Kamis, 18 Agustus 2022

Apa yang dikatakan Semar pada Sadewa (1)

"Ketika menyebar berita di Jagad Wayang bahwa dua rasaksa, Kalantaka dan Kalanjaya—sebenarnya dua gandarwa, Citrasena dan Citrangganda yang dikutuk—bergabung dengan para Kurawa, Kuntidewi memohon kepada Batari Durga agar menghilangkan kedua rasaksa tersebut. Permohonan Kuntidewi bisa dikabulkan dengan syarat ia harus mengorbankan Sadewa. Awalnya, Kuntidewi menolak, namun Kali—dewi bertangan-sepuluh dan lidahnya terjulur seperti logo bibir dan lidahnya band the Rolling Stone, atas perintah Batari Durga, merasuk ke dalam tubuhnya, dan menyanggupi persyaratan itu," berkata Laluna usai mengucapkan Ta'awuz, Basmalah dan Salam.

Di Gandamayusetra, Sadewa—dicitrakan terampil dalam ilmu pedang dan astrologi, saudara kembar Nakula, putra Pandu dari Madrim dan semasa Perang Kuruksetra, membunuh banyak prajurit termasuk Sangkuni—diikat pada pohon randu. Ia ditemani oleh seorang lelaki berperawakan pendek, gemuk, berperut buncit, dan berpantat besar, bernama Lurah Janggan Smarasanta, juga dikenal sebagai Kyai Semar. Sembari menantikan apa yang bakal terjadi berikutnya, Sadewa bertanya kepada Kyai Semar, 'Yai, apa itu Bangsa?' Kyai Semar—bukan dari India dan tak ada jejaknya di dalam kitab Mahabarata, ia merupakan warisan nilai-nilai luhur Walisongo—tokoh jenius dan weruh sak durunge winarah—tahu sesuatu sebelum terjadi, serta disegani seantero jagad wayang lantaran—maaf—bau-kentutnya yang, alamaak ... sanggup meluluhlantakkan pasukan rasaksa, menjawab, 'Sepanjang sejarah, manusia telah membentuk kelompok dengan beragam kriteria yang digunakan untuk membedakan 'kita' dari 'mereka'.

Salah satu kelompok tersebut, ialah Bangsa. Bukti manusia membentuk masyarakat besar yang berbeda secara teritorial, dapat dicermati dari catatan tertulis pertama. Tulisan-tulisan peradaban Sumeria di daerah Sungai Tigris dan Efrat dari sekitar 2500 SM, mencatat kepercayaan yang membedakan 'saudara-saudara putra Sumeria', orang-orang dari 'benih' Sumeria, dari orang-orang asing. Selama abad ke-16 SM, orang Mesir menganggap diri mereka berbeda dengan para 'Asiatik' di Timur dan Nubia di Selatan. Dalam tulisan-tulisan Tiongkok awal dari periode Negara-Negara Berperang (481–221 SM) hingga Periode Qin dan Han (221 SM hingga 220 M), perbedaan dibuat antara apa yang dinamakan orang Cina superior, dan yang mereka pandang tak lebih sebagai manusia alien, Di dan Rohn. Dalam bagian kesepuluh kitab Kejadian, ada pengakuan pembagian wilayah dan linguistik umat manusia ke dalam apa yang disebut orang Israel kuno sebagai gôyim. Plato dan Aristoteles membagi umat manusia antara Hellenes dan barbaroi, orang-orang barbar dari Asia Kecil.

Kecenderungan lain yang ditunjukkan manusia, tatkala mereka turut dalam kegiatan dimana lepas dari pandangan siapa orang tua mereka, tempat kelahiran mereka, atau bahasa apa yang mereka pakai. Kegiatan-kegiatan ini, tidaklah menegaskan perpecahan dalam kemanusiaan, melainkan menyatukan umat manusia. Misalnya, para ilmuwan peduli dengan pemahaman fakta-fakta fisik alam semesta, seperti sifat cahaya. Cahaya itu sendiri, bukanlah bahasa Inggris, Prancis, atau Jerman; dan tak ada metode ilmiah Inggris, Prancis, atau Jerman. Yang ada hanyalah, Ilmu. Berbicara tentang metode ilmiah yang dianggap rasial atau nasional, seperti ketika Nazi bersikeras bahwa ada 'ilmu Arya', hal ini mengkhianati karakter sains dengan memperkenalkan pertimbangan yang tak punya tempat dalam memahami aspek fisik alam semesta. Contoh penting lainnya dari kegiatan dan konsepsi terkait yang menyatukan manusia, ialah agama monoteistik dan perdagangan. Selanjutnya, sepanjang sejarah, imperium, seperti Romawi dan Utsmaniyah, telah berusaha menyatukan rakyatnya sebagai alternatif politik bagi bangsa-bangsa. Maka, di satu sisi seorang individu sering memahami dirinya sendiri sebagai anggota suatu bangsa tertentu, di sisi lain, seseorang dapat pula mengenali dirinya sebagai bagian dari Kemanusiaan.

Bangsa-bangsa muncul dari waktu ke waktu sebagai akibat dari berbagai proses sejarah. Sebagai konsekuensinya, merupakan usaha yang sia-sia bila berusaha menemukan saat yang tepat ketika negara tertentu muncul, seolah-olah itu produk manufaktur yang dirancang oleh seorang insinyur. Segala bangsa punya anteseden sejarah, baik suku, negara kota, atau kerajaan. Masyarakat yang secara historis lebih awal ini, merupakan komponen penting dalam pembentukan bangsa. Misalnya, bangsa Inggris muncul dari masyarakat Saxon, Angles, dan Normandia yang secara historis lebih awal. Namun, anteseden sejarah ini, tak pernah cuma sekedar fakta, sebab kunci dari keberadaan bangsa itu, kenangan yang dimiliki bersama di antara banyak individu yang menjadi anggota bangsa, tentang masa lalu bangsanya, termasuk tentang masyarakat sebelumnya.Kenangan ini, juga membentuk bagian dari konsepsi yang dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri. Ketika pikiran individu berkembang dalam berbagai konteks, seperti keluarga atau lembaga pendidikan yang berbeda, ia mencari tradisi yang beragam dan berfluktuasi, yang mudah diakses bila diperlukan. Anak belajar, misalnya, berbicara dalam bahasa bangsanya dan apa artinya menjadi anggota bangsa itu, sebagaimana diungkapkan melalui adat dan hukumnya. Tradisi-tradisi ini, menjadi bagian dari pemahaman individu tentang dirinya. Manakala tradisi-tradisi yang membentuk bagian dari konsepsi diri seseorang, dibagikan oleh individu lain sebagai bagian dari konsepsi diri mereka, maka seseorang terkait dengan individu lain tersebut, dan menyadari hubungan tersebut. Relasi itu sendiri, semisal tinggal di wilayah geografis yang sama atau berbicara dalam bahasa yang sama, itulah yang dimaksud dengan istilah 'kesadaran kolektif.'
Ketika individu-individu tersebut, tak semata berpartisipasi dalam tradisi yang sama, melainkan memahami pula diri mereka, berbeda dari mereka yang tidak, maka ada keyakinan bersama, yang menunjuk diri sendiri, yang disebut 'kesadaran-diri kolektif', yaitu budaya yang khas. Kepemilikan-kepemilikan atau sifat-sifat tradisi diakui, yang membedakannya dari yang lain; semua ini, batas-batas hubungan sosial yang memungkinkan kita untuk membedakan 'kita' dari 'mereka'. Mereka yang menerima, dan dengan demikian berpartisipasi dalam, semisal, tradisi eksodus Israel dari Mesir, membedakan diri mereka dari mereka yang tidak. Mereka yang menyembah dewi matahari Jepang, Amaterasu, membedakan diri mereka dari mereka yang tidak. Mereka yang berbahasa dalam satu bahasa, memahami dirinya berbeda dari mereka yang berbicara dalam bahasa yang berbeda. Jadi, BANGSA itu, HUBUNGAN SOSIAL KESADARAN-DIRI KOLEKTIF.
Bangsa terbentuk pada seputar keyakinan bersama yang menunjuk diri sendiri, yang punya semacam struktur. Namun, bangsa terbentuk di sekitar tradisi bersama yang tak semata tentang masa-lalu yang khas, melainkan masa-lalu yang terletak secara spasial. Bangsa itu, hubungan sosial dengan kedalaman temporal dan wilayah yang dibatasi. Jika seseorang menganut agama monoteistik dunia seperti Kristen atau Islam, maka ia dapat memahami dirinya sendiri dalam kerangka persaudaraan universal. Namun, inti dari keberadaan bangsa ialah kecenderungan umat manusia membentuk masyarakat yang berbeda secara teritorial, yang masing-masing terbentuk di sekitar tradisi kesinambungan budayanya sendiri. Bangsa itu, hubungan teritorial kesadaran diri kolektif dari durasi aktual dan imajiner.
Bangsa merupakan pula komunitas kekerabatan, khususnya komunitas kelahiran yang terbatas, luas secara teritorial, dan mendalam secara temporal. Kekerabatan merujuk pada garis yang dapat dilacak atau hubungan keturunan biologis, misalnya seorang anak terkait dengan orang tuanya, sebab anak tersebut, diakui sebagai keturunan mereka melalui kelahiran. Hubungan keturunan yang lebih luas, juga dirasakan, menghasilkan, misalnya, pengakuan bibi, paman, dan sepupu. Istilah 'komunitas' mengacu pada tingkat kesadaran diri individu sedemikian rupa, sehingga seseorang mengenali dirinya sendiri sebagai kebutuhan dan terus-menerus berhubungan dengan orang lain, seperti yang terjadi, misalnya, melalui kelahiran.

Manusia menarik perbedaan antara anak-anak mereka sendiri dan anak-anak orang lain. Seseorang, biasanya, tak menyayangi anak orang lain seolah mereka itu, anaknya sendiri. Dan seseorang, biasanya, tak menyayangi bangsa lain seperti bangsa sendiri. Keterbatasan terhadap pengakuan, dan cinta, yang dipahami sebagai milik sendiri, merupakan konsekuensi dari keasyikan dengan kelanjutan diri, baik komponen biologis maupun kulturalnya. Cinta yang dimiliki seseorang bagi bangsanya disebut dengan istilah 'PATRIOTISME.'
Istilah 'cinta' yang banyak digunakan sebagai ungkapan keterikatan yang dimiliki individu terhadap bangsanya, tak sepenuhnya memuaskan, lantaran kita juga menggunakan istilah yang sama guna menggambarkan keterikatan yang dimiliki seseorang dengan kekasihnya, anak-anak, teman, dan Tuhannya. Memang, ada individu yang benar-benar mencintai seluruh umat manusia. Apa yang ditunjukkan oleh penggunaan istilah yang begitu luas bahwa, dalam setiap contoh ini, individu mengesampingkan, atau 'melampaui', kepentingan dirinya sendiri demi orang lain. Namun, memahami dengan benar karakter keterikatan tersebut, hendaknya memperhitungkan, tak semata tindakan transendensi-diri yang umum untuk semua keterikatan ini, melainkan pula objek yang berbeda dari keterikatan tersebut. Dengan demikian, akan lebih membantu guna membedakan cinta terhadap kekasih atau anak-anak, dari 'cinta' untuk bangsa sendiri dengan memahami patriotisme sebagai tanda keterikatan kesetiaan kepada komunitas teritorial. Seringkali, ada aspek yang berbeda pada keterikatan patriotik yang dibentuk seseorang terhadap bangsanya, sebagai konsekuensi dari berbagai faktor yang terlibat dalam pembentukan sejarah suatu bangsa tertentu. Seseorang mungkin, misalnya, setia kepada bangsanya karena hukumnya, atau kebiasaannya, atau agamanya. Biasanya banyak dan berbeda, bahkan bertentangan, pandangan bangsa yang sesuai dengan faktor-faktor yang berbeda ini. Namun, fakta tak terhindarkan bahwa individu sering menunjukkan preferensi untuk sesama warga negaranya.
Preferensi ini, semestinya tak berupa prasangka atau kebencian, terhadap mereka yang bukan anggota suatu bangsa. Patriotisme tak perlu menafikan keragaman dan perbedaan pengejaran oleh anggota bangsa. Ia tak perlu menolak perbedaan konsepsi bangsa yang dianut oleh para anggota bangsa, seperti yang sering dilakukan oleh nasionalisme. Memang, sejauh patriotisme menyiratkan komitmen terhadap kesejahteraan negara seseorang, ia memberikan dasar untuk menyelesaikan perbedaan, yang melibatkan kompromi yang masuk-akal, antara individu anggota bangsa dan konsepsi mereka yang berbeda tentang apa yang seharusnya menjadi bangsa. dari kepedulian menggalakkan kesejahteraan. Proses menyelesaikan perbedaan-perbedaan ini, melalui kompromi politik. Kepedulian terhadap kesejahteraan bangsa, yang mencakup kesediaan berkompromi, merupakan inti dari kesantunan di antara anggota bangsa yang memungkinkan berpolitik.
Manakala seseorang membagi dunia menjadi dua kubu yang tak dapat didamaikan dan berperang– bangsanya sendiri bertentangan dengan semua negara lain–dimana yang terakhir dipandang sebagai musuh bebuyutannya, maka, berbeda dengan patriotisme, ada ideologi nasionalisme. Nasionalisme menolak keberadaban dan perbedaan yang ditolerirnya, dengan berusaha menghilangkan segala pandangan dan kepentingan yang berbeda, demi satu visi tentang apa yang telah dan bagaimana seharusnya bangsa itu. Misalnya, nasionalisme Prancis mungkin terdiri dari keyakinan bahwa menjadi anggota yang baik dari bangsa Prancis, seseorang harus membenci segala sesuatu yang berbahasa Inggris dan Jerman; dan siapa pun tak seperti itu, bukanlah orang Prancis yang sebenarnya.
[Bagian 2]