Jumat, 05 Agustus 2022

Pengakuan Seorang Pelukis

"'Sejarawan, penutur, dan penyair, sepanjang zaman, sejak jatuhnya Mesir hingga akhir Kekaisaran Romawi, telah banyak menulis tentang ratu terakhir Mesir kuno. Hampir semuanya bertanya-tanya tentang pesona seorang wanita yang sanggup memperdayai dua pemimpin perkasa Romawi. Sungguh, wanita seperti ini, pastilah wanita yang sangat cantik pada masanya—atau, memang demikiankah? Apa kebenaran tentang kecantikan Cleopatra? Kebohongan atau propagandakah?" Laluna menyebut pernyataan seorang pelukis, usai mengucapkan Basmalah dan Salam. Kemudian ia melanjutkan, "Sang pelukis berkata, 'Kita tentulah paham tentang apa itu kebohongan, sedang yang terakhir, perlu sedikit penjabaran.

Pernahkah engkau mengalami perubahan hati yang dramatis, atau respons emosional yang kuat, usai menyaksikan sesuatu yang sederhana seperti papan reklame atau iklan? Jika demikian, boleh jadi, engkau telah melihat propaganda. Ia ada dimanapun keberadaanmu, dari koran sampai ke Internet, bahkan dalam Sinetron favoritmu. Faktanya, kita sangat dibanjiri propaganda, sehingga banyak dari apa yang kita lihat dan dengar, tak urung mempengaruhi kita, menginformasikan segala sesuatu, mulai dari merek sampo yang kita beli, hingga ideologi, bahkan bagaimana cara pandang kita terhadap dunia.

Propaganda, dalam makna yang paling netral, berarti menyebarkan atau mempromosikan ide-ide tertentu. Dalam bahasa Latin, ia bermakna 'menyebarkan' atau 'menaburkan.' Pada tahun 1622, Vatikan mendirikan Sacra Congregatio de Propaganda Fide, yang berarti kongregasi suci guna menyebarkan iman Gereja Katolik Roma. Lantaran propaganda Gereja Katolik Roma, bertujuan menyebarkan iman ke Dunia Baru, serta menentang Protestantisme, kata Propaganda kehilangan netralitasnya, dan penggunaan selanjutnya bermakna peyoratif. Untuk mengidentifikasi pesan sebagai propaganda berarti menyarankan sesuatu yang negatif dan tak jujur. Kata-kata yang sering digunakan sebagai sinonim propaganda ialah kebohongan, distorsi, penipuan, manipulasi, pengendalian pikiran, perang psikologis, cuci otak, dan palaver [ngomong ngalor-ngidul]. 
Noam Chomsky menulis seperti ini,
'Mari kita mulai dengan operasi propaganda pertama pemerintah modern. Saat itu, di bawah pemerintahan Woodrow Wilson. Woodrow Wilson terpilih sebagai Presiden [Amerika] pada tahun 1916 pada platform 'Peace Without Victory.' Keadaan ini, tepat di tengah-tengah Perang Dunia I. Penduduknya sangat pasifis [memegang keyakinan bahwa perang dan kekerasan tak dapat dibenarkan] dan tak melihat alasan agar terlibat dalam perang Eropa. Pemerintahan Wilson, sebenarnya berkomitmen pada perang dan harus berbuat sesuatu. Mereka membentuk komisi propaganda pemerintah, yang disebut 'the Creel Commission,' yang sukses dalam waktu enam bulan, mengubah populasi pasifis menjadi sebuah penduduk histeria perang, yang ingin menghancurkan segala tentang Jerman, mencabik-cabik tubuh orang Jerman, berangkat perang dan menyelamatkan dunia. Itulah pencapaian besar, dan mengarah pada pencapaian lebih lanjut. Tepat pada saat itu dan setelah perang, teknik yang sama, dipergunakan untuk membangkitkan histeria 'Red Scare,' demikian sebutannya, yang berhasil menghancurkan serikat-buruh dan merontokkan masalah berbahaya seperti kebebasan pers dan kebebasan berpikir politik. Ada dukungan yang sangat kuat dari media, dari lembaga bisnis, yang sebenarnya terorganisir, mendorong sebagian besar pekerjaan ini dan itu, secara umum, sukses besar.
Di antara mereka yang berpartisipasi secara aktif dan antusias dalam perang Wilson ini, para intelektual progresif, orang-orang dari lingkaran John Dewey, yang sangat pongah, seperti yang dapat engkau lihat dari tulisan mereka sendiri pada era itu, telah menunjukkan bahwa apa yang mereka sebut 'anggota masyarakat yang lebih cerdas,' maksudnya, diri mereka, mampu mendorong populasi yang enggan berperang, dengan menakut-nakuti dan memunculkan fanatisme jinggois. Sarana yang digunakan sangat luas. Misalnya, ada banyak kekejaman yang dibuat-buat oleh orang-orang Hun, bayi-bayi Belgia dengan lengan terkoyak, segala macam hal mengerikan yang masih bisa terbaca di buku-buku sejarah. Sebagian besar dikreasikan oleh kementerian propaganda Inggris, yang komitmennya sendiri pada saat itu, seperti yang mereka nyatakan dalam perembukan rahasia mereka, guna 'meluruskan pemikiran sebagian besar dunia.' Namun yang lebih penting, mereka hendak mengendalikan pemikiran anggota masyarakat yang lebih cerdas di Amerika Serikat, yang kemudian akan menyebarkan propaganda yang mereka ramu, dan mengubah negara pasifis menjadi histeria masa perang. Cara ini, berhasil. Berdaya-guna dengan sangat baik. Dan memberi pelajaran: PROPAGANDA NEGARA, BILA DIDUKUNG OLEH KALANGAN INTELEKTUAL dan bila tak boleh ada penyimpangan darinya, DAPAT BERDAMPAK BESAR. Pelajaran inilah, yang dipetik oleh Hitler dan banyak lainnya, dan yang seperti inilah, yang dikejar-kejar hingga saat ini.
Kelompok lain, yang terkesan dengan keberhasilan ini, ahli teori demokrasi liberal dan tokoh media terkemuka, semisal, Walter Lippmann, dekan jurnalis Amerika, kritikus kebijakan luar negeri dan dalam negeri, dan pula, ahli teori utama demokrasi liberal. Jika engkau memperhatikan kumpulan esainya, engkau akan melihat bahwa semuanya bersubjudul seperti 'A Progressive Theory of Liberal Democratic Thought.' Lippmann terlibat dalam komisi propaganda ini dan mengakui pencapaiannya. Ia berpendapat bahwa apa yang disebutnya sebagai 'revolusi dalam seni demokrasi', dapat digunakan 'membuat kesepakatan,' yaitu, menghasilkan kesepakatan di pihak publik terhadap hal-hal yang tak mereka inginkan, dengan teknik-teknik propaganda yang baru. Ide inilah gagasan yang baik, yang pada kenyataannya, diperlukan. Ia diperlukan karena, seperti yang dikatakannya, 'kepentingan bersama menghindari opini publik sepenuhnya' serta dapat dipahami dan dikelola oleh 'kalangan spesialis' dari 'orang-orang yang bertanggung jawab' yang cukup pandai mencari tahu. Teori ini, menegaskan bahwa hanya elit kecil, komunitas intelektual yang dibicarakan orang-orang Dewey, yang dapat memahami kepentingan bersama, apa yang kita semua pedulikan, dan bahwa hal-hal ini 'menghindari masyarakat umum.' Pandangan ini, membawa kita kembali pada ratusan tahun lalu. Pula, pandangan ini, merupakan pandangan khas Leninis. Bahkan, sangat mirip dengan konsepsi Leninis, bahwa pelopor intelektual revolusioner, mengambil kekuasaan negara, menggunakan revolusi rakyat sebagai kekuatan yang membawa mereka kepada kekuasaan negara, dan kemudian, mendorong massa yang bodoh menuju masa-depan yang, mereka terlalu bodoh dan tak kompeten membayangkannya bagi diri mereka sendiri. Teori demokrasi liberal dan Marxisme-Leninisme, sangat dekat dalam asumsi ideologis umum mereka. Kurasa, itulah salah satu alasan mengapa orang merasa begitu mudah, selama bertahun-tahun, berpindah dari satu posisi ke posisi lain, tanpa merasa perubahan tertentu. Semata masalah menilai dimana kekuasaan berada. Mungkin akan ada revolusi populer, dan akan menempatkan kita pada kekuasaan negara; atau mungkin takkan ada, dalam hal ini, kita cuma akan bekerja untuk orang-orang dengan kekuatan nyata: komunitas bisnis. Namun kita akan melakukan hal yang sama. Kita akan mendorong massa yang bodoh, menuju dunia yang mereka terlalu bebal pahami bagi diri mereka sendiri.'
Dalam pembelaannya, propaganda tak selalu berbahaya; nyatanya, dalam situasi tertentu, dianggap jinak, atau bahkan positif. Namun, pada dasarnya, propaganda, selalu manipulatif; ia dimaksudkan untuk menyerahkan kepada orang lain kendali atas pikiran dan tindakanmu. Itulah sebabnya, sangat penting agar dapat mengidentifikasi propaganda, tatkala engkau melihatnya. Ada banyak tehnik Propaganda, diantaranya, yang paling sederhana, dengan Penegasan. Meskipun merupakan teknik propaganda yang paling dasar, penegasan ternyata sangat efektif. Ia semata menyatakan ide yang bisa diperdebatkan sebagai fakta, tanpa kualifikasi atau penjelasan. Misalnya: 'Laki-laki tak pernah berhenti menanyakan arah.'
Teknik penegasan memanfaatkan keinginan kita agar memercayai apa yang diberitahukan kepada kita. Sebaliknya, teknik 'Bandwagon,' mengeksploitasi apa yang kadangkala disebut sebagai 'naluri menggiring.' Banyak orang senang menjadi bagian dari kelompok mayoritas dan tak suka ditinggalkan. Teknik 'Bandwagon' memanipulasi orang dengan menarik naluri ini. Misalnya, 'Semakin banyak pasangan, hidup bersama tanpa menikah, jadi pasti wajar-wajar saja.'
'Card stacking,' teknik dimana propagandis memberikan keuntungan yang tak berimbang terhadap satu sudut pandang, sementara melemahkan yang lain. Argumen yang menggunakan teknik 'Card Stacking' biasanya kredibel dalam hal informasi yang dibagikan, namun argumen tersebut, mungkin menyesatkan, sebab menyajikan informasi di luar konteks atau mengaburkan fakta penting. Contohnya, 'Seorang dokter muda ingin mempraktekkan prosedur pembedahan baru pada seorang pasien. Ada risiko operasi yang tak diungkapkannya kepada pasien karena takut pasien akan membatalkan operasi.'
Alat propaganda yang sangat umum, ialah 'False Dilemma.' Fallacy ini, dikenal dengan banyak nama, termasuk 'black-and-white thinking,' 'false dichotomy,' dan 'false choice.' Umumnya, tehnik ini terdiri dari pengurangan argumen yang kompleks, menjadi sejumlah kecil alternatif dan menyimpulkan bahwa hanya satu opsi yang sesuai. Satu produk selalu berfungsi dengan baik, dan yang lain, tak pernah berfungsi. Satu kelompok bermaksud menyelamatkan negara, dan yang lain, ingin menghancurkannya. Namun pada kenyataannya, biasanya ada banyak kemungkinan yang tak disebutkan. Misalnya, 'Engkau bisa menjadi sekutu ataupun musuh.'
Sementara 'False Dilemma' menawarkan alternatif 'baik' dan 'buruk', teknik 'the Lesser of Two Evils,' jenis 'False Dilemma' khusus yang menawarkan dua alternatif 'buruk'. Teknik ini, sering digunakan ketika propagandis berusaha meyakinkan orang agar mengikuti perspektif yang akan membuat orang merasa ragu menerimanya. Agar membuat pilihan lebih menarik, alternatif yang lebih buruk disajikan sebagai satu-satunya pilihan lain. Dikatakan bahwa pilihan yang tak sempurna, lebih baik dibanding alternatif yang lebih mengerikan. Misalnya, 'Williams mungkin berbohong di bawah sumpah, namun setidaknya, ia tak pernah menggelapkan uang kampanyenya, seperti lawannya.'

Kata 'propaganda' berkonotasi negatif yang kuat di dunia modern. Dibutuhkan kampanye propaganda yang ekstrim, agar dapat sepenuhnya merendahkan sebuah kelompok. Akan tetapi, dibutuhkan upaya yang hampir sama kuatnya, untuk mengangkat kelompok atau individu, jauh di atas orang lain. Namun demikian, propaganda yang cerdik, bahkan dapat membuat manusia yang paling dungu pun, tampak seperti dewa. Tokoh-tokoh yang didewakan seringkali menjadi pusat gerakan sosial yang berpengaruh, atau pemimpin penting sebuah negara. Di negara-negara totaliter, pemimpin hampir selalu didewakan—bahkan, sebagian besar upaya propaganda negara dapat diarahkan demi tujuan ini—guna lebih memperkuat kekuatan negara.
Namun, itu bukan berarti propaganda tak bisa digunakan bagi kebaikan. Seperti kebanyakan alat, propaganda tak selalu jahat. Memang benar bahwa pengiklan yang manipulatif dan politisi yang tak bermoral, dapat menggunakan propaganda demi mencapai tujuan pribadi mereka. Namun propaganda, juga dapat membantu mengakhiri perbudakan, mempromosikan perdamaian, atau mendorong manusia agar memperbaiki dunia. Salah satu cara paling positif yang dapat digunakan propaganda ialah menginspirasi simpati: mendorong orang agar berbagi dalam penderitaan orang lain. Simpati itu, alat yang sangat berguna bagi propagandis dan manusia kebanyakan. Memahami apa yang orang lain rasakan, membantu kita berhubungan dengan orang lain dan memungkinkan kita berfungsi dalam komunitas. Seorang propagandis tahu persis bagaimana memicu perasaan kasih-sayang ini dan menggunakannya untuk mendapatkan keuntungan.

Nah, kembali pada pembicaraan kita tentang Cleopatra. Presentasi Cleopatra Mesir sebagai salah seorang wanita paling cantik di zaman kuno, belakangan sampai kepada kita, berasal dari film. Dalam film-film itu, wanita-wanita cantik dalam industri film, memerankan sang ratu Mesir. Semua film tentang topik ini, mencitrakan Cleopatra muda nan cantik, yang menggunakan pesona fisiknya, merayu para pemimpin Romawi, agar menyelamatkan dan mendukung negaranya. Sepanjang sejarah, legenda juga berbicara tentang kecantikan dan kemampuannya secara fisik, memikat para pemimpin Roma dengan cara berpikirnya.
Faktanya, ia bukanlah kecantikan Mesir yang dahsyat, baik menurut standar zamannya maupun menurut standar kita sendiri. Ia bahkan bukan orang Mesir. ia seorang Yunani Makedonia—dan alih-alih kecantikan, ia menggunakan kekayaan dan kekuatannya, untuk mengimbangi fitur fisiknya.
Namun ada satu hal yang bakal kita acungi jempol tentang Cleopatra. Melalui kekacauan zaman dan dengan pemerintahan yang penuh dengan pejabat yang iri, yang hendak merebut kekuasaannya, Cleopatra tetap memerintah dengan sangat baik. Ia menggunakan posisi keluarga dan kemampuannya, melahirkan anak laki-laki untuk memegang kendali atas Mesir. Sebagaimana sejarah membicarakannya, sang ratu Sungai Nil, menjadi kecantikan yang mampu memikat pria manapun dengan bentuk dan cara menggodanya. Walau Oktavianus menyebutnya sebagai pelacur Mesir, tak ada bukti sejarah bahwa ia tak setia pada salah seorang kekasih Romawi-nya. Ia semata seorang ratu yang ingin melihat negaranya makmur. Dan memang, ada bukti berulang bahwa, saat ia berurusan dengan kekuatan hebat Roma, ia selalu memikirkan kepentingan rakyatnya.'"

Laluna mengimbuhkan sebagai akhiran, "Bukan lantaran geografi atau budayanya sehingga negara miskin menjadi miskin, melainkan para pemimpinnya, tak tahu atau tak mau tahu, kebijakan mana yang akan memperkaya warganya. Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Noam Chomsky, Media Control - A Spectacular Achievements of Propaganda, Open Media Pamphlet Series
- Garth S. Jowett & Victoria O’Donnell, Propaganda & Persuasion, Sage
- Magedah E. Shabo, Techniques of Propaganda & Persuasion, Prestwick House, Inc.
- Bill Fawcett (Ed.), You Said What?, Harper-Collins