Senin, 29 Agustus 2022

Goro-goro

“Kata bijak bukanlah milik pribadi siapapun. Kata-kata bijak tak semata diucapkan oleh orang bijak atau mereka yang punya gelar di depan atau di belakang namanya. Setiap manusia, punya cara dan gayanya sendiri dalam mengeskpresikan rasa. Ada yang mengungkapkannya secara langsung, ada pula yang menggunakan perumpamaan-perumpamaan guna menyampaikan argumen atau pesan mereka secara efektif dan dengan cara yang lebih baik kepada pendengarnya," sang Purnama membuka sebuah kasus sesaat usai menyampaikan Basmalah dan Salam.

"Jagad Pewayangan, paling sering mempergunakan perumpamaan. Tak mengherankan, sebab citra mengenai wayang, sangat membumi dan khas, menarik bagi para penyimaknya.
Nah, pernah diceritakan, seisi dunia mengalami gelap-gulita, lautan berkarau, gelombang setinggi gunung, naik menerjang daratan. Lautan jadi kering sehingga semua ikan dan segala penghuni samudera, tersengat oleh panas sang mentari; tak kuasa menahan derita, merasa kehilangan tempat berlindung. Gempa yang maha dahsyat, tujuh kali sehari, tiada henti, gunung meletus, memuntahkan lahar, menimbulkan tanah longsor, laksana bumi pecah seketika itu juga, lantaran dahsyat dan hebatnya gempa.
Air laut menembus daratan seakan hendak menenggelamkan seluruh permukaan bumi. Gelombang samudera menghantam pantai, bergulung-gulung menelan apa yang dijumpainya, meluluhlantakkan apa yang terdapat di daratan. Bencana dan malapetaka mengamuk, sehingga, baik segala bangsa unggas di angkasa maupun satwa di daratan, semuanya merasa sangat menderita karena sulitnya mencari makanan. Mati, lumat, lebur, kering, gersang, tandus, punahlah segala flora. Lahan menjadi tandus, bahkan menganga menjadi tempat persembunyian satwa berbisa. Hewan buas penghuni hutan, lari tunggang-langgang dan pontang-panting masuk ke pedesaan, sehingga penduduk-desa menjadi cemas dan sedih, tercekam oleh ketakutan yang tak terperikan.

Para resi tak berdaya, tak mampu mengucap mantra, tak sanggup lakukan samadi, semua terkena bencana, bahkan pikiran menjadi kusut, serbah-serbih, mereka berseru, 'Inilah pertanda akan adanya perubahan zaman, inilah perubahan dari pathet 6 menjadi pathet 9, inilah suatu akibat dari suatu sebab, inilah Goro-goro!'
Merekapun mencari perlindungan pada raja, namun sang raja sendiri, sangat prihatin oleh musibah dan bencana yang menimpa negeri. Wabah penyakit merajalela, hama tanaman menyerang lebih ganas, hampir tiada tanaman yang hidup, sehingga ada bahaya kelaparan lantaran kekurangan pangan. Sang raja telah putus asa, ia segera meminta bantuan para dewa agar segera membebaskan dunia dari kerusuhan dan sedia melenyapkan Goro-goro.

Para dewa pun makin baper dan galau. Walau maut tak kuasa menggapai ubun-ubun mereka, namun rasa bingung menghimpit dada, mereka cuma bisa mengurutnya, 'Napaseh ini terjadi?' Maka, dengan masygul dan iba, mereka turun ke dunia, mencoba menolong para umat yang jujur dan berbudi-luhur. Namun Goro-goro menolak lupa, bahkan jadi rese banget. Saking hebat dan dahsyatnya, malapetaka merajalela, sehingga mampu menjangkau dan menghancurkan Kahyangan Suralaya. Terguncanglah Balai Marcukunda, tanduk lembu Andini jadi retak. Ekor Naga Anantaboga mengibas tiada henti.
Gapura Selamatangkep runtuh, jebol dan roboh karenanya. Kawah Candradimuka teraduk, mendidih, meluapkan lava, banjir lahar-panas bercampur lumpur-pekat, menghantam dan menerjang Kahyangan sehingga seluruhnya porak-poranda. Para widadara dan widadari, dewa-dewi, geger mencari perlindungan, mengungsi kepada Sang Hyang Rudrapati.

Namun sesuatu yang aneh terjadi. Ditengah huruhara dan malapetaka itu, terdapat dua bocah katai, sedang asyik bermain tanpa memperdulikan adanya hiruk-pikuk yang terjadi. Yang seorang membawa tempurung-kelapa berlobang tiga, sebagai tempat makanan, dan dengan juteknya, ia bersikap seolah ia berani dan mampu mengeringkan air samudera. Yang seorang lagi, memegang sebatang sapu lidi, dan dengan ketus pula, ia bersikap seakan sanggup dan mampu menggiring angin dan menyapu bersih seisi dunia. Sesaat dikala keduanya berhadapan, mereka saling berebut kebenaran, masing-masing mencari pembenarannya sendiri, sedemikian rupa hingga menambah dahsyatnya Goro-goro.
Setelah memuncak, Goro-goro mereda. Lalu, muncullah seberkas lembayung kemerahan, yang megah nan sakral. Paralel dengan lenyapnya sinar tersebut, maka di ufuk Timur, muncullah Insan kamil, dewa manusia. Ia berdiri laksana tugu batu, duduk laksana bukit pasir di tepi laut. Ia diam tak bergerak sedikitpun. Duhai, siapakah dirinya? Ia yang tampak bagaikan nyiru, bulat memancarkan cahaya laksana bulan purnama? Ia serba maya. Tak dapat disebut lelaki lantaran berpayudara montok seperti seorang wanita. Tak pula ia dapat dikatakan sebagai seorang wanita, sebab rambutnya berkuncung seperti oppa Korea, namun ia bukanlah non-biner. Teramatlah sulit melukiskannya. Itulah Kyai Lurah Badranaya alias sang Hyang Asmarasanta alias Kyai Semar alias sang Hyang Ismaya. Kemunculannya demi menebas Kebatilan dan menegakkan Keadilan.

Batara Guru menetapkan bahwa di Bumi, ada suatu kejadian yang ekstra-ordineri. Lantas, apa yang sebenarnya terjadi? Dari berkas-berkas laporan dan gugatan, terinformasi bahwa ada seorang wanita muda yang sedang bertapa olah-rasa di tengah laut. Oleh karena itu, dengan mengendarai Lembu Andini, Batara Guru turun ke tekapeh guna merekonstrukksi kejadian sebenarnya. Di atas laut, ia melihat Dewi Uma yang molek, sedang bersemadi dengan khusyuknya, sehingga membuat sang Batara, salting; apalagi saat ngelirik betis-mulus sang dewi yang tokcer, begitu menggoda, tapi selanjutnya, terserah Anda. Naah, disinilah asal-muasal terjadinya, 'Kama Salah,' benih malapetaka, dan lahirnya sang Kala yang bangpak."

Sang Purnama memutahirkan perumpamaannya dengan berkata, "Sejak saat itulah, dunia tercekam oleh gonjang-ganjing: ’rasa takut, rasa resah, rasa tak pasti, rasa ragu' atau apa yang disebut 'Kolotidho' atau Zaman Keraguan. Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Ir. Sri Mulyono, Wayang dan Filsafat Nusantara, CV Haji Masagung