Selasa, 16 Agustus 2022

Percakapan Yudhis dan Juna (2)

"'Setelah Perang Dunia Kedua,' lanjut Juna, 'perluasan makna ideologi ke berbagai arah dari tahun 1890-an dan seterusnya, bersama dengan titik tolak yang diberikan oleh Marx dan Engels, diperhadapkan pada pendekatan yang dikenal sebagai teori-kritis. Berbeda dengan pemahaman Marx tentang ideologi sebagai roh yang terputus dari proses sosial, Theodor Adorno, misalnya, memandangnya sebagai kekuatan yang membentuk masyarakat dan realitas. Bagi Adorno, ideologi dan realitas, menyatu dalam tampilan yang sangat kuat. Penampilan yang diperlukan secara sosial, ideologi itu sendiri, menjadi masyarakat yang nyata. Tiada ideologi dalam makna kesadaran palsu yang bertentangan dengan masyarakat yang benar-benar ada.
Tren sosiologis dan sosio-psikologis lain yang mempengaruhi konsep ideologi setelah Perang Dunia Kedua, berfokus pada fungsi ideologi dalam tindakan politik dan sosial. Masalah fungsi menghindari masalah sebelumnya tentang pertentangan antara ide dan kenyataan. Ideologi dilihat sebagai instrumen mengelola masyarakat dan proses sosial.

Sejak 1950-an pandangan pluralis dan fungsional ideologi muncul dalam kerangka Perang Dingin, yang cenderung ke arah polarisasi ideologis, daripada relativisasi, antara demokrasi Barat dan supra ideologi sosialis Timur.
Pemahaman ide dan ideologi yang kompleks dan lebih lembut setelah Perang Dunia Kedua—dari fungsionalisme hingga skenario akhir ideologi hingga imajinasi Koselleck tentang polarisasi ideologi—menyediakan instrumen guna menganalisis fungsi—atau disfungsi—masyarakat demokratis terhadap latar belakang era totaliter sebelum perang. Tiga rezim totaliter dominan yang menguasai dunia sejak tahun 1920-an—fasisme, nazisme, dan stalinisme—pada dasarnya, dibangun di atas ideologi. Menjadi tugas penting bagi ilmu-ilmu sosial dan sejarah, mengidentifikasi perbedaan serta persamaan antara ideologi totaliter dan demokrasi.
'Totaliter' itu, istilah yang digunakan oleh musuh totalitarianisme dan juga penganutnya. Pada tahun 1923, Giovanni Amendola menggunakan istilah ini, untuk menggambarkan fasisme Italia sebagai sistem baru yang secara fundamental berbeda dari contoh sejarah kediktatoran sebelumnya. Amendola, seorang jurnalis, politisi liberal, dan aktivis, serta profesor filsafat, salah seorang kritikus Mussolini yang paling menonjol di awal 1920-an.
Ideolog fasis terkemuka Giovanni Gentile, menyebut totalitario sebagai tujuan dan struktur negara baru, yang akan memberikan representasi total bangsa dan panduan total, demi tujuan nasional. Ideologi negara itu, alat untuk menundukkan warganegara. Menurut Benito Mussolini, totalitarismo itu, landasan ideologi yang merambah ke semua bidang aktivitas manusia; sistem yang mempolitisasi setiap aspek kehidupan: segala sesuatu di dalam negara, tiada di luar negara, tiada yang melawan negara.

Runtuhnya Kekaisaran Soviet pada 1989-1991, dipandang dari segi ideologis sebagai perpecahan baru, mirip dengan tahun 1945. Namun, di sini juga, pandangan yang lebih canggih tentang kontinuitas dan diskontinuitas, akhirnya muncul. Jatuhnya rezim totaliter pada tahun 1945 mengakibatkan tumbuhnya minat terhadap prakondisi dan fungsi ideologi dalam masyarakat demokratis di kalangan ilmuwan politik dan sosial. Dalam waktu yang singkat setelah tahun 1989, ideologi dipandang sebagai kategori yang menghilang namun dengan cara yang berbeda dari yang dikemukakan oleh para ahli teori konvergensi pada tahun 1960-an. Di sini dikatakan bahwa hilangnya mereka, disebabkan oleh fakta bahwa hanya ada satu ideologi yang tersisa dan tak ada persaingan ideologis yang tersisa.
Pada tahun 2010, baik narasi globalisasi maupun Eropa telah kehilangan legitimasi dan kekuatan mobilisasinya. Perang ideologi agama tetap kuat dan telah mengalami evolusi lebih lanjut ke arah nasionalisme, populisme, dan rasisme. Lanskap ideologis telah berubah secara dramatis dalam beberapa tahun. Ideologi berkisar tentang eksklusi sebanyak inklusi, musuh sebanyak teman, yang lain, sebanyak Diri.
Sejarah konseptual, dan pergantian linguistik secara lebih umum, mendorong tren relativisasi dan historisisasi konsep ideologi sejak Mannheim selangkah lebih maju. Ideologi tak dilihat sebagai kategori objektif yang dapat dipelajari dari posisi eksternal, juga bukan fungsi dari kepentingan yang telah ditentukan sebelumnya. Sebaliknya, ia dipandang bergantung pada kekuatan interpretatif dan penguasaan bahasa. Sejarah konseptual membubarkan dikotomi lama antara realitas dan gagasan.

Belum ada seorangpun yang menemukan satu definisi ideologi yang memadai. Bukan lantaran pekerja di lapangan yang kecerdasannya rendah, melainkan karena istilah 'ideologi' punya beragam makna yang berfaedah, tak semuanya saling-kompatibel.'

'Untuk menunjukkan keragaman makna ini,' kata Yudhis, 'perkenankan aku menyebutkan secara acak beberapa definisi ideologi yang beredar:
  • proses memproduksi makna, tanda dan nilai dalam kehidupan sosial;
  • kumpulan ide yang menjadi ciri kelompok atau kelas sosial tertentu;
  • ide-ide yang membantu melegitimasi kekuatan politik yang dominan;
  • ide-ide buatan yang membantu melegitimasi kekuatan politik yang dominan;
  • komunikasi yang terdistorsi secara sistematis;
  • sesuatu yang menawarkan posisi bagi suatu subjek;
  • bentuk pemikiran yang dimotivasi oleh kepentingan sosial;
  • pemikiran identitas;
  • ilusi yang diperlukan secara sosial;
  • konjungtur wacana dan kekuasaan;
  • media di mana aktor sosial yang sadar memahami dunia;
  • seperangkat keyakinan yang berorientasi pada tindakan;
  • keraguan realitas linguistik dan fenomenal;
  • akhir perdebatan semiotik;
  • media yang sangat diperlukan dimana individu menjalani hubungan mereka dengan struktur sosial;
  • proses dimana kehidupan sosial diubah menjadi realitas alam.'
'Oh, itu cuma ideologis!' penumpang di sebelah mereka menimpali. 'Aku punya cerita, tapi, aku tak tahu, ideologis atau tidak.' Yudhis menjawab, 'Nggak apa-apa, sampaikan aja pada kami!'
'Seorang ahli kimia, fisikawan, dan ekonom,' kata sang penumpang, 'menjadi penumpang dalam penerbangan yang jatuh ke tengah laut. Berenang ke sebuah pulau kecil, mereka menemukan air, namun tak ada makanan, dan mereka sangat gembira tatkala sekotak makanan kaleng terdampar di pantai. Sang ahli kimia, tak membuang waktu, mulai mengerjakan formula kimia yang akan melarutkan tutup kaleng. Sang fisikawan, mengambil sebuah batu dan mulai bekerja menghitung sudut dan kecepatan hantaman yang bakal menembus kaleng. Mengamati upaya mereka yang panik, sang ekonom cuma mengambil sebuah kaleng, mengelus dagunya, dan berkata, 'Mari kita asumsikan, kita punya pembuka kaleng!'

'Menarik!' kata Juna, 'Ngomong-ngomong, aku Juna,' sambil mengulurkan salam tinjunya, 'Dan aku Yudhis.'
'Dan aku Petruk!' kata sang penumpang. 'Patrick?' tanya dua lainnya, 'Bukan, Petruk! Nama salah seorang Panakawan, dikenal dalam pewayangan di negeri Zamrud. Dalam Mahabharata dan Ramayana, tiada tokoh Semar, Gareng, Petruk, Bagong, atau tokoh panakawan lainnya. Begitu pula dengan tokoh panakawan dalam wayang madya dan wayang wasana. Selain para panakawan, seperti Antareja, Antasena, Wisanggeni, Gandamana, dan lainnya, tak ada dalam Mahabharata. Agar tak mengganggu jalan cerita di penghujung cerita, seluruh tokoh fiksi leluhur kita, dimatikan dengan berbagai cara.
Jadi, ketika Bharatayuda berlangsung, semata tokoh-tokoh dalam Mahabharata yang muncul. Dan aku tak tahu, sebuah ideologikah itu, atau bukan.'"

Laluna menutup pembicaraan dengan mengatakan, “Aku tak sempat mendengarkan tanggapan Yudhis dan Juna, sebab waktuku telah habis dan pramugari mengumumkan bahwa dalam beberapa saat, pesawat akan mendarat, dan penumpang diminta agar mengencangkan sabuk pengaman mereka, dst dst. Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Michael Freeden, Ideology - A Very Short Introduction, Oxford University Press
- Terry Eagleton, Ideology - An Introduction, Verso
- Michel Freeden, Lyman Tower Sargent and Marc Stears (Ed.), The Oxford Handbook of Political Ideologies, Oxford University Press

[Bagian 1]