling mengenal diantara sukma ini, terjadi sesuai dengan ragam yang ada pada diri mereka, baik itu sukma yang baik maupun sukma yang buruk. Maka jika sukma-sukma ini, dari ragam yang sama, akan menjadi saling akrablah mereka. Namun, jika mereka tak seragam, maka mereka akan saling berseteru. Kebaikan akan mencari kebaikan dan ditempuh dengan jalan kebaikan pula. Kebaikan tak dapat kita tempuh dari jalan keburukan, karena akan ada yang dikorbankan. Bila didalam segelas air, kita kumpulkan bubuk teh dan gula dengan kadar yang sesuai, maka akan diperoleh rasa yang nikmat. Tapi, bisakah kita bayangkan bila didalam segelas air itu, kita campurkan dengan minyak?
Keadaan inilah yang dialami oleh para pemuda itu, walau kedua-mata belum pernah saling menatap, lisan belum pernah saling bercakap, raga belum pernah saling berjamah, mereka telah menemukan sukma dari ragam yang sama, dan merasa tenteram saat saling bersua, kemudian menolak sukma-sukma yang bertentangan dengan sifat-sifat mereka, mereka merasakan gelisah, karena hakikat sukma itu, tunduk dan patuh kepada Rabb-nya.

Sesungguhnya, burung-burung itu akan bertengger bersama burung yang sejenis, sehingga masing-masing mereka akan mencintai yang seragam dengannya. Pemuda pertama, menjauhkan diri dari kerumunan, dan duduk di bawah sebatang pohon. Setelah itu, datang lagi yang kedua, dan ia juga duduk di situ. Demikian pula, datang yang ketiga, dan keempat, dan masing-masing mereka, langsung duduk di bawah pohon itu. Tetapi, tak satupun dari mereka yang saling kenal, juga tak tahu, mengapa mereka datang ke sana. Sebenarnya, mereka dituntun ke tempat itu, oleh Kekuasaan Yang mengobarkan cahaya iman di dalam qalbu mereka.
Dalam pandangan Ibnu Katsir, orang cenderung menganggap bahwa nasionalisme dan kesukuan itu, sebagai akibat dari keterkaitan dan persatuan dalam kehidupan sosial. Namun, kenyataannya, persatuan atau perpecahan itu, pertama-kali berkecambah di dalam sukma, lalu ia akan mempengaruhi raga ini. Sukma-sukma yang telah mengalami kebersesuaian dan kebersatuan di antara mereka dalam alam 'azali (keabadian), akan terus saling terhubung dan dibentuk menjadi sebuah bentuk persaudaraan. Adapun mereka yang tak memiliki pengalaman keselarasan dan kesatuan ini - pada kenyataannya, tetap terpisah di alam sana - mereka akan tetap terpisah di alam sini juga.
Singkatnya, para pemuda ini berkumpul di satu tempat, tetapi masing-masing menyembunyikan keyakinannya agar tak dilaporkan kepada sang raja dan ditangkap. Setelah duduk di sana bersama-sama dalam keheningan, salah seorang dari mereka berkata, "Wahai saudara-saudaraku, pasti ada alasan mengapa kita semua, memisahkan diri dari kaum kita dan berada di sini. Tampaknya lebih tepat bila kita hendaknya saling mencurahkan isi kepala masing-masing."
Karenanya, salah seorang menyatakan, "Kebenarannya adalah, bahwa iman dan ibadah yang dikerjakan oleh kaum kita, memberiku kepastian bahwa semua itu salah. Ibadah atau penyembahan seharusnya hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala, Yang tak ada sekutu baginya dalam penciptaan alam semesta ini." Inilah pemecah kebekuan. Yang lain diminta agar berbicara, dan mereka semua menyatakan bahwa inilah pikiran, keyakinan, yang memisahkan mereka dari kaum mereka, dan menuntun mereka ke sana.
Sekarang mereka adalah kelompok yang secara ideologis bersatu menikmati persahabatan yang saling menguntungkan. Mereka mendirikan Rumah Ibadah yang terpisah untuk mereka sendiri dimana mereka akan berkumpul dan menyembah Allah, Yang Maha Esa, dan Yang tiada sekutu dalam keilahian-Nya. Namun, sebentar saja, mereka menjadi bahan pembicaraan masyarakat kota. Para pemfitnah melaporkan mereka kepada sang raja, yang memerintahkan agar mereka semua harus dibawa kehadapannya. Saat mereka telah berada didalam istana, sang raja mempertanyakan tentang keyakinan mereka. Allah menganugerahkan mereka keberanian untuk menyatakan keyakinan mereka pada Keesaan Allah.
Dan Allah meneguhkan qalbu mereka ketika mereka berdiri, lalu berkata, “Rabb kami adalah Rabb langit dan bumi; kami tak menyeru tuhan selain Dia. Sungguh, kalau kami berbuat demikian, tentu kami telah mengucapkan perkataan yang sangat jauh dari kebenaran. Mereka itu kaum kami yang telah menjadikan tuhan-tuhan untuk disembah selain Dia. Mengapa mereka tak mengemukakan alasan yang jelas tentang kepercayaan mereka? Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?" Bahkan, mereka mengajak sang raja agar beriman, seperti apa yang telah mereka lakukan. Allah meneguhkan qalbu para pemuda ini ketika sang raja, yang kejam dan penyembah berhala ini, memanggil mereka di istananya dan menginterogasi mereka. Ini masalah hidup dan mati. Walau mereka menyadari apa yang terburuk bakal terjadi, Allah Ta'ala menjadikan rasa-cinta, rasa-kagum dan kebesaran-Nya, merebak ke dalam qalbu mereka, yang memberi mereka kekuatan menghadapi kemungkinan kematian atau malapetaka. Hasilnya, mereka dengan jelas-jelas menyatakan keyakinan-dirinya, dan berani mengatakan bahwa mereka tak menyembah siapapun atau apapun selain Allah, dan takkan pernah melakukannya, sampai kapanpun itu. Orang yang dengan tegas memutuskan melakukan sesuatu karena Allah, inilah bagaimana mereka mendapat pertolongan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Ketika para pemuda ini bertindak berani di hadapan sang raja dan menyerunya agar beriman, sang raja menolak seruan itu dan mengancam mereka dengan tindakan yang sangat drastis. Sang raja mencabut jubah pangeran yang mereka kenakan, diambil sebagai balasan agar mereka dapat berpikir lagi dan mengubah perilaku mereka. Sang raja memperingatkan bahwa mereka akan dibunuh jika tetap berpegang teguh pada keimanan mereka yang sekarang. Murtad dari keyakinan kaum mereka, akan dihukum rajam sampai mati. Agar mereka benar-benar menyadarinya, sang raja memberi tangguh selama beberapa hari dengan alasan mereka masih muda, karenanya, sang raja tak seketika hendak membunuh mereka. Sang raja memberi waktu agar para pemuda ini berpikir kembali. Kemudian, jika mereka kembali seperti kaum mereka, akan diperkenankan hidup seperti biasa, bila tidak, akan dibunuh. Pastilah ini merupakan rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada para hamba-Nya yang mukmin, bahwa penangguhan yang diberikan kepada mereka ini, membuka pintu keluar bagi mereka. Para pemuda itu saling berkata, "Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusanmu." Merekapun melarikan-diri dan berlindung di sebuah gua. Mereka meninggalkan kota dimana tak mungkin menyembah Allah dan kemudian berlindung di gua. Inilah Sunnah, jalan para nabi. Mereka berhijrah dari tempat-tempat seperti itu, dan memilih tempat dimana Ibadah kepada Allah dapat ditegakkan.
Gua itu cukup besar dan ada persediaan udara mengalir dari satu sisi, dan keluar, di sisi lain. Selain itu, gua terletak dari arah Utara ke arah Selatan sehingga sinar matahari tak menembus ke pusat gua. Namun cahaya tetap masuk setiap hari. Jadi tidak gelap di dalam gua, juga sengatan sinar matahari, tak terasakan. Lalu, mereka berbaring di dalam gua, sementara anjing mereka berbaring dengan kaki terentang di mulut gua.

Kemudian merekapun mengalami tidur yang sangat panjang. Sesungguhnya, inilah salah satu dari tanda-tanda Allah. Ketika mereka tertidur terus-menerus dalam waktu yang lama, dan tetap hidup dalam keadaan seperti itu, tanpa makan dan minum, dengan sendirinya merupakan hal yang mengherankan, dan tentu saja, luar-biasa dan ajaib. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengatur perlindungan mereka di dalam gua, dengan cara, matahari melewatinya pagi dan sore, namun takkan menyinari tubuh mereka di dalam gua. Keuntungan bila sinar matahari melewatinya, merupakan sesuatu yang menstabilkan jejak kehidupan, kewajaran dan keseimbangan pengaruh angin, kedinginan dan panas, dll. Dan kemudian, matahari tak menyentuh tubuh mereka secara langsung, mungkin juga menjadi faktor untuk menjaga tubuh dan pakaian mereka, tetap terlindungi. Pengaturan ini, untuk menjaga mereka tetap terlindungi dari sinar matahari langsung, juga dapat dipahami jika gua terletak pada posisi struktural tertentu, dan pintu masuknya menghadap Selatan atau Utara, dengan maksud agar sinar matahari tak masuk ke sana secara alami.
Ini bukanlah teori, jelas ada untuk membuktikan bahwa pengaturan perlindungan dari matahari bukanlah hasil dari formasi atau lokasi gua tertentu. Sebaliknya, inilah tanda kekuatan sempurna Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dengan kata lain, Allah telah mengatur sedemikian rupa agar sinar matahari tak menyentuh tubuh mereka. Hal ini mungkin melalui formasi atau lokasinya yang khusus, atau melalui penghalang awan atau sesuatu yang serupa ketika matahari akan mulai bersinar, atau sinar matahari akan menjauh dari mereka dengan cara yang luar biasa. Tak perlulah berdebat untuk menetapkan semua ini sebagai suatu realitas yang absolut."

Murai tiba-tiba berkata, "Istirahat! Sudah waktunya istirahat. Diskusi akan dilanjutkan setelah makan siang dan shalat! Wahai Tumang, saudaraku, silahkan beristirahat!"
[Bagian 2]

Jumat, 24 Agustus 2018

Perjalanan Jiwa yang Mukmin (4)

Sang hujjaj berkata, "Wahai anak muda, terdapat tiga pilar ibadah, yaitu cinta kepada Allah, mendambakan rahmat-Nya, dan takut akan murka-Nya. Ketiga pilar ini adalah pilar ibadah qalbu dan sesungguhnya ibadah qalbu itulah ibadah yang teragung. Engkau menyembah Allah karena mencintai-Nya, mengharapkan pahala dari-Nya dan takut akan murka atau hukuman-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan pilar-pilar ibadah ini dalam Surah Al-Fatihah, yang merupakan surah terbaik dari Al-Qur'an. Cinta Allah sebagai pilar ibadah ditemukan dalam ayat "Alhamdulillahirabbil aalamin," yaitu mencintai Allah sesuai dengan bagaimana engkau mengenal-Nya, dan mencintai-Nya karena Dia-lah Rabb alam semesta ini, Yang Maha Menyediakan secara terus menerus, Yang Maha Memelihara, dan mencintai-Nya karena keagungan serta Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya. Ayat berikutnya, "Arrahmanirrahim." Ini karena orang beriman mengharapkan rahmat Allah dan ingin menggapainya. Kemudian, setelah itu, "Maliki yaumiddin," engkau takut akan murka-Nya karena ingat akan Hari Kiamat. Ketiga pilar ini tak terpisahkan, sehingga orang yang beribadah kepada Allah, hendaknya menggabungkan ketiga pilar ini.
Juga, seperti yang telah kusebutkan sebelumnya, ada dua syarat ibadah yang harus diketahui setiap muslim. Pertama, ikhlas, ketulusan niatmu dalam setiap tindakan yang engkau lakukan karena Allah. Niatnya harus mendapatkan ridha dan cinta-Nya; memohon rahmat, pahala dan Jannah; menghindari murka dan hukuman-Nya. Kedua, tindakan ibadah itu hendaknya sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah. Syarat yang kedua ini sama pentingnya dengan syarat yang pertama."

Sang hujjaj terdiam sebentar, lalu berkata, "Sekarang, kita lanjutkan perjalanan tentang Haji. Pada tanggal 9 Dzul-Hijjah, para jemaah menuju ke Arafah. Menurut Sunnah Nabi (ﷺ), berangkat menuju ke Arafah dilaksanakan pada tengah hari. Saat perjalanan menuju ke Arafah, tengoklah kembali ke Mina dan renungkanlah segala kekurangan dan kesalahan-kesalahanmu dan renungkan pula apa yang dapat engkau lakukan agar dapat menjadi lebih baik lagi. Niatkanlah bahwa setelah kembali ke Mina, kesalahan itu takkan terulang lagi. Berusahalah memaksimalkan waktu untuk hal yang benar-benar bermanfaat.
Karena Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Arafah Al-Hajju." "Haji adalah Arafah," perhatian khusus harus diberikan untuk memaksimalkan waktu di sana dalam doa dan shalat. Waktu untuk "berdiri di Arafah" adalah antara Dhuhur dan Maghrib. Ini bervariasi dari musim ke musim dan bisa sekitar empat sampai lima jam atau sebanyak enam setengah jam, tergantung jam berapa jemaahnya tiba. Dhuhur dan Ashar digabungkan dan dipersingkat agar dapat memaksimalkan waktu di sana untuk berdoa. Rasulullah ﷺ) bersabda bahwa doa terbaik adalah yang dilakukan pada Hari Arafah. Dan Rasulullah (ﷺ) melanjutkan dengan mengatakan bahwa doa terbaik yang Rasulullah (ﷺ) dan para nabi sebelumnya ucapkan adalah, "La ilaha illallah Wahdahu la syarika lah, lahul-mulku wa lahulhamdu wa huwa 'ala kulli syai'in qadir," "Tiada yang berhak disembah selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya segala kerajaan dan segala puji, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu." Semua tindakan yang dilakukan sebelum Hari Arafah, merupakan persiapan orang-orang mukmin untuk menyampaikan doanya. Oleh karenanya, doanya itu seyogyanya sebaik mungkin dan bebas dari keraguan, karena keraguan akan melemahkan doanya.

Salah satu tempat yang dirahmati, yang berfungsi dimana para jemaah haji memperbaiki jiwanya, yang memanifestikan dirinya, adalah di Hari Arafah, dimana terjadi perkumpulan dalam jumlah yang sangat besar, berkumpulnya ummat Islam terbesar yang pernah ada. Selama itu, begitu pula seluruh rangkaian ibadah Haji lainnya, umat Islam dari seluruh belahan dunia, Timur dan Barat, bertemu dan saling mengenal serta saling bertukar-nasihat. Mereka belajar lebih banyak tentang keadaan orang lain, berbagi dalam kebahagiaan mereka, merasakan rasa sakit mereka, dan membimbing mereka ke jalan yang benar. Semua ini dilakukan sesuai dengan perintah Allah untuk saling bekerjasama dalam kebenaran dan keshalihan.
Salah satu peringatan Haji yang penting dan sangat mendalam, adalah majelis besar yang dirahmati, yang dilihat oleh semua orang yang melakukan Haji pada Hari Arafah, di padang Arafah. Di sana, mereka semua patuh, berhenti, dengan rendah-hati memohon kepada Allah, mengharapkan rahmat-Nya, dan takut akan hukuman-Nya; dengan sungguh-sungguh meminta karunia besar-Nya, saat pertemuan umat Islam yang paling megah. Majelis besar ini mengingatkan umat Islam akan kebangkitan besar yang akan terjadi pada Hari Kiamat, dimana kaum yang lebih awal bertemu dengan kaum penerusnya, semua menunggu penghakiman berlangsung agar mereka dapat melanjutkan ke tempat tinggal terakhir mereka; kebahagiaan abadikah, atau siksaan yang menyakitkan.

Pada Hari Kiamat, matahari akan mendekat hingga jaraknya satu mil. Takkan ada naungan pada hari itu kecuali naungan Arsy Yang Maha Pemurah. Ada yang akan mendapat keteduhan dari Arsy, sementara yang lain akan dibiarkan tersengat panasnya matahari, yang akan melelehkan mereka dan dimana mereka akan menderita dengan susah payah dan ketidaknyamanan. Manusia dari segala bangsa ramai dan penuh sesak, saling mendorong. Kaki akan terhimpit, dan tenggorokan seakan terkoyak karena dahaga. Mereka secara bersamaan akan terserang sinar terik matahari, panas membuat nafas terengah-engah, dan tubuh mereka saling menempel. Keringat mereka mula-mula akan tertuang ke tanah, lalu naik hingga ke kaki, kemudian naik lagi hingga, tergantung tingkat ketakwaan mereka kepada Allah, beruntungkah atau celakakah. Ada yang akan terendam dalam keringat hingga ke bahu dan pinggang mereka, yang lain ke telinga mereka, dan yang lainnya ke mulut mereka.
Hari Arafah adalah hari dimana Allah mengambil perjanjian dari keturunan Adam. Hari Arafah juga merupakan hari pengampunan dosa, pembebasan dari api neraka dan pembebasasn dari orang-orang angkuh yang ada disana. Puasa Hari Arafah bagi mereka yang tak mengerjakan Haji adalah penebusan dosa selama 2 tahun. Rasulullah (ﷺ) bersabda bahwa puasa Arafah menghapus dosa tahun sebelumnya dan tahun yang akan datang.

Ibnu 'Umar, radhiyallahu 'anhuma, mengatakan bahwa ada dua lelaki memnemui Rasulullah (ﷺ) untuk bertanya kepadanya tentang hal-hal agama dan Rasulullah (ﷺ) bersabda kepada mereka, "Adapun berdiri di' Arafah, Allah turun ke langit terendah, dan membanggakan orang-orang di sana kepada para malaikat, Dia berfirman, 'Inilah hamba-hamba-Ku! Mereka datang kepada-Ku dengan rambut kusut dan penuh debu, dari jarak yang jauh. Mereka memohon rahmat-Ku dan takut akan azab-Ku, meskipun mereka belum pernah melihat-Ku. Dan apa yang akan terjadi pada mereka jika mereka telah melihat-Ku!' Walau jika engkau mempunyai dosa laksana sejumlah butiran pasir, sejumlah hari kehidupan duniawi atau sejumlah tetesan hujan, Allah akan menghapuskannya untukmu."
Yakin bahwa permohonan kita akan dijawab, adalah prinsip yang sangat penting. Rasulullah (ﷺ) menyampaikan kepada kita bahwa di antara orang-orang yang akan dinaungi oleh Arsy Allah pada hari ketika takkan ada keteduhan selain Arasy-Nya, akan menjadi orang yang mengingat Allah dan matanya akan penuh dengan linangan air-mata. Inilah doa terbaik, doa yang membuat para ahli ibadah menangis. Melunakkan qalbu adalah sesuatu yang seyogyanya diperjuangkan, karena qalbu yang tak takut kepada Allah, telah menjadi keras dan takkan dapat menangis. Mata tetap kering. Menangis adalah simbolis dan menunjukkan lunaknya qalbu.

Allah memberitahu kita tentang orang-orang yang qalbunya keras laksana batu; merekalah orang-orang yang tak bisa mendapat manfaat dari petunjuk. Ayat-ayat Al-Qur'an diingkarinya, tak masuk ke dalam qalbunya. Sangat penting mengembangkan qalbu yang lembut dengan mengingat Allah, dan dapat menangis saat memohon kepada Allah. Tentunya semua orang menangis pada suatu saat dalam hidupnya, namun mungkin, kesedihan yang arahnya kurang benar. Ketika seseorang menangis atas peristiwa duniawi, namun tak menangis ketika memohon kepada Sang Pencipta, itu menunjukkan bahwa ada sesuatu yang keliru dengan keadaan qalbu. Suasana qalbu ini sangat penting. Seseorang tak dapat menghadap Allah dan didengar doanya dengan qalbu yang keras atau qalbu yang buta. Oleh karena itu, kali ini di Arafah, untuk mengembangkan kelembutan qalbu ini, dan berdoa dengan tulus adalah salah satu jalan untuk melembutkan qalbu. Arafah adalah doa, jadi fokusnya harus pada apapun yang akan mengembangkan kemampuan agar doa terijabah.
Cukup berdoa dimana saja dalam batas Arafah. Dimungkinkan berdoa didalam tenda dan duduk. Tak perlu berdiri sepanjang hari. Ibadah ini disebut "Wuquf Arafah" dan "wuquf" berarti berdiri, juga berarti berhenti. Yang dimaksud adalah "berhenti di Arafah". Tak perlu berdiri.

Saat matahari terbenam, para "hujjaj" beranjak dari Arafah. Shalat Maghrib tak dikerjakan di Arafah. Shalat ini ditunda dan dikerjakan di waktu Isya' di Muzdalifah. Shalat Hari Arafah dipersingkat dan digabung: Dhuhur dan Ashar pada waktu Dhuhur, dua raka'at masing-masing; dan Maghrib digabung dengan Isya' di Muzdalifah, Maghrib tetap tiga raka'at dan Isya' dua raka'at. Meninggalkan Arafah saat matahari terbenam dan menuju Muzdalifah adalah sesuai perintah Allah, dan dengan mengikuti perintah Allah, akan mendekatkan orang-orang beriman kepada-Nya.
Muzdalifah adalah ruang terbuka yang luas, dengan jumlah fasilitas yang paling sedikit. Tak ada tenda di sana, karenanya hanya ada kerendahan-hati saat para "hujjaj" meninggalkan kendaraan mereka, lalu tidur di tanah berlapiskan tak lebih dari tikar, kantong tidur atau selimut. Bagian dari perjalanan ini membawa orang beriman sampai pada kebutuhan dasar yang paling mendasar.
Hari ke sepuluh Dzulhjjah adalah Idul Adha. Inilah hari dengan ibadah paling banyak dalam satu hari haji. Karenanya, beristirahat di Muzdalifah adalah ibadah; mengikuti sunnah. Ada lebih banyak pahala beristirahat daripada tetap terjaga mengerjakan shalat. Sunnah punya sejumlah fleksibilitas dan kedinamisan di dalamnya. Sunnah bukan serangkaian praktik kaku yang terkunci pada satu cara tertentu. Ada "karakter hidup" didalamnya.

Ibadah utama berikutnya adalah melontar jumrah. Jumrah adalah salah satu jalan mengingat Allah. Rasulullah (ﷺ) bersabda bahwa inilah tujuan mengapa Jumrah itu disediakan. Ibadah ini untuk mengenang Nabi Ibrahim, alaihissalam, sewaktu ia akan menjalankan perintah Allah dan mengusir godaan setan yang ingin menghalanginya dari perintah Allah. Rasulullah (ﷺ) menekankan bahwa kerikil yang dipergunakan, kerikil yang kecil. Rasulullah (ﷺ) juga memerintahkan kita agar menghindari hal-hal yang berlebihan dalam agama dan mengambil jalan yang wajar. Perintah Rasulullah (ﷺ) ini hendaknya diingat pada saat Jumrah. Ketika orang masuk ke dalam kelompok, "dinamisme kelompok" cenderung muncul, dan mereka sangat bersemangat hingga menjadi emosional. Inilah yang dapat mengarah pada keadaan yang berlebihan atau ekstrim dalam beribadah.
Ibadah utama berikutnya, di hari yang kesepuluh, adalah Qurban. Di masa lalu, setiap orang yang berhaji, dapat melakukannya sendiri, karena setiap orang dapat memotong hewan qurbannya. Namun sekarang, diganti dengan kupon dan para hujjaj tak perlu lagi mengurus qurbannya sendirian. Seseorang harus memberikan makna dari ibadah ini, karena inilah salah satu poin tertinggi dari ibadah haji. Ibadah ini untuk mengenang Nabi Ibrahim, alaihissalam, karenanya, niat berqurban hendaknya dari dalam qalbu karena Allah. Qurban diambil dari harta pribadi, karena Allah, bersyukur kepada Allah atas karunia harta yang diperoleh. Inilah ibadah dari aspek keuangan. Inilah perwujudan cinta Allah yang melebihi harta-kekayaan, yang telah Dia berikan, dan juga, bersyukur atas berkah-berkah yang telah Dia berikan.

Setelah berqurban, ibadah berikutnya adalah mencukur rambut. Rasulullah (ﷺ) mendoakan mereka yang bercukur sebanyak tiga kali, kemudian pada yang keempat, beliau (ﷺ) mendoakan mereka yang memangkas rambut. Mencukur habis rambut lebih baik karena memerlukan lebih banyak kerendahan hati, sehingga hendaknya diperjuangkan. Rasulullah (ﷺ) bersabda, “adapun mencukur kepalamu, ada pahala bagi setiap helai yang engkau cukur dan dosa dihapus darinya.” Mencukur rambut adalah simbol awal yang baru. Ada waktu lain ketika rambut dicukur juga. Ketika seorang bayi yang baru lahir berusia tujuh hari, dilakukan qurban dan rambutnya dicukur. Rambut yang dibuang itulah yang disebut aqiqah. Biasanya rambut yang dibawa dari kelahiran, akhirnya rontok dan tergantikan oleh rambut baru. Penghilangan rambut inilah bagian dari transisi menuju kehidupan baru.
Ibadah terakhir adalah tawaf ifaada. Juga Jumrah yang berlangsung pada hari ke-11, ke-12 dan ke-13 dilakukan di seluruh tiga jamarat, setelah tengah hari hingga mentari terbenam. Saat-saat itulah Rasulullah (ﷺ) melakukannya.
Ibadah utama lainnya adalah tawaf perpisahan atau tawaf al-wada'. Ini seperti dua tawaf sebelumnya, perbedaannya adalah bahwa inilah tawaf yang terakhir. Seyogyanya, ada kesedihan saat mengerjakan tawaf yang terakhir. Ini sesunguhnya hanya untuk Mekkah dan hendaknya dihargai. Ada rasa pencapaian yang mengelilingi Haji, namun ada rasa kehilangan bahwa haji akan segera berakhir. Tawaf dilakukan di awal, tengah dan akhir pelaksanaan haji, memberinya tempat khusus. Allah telah menempatkannya di seluruh rangkaian haji.

Islam dan semua rukunnya, terfokus pada pembangunan karakter moral manusia yang benar, yang berkaitan dengan Allah, manusia lain, dan dunia tempat kita berdiam. Ada perilaku moral dalam hubungan dengan Allah. Hanya Dia Yang disembah, secara moral benar. Menyekutukan-Nya, atau menyembah selain Dia, secara moral, salah. Demikian pula, ada perilaku moral dalam hubungan dengan manusia lain. Mencuri dan menipu secara moral, salah. Bersikap jujur ​​dan adil adalah benar secara moral. Berkenaan dengan dunia tempat kita tinggal, Allah telah menyerahkannya kepada kita. Udara, laut, tanah, semuanya diserahkan kepada kita untuk dipetik buahnya, dan sebagai makanan, serta untuk transportasi. Secara moral, adalah benar bila kita memelihara dunia yang diciptakan dimana kita hidup. Secara moral, adalah salah bila mengotorinya, merusaknya atau menghancurkannya. Rasulullah (ﷺ) bersabda, “Jika telah datang Hari Kiamat dan salah seorang darimu ada sebutir benih di tangannya, maka tanamlah.” Menanam pohon adalah amal-shalih yang kita dapatkan. Ini benar secara moral.
Sangatlah penting mempelajari berbagai rukun Islam dan perspektif moralnya. Masing-masing rukun membentuk karakter-karakter tertentu. Haji mencakupi semua rukun lainnya, tetapi ada dua ciri unik yang berkaitan dengannya. Salah satunya adalah pengembangan karakter universal. Manusia yang memiliki pandangan universalis atau internasional tak dibatasi oleh bangsa, suku, kelompok, dll. Semua manusia lainnya dipandang sebagai bagian dari ciptaan Allah. Dari keseluruhan kelompok manusia itu, ada orang-orang yang beriman dan menerima Allah di dalam qalbu mereka. Mereka yang memiliki keyakinan yang benar, beriman pada Illah yang benar. Mereka mewakili dalam tubuh manusia secara keseluruhan dalam persaudaraan atau persaudarian seperti yang Allah firmankan dalam Surah Al-Hujurat [49]: 10, "Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat."

Sang hujjaj lalu berkata, "Wahai anak muda, ibadah Haji adalah salah satu institusi Islam terbaik yang melingkupi banyak tujuan. Haji adalah 'madrasah' yang luar biasa dimana kualitas seperti itu dapat dipupuk. Inilah demonstrasi universalitas Islam yang menarik bagi orang-orang dari segala lapisan masyarakat dan dari empat penjuru dunia, inilah pengingat dari Puncak Majelis pada Hari Penghakiman ketika manusia berdiri bersama di hadapan Rabb semesta alam. Haji adalah amal ibadah yang menguji pengikut sejati seseorang dalam jejak Rasulullah (ﷺ). Namun bagi banyak orang, tujuan itu dapat dengan cepat memudar begitu mereka tiba di rumah. Mereka kembali ke lingkungan derita, kemalasan dan dosa. Pulang dari haji bukan berarti perjalanan telah berakhir, tetapi perjalanan masih harus dilanjutkan dengan membawa bekal yang baru. Wallahu a'lam."
"Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu, dan Dia tak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama. (Ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamakan kamu orang-orang muslim sejak dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur'an) ini, agar Rasul (Muhammad) itu menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia. Maka laksanakanlah shalat; tunaikanlah zakat, dan berpegangteguhlah kepada Allah. Dialah Pelindungmu; Dia sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong."- [QS.22:78]
[Bagian 1]
[Bagian 2]
[Bagian 3]
Referensi :
- Sayyid Qutb, In The Shade of The Quran, Volume XII, Islamic Foundation
- ‘Abdur-Razzaq ibn ‘Abdul-Muhsin al-Badr, From the Teachings of Hajj, Al-Badr
- Dr. Bilal Philips, Soul of Hajj, Islamictube.com

Senin, 20 Agustus 2018

Perjalanan Jiwa yang Mukmin (3)

Dan sang Hujjaj berkata, "Wahai anak muda, ibadah hanya bisa diterima jika memenuhi dua kriteria, pertama, seseorang membaktikannya hanya untuk Allah, mengharapkan Akhirat, ini disebut ikhlas. Tak dilakukan dengan maksud ingin dipuji oleh orang lain, yang disebut riya', atau untuk kepentingan duniawi. Kedua, seseorang seyogyanya mengikuti cara Rasulullah (ﷺ), baik itu ucapan-ucapannya maupun apa yang diteladankannya. Hal ini tak dapat dicapai kecuali melalui ilmu tentang Sunnah. Sunnah adalah cara Rasulullah (ﷺ) mengerjakan sesuatu, baik itu ucapan, tindakan, maupun persetujuannya terhadap sesuatu yang dipahami tanpa perlu beliau (ﷺ) ucapkan.
Haji adalah tindakan ketaatan dan ibadah yang sungguh menakjubkan, yang mewujudkan penghambaan, penyerahan diri, dan kerendahan hati di hadapan Allah. Seseorang yang melakukan ibadah haji bermula dari kesenangan dan kesukaan pada dunia ini, berhijrah ke Rabb-nya. Ia meninggalkan harta, dan keluarganya, terasing dari rumah dan tanah airnya, ia menanggalkan pakaian kesehariannya, menggantinya dengan selembar Izaar dan selembar Ridaa' dan membiarkan kepalanya tak berpenutup, menghinakan diri dihadapan Tuhannya. Ia menahan diri tak menggunakan parfum dan tak melakukan hubungan kelamin. Ia mengerjakan rangkaian ibadah haji dengan hati yang tenang, berlinang air mata, dan lidah yang terus-menerus menyebut Allah, tetap berharap mendapat rahmat dari Tuhannya, dan takut akan hukuman-Nya. Sementara itu, ia menetapkan tujuannya dengan Talbiyah, mengucapkan, "Labbaikallaahumma labbaik". Talbiyah adalah moto haji. Inti dari Islam adalah tunduk kepada Allah, mengakui keesaan-Nya, berserah diri dalam ketaatan kepada-Nya, dan membebaskan diri dari syirik dan pelaku kejahatannya.

Di Mekkah, ibadah yang terpenting adalah Thawaf. Thawaf, mengelilingi Ka'bah, adalah bagian dari rangkaian ibadah berikutnya, begitu juga Sa'i antara Safa dan Marwa. Kedua tindakan ini hanya dilakukan di Mekkah karena Thawaf dan Sa'i tak dapat dilakukan di tempat lain. Jika Thawaf dikerjakan di tempat lain, maka tidak sah. Sebagian besar waktu dikorbankan untuk berthawaf karena semua shalat dapat dilakukan di tempat lain, namun Thawaf hanya dapat dikerjakan di Masjidil Haram, oleh karena itu yang terbaik adalah berusaha melakukannya sebanyak mungkin.Thawaf terdiri dari tujuh putaran, berlawanan arah jarum jam. Berlawanan arah jarum jam adalah apa yang dikenal sebagai "cara alami". Seluruh ciptaan mengikuti "Sunnatullah" yang merupakan hukum yang Allah tetapkan bagi seluruh ciptaan-Nya dan dimana Allah memberi umat manusia pilihan, apakah mau mematuhi perintah-perintah-Nya atau memilih tak menaati perintahnya. Dengan mengikuti perintah Allah, mengerjakan Thawaf berlawanan arah jarum jam, gerakan manusia berpadu dengan seluruh ciptaan. Seandainya Allah memerintahkan arah itu searah jarum jam, maka itulah petunjuk yang digunakan; Namun, telah diperintahkan bergerak ke arah yang sama seperti seluruh fenomena alam lainnya yang ada di sekitar kita, mengikuti pola yang sama.
Esensi Thawaf adalah dzikrullah. Karenanya, hindarilah setiap gangguan terhadap dzikrullah ini. Fokuslah pada dzikrullah, ini hanya bisa terjadi jika persiapannya diawali dengan kerendahan hati. Masuk ke dalam rangkaian ibadah dengan ketulusan hati akan mempermudah menyembah Alah sebagaimana layaknya Dia disembah.
Inti Thawaf adalah perasaan takjub. Jika engkau berjalan mengitari sebuah bangunan, biasanya engkau kagum dengan tempat itu. Inilah tindakan yang menunjukkan rasa takjub. Maka, pada dasarnya, Thawaf adalah tindakan mengungkapkan rasa takjub itu. Mengelilingi Ka'bah dengan tenang diiringi dengan ucapan do'a, merasakan kebesaran Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam kalbu membangun rasa takjub itu. Kalbu orang beriman seyogyanya berada di antara rasa takut, harapan, dan cinta kepada Allah. Semua ini tercakup dalam pikiran dan kalbu saat melaksanakan Thawaf. Cinta Allah dirasakan terhadap petunjuk yang telah Dia berikan kepada umat manusia sehingga tak diperlukan banyak pergumulam menemukan makna hidup ini. Tujuan hidup ini telah  diperjelas. Puja dan puji serta cinta hanya kepada Allah atas apa yang telah Dia berikan kepada kita.

Ketika Rasulullah (ﷺ) melaksanakan Umrah, orang-orang kafir masih ada di sana, mereka berkata bahwa umat Islam takkan dapat mengerjakan Thawaf setelah menempuh perjalanan jauh dari Madinah. Demam Madinah waktu itu sangat dikenal, dan ummat Islam dianggap lemah dan karenanya tak dapat segera melakukan Thawaf. Karenanya, Rasulullah (ﷺ) memerintahkan ummatnya berjalan cepat saat Thawaf dan melakukan al-itba' untuk menunjukkan kekuatan mereka. Itulah sebabnya di Thawaf pertama saat tiba di Mekkah, yang dikenal sebagai "Thawaf al-Qudum", ada yang dikerjakan Rasulullah (ﷺ). Ia (ﷺ) berjalan cepat saat tiga putaran pertama mengitari Ka'bah, dari Hajar Aswad ke Rukun Yamani, ini disebut al-Raml dan hanya dianjurkan bagi kaum lelaki. Lembar pakaian bagian atas, Ridaa', yang biasanya membungkus tubuh, dibuka hingga memperlihatkan bahu kanan, al-Itba', yang hanya dilakukan ketika Thawaf. Saat ini, banyak umat Islam mengenakan pakaian ihram dengan bahu kanan terbuka sepanjang Haji atau Umrah, namun cara yang benar adalah melakukannya saat Thawaf baru dimulai, dalam melaksanakan Raml. Sebelum dan sesudahnya, pakaian ihram dikenakan menutupi kedua bahu. Meskipun tak ada lagi orang kafir di sana, Rasulullah (ﷺ) meninggalkannya sebagai rangkaian ibadah bagi kita; bila saja itu hanya untuk sementara waktu, maka tentulah Rasulullah (ﷺ) telah menyampaikannya kepada kita.
Thawaf seyogyanya dilakukan dengan tenaga. Tenaga yang merupakan kekuatan batin, pemahamannya bahwa tenaga itu sesungguhnya adalah salah satu keyakinan. Lelaki atau wanita yang benar-benar kuat, bukanlah pegulat juara, tapi orang itu bisa mengendalikan diri sendiri pada saat marah. Semua orang biasanya mudah marah, tapi orang yang dapat mengendalikan dirinya saat itu adalah orang yang benar-benar kuat. Karena itu, saat mengelilingi Ka'bah, tenaga kita ditunjukkan dengan menahan amarah, karena bila ada sesuatu yang terjadi, reaksi kita adalah mudah marah.

Thawaf dimulai dari Hajar Aswad. Kita dianjurkan mendekat dan mencium Hajar Aswad karena kita mengikuti langkah Nabi kita tercinta (ﷺ), seperti yang dikatakan Umar bin Khattab, radiallahuanhu, saat ia melaksankaan Thawaf, ia berhenti dan menunjuk ke Hajar Aswad, "Aku tahu bahwa engkau sebuah batu hitam, hanya sebuah batu, sehingga engkau tak dapat menolong atau mencelakakanku, dan satu-satunya alasan mengapa aku menciummu, karena Rasulullah (ﷺ) menciummu." Mencium Hajar Aswad menandakan cinta bagi orang mukmin sejak zaman Nabi Adam, alaihissalam, yang terikat dalam ikatan cinta kepada Allah. Inilah ikatan yang menghubungkan kebersamaan orang-orang mukmin sepanjang zaman. Maka, kita diperintahkan mencium Hajar Aswad. Jika tak bisa menciumnya, cukup disentuh dengan tangan lalu mencium tangan itu, dan jika itu tak bisa dilakukan juga, maka dengan melambai, namun tangan yang melambai itu tak dicium. Tak dibenarkan melambaikan tangan lalu mencium tangan yang melambai itu karena Rasulullah (ﷺ) membenarkan menyentuhnya dan mencium tangan itu, namun tak membenarkan melambaikan tangan lalu mencium tangan itu.
Salah satu bagian dari karakteristik orang mukmin adalah kedisiplinan, yang ditunjukkan dalam ketaatan pada perintah Allah, dan juga perintah Rasul-Nya (ﷺ). Orang mukmin itu tak mengikuti syahwatnya. Walau itu baik menurut dirinya, namun sesungguhnya belum tentu baik di sisi Allah. Setiap perbuatan yang di ridhai Allah berarti bahwa perbuatan itu ibadah. Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kita mematuhi Rasulullah (ﷺ), karena apa yang Rasulullah (ﷺ) perintahkan, juga merupakan perintah Allah. Jika tindakan yang dimaksudkan itu untuk ibadah namun tak dibenarkan oleh Rasulullah (ﷺ), maka perbuatan itu tak kita kerjakan. Rasulullah (ﷺ) berkata "Ambillah ibadah hajimu dariku." Karena itu, apa yang Rasulullah (ﷺ) lakukan, kita lakukan, dan apa yang tak ia (ﷺ) lakukan, kita tak lakukan. Bagian dari pelajaran Haji adalah displin mengikuti cara yang diajarkan Rasulullah (ﷺ). 

Sa'i secara harfiah berarti berlari atau berusaha. Secara Islam, menunjuk pada berjalan antara Safa dan Marwa. Safa dan Marwa adalah dua bukit kecil dan merupakan tempat di mana Hajar berlari mencari pertolongan bagi diri dan anaknya. Ini merepresentasikan Al-Akhthu bil Asbab, yang berarti mengambil tindakan, yang diketahui bahwa rantai sebab dan akibat memerlukan tindakan tertentu, untuk memperoleh hasil tertentu. Berusaha, itulah yang diwakili Safa dan Marwah. Sehubungan dengan situasinya, usaha Hajar tak menghasilkan hasil yang ia cari. Ia mencari kafilah dari kedua titik itu, yang bisa ia panggil, sehingga mereka akan datang dan menyelamatkan diri dan anaknya.Walau itu tak terjadi, ia berhasil diselamatkan. Allah menyelamatkannya dengan sumur Zamzam. Kemudian, kafilah yang ia cari, mendatangi. Itulah kebesaran Allah Subhanahu wa Ta'ala.. Sa'i adalah bagian dari rangkaian ibadah yang membantu membangun takwa. Karena saat berjalan di antara Safa dan Marwa, berdo'a dilakukan serupa dengan saat mengerjakan Thawaf. Awal Sa'i dimulai di Safa, dan berakhir di Marwa. Safa ke Marwa dihtung satu balikan, atau satu syaut dalam bahasa Arab. Ada orang yang salah mengira satu balikan itu dari Safa ke Marwa dan kembali lagi ke Safa, namun yang benar adalah, dari Safa ke Marwa dihitung satu balikan, bila lanjut lagi dari Marwa ke Safa, maka dihitung dua balikan. Karena hitungannya ganjil, maka mulainya di Safa dan berakhirnya di Marwa.

Antara Safa dan Marwa, di lantai lembah, ada bagian yang ditandai dengan lampu hijau. Di tempat ini diharuskan mempercepat langkah atau berlari kecil. Ini dilakukan sedikit lebih cepat daripada saat mengitari Ka'bah. Dalam kerumunan haji yang padat, diperbolehkan cukup berjalan saja. Memang diperlukan berlari kecil jika memungkinkan, namun bila kerumunan orang menghalangi, maka diperbolehkan berjalan. Setelah selesai di Marwa, rangkaian ibadah terakhir Umrah adalah mencukur rambut kepala. Mencukur rambut kepala melengkapi keadaan ihram. Saat memasuki ihram, isu yang paling penting adalah kerendahan hati di hadapan Allah; Oleh karena itu, keluar dari ihram juga dalam keadaan yang rendah hati, dengan mencukur atau memangkas rambut di kepala. Bagaimana seseorang dengan rendah hati keluar dari keadaan suci ini? Rasulullah (ﷺ) berkata, "Semoga Allah merahmati orang-orang yang mencukur habis rambut mereka" Dan para sahabat bertanya, "Dan bagaimana dengan orang yang hanya memangkasnya?" Rasulullah (ﷺ) berkata, "Semoga Allah merahmati orang-orang yang mencukur habis rambut mereka." Sahabat lain bertanya, " Tapi bagaimana dengan orang yang hanya memangkas rambutnya, wahai Rasulullah? "Semoga Allah merahmati orang-orang yang mencukur habis rambut mereka." "Wahai Rasulullah, tak adakah untuk yang memangkas rambutnya? " "Dan semoga Allah merahmati orang-orang yang memangkas rambut mereka." Jadi, inilah pesan yang kuat. Mencukur habis rambut kepala, al-halq, lebih banyak memperoleh rahmat Allah. Inilah penegasan kerendahan hati.
Mencukur habis rambut kepala tak diperintahkan bagi wanita. Mereka diperintahkan memangkas rambut, taqshir, tapi harus dipangkas sempurna dengan menyatukan seluruh rambut dan memotongnya kira-kira seujung jari dari seluruh rambut itu. Diperlukan orang lain, sesama wanita atau mahram, untuk memangkas rambutnya dan dipangkas merata pada rambut di seluruh kepala. Inilah simbolis tingkat kerendahan hati yang lebih tinggi bagi pria dan wanita. Mereka seyogyanya memastikan bahwa seluruh rambut di kepala telah dipangkas.

Dalam ibadah 'Umrah, seluruh rangkaian ibadah selesai dalam satu hari, namun dalam Haji, rangkaian berikutnya akan memakan waktu dua sampai tiga dan bahkan mungkin empat hari. Pada tanggal kedelapan Dzulhijjah, aspek utama Haji berikutnya adalah menginap di Mina. Aspek penting di Mina adalah karena ada cukup waktu yang dihabiskan di sana, karenanya, saat berada di sana, sangat penting agar waktu itu tak disia-siakan. Waktu di Mina pada dasarnya dihabiskan untuk berdoa dan berdzikir.
Mina adalah lokasi yang sangat tersosialisasikan. Sebelum penaklukan Mekkah, dan bahkan sebelum Hijrah, Rasulullah (ﷺ) menggunakan Mina sebagai tempat memperkenalkan dirinya dengan berbagai suku dan kaum yang datang untuk berhaji. Pada hari-hari sebelumnya, Mina adalah tempat dimana hewan tunggangan dan yang melalui ibadah Haji dimandikan. Pada tanggal kedelapan Dzulhijjah, jemaah Haji mulai berdatangan di Mina, dan dikenal sebagai Yaumul Tarwiyah. Diberi nama seperti ini karena sebagai penunjukan tempat dimana hewan tunggangan untuk berhaji dimandikan atau disiram. Di zaman kita, memandikan hewan dan mempersiapkannya untuk perjalanan Haji tak lagi terjadi, melainkan di sanalah para jemaah bersiap-siap melaksanakan rangkaian ibadah berikutnya.

Di Mina, fokus utama ditujukan pada Shalat. Selagi di Mina, Shalat dipersingkat. Shalat Dhuhur, Ashar dan Isya, yang berjumlah empat rakaat, dipersingkat menjadi dua rakaat, namun tak digabung dengan shalat yang lain. Masing-masing shalat dikerjakan sesuai jadwalnya. Selama waktu di Mina, orang-orang mukmin dengan kasadaran yang tinggi menegakkan shalat dan berdzikir. Tahajjud dan Witr sangat dianjurkan di Mina. Karena itu, di Mina, waktu benar-benar dimanfaatkan dan juga shalat Tahajjud. Shalat, doa dan dzikrullah adalah tiga fokus utama di Mina. Saat berdoa di Mina, penting berfokus pada "ihidinas siratal mustaqim," dengan memohon pertolongan Allah dan juga untuk menghilangkan karakteristik dan kualitas negatif yang menghalangi kita agar dapat tetap berjalan di atasnya. Meski ada unsur bersosialisasi, seyogyanya dilakukan semaksimal mungkin karena Allah. Berada dalam keadaan ihram, semestinya mempengaruhi seseorang secara emosional, psikologis dan spiritual.
Singgah di Mina seharusnya tak hanya menjadi langkah yang lebih mendekatkan kita ke Arafah. Prinsip yang sama mengenakan ihram harus hadir saat singgah di Mina. Niat Haji didasarkan pada kerendahan hati, salah satu karakteristik terpenting orang mukmin dalam hal moralitas. Berada dalam ihram adalah keadaan kerendahan hati yang serendah-rendahnya, dalam hal berrpakaian yang sangat sederhana. Bagi kaum wanita, seyogyanya berpakaian sesederhana mungkin, dan bagi kaum lelaki, lebih sederhana lagi. Juga, kesabaran adalah karakteristik yang dibutuhkan sepanjang ibadah haji. Ihram mengambil konsep kerendahan hati ke tingkat yang lain. Prinsip ihraam yang sama, sekarang diterapkan kembali dalam rangkaian ibadah di Mina.

Meskipun secara relatif sedikit ayat dalam Al-Qur'an tentang Haji, Allah selalu menyebutkan Taqwa di dalamnya. Hal ini karena selama berhaji, ada faktor kondusif Taqwa yang tak ditemukan di waktu yang lain. Namun, ini hanya terjadi dengan pemahaman yang baik tentang apa sebenarnya Haji itu, dan apa yang menandakannya. Mementingkan Taqwa berarti petunjuk yang paling mendalam dan nasehat yang dapat diberikan. Inilah bekal terbaik yang akan dibawa saat Hari Perhitungan. Manfaat dan kebajikan yang dihasilkan Taqwa tak terbatas, dan orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang-orang yang paling Taqwa. Mementingkan Taqwa berarti agar seseorang bisa menempatkan sarana perlindungan di antara dirinya dengan apapun yang ia khawatirkan akan membawa murka dan adzab Allah. Ini hanya bisa dilakukan dengan memenuhi perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Haji tentunya merupakan salah satu kesempatan yang dirahmati agar seseorang bertobat, kembali kepada Allah, dibersihkan dari dosa, dan diselamatkan dari api Jahannam. Faktanya adalah bahwa haji merupakan kesempatan penting untuk bertobat, memohon ampunan atas kesalahan, dan dibebaskan dari neraka. Ummat Islam seyogyanya segera bertobat kepada Allah agar mendapatkan kesuksesan dan imbalan yang banyak. Taubat adalah salah satu perbuatan paling mulia, dan di antara yang paling dicintai dan disukai Allah. Dia mencintai terutama mereka yang kembali kepada-Nya dalam taubat. Kita memohon semoga Allah merahmati kita dengan taubat yang tulus, menerimanya dari kita, membasuh dosa kita, dan menjawab doa kita. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan..
(Bagian 4)
(Bagian 2) 

Jumat, 17 Agustus 2018

Perjalanan Jiwa yang Mukmin (2)

Sang hujjaj berkata, "Wahai anak muda, haji adalah pembangunan karakter. Haji adalah sebuah cobaan yang menguji setiap orang yang melakukan perjalanan ini sampai selesai. Haji seyogyanya suci, bersih dari perbuatan ketidaktaatan, sumpah-serapah, omelan, ataupun caci-maki. Bagi kebanyakan orang, bersabar melalui haji adalah sebuah ujian besar. Haji adalah tindakan ibadah sosial dimana Allah Subhanahu wa Ta'ala mengumpulkan manusia. Jutaan orang berkumpul di satu tempat yang sangat terbatas, dan kesabaran pun diuji. Fungsi haji itu laksana pemanasan bijih besi atau bijih perak Untuk mengekstrak perak, pertama-tama harus diletakkan di atas tungku dimana panas menyebabkan leburnya bijih besi yang murni, lalu diekstraksi. Maka, haji berfungsi seperti itu, memurnikan orang-orang mukmin. Rasa sakit, walau itu sangat kecil, bahkanpun bila itu hanya karena setangkai bunga mawar, atau sesuatu, yang menusuk kaki, jika dihadapi dengan kesabaran, akan menghapus dosa.
Orang yang lemah adalah orang yang lari dari tantangan. Orang yang berada dalam posisi yang lebih tinggi adalah orang yang berkumpul bersama khalayak ramai dan menghadapi kesukarannya, yang membuat imannya menjadi lebih kuat. Halangan utama berhaji adalah pendapat bahwa haji seharusnya dilakukan bagi orang yang telah sepuh. Kepercayaan ini berlatarbelakang bahwa haji itu menyeka dosa-dosa yang terjadi sebelumnya, maka seseorang lebih baik menunggu sampai dosa-dosanya terkumpul, lalu terhapuskan. Namun, haji adalah ibadah fisik yang membutuhkan tenaga, dan orang yang sudah tua, mungkin saja tak memenuhi persyaratan fisik haji. Juga, seseorang yang meninggal dalam ibadah haji dengan niat tulus untuk bertobat, tak sama dengan orang yang menunda haji hanya untuk mengumpulkan dosa-dosa dan kemudian tanpa ketulusan, ingin menghapus papan-tulisnya saja, dan mungkin, kembali berbuat dosa.
Haji mengumpulkan umat Islam dari seluruh penjuru bumi dalam sebuah pertemuan yang biasanya jarang dialami. Islam bersifat komunal dan berimplikasi dalam masyarakat manusia, yang mempengaruhi, mengatur, dan mengarahkannya. Shalat seyogyanya berada dalam masjid, terutama bagi kaum lelaki yang berada di luar rumah. Ini memberi kita rasa kebersamaan yang langsung. Manusia saling mengenal dan akrab dengan tetangga mereka, dengan saling bertemu di dalam masjid dari pagi sampai larut malam. Pertemuan ini membangun ikatan yang membantu seseorang agar dapat menolong dan ditolong oleh orang lain, melalui pertemuan rutin ini.
Ada kegiatan komunal lainnya, Shalat Id dan Shalat Jumat. Seminggu sekali, ada shalat Jum'at. Shalat-shalat Id adalah shalat saat dimana masyarakat berkumpul kembali. Kegiatan komunal utama adalah haji. Rangkaian ibadah ini tak terbatas pada daerah atau negara tertentu, namun mencakup seluruh penjuru dunia. Ummat Islam berkumpul tak hanya dari daerah lain di negara yang sama, atau wilayah yang serupa di atas bumi ini, namun orang-orang datang dari latar belakang yang berbeda sama sekali, dan mereka semua adalah orang-orang mukmin. Inilah yang memperkuat tali persaudaraan umat Islam, dan konsep dasar bahwa hanya ada satu Tuhan Yang menciptakan hanya satu ras manusia.
Orang mengklasifikasikan manusia ke dalam ras yang berbeda dan memberinya nama: Ras Mongoloid untuk orang-orang di Timur Jauh, ras Kaukasoid bagi orang-orang di bagian Utara Eropa, ras Negroids teruntuk orang-orang dari Afrika, dan lain-lain, dan selain ras-ras itu, masih ada lagi ras-ras yang lain. Kenyataannya, bahwa pengklasifikasian ini hanyalah buatan. Manusia mungkin berbeda dalam warna, ukuran, dan bentuk, namun mereka semua tetaplah manusia, satu ras manusia. Dan karena itu, Allah menetapkan satu agama untuk umat manusia. Dia, Subhanahu wa Ta'ala, tak meresepkan beragam agama bagi umat manusia yang kemudian menjadi sumber kerancuan, menyebabkan manusia saling berdebat. Banyaknya agama ini diciptakan oleh manusia sendiri, sedangkan Allah menyediakan hanya satu agama. Faktanya, hanya ada satu Tuhan Yang menciptakan satu umat manusia yang punya satu kebutuhan. Entah itu sepuluh ribu tahun yang lalu, sejuta tahun yang lalu, atau sejuta tahun kemudian, manusia tetaplah manusia. Kebutuhan mereka sama. Kegalauan mereka pun sama. Maka, hanya ada satu agama. Haji menegaskan kesatuan ini.
Islam mendorong agar superioritas sejati berada pada orang-orang yang paling takwa. Tiada superioritas dalam kualitas atau kuantitas yang diberikan Allah kepada manusia. Karena itu, haji merupakan karakter orang-orang yang berpikiran terbuka. Titik fokus Islam adalah tentang iman. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Surah Al-Hujurat [49]: 13, "Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.."


Karakter kedua yang diserukan dalam ibadah haji adalah kesabaran. Kesabaran adalah karakteristik utama haji, karena sifat haji yang membawa manusia berkumpul dalam keadaan sangat terbatas secara mental, fisik dan emosional. Dalam keadaan seperti ini, kesabaran sangat penting dan tanpanya, tak ada cara lain untuk mencapai tujuan ibadah haji itu. Bagi beberapa orang, kesabaran itu sangatlah mudah dan mereka dapat menanggung banyak tekanan, namun bagi sebagian besar orang, tak dapat bersabar. Bagaimana agar para jemaah haji tetap sabar selama berhaji? Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Barangsiapa yang berpura-pura sabar, untuk memperoleh kesabaran, Allah akan memberikan kesabaran untuknya." Jika seseorang ingin mencapai kesabaran, maka ia seyogyanya melakukan kesabaran. Meskipun ini mungkin tampak munafik karena seseorang menampilkan sesuatu yang kurang benar. Namun, pada kenyataannya, kesabaran seyogyanya diteraokan agar dapat dikembangkan. Rasulullah (ﷺ) berkata, "Jika engkau dengan tulus mencari kesabaran, Allah akan memberimu kesabaran." Dalam Surah Al-Asr, Allah menerangkan keadaan manusia sebagai orang-orang yang mengalami kerugian, kecuali bagi mereka yang beriman dan mengerjakan amal-shaleh, serta saling mengingatkan, saling mengajak dalam kejujuran dan kesabaran. Inilah salah satu kunci kesuksesan dalam hidup. Inilah mengapa berkembangnya kesabaran selama beribadah haji lebih diutamakan. Jika tak ada yang lain diperoleh dari berhaji, kesabaran perlu dikembangkan karena kesabaran sangat penting bagi keberhasilan dalam hidup ini.
Elemen mendasar dan yang pertama dari rangkaian ibadah Haji dan Umrah adalah ihram, yang pada dasarnya merupakan tujuan Umrah atau Haji itu. Bukan pada pakaian yang dikenakan untuk berhaji atau berumroh, seperti yang diyakini banyak orang. Umrah adalah ibadah berziarah yang lebih rendah dibandingkan haji, yang merupakan ibadah berziarah utama. Kaum lelaki mengenakan dua lembar kain, sementara kaum wanita memakai apapun yang menutupi mereka, yang sederhana dan tak perlu banyak hiasan. Pakaian wanita tak dibatasi. Sekali lagi, ihram bukanlah pakaian yang dikenakan, namun ihram adalah niat. Dua lembar kain yang dikenakan kaum lelaki itu, adalah kain kafan simbolik yang akan menyelubunginya saat ia dimakamkan. Ihram sebagai penutup dasar, adalah cara paling sederhana menutupi aurat. Ihram mewadahi semua orang, tak peduli perawakannya dalam kehidupan duniawi ini, dengan pakaian yang sama di hadapan Allah dalam rangkaian ibadah ini. Dalam keadaan ihram, tak diperbolehkan memangkas rambut, mengerat kuku ataupun menggunakan parfum.
Pada dasarnya, tujuan masuk dalam keadaan ihram adalah kerendahan hati di hadapan Allah. Inilah persiapan ibadah haji. Kerendahan hati diperlukan dalam melakukan rangkaian ibadah ini. Jika dilakukan dengan angkuh dan sombong, tujuan ibadah haji takkan tercapai. Pakaian yang tak boleh digunakan adalah pakaian bertangkup (saling menutup antara kedua belah bagiannya). Ketika seorang Muslim tiba di Miqat yang telah ditetapkan oleh Rasulullah (ﷺ) untuk masuk dalam keadaan Ihram, ia menanggalkan pakaian sehari-hainya dan menggantinya dengan selembar Izaar di bagian bawah tubuhnya, dan selembar Ridaa' di bagian atas tubuhnya, dan ia membiarkan kepalanya tak berpenutup. Dalam cara berpakaian ini, semuanya sama diantara yang mengerjakan haji sehingga tak ada perbedaan antara si kaya dan si miskin, atau pemimpin dan rakyat jelata. Keseragaman dalam penampilan ini mengingatkan mereka pada kain kafan yang akan membungkus saat mereka mati, karena masing-masing dan setiap orang harus menanggalkan pakaian kesehariannya dan diganti dengan kain kafan yang tak membedakan antara si kaya dan si miskin. 

Ihram mencakup gerakan fisik untuk mempersiapkan perjalanan ke depan, serta tindakan psikologis atau mental dan spiritual. Mengerahkan gerakan fisik, menempatkan para jemaah haji ke dalam keadaan pemahaman yang tepat tentang perjalanan yang akan dilaluinya, adalah ghusl. Ghusl bukan hanya mandi biasa, melainkan mandi ibadah. Inilah gerakan fisik yang mengarah pada pemurnian spiritual. Hal ini ditunjukkan dalam kata-kata Rasulullah (ﷺ) ketika ia bersabda, "Saat seseorang berwudhu, dosa-dosanya berguguran bersama tetesan air dari tubuhnya." Selama ghusl, air dibawa ke mulut dan lubang hidung dan wudhu yang sempurna diusahakan. Selama berwudhu, proses bersuci harus tercermin. Penyucian spiritual lahiriah yang lebih kritis, lebih penting. Ghusl, jika dilakukan dengan benar, memasukkan para jemaah haji ke dalam kerangka berpikir, bahkan sebelum mengenakan pakaian dan melakukan niat. Mengerat kuku, memangkas rambut, mencukur bulu ketiak dan bagian yang sangat pribadi, semuanya disarankan dilakukan sebelum ihram. Kaum lelaki memakai parfum sebelum ihram, dan kaum wanita tak mengenakan penutup wajah dan sarung tangan. Pada tingkat fisik ini, kemudian memasuki ihram, maka hubungan seksual atau tindakan pembuka yang mungkin menyebabkannya, harus dihindari.
Pada tingkat psikologis, debat dan pertengkaran, bahasa kasar dan ledakan amarah, tak boleh dilakukan. Dalam hal inilah kesabaran dibutuhkan. Tingkat psikologis ihram melibatkan kesabaran dan kesopanan. Perbuatan kotor harus dihindari, seperti: menatap penuh nafsu pada lawan jenis dan memanfaatkan peluang agar berada di tengah lawan jenis. Dalam situasi yang padat, orang-orang akan lebur bersama. Ada orang yang menggunakan kesempatan ini agar terkontak fisik dengan wanita yang bukan miliknya. Ini error. Pada tingkat psikologis, tingkat emosional, kita harus mempertahankan pengendalian emosi. Pada tingkat spiritual, mengenakan pakaian biasa membuat setiap jemaah setara, tanpa membedakan antara satu sama lain. Hal ini membantu membangun kerendahan hati dan mengembangkan pemahaman bahwa pada kenyataannya, tak ada perbedaan diantara manusia. Berkah yang dianugerahkan Allah bagi beberapa orang, dan ada bagian orang lain yang tertahan, adalah bagian dari ujian hidup ini. Namun, setiap orang memasuki kehidupan dengan cara yang sama: telanjang. Semua orang juga meninggalkan kehidupan ini dengan cara yang sama, hampir telanjang. Tak ada yang bisa dibawa dari dunia ini dan tak ada yang dibawa ke dunia sana pada saat datangnya kematian. Kita semua sama.
Faktor penyebut dalam kesederhanaan berpakaian dalam berhaji seyogyanya membantu dalam mewujudkan siapa diri kita dan posisi kita di hadapan Allah. Kita seyogyanya tulus. Agar realisasi ini terjadi, harus ada ketulusan dalam proses ihram. Seseorang harus siap mematuhi perintah-perintah Allah dan taat pada perintah-Nya. Salah satu cara agar dapat melakukannya adalah dengan menyerahkan hal-hal yang umumnya dapat diakses. Kepemilikan duniawi yang memberi seseorang posisi superioritas atas orang lain berkurang dalam haji. Merendahkan hati harus diupayakan. Sebenarnya, dapat dikatakan bahwa ciri khas ihram adalah kerendahan hati, dan inilah ciri moral utama yang harus dimiliki. Sesungguhnya, Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Barangsiapa yang rendah hati karena Allah, Allah akan meninggikannya." Inilah pandangan Islam tentang kerendahan hati. maka saat mendekati ihram, yang seharusnya paling menonjol di benak orang-orang yang masuk ke dalamnya, adalah: kerendahan hati di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Saat berhaji, sebaiknya dilaksanakan sesederhana mungkin. Wanita tak diperbolehkan memakai sarung tangan atau niqab. Pakaian wanita lebih rumit dari waktu ke waktu. Sifat wanita adalah suka menunjukkan perhiasannya. Allah memerintahkan mereka memakai jilbab agar tetap terkendali. Pikirkan tentang istri Rasulullah (ﷺ) dan para sahabat wanita awal, dan bagaimana mereka berpakaian. Sederhana saja. Mencapai tingkat kesederhanaan harus menjadi tujuan. Kenyataannya, tanpa kesederhanaan yang merendahkan itu, ibadah sejati tak dapat terjadi. Tanpa benar-benar rendah hati di hadapan Allah Subhaanahu wa Ta'ala, maka ibadah sejati tidak dapat tercapai. Ihram benar-benar tentang meletakkan dasar beribadah. Lebih baik merendahkan diri di hadapan Allah dan menyembah-Nya karena Dialah Yang berhak disembahIhram membantu kita mengatasi keangkuhan. Ihram adalah dasar ibadah kita selama ibadah haji. Oleh karena itu, membangunnya dengan benar, dengan kerendahan hati, dipermulaan rangkaian ibadahnya, sangatlah penting. Karena ihram adalah niat masuk dalam keadaan suci dimana kita tak melakukan perbuatan yang biasanya halal, yang akan melatih kita dan menguatkan kita secara spiritual, psikologis dan emosional agar dapat melepaskan hal-hal yang sebenarnya dilarang dalam kehidupan pada umumnya. Dalam keadaan ini, kita harus fokus pada niat kita, bukan pada pakaian kita. Memfokuskan pada pakaian adalah kesalahan besar yang dilakukan kebanyakan orang. Fokus seyogyanya pada ketulusan niat kita untuk masuk ke dalam ibadah haji. Kerendahan hati adalah untuk membantu kita agar berniat yang tulus, yang merupakan inti ibadah pada umumnya.
Niat yang tulus dengan tenang dan hati-hati dilakukan karena sadar akan tirai ritual yang menyelubungi tujuan haji. Melampaui selubung itu dan masuk ke dalam intinya, sangat penting. Menemukan jiwa, mempertanyakan niat, membangkitkan rasa kerendahan hati, merasa malu dan menyesal atas dosa-dosa kita, dan mengembangkan unsur takwa adalah semua aspek agar berniat yang benar. Kita membangunnya dengan talbiyah, ungkapan verbal kita tentang niat kita untuk berhaji, yang harus kita suarakan dari jiwa kita yang terdalam.
Talbiyah bukan sekedar senandung yang kita ucapkan secara ritual. Talbiyah adalah ungkapan niat kita. Talbiyah harus mewakili pernyataan ketulusan niat. Setelah melakukan niat, pengulangan talbiyah dilakukan, "Labbaik Allaahumma labbaik, Labbaik laa syarika laka labbaik, innal hamda wanni'mata laka wal mulk, laa syarika lak." "Inilah aku, wahai Allah, inilah aku, Inilah aku, tiada sekutu bagi-Mu, inilah aku. yang insya Allah memenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya, segala puji, anugerah dan kekuasaan adalah milikmu, dan tiada sekutu bagi-Mu." Inilah penegasan kembali dasar pernyataan iman kita.
Kerendahan hati di hadapan Allah adalah apa yang dicari; menemukan derajat rendah hati untuk membangun dasar ibadah. Keangkuhan menghancurkan ketulusan. Ketulusan dan keangkuhan adalah sesuatu yang berlawanan, yang tak dapat hidup bersama. Ketulusan hati adalah dasar ibadah. Penting mengingat unsur haji ini. Ihram terkait dengan talbiyah. Dan, insya Allah, juga terkait dengan miqat, karena ungkapan niat, tak berlangsung kecuali telah mencapai miqat. Jika seseorang melintasi titik miqat dan tak melakukan niat, maka ia wajib kembali ke miqat untuk membuat niat ihram dan mengenakan pakaian ihram. Jika memasuki daerah ihram dengan pesawat terbang dimana tak memungkinkan kembali ke miqat, maka wajib pergi ke titik miqat terdekat setiba di Arab Saudi, jika titik miqat itu telah dilintasi.
Ada lima mawaqit yang telah ditetapkan. Nama-namanya adalah Dzul Hulaifah atau Bir Ali, Tzaatu Irq, Al Juhfah, Qarnul Manazil, dan Yalamlam. Area utama dimana para jemaah masuk adalah Ta'if dan Madinah. Dari selatan Makkah, menuju Yaman, tempatnya dikenal dengan nama Yalamlam. Jika daerah miqat masuk tanpa niat dan ihram, wajib menyembelih hewan qurban dan memberikannya kepada orang miskin di Makkah. Ini jika batas dilewati tanpa ihram dengan sengaja. Jika disengaja, yang dibutuhkan adalah keluar dan kemudian melakukan niat dan mengganti pakaian, dan masuk kembali tanpa memberikan hewan qurban sebagai kompensasi.
Seluruh aturan ini menjadikan para jemaah fokus pada ibadah dan rangkaiannya. Mempertahankan kerendahan hati berarti berusaha mengikuti apa yang telah diperintahkan. Rasulullah (ﷺ) berkata, "Ambillah ibadah hajimu dariku." Karena itu, mengikuti cara Rasulullah (ﷺ) agar diupayakan sedekat mungkin, merendahkan hati dalam menyembah Allah yang dengannya Dia meninggikan derajat para jemaah haji. Inilah alasan mengapa tindakan kerendahan hati itu sangat ditekankan di saat sujud. Rasulullah (ﷺ) berkata, "Manusia paling dekat dengan Allah saat ia dalam keadaan sujud," Inilah posisi yang paling rendah dan bila dibayangkan, menghinakan diri. Mempertahankan kualitas ihram ini sangat penting bagi kehidupan pada umumnya.
Haji adalah cara hidup yang dikenal sebagai Islam. Prinsip-prinsip haji terjalin ke dalam semua aspek Islam. Prinsip-prinsip ini ditemukan dalam ibadah haji dan juga di luar ibadah haji. Dalam ibadah haji, prinsip ini terkonsentrasi, tapi hadir di semua rukun Islam. Seyogyanya diingat bahwa keadaan ihram adalah niat dan bukan pakaian. Niat bisa saja tak diterima Allah, dan karenanya tak bermanfaat, kecuali jika muncul dari kerendahan hati. Alasannya, karena niat itu untuk ibadah. Semua ibadah mengharuskan kita merendahkan diri di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ciri khas ihram adalah kerendahan hati. Jika karakteristik itu tersimpan di sepanjang haji, akan menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan atau gagalnya ibadah haji. Tak ada kesabaran tanpa kerendahan hati.
(Bagian 3)
(Bagian 1)

Selasa, 14 Agustus 2018

Perjalanan Jiwa yang Mukmin (1)

Burung kenari bernalam,

Dengan kasihmu, ya Robbi
Berkahi hidup ini
Dengan cintamu, ya Robbi
Damaikan mati ini

Saat salahku melangkah
Gelap hati penuh dosa
Beriku jalan berarah
Temuimu di surga

Terima sembah sujudku
Terimalah doaku
Terima sembah sujudku
Izinkan ku bertaubat
Maulana ya maulana
Ya sami' duana *)
Angsa melanjutkan, "Segala puja dan puji hanya untuk Allah, Rabb semesta alam. Sesungguhnya, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah membatasi kehendak bebas manusia dalam kewajiban yang Dia perintahkan, baik dalam ruang maupun waktu. Ada ibadah yang Allah tak membatasinya dengan ruang dan waktu, misalnya ucapan syahadat: Lâ ilâha illâllah wa anâ Muhammadan Rasûlullah, tiada illah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Disini, engkau bersumpah sekali seumur hidupmu, dan kemudian mengulang-ngulangnya pada malam, siang atau kapanpun, di rumah, dalam pekerjaanmu atau di jalan. Tak terbatasi oleh ruang dan waktu. Dalam hal shalat, misalnya, adalah ibadah yang dibatasi oleh waktu dan tidak oleh ruang. Engkau dapat mengerjakan shalat di setiap Masjid, di pabrik, di rumah atau di ladang, engkau bebas memilih tempatnya, namun Allah Subhanahu wa Ta'ala, mengikatnya dengan waktu. Setiap Shalat memiliki waktu yang telah ditentukan, sehingga bila dikerjakan tak sesuai waktunya, maka takkan berlaku lagi. Waktulah yang menentukannya. Sedangkan untuk puasa atau shaum, Allah telah mewajibkan pelaksanaannya setiap tahun selama bulan Ramadhan, tapi membolehkan pilihan ruang yang bebas. Engkau dapat berpuasa dimanapun engkau berada dan dimanapun tempat yang engkau pilih.
Adapun Zakat, Allah telah membatasi waktu dan jumlahnya, namun tak membatasi ruangnya. Misalnya, Zakat Idul Fitri, yang merupakan sejumlah tertentu gandum, tepung, buah-buahan, biji padi atau uang, harus dibayarkan kepada fakir-miskin di akhir bulan Ramadan, namun sebelum sholat Idul Fitri harus dibayarkan. Zakat dari hasil panen gandum dan buah-buahan, harus dibayar pada saat panen, saat hasil panen itu masih ada di ladang atau kebun dan belum dipindahkan ke tempat penyimpanan. Bagi Zakat atas uang, harus dibayarkan saat mencapai Nisâbnya, jumlah minimum harta yang dipertanggungjawabkan atas pembayaran Zakat, dari akhir tahun sampai akhir tahun berikutnya, yang berarti setelah masuk satu tahun penuh perolehan; jenis-jenis Zakat ini dibatasi oleh waktu namun tak dibatasi oleh ruang, karena engkau membayar zakat dimanapun engkau berada, tanpa syarat di daerah atau di negeri mana engkau berada.
Sedangkan untuk ibadah haji, berbeda dengan ibadah yang lain, karena dibatasi oleh ruang dan waktu. Engkau tak dapat menunaikan haji selagi di rumah atau di negerimu, tapi engkau harus pergi berziarah ke Baitullah di Mekah. Juga, pada hari Arafah, engkau tak boleh berdiri dimanapun, tapi engkau hendaknya pergi ke Arafah pada tanggal sembilan Dzulhijjah, bulan ke 12 Hijriah, dan berdiri di tempat yang ditentukan untuk berdiri, tak melewatinya. Selanjutnya, engkau tak diperkenankan melaksanakan ibadah haji di bulan mana saja engkau suka, namuni harus berada dalam bulan Dzulhijjah. Dengan demikian, kita belajar bahwa haji adalah satu-satunya kewajiban yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Oleh karena itu, pahalanya adalah ampunan dosa, karena merupakan salah satu tugas yang paling sulit, yang diperintahkan pada jiwa orang-orang mukmin."

"Dan demikianlah, hidup sang musafir muda terus berjalan, lalu sang Hujaj berkata kepadanya,"Wahai anak muda, perjalanan kita ke kota suci sudah dekat, bersiaplah." Sang musafir muda berkata, "Sampaikan padaku lebih banyak tentang perjalanan ini! " Sang hujjaj berkata, "Ketika Nabi Ibrahim, alaihissalam, selesai membangun Ka'bah seperti yang diperintahkan, ia diperintahkan lagi untuk menyerukan kewajiban berziarah sebagai pengikat pada semua orang, dan memanggil mereka untuk memenuhi kewajiban ini. Allah juga berjanji kepadanya bahwa orang-orang akan menjawab panggilannya, dan bahwa mereka akan datang dari seluruh penjuru dunia, berjalan kaki, atau menggunakan segala jenis tunggangan tercepat yang menjadi kurus akibat perjalanan yang panjang. Dalam Surah Al-Hajj [22]: 27, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh."
Janji Allah kepada Nabi Ibrahim langsung ditunaikan, bahkan sampai hari ini, dan pastilah akan berlanjut terus di masa depan. Setiap kalbu manusia bercita-cita mengunjungi Ka'bah, sangat rindu melihat dan berjalan mengelilinginya. Seseorang yang berkecukupan akan menggunakan beberapa bentuk alat transportasi, sementara orang yang berkekurangan tetap datang, meskipun ia mungkin harus menempuh jarak jauh dengan berjalan kaki. Puluhan ribu orang berduyun-duyun ke sana dari pelosok-pelosok negeri yang jauh, setiap tahun, sebagai jawaban seruan Nabi Ibrahim atas kewajiban ini, yang telah dilakukan ribuan tahun yang lalu.

Engkau dapat menemukan beberapa aspek dan tujuan berhaji, dalam Surah Al-Hajj [22]: 28-29, "Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan agar mereka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan atas rezeki yang diberikan Dia kepada mereka berupa hewan ternak. Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran (yang ada di badan) mereka, menyempurnakan nazar-nazar mereka dan melakukan tawaf sekeliling rumah tua (Baitullah)."
Merefleksikan haji, kita akan menemukan Nabi kita tercinta (ﷺ), bersabda, "Sesungguhnya, dijadikannya thawaf di sekeliling Baitullah, sha'i di antara Shafa dan Marwah, dan melontar jumrah, hanyalah untuk mengingat Allah." Inilah tujuan akhir berhaji, mengingat Allah. Tujuannya agar kita tetap sadar dan insaf bahwa hanya ada satu Illah, juga ditemukan di semua pilar lain dalam Islam. Semuanya mengingatkan kita akan Allah. Maka, tujuan utama haji adalah tujuan yang sama dengan yang ditentukan oleh Allah untuk beribadah, berpuasa dan berzakat. Tujuannya sama, bahkanpun juga Syahadat, yakni mengingat Allah, dzikrullah.
Dan manfaat yang diterima jemaah haji berlipat-ganda. Kita takkan bisa menghitung manfaat dan pelajaran yang diperoleh dari haji. Haji adalah musim perdagangan dan ibadah, dan sebuah konferensi dimana manusia saling mengenal dan membangun kerjasama yang erat. Inilah tugas religius dimana tujuan yang berkaitan dengan kehidupan ini bertemu dengan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan yang akan datang. Kenangan dekat dan jauh dari iman sejati juga dikelompokkan bersama. Seorang pebisnis mengasumsikan musim haji sebagai puncak musim untuk perdagangan mereka. Segala jenis buah-buahan dibawa ke kota suci Mekah, dari segala penjuru. Jemaah haji datang dari setiap negeri dan wilayah dunia membawa serta barang terbaik mereka, yang memiliki musim yang berbeda. Maka, di Mekah, semua ini ditemukan di musim yang sama, menjadikan musim haji mencakup segala pameran dan pasar internasional tahunan. Pada saat yang bersamaan, merupakan musim ibadah, saat jiwa merasakan kemurniannya karena mereka merasa bahwa mereka dekat dengan Allah, di Rumah-Nya yang sakral."

Sang musafir muda bertanya, "Apa yang membedakan haji dengan ziarah agama lain?" Sang hujjaj berkata, "Haji, ada dalam Kitab Suci, ayat yang menyebutkannya langsung dari Al-Qur'an. Tak ada perintah untuk berziarah, dalam kitab-kitab lain, manusialah yang telah menetapkan tempat berziarah untuk tujuan keagamaan mereka. Misalnya, Yerusalem, telah dijadikan tempat berziarah. Orang pergi ke sana untuk alasan spiritual dan religi, namun engkau takkan menemukan di dalam kitab suci mereka bahwa ziarah ke Yerusalem diperintahkan dan ada pahala dari Allah bila mengerjakannya. Mereka sendiri yang menentukan tindakan dan hak untuk orang banyak, tapi bukan bagian dari kitab suci mereka. Dalam Islam, berhaji itu unik, dari perspektif ini, ada dalam Kitab Suci. Haji ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Al-Qur'an dengan tatanan umum dan petunjuk umum untuk melakukannya..Di dalam Sunnah, kita menemukan klarifikasi, atau penjelasan Rasulullah (ﷺ) mengenai tatakrama pelaksanaan haji dan juga diberikan rinciannya. Oleh karena itu, haji didirikan dalam agama ini sejak awal dan umat Islam dapat mengatakan, "Ya,  Allah telah memerintahkannya." Agama-agama lain tak dapat mengatakan bahwa Allah memerintahkannya, melainkan manusialah yang memerintahkannya; yang merekomendasikannya; yang menemukan alasan untuk melakukannya. Ini karena keinginan untuk berhaji adalah sesuatu yang telah Allah letakkan di dalam diri manusia, dan itulah sebabnya mengapa Allah menunjukkan tempat untuk berziarah bagi umat manusia secara keseluruhan.
Dari perspektif spiritual, Allah menyediakan haji untuk memenuhi kebutuhan tertentu yang dimiliki manusia. Allah telah menetapkan haji bagi kita, padahal hanya sebagian kecil dari ummat ini yang bisa melakukannya. Allah menentukan siapa yang mampu memenuhi kewajiban ini. Inilah Qadar-Nya, yang berarti Dialah Yang menentukan siapa yang memiliki dan siapa yang tak memiliki sarananya. Karena haji dan tujuannya adalah tujuan Islam; Tak ada haji yang di atas dan di luar apa yang bisa diakses melalui pilar lain dalam Islam. Haji meringkas tujuan Islam; merangkum seluruhnya bersama-sama. Namun, tak melampaui parameter Islam yang merupakan lima rukun itu.
Mereka yang tak bisa sampai ke Mekkah, masih dimungkinkan mendapatkan pahala haji dan umrah. Inilah alasan mengapa istri Rasulullah (ﷺ), biasa pergi ke masjid untuk Shalat Subuh. Para wanita Madinah biasa keluar sholat di masjid untuk mengerjakan Shalat Subuh dan Shalat Isya, tapi terutama Shalat Subuh. Shalat di dalam masjid adalah apa yang dimaksud oleh Rasulullah (ﷺ), ketika ia (ﷺ) bersabda, "Barangsiapa Shalat Subuh berjamaah dan tetap mengingat Allah hingga matahari terbit, dan mengerjakan dua rakaat Shalat Israq, menghasilkan pahala haji dan umrah yang diterima." 

Jiwa-jiwa manusia mengitari Baitullah, mengingat kenangan yang terkait dengannya, dan melihat citra-citra yang jauh dan dekat. Allah menunjukkan tempatnya kepada Nabi Ibrahim, dan memberinya perintah yang jelas sehingga ia menegakkannya di tempat yang tepat, Allah berfirman dalam Surah Al-Hajj [22]: 26, "Dan (ingatlah), ketika Kami tempatkan Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), “Janganlah engkau mempersekutukan Aku dengan apa pun dan sucikanlah rumah-Ku bagi orang-orang yang tawaf, dan orang yang beribadah dan orang yang rukuk dan sujud." Rumah itu hanya milik Allah, tanpa ada sekutu apapun. Bagi orang-orang yang menyembah Allah sajalah Rumah ini dibangun. Tak ada kaitannya dengan orang yang mempersekutukan Allah atau menyembah selain Dia. Nabi Ibrahim juga diharuskan mensucikan Rumah Allah itu bagi orang-orang yang datang ke sana untuk berhaji, dan bagi orang-orang yang menegakkan Shalat di sana.
Inilah juga kenangan terhadap Nabi Ibrahim saat ia meninggalkan anaknya yang masih kecil, Nabi Ismail, alaihissalam, yang lahir untuknya diusianya yang senja, namun ia meninggalkannya sendirian bersama ibunya. Saat ia berpaling pergi, ia memanjatkan sebuah doa kepada Allah, yang jelas muncul dari hati yang gundah.
Kita juga teringat pada Hajar saat ia berusaha menemukan air untuk dirinya sendiri dan anak bayinya di tempat yang sangat panas, saat Baitullah belum dibangun. Kita seakan melihatnya berlari, bolak-balik di antara dua bukit, Shafa dan Marwah, merasakan dahaga yang menyengat, dan melihat ketakutannya akan anaknya, sebagaimana beban berat yang diembannya. Ia kembali setelah menempuh jarak tujuh kali, merasakan sesuatu yang mendekati keputusasaan, hanya untuk menemukan air bermunculan di antara kedua tangan anaknya yang diberkahi. Air itulah Zamzam, mata air rahmat di tengah padang pasir yang tandus.
Kita juga ingat akan daya-lihat Nabi Ibrahim, bagaimana ia tak ragu mengorbankan anak pertamanya. Ia, alaihissalam, menjadi orang beriman ke tingkat standar yang tertinggi. Kita juga melihat citra Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, bertahun-tahun kemudian, saat mereka menegakkan pondasi Baitullah, berdoa kepada Allah dalam ketertundukan dan kerendahan hati, dalam Surah Al Baqarah [2]: 127-128, "Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail, (seraya berdoa), “Wahai Rabb kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Wahai Rabb kami, jadikanlah kami orang yang berserah diri kepada-Mu, dan anak cucu kami (juga) umat yang berserah diri kepada-Mu dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara melakukan ibadah (haji) kami, dan terimalah tobat kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Penerima tobat, Maha Penyayang."

Kenangan seperti itu, saling mengikuti, hingga kita melihat Abdul Muttalib, kakek Rasulullah (ﷺ), berjanji bahwa, sekiranya Allah memberinya sepuluh anak lelaki, ia akan mengorbankan salah seorang dari mereka. Saat diundi, pilihan jatuh pada `Abdullāh, putra bungsunya. Kita melihat Abdul Muţţalib ingin memenuhi janjinya, dan kita melihat kaumnya keberatan, lalu menyarankan tebusan atas pengorbanan itu. Ia mengumpulkan banyak lagi dan lagi, menambah uang tebusan setiap saat, namun undian terus melawan `Abdullāh, sampai tebusan mencapai 100 ekor unta, meski hanya 10 ekor yang biasanya dibutuhkan. Pada titik nadir ini, persembahannya diterima dan 100 unta dikorbankan untuk menyelamatkan `Abdullāh. Tapi keselamatannya tak lama. Ia hidup cukup untuk memberi isterinya, Āminah, yang baru saja dinikahinya, kehamilan, yang membawa lahirnya orang yang paling mulia dalam sejarah manusia, yang paling dicintai Allah. Abdullāh meninggal sesudahnya. Seolah-olah Allah telah menyelamatkannya dari pengorbanan hanya untuk menyelesaikan tugas terhormat menjadi ayah Muhammad (ﷺ).
Citra dan ingatan lebih lanjut datang secara kental dan cepat. Kita melihat Muhammad (ﷺ), Rasulullah, di masa kecilnya yang sedang berjalan di dekat Baitullah, dan kita melihat ia menjadi seorang lelaki yang beranjak dewasa, mengangkat Hajar Aswad dengan tangannya yang diberkahi untuk menempatkannya pada posisinya, mencegah perselisihan di antara berbagai suku dan kelompok. Kita melihatnya shalat di Masjidil Haram, melakukan ţawāf, berjalan mengitari Ka'bah, menyampaikan kotbah dalam pengabdiannya. Langkah-langkah yang ia (ﷺ) bawa ke sana, terlukis dengan jelas di depan mata kita. Jauh di alam pikiran mereka, para jemaah hampir melihat langkah-langkah ini seolah-olah sekarang sedang dilakukan olehnya. Kita juga melihat para Sahabat, saat berjalan mengelilingi Baitullah, Ka'bah, dan kita hampir mendengar saat mereka berbicara.

Haji adalah sarana-didik yang diberkahi, yang memurnikan jiwa, menyucikan kalbu, dan mempertebal Iman seseorang. Sepanjang tata-ibadahnya dilakukan dengan sungguh-sungguh, orang-orang Muslim mendapatkan pelajaran yang mendalam dan bergerak dalam Aqidah, kepercayaan dan keyakinan; ibadah, tindakan penyembahan kepada Allah; dan akhlak, watak dan perilaku diri. Ini benar-benar sebuah institusi pembelajaran spiritual yang agung, yang memelihara dan menghasilkan individu yang dicirikan oleh Iman dan Taqwa; dan mata air yang diberkahi, yang diminum oleh hamba-hamba Allah yang sukses.
Haji merangkum seluruh aspek ibadah lainnya. Haji menggabungkan tiga unsur dasar pilar Islam yang bersifat lisan, ekspresi fisik dan finansial. Ibadah utama yang bersifat verbal atau intelektual. Syahadat itu untuk dipahami, dan sebagai ungkapan lisan, namun bukan tindakan fisik. Shalat, dan puasa di bulan Ramadhan adalah tindakan fisik. Juga ada tindakan ibadah yang menyangkut keuangan: zakat dan sadekah. Zakat adalah wajib, dan sedekah adalah amalan-amalan yang dianjurkan. Haji mencakup semua aspek ibadah ini. Aspek intelektual dan verbal diungkapkan dalam talbiyah. Mengucapkannya adalah ungkapan niat dan pembaharuan syahadat. Memasuki Islam hanya membutuhkan sekali mengucapkan Syahadat. Kemudian syahadatain ini diulang-ulang dalam setiap shalat, dalam haji, deklarasi ini diulang dari saat tercapainya miqat dan memasuki ihram. Terus diulang sampai Ka'bah terlihat, dan jika perjalanannya untuk berhaji, diucapkan sampai melontar Jumrah pada tanggal 10 Dzulhijjah. Hal ini jauh melebihi ekspresi ibadah lisan dan intelektual normal melalui Syahadat.

Aspek fisik haji adalah melaksanakan thawaf di sekitar Ka'bah dan sa'i antara Shafa dan Marwah. Ini seperti shalat dan puasa yang disediakan dalam lima pilar yang dilakukan dimanapun seorang muslim berada. Jarak antara Shafa dan Marwah sekitar 300 meter dan jarak itu ditempuh tujuh kali. Jarak thawaf bervariasi tergantung dari seberapa dekat dengan Ka'bah. Rasulullah (ﷺ), menyebut bahwa thawaf itu "Shalat", tapi tanpa ruku 'dan sujud. Inilah shalat sambil berjalan selain shalat lainnya yang dilakukan sepanjang haji.
Perjalanan haji memiliki aspek finansial yang jelas. Perjalanan berhaji cukup mahal. Hanya sejumlah kecil orang yang mampu membelinya. Di masa lalu, lebih murah, tetapi perjalanan sebenarnya lebih sulit, memakan waktu lebih lama dan lebih sedikit orang yang mampu menunaikannya dengan banyak faktor, salah satunya adalah tingkat kesukarannya.. Pergi berhaji dianggap sebagai perjalanan satu arah. Orang-orang mengucapkan selamat tinggal pada keluarga mereka, menulis surat wasiat, dll. Bagi banyak orang, inilah perjalanan satu arah.
Salah satu gagasan yang salah adalah bahwa ada yang beranggapan boleh mengemis agar dapat berhaji. Namun, ini tak dapat diterima. Mengemis itu haram dalam Islam. Pada dasarnya, jika seseorang tak memiliki dana untuk berhaji, maka tak wajib baginya untuk menunaikannya. Inilah persyaratan haji. Seorang ahli ibadah akan menunggu sampai Allah menyediakan dana untuknya agar pergi melaksanakan ibadah haji.
Haji menggabungkan semua elemen ibadah dalam Islam dan menggandakannya. Pahala Shalat di Makkah bernilai seratus ribu pahala shalat di tempat lain. Tapi ada dua penghargaan lain yang lebih besar. Yang pertama, Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Orang yang pergi berziarah ke rumah Allah tanpa melakukan tindakan tak senonoh atau ketidaktaatan kepada Allah akan kembali ke rumahnya sebagai orang yang suci dari dosa seperti pada hari ibunya melahirkannya." Muslim kembali dari haji akan bersih dari dosa sperti hari ia dilahirkan. Inilah hadiah terbesar yang difoukuskan jemaahnya..
Ketika seseorang masuk Islam, seluruh dosa sebelumnya dihapuskan. Bagaikan memulai dari hari ia dilahirkan. Juga, hijrah menghapus apa yang terjadi sebelumnya. Berhijrah karena Allah, meninggalkan tempat dimana Islam tak dapat dikerjakan; meninggalkan tanah air atau tempat tinggal untuk pergi ke tempat lain semata-mata untuk mengerjakan Islam dengan lebih baik. Itulah hijrah yang diucapkan Rasulullah (ﷺ). Bila selesai, hijrah menghapus dosa-dosa yang terjadi sebelumnya, karena hijrah itu tak mudah dilakukan dan membutuhkan komitmen iman yang kuat.
Rasulullah (ﷺ) berkata, "Dan haji menghapus apa yang terjadi sebelumnya." Kesempatan untuk mendapatkan pahala penyucian dari dosa itu, dimulai dari keadaan yang bersih bagaikan anak kecil yang terbebas dari dosa, itulah peruntukan bagi sesiapa yang melaksanakan haji. Ada pahala bagi mereka yang menerima Islam, dan ada pahala bagi mereka yang berhijrah. Pahala menghapus semua dosa sebelumnya ini dapat diakses. Allah Maha Penyayang. Dia tak membatasinya hanya kepada orang-orang yang bisa berhaji, karena sebagian besar umat Islam takkan bisa melaksanakan ibadah haji.
Manfaat utama kedua haji adalah apa yang Rasulullah (ﷺ) identifikasikan saat ia berkata, "Pahala bagi Haji yang diterima karena rahmat Allah (atau Haji Mabrur), tak lain adalah Firdaus." Inilah tujuan akhir dari orang beriman. Jalan masuk ke surga dapat diakses oleh masing-masing dan setiap Muslim.
(Bagian 2)
English 
*) Penghargaan untuk Sabyan