Senin, 15 Agustus 2022

Percakapan Yudhis dan Juna (1)

“Para Founding Parents kita, berusaha melindungi kita dari ancaman yang telah mereka kenali, agar kita bisa belajar dari pengalaman mereka,” Laluna memulai pembicaraan, seperti biasa, usai menyapa dengan Basmalah dan Salam. Dan malam itu, aku melihat dua importir muda, Arjuna—panggilan akrabnya, Juna—dan Yudhistira—akrabnya, Yudhis—sedang berbincang-bincang di dalam sebuah pesawat-terbang, yang menuju Paris.

'Saat orang mendengar kata 'ideologi',' kata Yudhis, 'mereka sering mengasosiasikannya dengan 'isme,' semisal komunisme, fasisme, atau anarkisme. Semua kata tersebut, memang menunjukkan ideologi, namun perlu dibunyikan nada peringatan. Sebuah 'isme' itu, istilah familiar yang agak menghina—di Amerika Serikat, bahkan 'liberalisme' dinodai oleh sentuhan ini.'
'Namun, tak setiap 'isme' itu, sebuah ideologi—coba pertimbangkan 'optimisme' atau 'witticism,' tanggap Arjun, 'dan tak setiap ideologi, dijatuhkan dari ketinggian ke dalam masyarakat yang tak menginginkannya, menggilas pandangan dan keyakinannya, yang sebenarnya dipegang dan digunakan sebagai senjata melawan orang-orang yang tak mempercayainya.'
'Kita memproduksi, menyebarkan, dan mengkonsumsi ideologi, sepanjang hidup kita,' kata Yudis, 'disadari atau tidak. Jadi, ya, kita semua, para ideolog, lantaran kita punya pemahaman tentang lingkungan politik dimana kita menjadi bagiannya, dan punya pandangan tentang kelebihan dan kekurangan lingkungan tersebut.'

'Bayangkan,' imbuh Juna, 'dirimu sedang berjalan-jalan di pusat kota. Saat berbelok di sebuah tikungan, engkau berpapasan dengan sekelompok besar, orang yang berdemo dengan penuh semangat, mengibarkan spanduk dan meneriakkan slogan, dikelilingi oleh lelaki berseragam, yang berusaha menahan pergerakan kelompok tersebut. Seseorang berbicara melalui mikrofon dan orang-orang banyak yang bersorak. Reaksi langsungmu ialah, memecahkan kode situasi itu, dengan cepat. Haruskah engkau menghindar, atau bergabung, atau sebaiknya, mengabaikan saja? Masalahnya terletak pada decoding. Untungnya, sebagian besar kita, sadar atau tidak, punya peta yang menempatkan peristiwa yang kita amati dan menafsirkannya untuk kita.
Bila engkau seorang anarkis, peta tersebut mungkin berkata, 'Ekspresi ini, kehendak populer yang spontan, contoh tindakan langsung yang perlu kita ambil guna merebut kendali politik dari elit yang menindas dan mendikte. Kekuasaan harus terletak pada rakyat; pemerintah bertindak untuk kepentingan mereka sendiri, yang bertentangan dengan kehendak rakyat.'
Jika engkau seorang konservatif, sang peta mungkin bilang, 'Peristiwa inilah yang, punya potensi bahaya. Sekumpulan individu, terlibat dalam kekerasan demi mencapai tujuan yang telah gagal, atau akan gagal mereka capai melalui proses politik. Perilaku tak sah dan ilegal ini, harus dibendung oleh cengkeraman polisi yang kuat terhadap situasi tersebut. Mereka perlu dibubarkan dan, jika agresif, ditangkap dan diadili.'
Dan andai engkau seorang liberal, barangkali akan berkata, 'Bagus sekali! Kita harus bangga dengan diri kita. Ilustrasi sempurna inilah, sifat pluralis dan terbuka masyarakat. Kita menghargai pentingnya perbedaan pendapat; dalam realitasnya, kita mendorongnya melalui contoh kemerdekaan berbicara dan kemerdekaan berserikat, seperti demonstrasi yang sedang kita saksikan.'

'Ideologi', kata Yudhis, 'memetakan dunia politik dan sosial untuk kita. Tanpanya, kita tak dapat melakukannya, sebab kita tak dapat bertindak tanpa memahami dunia yang kita huni. Masuk-akal, katakanlah demikian, tak selalu bermakna masuk dalam pikiran yang sehat. Namun ideologi, seringkali mengandung banyak common sense—nalar yang wajar. Bagaimanapun juga, fakta politik tak pernah berbicara sendiri. Melalui ideologi kita yang beragam, kita memberikan interpretasi yang bergandengan tentang apa arti fakta. Setiap interpretasi, setiap ideologi, itulah salah satu contoh pemaksaan suatu pola—suatu bentuk struktur atau organisasi—tentang bagaimana kita membaca (dan salah-membaca) fakta politik, peristiwa, kejadian, tindakan, tentang bagaimana kita melihat gambar dan mendengar suara.
Istilah 'ideologi' berasal dari bahasa Prancis idéologie, yang berasal dari gabungan bahasa Yunani: idéā (ἰδέα, 'gagasan, pola'; dekat dengan pengertian gagasan Lockean) dan -logíā (-λογῐ́ᾱ, 'studi tentang'). Pencipta awal istilah 'ideologi', Antoine Destutt de Tracy, seorang aristokrat dan filsuf Pencerahan Prancis, yang menulis setelah Revolusi Prancis, bermaksud menciptakan cabang studi yang tepat yang berkaitan dengan gagasan. Ia berusaha membangun cita-cita pemikiran dan tindakan, atas dasar yang dapat diverifikasi secara empiris, darimana kritik-ide dan sains-ide, akan muncul.

'Dalam membahas ideologi,' Juna berkomentar, 'umumnya, kita bakalan lebih banyak merujuk pada ideologi politik dan ideologi sebagai perangkat-politik. Saat ideologi digunakan dalam pengertian lain—seperti ideologi kaum impresionis a la Jane Austen, seorang novelis Inggris yang dikenal terutama oleh enam novel istimewanya, yang menafsirkan, mengkritik, dan mengomentari bangsawan Inggris pada akhir abad ke-18. Plot Austen sering mengeksplorasi ketergantungan perempuan pada pernikahan dalam mengejar status sosial dan keamanan ekonomi yang menguntungkan—kata tersebut dipinjam atau digeneralisasi guna menunjukkan gagasan yang jauh lebih kabur tentang ide-ide budaya yang memandu sebuah bidang atau mengarahkan praktisi tertentu. Satu masalah dengan istilah 'ideologi' bahwa terlalu banyak penggunanya yang menghindar dari menyuntikkannya dengan makna yang cukup tepat, berguna, dan mencerahkan.
'Ideologi politik, jika dipelajari lewat lensa konseptual sejarah, dimulai dengan asumsi bahwa ideologi terlepas dari definisi. Friedrich Nietzsche memberikan argumen untuk asumsi ini, dengan pernyataannya bahwa apa yang dapat didefinisikan, tak memiliki sejarah. Dalam hal ini, dengan sungguh memandang Nietzsche, bermakna bahwa sesuatu yang punya sejarah, tak dapat didefinisikan. Ideologi sebagai sebuah konsep, sesungguhnya punya sejarah.

Nah, mari kita lihat bagaimana konsep ideologi berkembang melalui lensa konseptual sejarah. Napoleon mengubah istilah ideologi dari ekspresi imajinasi akademis tentang sains-baru, yang mengeksplorasi bagaimana ide-ide sesuai dengan hukum menjadi konsep konflik-politik. Istilah tersebut, kehilangan konotasi filosofis-apolitisnya dan menjadi polemik dalam perdebatan publik. Secara khusus, ia menyerang ideolog terkemuka Antoine Louis Claude Destutt de Tracy, yang, dalam sebuah kuliah di Institut Nasional Paris pada tahun 1796, telah memperkenalkan istilah ideologi ke dalam bahasa filosofis.
Di AS, ada minat besar dalam debat Prancis tersebut. Ada keintiman yang luas dengan kutukan ideolog Napoleon dan itu dikomentari dalam debat publik Amerika. Thomas Jefferson dipengaruhi oleh para ideolog dan berkorespondensi dengan Destutt de Tracy dan yang lainnya. Ia mendistribusikan karya-karya mereka. Akan tetapi, ia lebih tertarik pada garis besar dan desain ekonomi dan politiknya tinimbang teori-idenya.
John Adams, selanjutnya, dipengaruhi oleh pandangan Napoleon. Ia menyebut Ideologi Proyek', menulis dalam sebuah surat kepada Thomas Jefferson pada tahun 1813. Memang, Adams mengacu pada semua orang yang memimpikan konstitusi yang lebih baik di masa-depan—Franklin, Turgot, Rochefoucauld, Condorcet, dan sebagainya—sebagai para 'Idiolog.'

Penafsiran ulang terhadap konsep ideologi yang digagas oleh Napoleon terlihat dalam perdebatan di Jerman, bahkan lebih awal dibanding di Amerika Serikat. Pada tahun 1804 sebuah rujukan dibuat demi fakta bahwa di seluruh perdebatan Perancis, istilah protestan, filsuf, ensiklopedis, ekonom, prinsipal, ideolog, illuminist, demokrat, jacobine, teroris, dan homme de sang, digunakan bersinonim. Beberapa tahun kemudian, Ideologe digunakan secara tajam dan berpolemik, 'Cossack dan ideolog, bajingan dan biarawan ekstrem yang tidak diberkahi, yang tak adil terhadap kaum muda'. Namun, baru sekitar tahun 1830, ideologi lebih sering digunakan sebagai makian politik. Kaum konservatif dianggap sebagai ideolog mereka, yang ingin mewujudkan prinsip-prinsip Revolusi Prancis dan memperjuangkan liberalisasi, kedaulatan rakyat, kebebasan pers, emansipasi Yahudi, dan konstitusi. Para Ahli teori politik disebut sebagai visioner, ngotot berprinsip, profesor doktriner, dan ideolog. Pada bulan Maret, 1848, Raja Wilhelm I dari Württemberg, menyebut anggota tertentu dari pemerintahannya sebagai 'ideolog dan pendukung prinsip' dan majelis di Gereja Paulus di Frankfurt, dicurigai punya kesombongan profesor yang doktriner. Perdana Menteri Prusia, Otto von Manteuffel, mencirikan berbagai upaya untuk mewujudkan penyatuan Jerman, hak-hak dasar warga negara, dan konstitusi saat iitu, sebagai upaya tak berdaya dari para ideolog Jerman, yang tak mampu mempertimbangkan prasyarat politik yang sebenarnya. 'Mereka takkan pernah mencapai apapun, karena mereka menjadikan ide-ide mereka terlebih dahulu, berpegang teguh padanya, dan membenturkan kepala mereka ke dinding.'
Tak semata kaum konservatif yang mengkritik para ideolog. Kritik juga datang dari kaum sosialis. Ferdinand Lassalle menyebut semua orang yang pernah menjalani hidup mereka dalam buku dan digunakan untuk eksis, serta mengorbankan segalanya, demi ide dan pemikiran' ideolog. Pandangan Lassalle ialah, jika di balik klaim kebebasan tak ada kepentingan material, tak ada kepentingan kelas, maka ide hanyalah impian segelintir ideolog dan emosionalis. Lassalle mendefinisikan ideologi sebagai pemikiran yang tak realistis.

Pada tahun 1840-an Karl Marx dan Friedrich Engels memberikan kontribusi pertama mereka pada perdebatan ideologi. Dalam Ideologi Jerman 1845/46, mereka mengembangkan kritik fundamental terhadap kaum Hegelian muda, khususnya Ludwig Feuerbach. Dalam waktu yang panjang, isi kritik ini tetap terfragmentasi dan agak buram, sebab teksnya diterbitkan dalam kutipan substansial hanya pada tahun 1903/04 dan tak muncul secara penuh sampai tahun 1932. Sejak sekitar tahun 1890 dan seterusnya, lebih dari setengah abad setelah penulisan dari teks aslinya, Engels berusaha mengklarifikasi apa yang dianggapnya sebagai kesalahpahaman. Marx dan Engels mengakarkan analisis mereka pada ketegangan-ketegangan yang berkaitan dengan ideologi seperti yang muncul dalam debat Jerman sejak tahun 1830-an. Jadi, di satu sisi ada pandangan Napoleon tentang ideologi sebagai pelarian yang tak realistis dan lamunan filosofis, dan, di sisi lain, argumen Heine dan yang lainnya bahwa penghinaan Napoleon terhadap para ideolog itu. salah dan ironis, mengingat fakta bahwa ia telah tersandung. pada ideologi selama perang pembebasan Jerman. Pada tahun 1841, Engels menulis, misalnya, bahwa mereka yang menolak istilah itu, tak mau tahu bahwa apa yang mereka sebut teori dan ideologi, telah diubah menjadi darah rakyat dan telah diresapi dengan kehidupan, yang bermakna bahwa 'bukan kita, melainkan mereka. [yang menolak konsep tersebut] salah dalam utopia teori.'

Menurut Marx dan Engels, romantisme dan idealisme menimbulkan masalah besar bagi pemahaman Jerman tentang ideologi yang muncul pada abad kesembilan-belas, dan telah menyebabkan asumsi yang keliru tentang keberadaan ide yang independen. Para filsuf menyamarkan realitas dalam perjuangan mereka melawan frasa, alih-alih mencoba berdamai dengan dunia nyata. Marx dan Engels melabeli aktivitas filosofis ini sebagai ideologi. Dalam metafora yang masyhur, mereka menyatakan bahwa ideologi dan realitas, ibarat penggambaran terbalik di kamera obscura atau di retina mata. Mereka berpendapat bahwa, kaum Hegelian muda tunduk pada ilusi bahwa imajinasi, pemikiran, dan konsep menentukan kehidupan dan sejarah umat manusia. Mereka menjungkirbalikkan konsep ideologi dan berargumen bahwa mereka mendasarkan langkah ini pada analisis ilmiah, yang bertentangan dengan ideologi.

Dari tahun 1890-an, tren interpretatif baru, yang dikembangkan khususnya oleh para pemikir sosial demokrat, mempertahankan perbedaan antara materi dan ide, dasar dan suprastruktur pada prinsipnya, tetapi lebih jauh dari Marxisme, melihatnya sebagai dimensi yang saling terkait. Sekitar tahun 1900, konsep ideologi melampaui asosiasi Marxisnya, menjadi istilah umum dan agak bernilai-netral dalam filsafat dan sosiologi. Nilai-nilai ditanamkan melalui amandemen seperti sosialis, liberal, konservatif, nasionalistik, salah dan benar. Pengenceran Marxisme oleh sosial demokrat, austromarxis, dan lain-lain sejak tahun 1890-an dan seterusnya, yang tak menghalangi koeksistensi Marxisme versi ortodoks dan bahasa kelas, secara bertahap menghasilkan pemahaman baru. Pandangan bahwa manusia itu, produk dari lingkungannya, semakin meluas. Seperti yang dikatakan Marx, 'manusia membuat sejarahnya sendiri, namun mereka tak membuatnya sesuka hati; mereka tak membuatnya dalam keadaan yang dipilih sendiri, namun dalam keadaan yang sudah ada, diberikan dan ditransmisikan dari masa lalu.'
[Bagian 2]