"Konsep 'identitas', dan karenanya, turunannya: identitas etnis dan nasional, memiliki pula asal-usulnya di luar ilmu-ilmu sosial—lebih tepatnya, dalam matematika, logika, dan filsafat analitis. Dalam matematika, identitas mengacu pada beberapa hal—dalam ilmu Aljabar, identitas adalah elemen dalam sekumpulan angka, yang bila digabungkan dengan angka lain dalam suatu operasi, membuat angka tersebut, tak berubah. Ia juga bermakna yang lebih spesifik seperti 'persamaan yang tetap benar, terlepas dari nilai variabel apa pun yang muncul di dalamnya' atau 'a fungsi f dari himpunan S ke dirinya sendiri.' Istilah matematika ini, memasuki wacana sosiologis melalui psikoanalisis, psikologi, dan psikiatri neo-Freudian," Laluna membuka topik usai mengucapkan Basmalah dan Salam."Brubaker dan Cooper mencoba menertibkan hiruk-pikuk konseptual ini, dengan mengidentifikasi lima cara dominan, dimana konsep identitas saat ini, digunakan dalam ilmu sosial dan humaniora: (a) identitas sebagai bentuk tindakan sosial non-instrumental; ( b) identitas sebagai fenomena kolektif dari kesamaan kelompok; (c) identitas sebagai bentuk jati-diri yang dalam dan mendasar; (d) identitas sebagai produk tindakan sosial yang interaktif, prosesual, dan bergantung (e) identitas sebagai mode yang berfluktuasi, tidak stabil, dan mode 'diri' yang terfragmentasi. Mereka berpendapat bahwa kelima pemahaman identitas ini, berkisar dari penggunaan konsep yang 'kuat' hingga 'lemah'—sementara dua konsepsi pertama beroperasi dengan nalar yang wajar, menggunakan istilah 'rumit,' tiga sisanya, yang sering ditemukan dalam pendekatan konstruktivis sosial (khususnya dalam studi budaya, antropologi dan sosiologi), bekerja dengan pemahaman identitas yang sangat 'enteng', fleksibel dan kontingen. Oleh karenanya, seluruh pemahaman identitas ini, punya pijakan yang kokoh, dalam asal mula matematis-logis dan filosofisnya.Dalam teori identitas, identitas itu, seperangkat makna yang mendefinisikan siapa yang berperan (misalnya, ayah, tukang ledeng, pelajar), dalam kelompok atau kategori sosial (misalnya, asosiasi sukarela, seorang Amerika, seorang wanita), atau individu yang unik (misalnya, orang yang sangat bermoral, orang yang tegas, orang yang ramah). Dalam sosiologi, penekanan ditempatkan pada identitas kolektif, dimana identitas individu sangat terkait dengan peran-perilaku atau kumpulan keanggotaan kelompok yang mendefinisikannya. Menurut Peter Burke, 'Identitas memberitahu kita, siapa kita dan ia mengumumkan kepada orang lain, siapa kita.'Pengertian umum tentang 'identitas etnis dan nasional' yang juga tersebar luas di kalangan beberapa akademisi menyiratkan bahwa etnis + identitas = identitas etnis dan bangsa + identitas = identitas nasional. Identitas nasional penting. Kenyataannya, ia tampak semakin penting seiring berjalannya waktu, dan bukan semata karena perbaikan-perbaikan tambahan dari 'nasionalisme' diperlukan untuk membuat warga negara lebih dekat dengan negara, tepatnya pada saat dimana ia kurang dapat tersalurkan dalam 'globalisasi'. dunia. Identitas nasional, salah satu identitas sosial yang paling mendasar; ia juga, dalam istilah Michael Billig, 'banal' [membosankan, dangkal dan tak-asli]. Identitas nasional sangat penting; tak semata sebagai lencana yang diberikan kepada kita saat lahir dan yang kita bawa sepanjang hidup kita, suka atau tidak suka. Lagi pula, tiada di antara kita, yang memilih dimana kita dilahirkan, dan kemungkinan besar, orang tua kita, tak terlalu memikirkannya. Ada memang, beberapa orang yang merasa begitu kuat tentang identitas nasional mereka, sehingga mereka berupaya keras bayi mereka lahir di 'tanah air', namun ini merupakan pengecualian. Jadi, etnisitas itu, tindakan sosial yang dipolitisasi, sebuah proses dimana unsur-unsur perbedaan budaya yang nyata, aktual, hidup dipolitisasi dalam konteks interaksi kelompok yang intensif. Etnisitas bukanlah sinonim bagi keragaman budaya, sebab sebagian besar praktik dan kepercayaan budaya kita, jarang dipolitisasi. Sementara budaya itu, tentang perbedaan kolektif yang nyata dan hidup, etnisitas, sering kali tentang segmen dari repertoar budaya yang luas, yang tak harus menjadi pengalaman hidup atau nyata.Gerard Delanty menulis, 'Nasionalisme tak lagi menyeru pada ideologi, melainkan identitas. ... hal ini tentu saja, bukan berarti bahwa ideologi telah berakhir, namun telah terfragmentasi menjadi politik identitas: ideologi sedang terbiaskan melalui identitas.'Ada tiga masalah krusial dengan bentuk penggunaan 'identitas' ini. Pertama, tak ada alasan yang jelas, mengapa semua bentuk motivasi dan tindakan non-instrumental harus dikategorikan berdasarkan 'identitas'. Kedua, tak ada alasan yang jelas, mengapa segala bentuk tindakan sosial harus dicirikan berdasarkan 'identitas'. Ketiga, tak ada bukti empiris bahwa 'identitas' yang memotivasi individu, membentuk kelompok."Laluna diam sejenak, lalu berkata, "Malam itu, aku pergi ke sebuah desa, dan di dalam sebuah gubuk, aku memperhatikan dua lelaki Londho—yang satu bernama Snouck, yang lain, Sneevliet—sedang berbincang-bincang. Snouck berkata, 'Memang perlu diakui, bahwa filsafat Barat, berbeda dengan filsafat Timur pada umumnya, dan 'filsafat Jawa' pada khususnya. Di Timur, orang mempelajari filsafat, hampir boleh dikatakan, tak pernah mempelajari filsafat demi ilmu filsafat itu sendiri dan sebagai arena aktivitas otak, seperti yang terjadi di Barat. Namun, justru hikmah yang terpenting dan tertinggi yang menjadi titik puncak dari filsafat di Timur, ialah mengenal Tuhan dan berhubungan dengan-Nya. Jadi, filsafat Timur merupakan sarana mencapai kesempumaan, sebagai akhir dari segala akhir tujuan hidup. Inilah yang umumnya di sebut 'ilmu hakiki.'Sneevliet mengomentari, 'Filsafat Timur, terutama Filsafat Jawa, merupakan kehidupan rohani dalam usaha mencari keterangan yang sedalam-dalamnya tentang 'arti kehidupan' atau hakikat segala sesuatu yang ada, dan yang mungkin ada. Ia juga merupakan sarana mempertinggi tingkat rohani, agar dapat meraih nilai-nilai moral yang tertinggi dan meraih sesuatu yang ada dibalik dunia yang tampak, sehingga manusia dapat mencapai kesempurnaan. Filsafat Jawa berbentuk ungkapan-ungkapan renungan filsafati. Bersifat pendek, sepotong-sepotong berbentuk kiasan, lambang, hubungan satu dengan yang lain sering kurang serasi dan belum dihimpun menjadi satu sistem yang bulat dan utuh.'Jadi kita dapat berpendapat bahwa, 'East is east, West is west, and never the twins shall meet,' kurang tepat. Kendatipun terjadi berbagai perbedaan kepercayaan , agama, dan temperamen, akhirnya, Timur dan Barat, bakal bertemu pada suatu titik, dan itulah ’pengalaman mistis.'Snouck berkata, 'Wayang itu, cara mengenal manusia. Karena dalam sebuah pementasan wayang, sebenarnya sebuah teater kehidupan dan kehidupan manusia, ditampilkan. Dalam wayang, segala realitas kehidupan akan dipentaskan, dipertontonkan secara simbolis sebagai lakon. Sekarang, terserah pada manusia sendiri, mengungkap dan menganalisisnya.Oleh karenanya, agar memahami wayang, sangat tergantung pada alat yang dimiliki, agar mencerna simbolisme dalam wayang. Jika manusia tak punya alat yang dapat diandalkan, ia mungkin kebingungan, lalu jadi pusing kala melihat kekacauan dalam wayang, seperti melihat kekalutan dalam hidup. Dan pada akhirnya, orang itu semata melihat sesuatu yang semu dan kepalsuan. Ia cuma tertawa terbahak-bahak melihat dan mendengarkan lelucon Ki Dalang. Ia takjub menyaksikan kepiawaian Ki Dalang dan terpesona oleh keindahan, kenikmatan dan keselarasan wayang, gamelan dan bahasa yang disajikannya.Bima Sena, salah satu tokoh pewayangan, putra Pandu, di kalangan orang dewasa, dipandang sebagai sosok yang mistis, namun kalangan anak muda menganggapnya sebagai simbol manusia yang luar biasa, karena keyakinannya yang kokoh, kemauan yang kuat, tindakan yang tegas, dan pendirian yang teguh. Lantaran itulah, Bima dikatakan kuat sebagai pemanggul, namun juga lemah bagaikan temali. Nama lain Bima, ialah Werkudara atau Bratasena, yang bermakna 'perbuatan sempurna'.Bima Sena lahir di tengah hutan Wisamarta, dalam keadaan prihatin. Ia dianggap sebagai putra Bayu, dewa angin dan perwujudan kekuatan luar biasa manusia. Ia rela berkorban, bahkan bahunya pun boleh dipatahkan demi kebenaran dan keadilan. Senjatanya cuma kuku Pancanaka yang sejak lahir, tumbuh pada ibu jarinya. Kelima jarinya, digenggam menjadi satu, sebagai lambang persatuan dan kekuatan yang kokoh dan kuat.Bima Sena dikenal pula sebagai orang yang polos, lugu tak munafik, kepada siapapun sikapnya dan bahasanya satu, sederhana. Ini perlambang orang yang terus terang, tak pongah, tak plin-plan dan tak tunduk kepada siapapun, baik dalam hal gelar, kedudukan, derajat, dan pangkat. Sena dikatakan wangi luar-dalam, karenanya ia disebut Sena yang Wangi.Bima Sena lahir dengan terbungkus ari-ari yang kuat dan kokoh. Saat Bima masih dalam bungkusannya, semata Batari Uma yang bisa menemuinya. Tak satu pun dari ahli bedah berhasil memecahkan bungkusannya, guna mengeluarkan Bima. Ternyata, hanya Gajah Sena yang berhasil memecahkan plasenta tersebut. Setelah itu, Gajah Sena merasuk ke tubuh Bima. Karena itulah, Bima diberi nama Bratasena.Bima dikatakan sebagai orang yang percaya kepada dirinya sendiri. Ia punya senjata berupa gada Rujak Polo, yang bermakna otak. Jadi kalau berperang ia mempergunakan otaknya, pendek kata memakai logika, tak ’sembrono.'Ia pernah terjun ke dalam Samudera untuk mencari identitas dirinya. Karena ketidak tahuannya, maka agar menemukan dirinya, ia menjalankan segala macam usaha dengan teguh, tanpa ragu-ragu, hingga sampailah Bima tak sadarkan diri setelah digigit Naga, lalu melihat Dewa Ruci—nama seorang dewa kerdil yang dijumpai oleh Bima atau Werkudara dalam sebuah perjalanan mencari air kehidupan. Dewa Ruci juga merupakan judul pertunjukan wayang, berisi ajaran moral dan filsafat hidup orang Jawa. Dewa Ruci merupakan interpolasi bagi Mahabarata, sehingga tidak ditemukan dalam naskah asli Mahabharata dari India—dan terbukalah tirai yang menutupi dirinya, terlihat pula cahaya terang benderang laksana bulan purnama. Namun sesungguhnya, ternyata tak ada sesuatupun yang nampak, kecuali ’dirinya sendiri.'Sneevliet berkomentar, 'Aku tak terlalu memahami dunia pewayangan, namun akan kusampaikan sebuah anekdot seperti ini, 'Dalam Kongres Bangsa-Bangsa, terjadi perdebatan mengenai kewarganegaraan Adam dan Hawa.'Mereka orang Inggris,' sahut delegasi Inggris, 'sebab hanya orang Inggrislah, yang bertindak jentelmen, yang memberikan tulang rusuknya sendiri bagi seorang wanita.''Bukaan!' protes delegasi Prancis. 'Lihat betapa elegannya Adam, biarpun ia dalam keadaan telanjang. Ia orang Prancis.'Delegasi Israel menolak, menunjukkan bahwa Kitab Kejadian dengan jelas menyatakan bahwa Penciptaan terjadi di Holy Land. 'Jadi Adam dan Hawa itu, berasal dari Umat Pilihan; mereka orang Yahudi.'Orang Rumania menggelengkan kepalanya, 'Adam dan Hawa semestinya orang Rusia,' ia berdalih, 'sebab cuma orang Rusia yang mampu hidup kurang makan, berpakaian kurang nyaman, dan masih menyebutnya Surga.'Snouck menutup percakapan dengan mengutip Serat Wedhatama,Jinejer neng Wedatama[Telah disusun secara sistematis dalam serat Wedhatama]Mrih tan kemba kembenganing pambudi[Agar tak menjadi generasi yang miskin ilmu dan rusak nalarnya]Mangka nadyan tuwa pikun[Walaupun telah tua dalam usia]Yen tan mikani rahsa[Jika tak memahami spiritualitas bagaimana mengolah batin]yekti sepi asepa lir sepah, samun[Niscaya, ia seperti linglung, sia-sia bagai ampas]Samangsane pasamuan[Dalam dunia pergaulannya]Gonyak ganyuk nglilingsemi[Perilakunya konyol dan memalukan]Nggugu karsaning priyangga[Suka mengumbar kemauannya sendiri]Nora nganggo peparah lamun angling[Bila berkata, tanpa dipertimbangkan]Lumuh ing ngaran balilu[Namun tak mau dianggap orang tolol]Uger guru aleman[Malah selalu berharap dipuji-puji]Nanging janma ingkang wus waspadeng semu[Sebaliknya, ciri orang yang telah memahami (ilmu hakiki)]Sinamun ing samudana[Tak bisa ditebak karena menutupi kelebihannya]Sesadon ingadu manis[Berwatak rendah-hati dan selalu berprasangka baik]Si pengung nora nglegawa[Sang dungu tak menyadari]Sangsayarda deniro cacariwis[Bualannya semakin menjadi-jadi]Ngandhar-andhar angendhukur[Omongannya ngelantur dan merusak ketenangan]Kandhane nora kaprah[Pembicaraannya tak masuk-akal dan berkhayal]saya elok alangka longkanganipun[Bagai kesetanan, tak berjeda]Si wasis waskitha ngalah[Lain halnya dengan sang pandai, cermat dan suka mengalah]Ngalingi marang si pingging[Walau begitu, ia tetap menutupi aib sang tolol]Mangkono ngelmu kang nyata[Demikianlah ilmu yang nyata]Sanyatane mung weh reseping ati[Sungguh memberikan ketenteraman di dalam hati]Laluna pamit seraya berucap, "Imam Al-Ghazali berkata, 'Ia yang telah mengenal dirinya, akan merasakan kebahagiaan yang hakiki.' Wallahu a'lam.”
Kutipan & Rujukan:
- David McCrone and Frank Bechhofer, National Identity, Cambridge University Press
- Sinisa Malesevic, Identity as Ideology, Palgrave
- Ir. Sri Mulyono, Wayang dan Karakter Manusia, CV Haji Masagung