"Semar melanjurkan, 'Banyak yang keliru menggunakan istilah 'Nasionalisme' sebagai sinonim 'Bangsa.' Nasionalisme mengacu pada seperangkat keyakinan tentang bangsa. Setiap bangsa tertentu, punya pandangan yang berbeda tentang karakternya; dengan demikian, bagi negara manapun, akan ada keyakinan yang berbeda dan bergandengan tentangnya, yang seringkali menampakkan diri sebagai perbedaan politik. Ada orang mungkin memandang negara mereka berdiri untuk kebebasan individu, sementara yang lain, mungkin bersedia mengorbankan kebebasannya untuk keamanan. Ada yang mungkin menerima imigran, dan mendukung kebijakan yang memudahkan mereka menjadi warga negara; sementara yang lain, mungkin memusuhi imigran. Contoh lain, perselisihan di India. Beberapa anggota negara itu, berpandangan sempit dan tak toleran terhadap negara mereka dengan bersikeras bahwa negara itu, seharusnya cuma punya satu agama, Hindu; sementara yang lain berpandangan bahwa semestinya ada kebebasan beragama, sehingga Muslim, Sikh, dan Kristen, sepatutnya menjadi anggota bangsa.Ciri khas nasionalisme itu, keyakinan bahwa bangsalah satu-satunya tujuan yang layak dikejar—sebuah pernyataan yang sering mengarah pada keyakinan bahwa bangsa menuntut kesetiaan yang tak terbantahkan dan tanpa kompromi. Tatkala keyakinan tentang bangsa seperti itu menjadi dominan, dapat mengancam kebebasan individu. Terlebih lagi, nasionalisme sering menegaskan bahwa bangsa lain itu, musuh bebuyutan bagi bangsanya sendiri; ia menyuntikkan kebencian terhadap apa yang dianggap asing, baik bangsa lain, imigran, maupun orang yang mungkin mempraktekkan agama lain atau berbicara bahasa yang berbeda. Tentu saja, seseorang tidaklah perlu memandang bangsanya sendiri dan hubungannya dengan bangsa lain dengan cara seperti itu. Berbeda dengan nasionalisme, bangsa itu, jenis masyarakat tertentu.Jika ada satu hal yang disepakati, maka istilah 'nasionalisme' cukup modern. Penggunaannya yang tercatat paling awal dalam segala hal seperti pengertian sosial dan politik, yang dapat dikenali kembali ke filsuf Jerman Johann Gottfried Herder dan cendekiawan kontra-revolusioner Prancis, AbbĂ© Augustin de Barruel pada akhir abad kedelapan-belas. Nasionalisme jarang dipergunakan pada awal abad kesembilan belas; dalam bahasa Inggris, penggunaan pertamanya, pada tahun 1836, tampaknya bersifat teologis, yakni doktrin bahwa negara-negara tertentu dipilih secara ilahi. Setelah itu, cenderung dipersamakan dengan egoisme nasional, namun biasanya, istilah lain seperti 'nationality' dan 'nationalness,' lebih disukai dengan makna semangat nasional atau individualitas nasional.Baru pada abad belakangan, istilah nasionalisme memperoleh jangkauan makna yang kita kaitkan dengannya sekarang ini. Dari penggunaannya, hal yang terpenting ialah: (1) proses pembentukan, atau pertumbuhan, bangsa; (2) sentimen atau kesadaran berbangsa; (3) bahasa dan simbolisme bangsa; (4) gerakan sosial dan politik atas nama bangsa; (5) doktrin dan/atau ideologi bangsa, baik umum maupun khusus.Tiada satupun doktrin politik yang memainkan peran lebih menonjol dalam membentuk wajah dunia modern, selain nasionalisme. Jutaan orang di seluruh dunia, dengan rela menyerahkan hidupnya demi 'tanah air' mereka dan pengorbanan diri massal yang hampir ritualistik ini, terus berlanjut. Jelas, tak semua orang menunjukkan ekstremisme di level yang sehat. Tetapi seperti yang dikatakan Elshtain, ekstremisme semacam ini, telah menjadi 'norma dalam banyak peristiwa besar dan mengerikan di abad kita'.Namun, kendatipun pengaruh yang meluas ini, nasionalisme tak dianggap serius oleh para ilmuwan sosial sampai relatif belakangan ini. Di sebagian besar abad kesembilan-belas dan awal abad kedua-puluh, dipandang sebagai fase yang terlewatkan, oleh kaum liberal dan Marxis, lantaran dianggap 'secara intelektual, tak bermasalah.' Baru pada tahun 1920-an dan 1930-an, dengan karya perintis sejarawan seperti Carleton Hayes, Hans Kohn, Louis Snyder dan E. H. Carr, nasionalisme menjadi subjek penyelidikan akademis yang berkelanjutan. Tak seperti para pendahulu mereka, yang tertarik terutama pada isu-isu etika, para sejarawan ini, menganggap nasionalisme sebagai 'subjek penyelidikan yang terpisah' dan memanfaatkan faktor-faktor sosiologis dalam catatan mereka. Jumlah dan keragaman studi tentang nasionalisme, meningkat pada dekade-dekade berikutnya di bawah pengaruh pengalaman dekolonisasi dan 'proliferasi' negara-negara baru di Asia dan Afrika. Menganut ke beberapa versi model 'nation building' yang saat itu berpengaruh, sebagian besar studi ini, melihat nasionalisme sebagai penyerta proses modernisasi. Tahun 1980-an, di sisi lain, menandai titik-balik dalam banyak hal.Dengan publikasi yang melelahkan, antara lain dari John Armstrong's Nations Before Nationalism (1982), Benedict Anderson's Imagined Communities (1983), Ernest Gellner's Nations and Nationalism (1983), Eric Hobsbawm dan Terence Ranger's The Invention of Tradition (1983) dan Anthony D. Smith's The Ethnic Origins of Nations (1986), perdebatan tentang nasionalisme selesai 'masa remajanya'. Pada periode ini, teori-teori menjadi lebih canggih dan 'garis pertempuran' menjadi lebih jelas. Nasionalisme, yang harus menunggu hingga tahun 1974 guna memiliki jurnal akademik pertamanya, akhirnya punya literatur yang menstimulasi, bahkan berpolemik.Nasionalisme, pada pokoknya merupakan prinsip politik, yang menyatakan bahwa unit politik dan nasional harus kongruen. Nasionalisme sebagai sentimen, atau sebagai gerakan, paling baik dapat didefinisikan dalam kerangka prinsip ini. Sentimen nasionalis ialah perasaan marah yang ditimbulkan oleh pelanggaran prinsip, atau perasaan puas yang dibangkitkan oleh pemenuhannya. Gerakan nasionalis ialah gerakan yang digerakkan oleh sentimen semacam ini.Ada berbagai cara dimana prinsip nasionalis dapat dilanggar. Batas politik suatu negara, bisa saja tak dapat memasukkan seluruh warganegara yang sesuai; atau dapat mencakup mereka semua, melainkan pula mencakup orang-orang asing; atau bisa kandas dalam kedua cara ini sekaligus, tak memasukkan seluruh warganegara dan juga termasuk beberapa non-warga negara. Atau, suatu bangsa dapat hidup, tak bercampur dengan orang asing, dalam banyak negara, sehingga tiada satu negara pun yang dapat mengklaim sebagai negara nasional.Akan tetapi, ada satu bentuk pelanggaran prinsip nasionalis yang sangat sensitif terhadap sentimen nasionalis: jika penguasa unit politik milik negara selain mayoritas yang diperintah, hal ini, bagi kaum nasionalis, merupakan jungkir-balik yang tak tertahankan dalam kepatutan politik. Hal ini dapat terjadi, baik melalui penggabungan wilayah nasional di kerajaan yang lebih besar, atau dengan dominasi kelompok asing terhadap kelompok lokal.Singkatnya, nasionalisme itu, teori legitimasi politik, yang mensyaratkan bahwa batas-batas etnis tak boleh melintasi batas-batas politik, dan, khususnya, bahwa batas-batas etnis dalam suatu negara tertentu—suatu kemungkinan yang secara formal dikecualikan oleh prinsip dalam rumusan umumnya—tak boleh memiisahkan pemegang kekuasaan dari yang lain.Prinsip nasionalis dapat ditegaskan dalam semangat 'universalistik' etis. Mungkin ada, dan terkadang ada, nasionalists-in-the-abstrak, tanpa pra-anggapan dalam hal mendukung setiap kebangsaan khusus mereka sendiri, dan dengan legowo menyerukan doktrin keserupaan semua bangsa : biarlah semua bangsa punya atap politiknya sendiri, dan biarlah mereka semua, juga menahan diri agar tak memasukkan non-warga negara di bawahnya. Tak ada kontradiksi formal dalam menyatakan nasionalisme non-egois seperti ini. Sebagai sebuah doktrin, hal semacam ini, dapat didukung oleh beberapa argumen yang baik, seperti keinginan melestarikan keragaman budaya, sistem politik internasional yang pluralistik, dan pengurangan ketegangan internal di dalam negara.Namun pada kenyataannya, nasionalisme seringkali tak begitu masuk-akal, tak simetris pula secara rasional. Mungkin, seperti yang diyakini Immanuel Kant, keberpihakan, kecenderungan membuat pengecualian atas nama sendiri atau kasusnya sendiri, merupakan kelemahan utama manusia dari mana semua orang lain mengalir; dan bahwa ia menginfeksi sentimen nasional seperti halnya semua hal lain, melahirkan apa yang oleh orang Italia di bawah Mussolini, disebut sacro egoismo nasionalisme. Mungkin pula, keefektifan politik sentimen nasional akan sangat terganggu jika kaum nasionalis memiliki kepekaan yang baik terhadap kesalahan yang dilakukan oleh bangsanya sendiri, seperti halnya terhadap mereka yang melakukannya.Pengakuan oleh individu bahwa ia, anggota suatu bangsa, hanyalah salah satu di antara sejumlah bagian dari citra yang dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri. Hal tersebut hanyalah satu lapisan kesadaran diri yang berlapis-lapis. Lapisan yang mewakili pengakuan sebagai bagian dari kekerabatan teritorial, dapat bertepatan atau tidak dengan pengakuan bahwa seseorang itu, warganegara dari hubungan politik dan hukum NEGARA. Pembicaraan tentang negara, dapat dimulai dengan definisi masyhur Max Weber. Weber mendefinisikan negara modern sebagai komunitas yang berhasil mengklaim monopoli atas kekerasan dalam wilayah geografis, yang mengharuskannya memiliki otoritas yang sah dan legal. Konsep kekerasan, teritorial, dan legitimasi, merupakan faktor definitif negara modern Weber.NEGARA dapat secara longgar didefinisikan sebagai struktur yang, melalui institusi, menjalankan kedaulatan atas suatu wilayah dengan menggunakan undang-undang yang menghubungkan individu-individu di dalam wilayah itu, satu sama lain sebagai warganegara.Hubungan hukum dan politik negara secara analitis berbeda dari komunitas budaya dari hubungan teritorial kekerabatan, yakni Bangsa. Misalnya, imperial Kekaisaran Austro-Hungaria dan Uni Soviet, terdiri dari banyak negara yang berbeda. Lebih jauh lagi, bangsa-bangsa telah ada tanpa adanya negara, seperti yang Polandia selama abad ke-19 dan seperti halnya Kurdistan belakangan ini.Perlunya membedakan bangsa dari negara, bukan berarti bahwa tiada hubungan yang kompleks antara kedua bentuk hubungan sosial ini. Di satu sisi, bangsa-bangsa telah dikonsolidasikan melalui pelaksanaan negara dan perluasan kedaulatan dari waktu ke waktu; misalnya, perluasan apa yang menjadi negara Prancis selama abad ke-12 hingga ke-16 dari Capetian le de France hingga kini mencakup wilayah Prancis dari Samudra Atlantik, di perbatasan baratnya, hingga Pyrenees, di perbatasan selatan, dengan perbatasan utara dan timur berfluktuasi selama bertahun-tahun, tergantung pada hasil perang, yang terakhir, sering menjadi faktor penting dalam pembentukan bangsa dan negara.Bangsa mencari negara karena butuh melindungi dan melestarikan kehidupan anggotanya; yaitu agar bangsa, melalui perwakilan dan lembaganya, dapat bertindak mengamankan perlindungan dan pelestariannya di dunia. Jika negara tak berhasil memenuhi tujuan ini (melalui kekalahan militer atau cara lain), boleh jadi, berisiko mengalami perpecahan, karena keterikatan anggota bangsa dengan negara itu, dapat ditarik. Loyalitas baru kemudian bisa muncul, sehingga merusak eksistensi bangsa. Namun demikian, penentuan apakah bangsa membentuk negara atau negara membentuk bangsa, tak penting, sebab, pada derajat yang berbeda-beda, tergantung pada bangsa yang bersangkutan, melibatkan kedua proses rumit tersebut.'Semar mengakhiri penjelasannya oleh kedatangan Batari Durga. Batari Durga meminta Sadewa agar meruwat dirinya dengan harapan agar dapat kembali pulih, cantik-jelita seperti waktu masih bernama Dewi Uma. Namun, Sadewa tak menyanggupinya. Penolakan ini, membuat Batari Durga marah dan hendak memangsa Sadewa.Batara Narada, yang menyaksikan seluruh peristiwa tersebut, seketika melaporkannya kepada Batara Guru. Mereka bergegas menjumpai Sadewa. Batara Guru memintanya agar memulihkan Batari Durga. Ia meyakinkan Sadewa bahwa ia akan segera menyusup ke tubuh Sadewa agar Sang Hyang Wenang membantunya.Akhirnya, Sadewa berhasl memulihkan Batari Durga sehingga kembali seperti sediakala, menjelma jadi Dewi Uma yang ayu. Dan sebagai ungkapan rasa syukur, Dewi Uma memberi gelar Sudamala kepada Sadewa. Selain itu, Batari Uma juga membantu Sadewa, memusnahkan Kalantaka dan Kalanjaya.
Menyaksikan semua ini, Semar dan para Panakawan, bersenandung,
Sudikah dirimu membuka hatimu?Untuk sang perinduYang s'lalu ingin kehadiranmu'Tuk melindungi hati *)
Kutipan & Rujukan:Laluna menyimpulkan ceritanya dengan berkata, "Di Jawadwipa, ada pembagian teritori dimana Wayang Golek di bagian Barat, Wayang Wong di bagian Tengah, dan Wayang Kulit di bagian Timur. Walau demikian, mereka tetap terpandang sebagai Jagad Pewayangan. Demikian pula, para manusia yang membentuk bangsa-bangsa demi membedakan 'kita' dari 'mereka,' akan dapat menghapus perbedaan itu, bila masing-masing menyadari bahwa mereka itu, bagian dari Kemanusiaan. Wallahu a'lam."
- Steven Grosby, Nationalism - A Very Short Introduction, Oxford University Press
- Antony D. Smith, Nationalism, Polity
- Umut Ozkirimli, Theories of Nationalism, Macmillan Press
- Drs. H. Solichin, Dr. Suyanto, S.Kar. MA, dan Sumari, S.Sn MM, Ensiklopedi Wayang Indonesia, Mitra Sarana Edukasi
- Ir. Sri Mulyono, Apa dan Siapa Semar, CV Haji Masagung
*) "Kembali" karya Muhammad Devirzha
[Bagian 1]
[Bagian 1]