Jumat, 05 Agustus 2022

Komodo dan Para Pengunjung Bar

“Hukum dan Etika itu, usaha manusia, dan ada keterkaitan di antara keduanya,” Laluna mengangkat sebuah bahasan, sehabis mengucapkan Basmalah dan Salam. "Kata Etika berasal dari kata Yunani, ethos, yang bermakna, kebiasaan. Kata ethos, diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadi mos, jamaknya, mores, yang berkaitan dengan Moral. Keduanya bermakna yang sama, yang berkaitan dengan perangai normatif. Seiring waktu, konsep-konsep ini telah berkembang, dan moralitas, sekarang merujuk pada totalitas aturan watak yang diterima, dan etika, mengacu pada refleksi kritis tentang moralitas, sistematisasi moralitas dan perumusan prinsip-prinsip moral.
Etika dapat dilihat sebagai penjabaran moral secara teoretis dan sistematis, namun pada saat yang sama, etika itu, moralitas dalam tindakan: praktik moralitas melalui perangai manusia. Banyak Hukum berlandaskan Moral, berisi aturan perangai atau watak yang pantas diterapkan dalam interaksi manusia. Tak mengherankan, banyak norma moral telah terekspresikan dalam norma-norma Hukum. Hal ini, jelas berlaku dalam hukum Pidana, melarang pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, dll, akan tetapi, penting disadari bahwa norma-norma hukum ini, berasal dari standar moral, dan bukan sebaliknya. Standar moral ini ada, terlepas dari adakah refleksinya dalam hukum tertulis. Terdapat aturan moral, yang belum nampak ekspresinya dalam hukum tertulis. Melanggar aturan-aturan ini, bisa saja tak dapat disanksi secara hukum, akan tetapi, masyarakat masih dapat meresponsnya dengan kecaman.
Hukum, sebagian besar merupakan cerminan dari standar moral masyarakat. Standar moral, walau tak tetap, namun berfluktuasi dan berkembang dari waktu ke waktu—misalnya, legalisasi aborsi selama setengah abad terakhir—dan antar budaya—contohnya, pembunuhan demi kehormatan."

Kemudian, Laluna bertutur, "Malam itu, malam yang indah, dan aku pergi ke sebuah pulau untuk menyaksikan kadal terbesar di Bumi. Dan cahayaku terfokus pada seekor komodo, yang berjalan tertatih-tatih masuk ke dalam sebuah bar dengan kakinya, berbalut perban. Salah seorang pengunjung bar melihatnya dan bertanya kepada yang lain, 'Gaez, lu pade, suka nggak ama komodo?' Yang lain menjawab, 'Iya dong, komodo pan dilindungin!' Sang penanya bertanya lagi, 'Trus, yang lu pade nggak suka, apa?' Yang lain nyeletuk, 'Komedo!' 
Mengabaikan para pengunjung, sang komodo bergegas menuju bartender, namun sebelum ia sempat mengucapkan sepatah kata, sang bartender menggelengkan kepala dan berkata, 'Jangan nanya gua, lu tanya tuh nyang di sono, die banyak tahu!' menunjuk seorang lelaki, yang sedang duduk sendirian.
'Dengerin tuan-besar!' kata sang lelaki sebelum sang komodo mengucapkan sepatah kata. 'Aku punya cerita untukmu. Seorang ahli bedah, seorang insinyur, dan seorang politikus, sedang memperdebatkan profesi mereka, manakah yang tertua.
'Hawa dibuat dari tulang rusuk Adam,' kata sang ahli bedah, 'dan itu, pastilah prosedur pembedahan.'
'Ya,' balas sang insinyur, 'namun sebelum itu, ketertiban tercipta dari segala kekacauan—dan itu pasti, pekerjaan rekayasa.'
'Naaah kaan!' tanggap sang politisi dengan penuh kemenangan. 'Dan menurutmu, siapakah pembuat kekacauan itu?'

Mendengar ini, sang Komodo cuma menatap diam, dan sebelum ia sempat mengucapkan sepatah kata, seorang lelaki kurus-kerempeng, berjalan masuk ke bar, mengenakan kacamata tebal dan setelan berkain polyester. Sang bartender, orang terkuat di situ dan ada taruhan satu juta perak di antara para pelanggan. Skenario taruhannya seperti ini : sang bartender akan memeras sebuah jeruk sampai seluruh jusnya, menetes ke dalam gelas, dan menyerahkan ampas buah jeruk tersebut, ke salah seorang pengunjung. Siapa saja yang mampu menghasilkan perasan setetes jus lagi, akan mendapatkan uangnya. Banyak orang yang telah mencoba, namun belum ada yang mampu melakukannya.
'Aku mau nyoba taruhannya,' kata sang lelaki kurus, dengan suara nyaring-melengking. Usai sorak-sorai pengunjung reda, sang bartender mengambil buah jeruk dan memerasnya. Ia menyerahkan ampas kulit-keriput kepada sang lelaki kurus. Namun tawa orang banyak, seketika berganti jadi sepi, saat sang lelaki kurus mengepalkan tinjunya, meremas kulit jeruknya, dan enam tetesan jusnya, mengalir ke dalam gelasnya. Saat kerumunan bersorak, bartender membayar sejuta dan kepoin sang lelaki kurus, apa pekerjaannya. Penebang kayukah, atau atlet angkat besikah, atau apa?' Ia menjawab, 'Aku kerja di kantor pajak.'

Seketika, pengunjung bar, berkerumun di sekelilingnya, dan bertanya, 'Mas mas, jelasin dong ke kite-kite, apa yang Mas tahu tentang pajak?' Setelah hiruk pikuk usai, sang lelaki kurus dengan tenang mulai menjelaskan, ''Pajak'—atau 'perpajakan'—itu, istilah yang perlu didefinisikan. Sulit mendefinisikan apa sebenarnya pajak itu. Misalnya, orang Mesir Kuno, memaksa rakyatnya, membeli minyak goreng baru yang dikenai pajak, dan tak memperkenankan daur-ulang minyak goreng bekas-pakai—sangat berlawanan dengan apa yang mungkin didorong saat ini. Pajak, rada-rada mirip seekor gajah—sulit ditentukan atau bahkan dijelaskan, tapi, engkau mengetahuinya manakala melihatnya. Frecknall-Hughes, melanjutkannya dengan mengutip beberapa dari beragam upaya pendefinisian. Menurut Oxford English Dictionary, 'Kontribusi wajib guna mendukung pemerintah, yang dikenakan pada orang, kepemilikan, pendapatan, komoditas, transaksi, dll.' Menurut Johnson, 'Pajak ialah pembayaran, yang diminta oleh otoritas, dari sebagian masyarakat, guna kepentingan keseluruhan. Dari siapa, dan dalam proporsi berapa, pembayaran semacam itu diperlukan, dan untuk apa penggunaannya akan diterapkan, hanya berhak dinilai kepada siapa pemerintah dipercayakan.' Menurut James dan Nobes, 'Pajak adalah pungutan wajib yang dibuat oleh otoritas publik, yang tak menerima imbalan apapun secara langsung.'
Penggunaan kata-kata seperti 'wajib' dan 'diminta' menunjukkan bahwa, kendatipun gagasan tentang pajak atau perpajakan tak diterima, yang mungkin menjadi bagian dari alasan mengapa penghindaran dan, bahkan pengelakan pajak, terjadi. Setidaknya, jelas bahwa pajak melibatkan orang atau entitas yang mentransfer pembayaran—yang mungkin tak selalu berupa uang, melainkan dapat berupa jenis properti lain—ke badan lain, pemerintah dalam definisi yang diberikan tersebut, meskipun mungkin tak selalu demikian; dan bahwa, sesuatu dapat diberikan sebagai imbalan, namun tak harus dikaitkan dengan kontribusi tertentu—definisi terakhir yang memperjelas bahwa pajak bukanlah jenis 'ongkos layanan yang diberikan'.

Logikanya, hukum pajak sebagai bagian dari hukum publik, seyogyanya pula dipengaruhi oleh konsepsi moral. Ide pajak, menimbulkan pertanyaan moral mengenai sifat pemerintah; hubungan antara pemerintah—negara—dan rakyat atau warganya; hak milik; tujuan perpajakan yang tepat; penggunaan kekuatan paksaan dalam memungut pajak dan menegakkan undang-undang perpajakan; pembagian beban pajak; dan, yang tak kalah pentingnya, penggunaan dan distribusi pendapatan pajak, termasuk metode yang dipilih untuk menentukan yang terakhir. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai pengaruh kelompok kepentingan khusus, keseimbangan antara hak kebebasan individu dan privasi, dan kepatuhan pemerintah dan persyaratan informasi, serta pembenaran moral yang mendasari upaya legislator dan pembuat kebijakan agar merestrukturisasi masyarakat, dan mengarahkan perilaku individu dan perusahaan.

Pemahaman kita tentang pajak, secara langsung berkaitan dengan pemahaman konseptual kita tentang negara; dimana pemahaman negara, telah berubah selama berabad-abad, begitu pula pajak. Itulah sebabnya, setiap teori perpajakan, tak dibiarkan beroperasi secara independen, dan harus dikembangkan dan diterapkan dalam filosofi politik yang lebih luas, yang secara inheren menjadi bagiannya.
Perbincangan normatif perpajakan, secara luas, menyangkut pembenaran perpajakan sebagaimana kebijakan pajak tertentu, yakni, jenis pajak apa yang dibenarkan secara moral, dan tanggapan perangai terhadap perpajakan, yaitu, kepatuhan sukarela penuh atau pembangkangan sipil dalam bentuk perlawanan pajak, dan tanggapan pemerintah terhadap ketidakpatuhan, melalui tindakan legislatif dan eksekutif penegakan hukum perpajakan.

Umumnya, alasan pemerintah di masa kini, mengenakan pajak, berasal dari tanggung jawabnya guna meningkatkan pendapatan agar menyediakan barang publik (misalnya, pertahanan, kepolisian, jalan); mendistribusikan kembali pendapatan/kekayaan kepada mereka yang membutuhkan atau kurang mampu (melalui pensiun, layanan sosial, tunjangan pengangguran, dll.); menggalakkan kesejahteraan sosial dan ekonomi—melalui layanan kesehatan atau mendorong jenis perilaku tertentu; menggalakkan stabilitas ekonomi—misalnya, dengan mencegah inflasi dan pengangguran yang tinggi, serta menciptakan infrastruktur yang baik guna pengembangan bisnis; dan mungkin pula, menggalakkan harmonisasi fiskal dengan negara lain.

Jika seseorang menerima bahwa pengenaan pajak oleh pemerintah, dapat diterima secara moral, maka bagaimana sesungguhnya cara pajak dikenakan, dikumpulkan dan digunakan, tunduk pula pada pertimbangan etis. Ronald M. Green mempertimbangkan banyak dari masalah ini. Ia memulai dari posisi bahwa 'pada intinya perpajakan itu, masalah moral. Setiap keputusan tentang siapa dan apa yang harus dikenakan pajak, melibatkan keputusan moral yang penting tentang nilai-nilai seperti keberimbangan dan keadilan.' Ia bertanya 'apakah perpajakan itu sendiri, pernah dibenarkan secara moral,' mengingat perpajakan itu, 'instrumen sosial yang memaksa.'

Jika kita mengesampingkan gagasan bahwa pengenaan pajak secara moral dibenarkan karena pendapatannya, membayar berbagai manfaat, atau bertujuan redistributif, adakah landasan moral lainnya, tentang pengenaan pajak? Bagaimana dengan pemerintah yang mengenakan pajak atas pembelian kantong plastik, guna mencegah penggunaan limbah-plastik, namun tak membelanjakan uang yang dihasilkan untuk membersihkan sampah plastik atau mengurangi tempat pembuangan sampah? Berlandaskan moralkah, negara yang menaikkan pajak, namun membelanjakannya semata bagi administrasi pemerintahan?
Dapat dibayangkan, beberapa manfaat yang saat ini diberikan oleh negara, setidaknya dapat diberikan oleh badan-badan non-negara, seperti organisasi keagamaan atau badan amal. Perpajakan itu sendiri, merupakan suatu proses yang memiliki banyak aspek yang berbeda. Setiap proses perpajakan di dunia modern, bisa dibilang, dimulai dengan kebutuhan yang dipersepsikan dengan pajak, sebagian besar demi tujuan peningkatan pendapatan, namun bila semakin meningkat, boleh jadi, mengendalikan perilaku, dengan isu-isu kebijakan pajak yang mengikutinya (apa/siapa yang dikenai pajak, dan berapa banyak), mengimplementasikannya menjadi undang-undang, dengan perangkat administrasi, kepatuhan, pengumpulan, pemantauan, dan pengeluaran, semuanya perlu diperhitungkan. Beberapa dari aspek ini (jika tak semua), bisa saja berdimensi moral. Sangat mungkin, misalnya, seseorang dikenakan pajak tertentu, yang memenuhi beberapa kriteria moral (apapun definisinya), namun belum tentu demikian terhadap orang lain.

Sejarah dipenuhi dengan replika-replika pemberontakan dan bahkan perang, tatkala pemerintah keliru dalam menerapkan berbagai aspek perpajakan, sebab masyarakat pada dasarnya, tak menyukai pajak, meski mereka mungkin menerima keharusannya, dan hendaknya diingat bahwa, akseptasi terhadap pengenaan pajak, oleh mereka yang dikenakan pajak, merupakan faktor penting. Karenanya, barangkali, gagasan akseptasi, semestinya, menjadi 'termometer' untuk mengukur tingkat suhu-panas moral yang terkait dengan perpajakan,' sang lelaki kurus menyudahi penjelasannya.

Sebelum para pengunjung sempat mengucapkan sepatah kata, tiba-tiba, sang komodo menyeruak di antara mereka, dan langsung berhadapan dengan sang lelaki yang mengaku sebagai petugas pajak. 'Nah, tuan-besar, apa yang engkau inginkan dariku?' kata sang lelaki. Tak menjawab, menggerutu, 'Parah ni orang!' sang komodo manjat ke atas meja, berdiri, menjulurkan lidahnya, mendesis—yang bikin keder para pengunjung—lalu berkata, 'Gaez, gaez, dengerin, gua nggak minta apa-apa dari elu-elu s'kalian ... gua cuma pengen tau, siapa yang nembak t'lapak-kaki gua!'
Bartender menginterogasi para pengunjung bar, 'Ellu ya?' tanyanya kepada seseorang dari mereka. 'Bukan Bang, aye pan cuman minum bir!' ... 'Bukan, ane cuman nyobain sekali teguk Bang!' ... 'Ane pan tidur seharian dimari Bang!' ... 'Bukan, jangan nanya aye Bang!' ... Semua orang, mengangkat bahu dan menggelengkan kepala.
'Kalau begitu, oke,' sembari turun dari meja, dan sang komodo meninggalkan bar, sambil bernyanyi,

Kamu gatal, gatal, gatal
Bukankah kau sudah berpunya?
Jangan, jangan, jangan, jangan pernah engkau mencoba
Lupa, sesekali jangan pernah lupa
Aku bukan semudah yang engkau jumpa
Engkau bukannya yang ku cinta
Sejuta pilihan di depan mata *)

Laluna menutup pembahasan dengan berkata, "Kasihan ya, bahkan komodo pun, jadi korban penembakan-liar. Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Robert F. van Brederode (Ed.), Ethics and Taxation, Springer
*) "Gatal" karya Roza Aepul