Senin, 22 Agustus 2022

Roh Zaman

"Dalam perspektif Islam, akan selalu ada penekanan pada Hikmah—dan oleh karenanya, Kebijaksanaan—lantaran Hikmah itu, datangnya dari masa-depan. Lalu, engkau akan menyanggah, 'Itu kan tampaknya dari sudut pandang mistis, tapi, adakah gagasan filosofis yang mendukungmya?'" Laluna membuka sebuah tema usai mengucapkan Basmalah dan Salam.

"Para filsuf menghabiskan banyak waktu dalam refleksi," lanjutnya, "dan mereka menghasilkan gagasan, terkadang ide-ide nyeleneh. Namun seiring waktu, ide-ide para filsuf telah mengubah jalannya peristiwa manusia di seluruh planet ini: Filsafat sepenuhnya identik dengan zamannya. Jadi, jika filsafat identik dengan zamannya, adakah perasaan dimana para filsuf revolusioner membawa semangat zamannya sendiri sejauh datang dari masa depan? Mungkinkah itu, topos pengasingan dari apa yang kebanyakan milik kita, bagi zaman kita; yang jauh di kedalaman dan di kedalaman yang jauh. Jika pemikir revolusioner memang datang dari jauh, kedatangannya, hendaklah menjadi ukuran jarak kita sendiri dari masa-depan.
Plato, sangat mungkin, sebuah contoh paradigma filsuf revolusioner dalam pengertian kita, tentang filsuf yang datang dari masa-depan. Menurut Georg Wilhelm Friedrich Hegel, seorang filsuf Jerman, gagasan tentang polis [konsepsi negara-kota], yang dirumuskan Plato dalam The Republic, yang paling masuk akal secara filosofis pada masa Plato. Meskipun cita-cita Plato sangat jauh dari keadaan yang diberikan saat itu, sehingga tampaknya, hampir tak dapat dikenali oleh orang-orang sezamannya, tetap saja, di luar pemikirannya, Plato mampu memahami momen rasional yang tertanam dalam polis-sofis tempatnya tinggal. Setelah mengelaborasi kota idealnya, sebuah kota yang cukup kuat menampung para filsuf, Plato kemudian berada dalam posisi menyeberangi jurang antara yang ideal dan yang nyata guna mengunjungi kembali dan sekali lagi, merangkul kotanya sendiri secara keseluruhan. Pemikirannya menunjukkan kota Athena menjadi bagian dari dunia yang dapat dipikirkan dan dengan melakukannya, ia menyatukan tubuh kota yang terbatas, yang selalu berubah dengan ide abadinya.
Karena alasan inilah, kota yang menghukum mati sang filsuf, tetap dapat dianggap sebagai bagian dari makhluk berkelanjutan, yang mengarahkannya ke masa-depan. Bagi Plato, masa-depan ini, direnungkan dalam kerangka polis keadilan dimana Plato sang filsuf, berdiam secara konseptual dan darimana ia datang, meskipun tak terlihat, disambut oleh mereka yang siap berpikir dalam rangkulan pemikirannya. Setelah tiba dari jauh dengan cara yang memungkinkannya pula tinggal di dunia dengan cara imanen yang radikal, Plato tak kehilangan dirinya, seperti seorang turis, di antara pernak-pernik mengkilap dan hal-hal sepele dari kehidupan pasar. Ia juga tak meninggalkan dirinya pada kearifan lokal yang dangkal. jangankan sebagai pembawa cita-cita dan sejauh ia menemukan kekuatan menahan perpecahan tak terbatas antara yang nyata dan yang ideal, pemikirannya sepenuhnya merangkul momen historis dunianya, dan dengan demikian, memungkinkan 'semangat zaman' memanifestasikan dirinya. dengan pikirannya. Di sinilah letak tekad pemikiran Plato sebagai filsafat revolusioner, yang datang dari masa-depan, pada saat yang tepat.
Dalam hal ini, Plato sang filsuf, datang memberikan efek pada kekuatan transformatif konseptual dari praktik revolusioner pada masanya, dengan cara yang, sebelumnya, tak dapat dipahami oleh Socrates. Pemikiran Plato tumbuh dari kegagalan Socrates meyakinkan Athena, memerankan kembali dirinya sendiri sesuai dengan prinsip pengetahuan diri yang radikal. Meskipun kita dapat mengatakan dalam kapasitasnya sebagai seorang revolusioner, Socrates, juga datang dari masa depan, hanya saja, sang filsuf berhasil memikirkan apa yang diumumkan oleh praktik revolusioner, namun tak sangguo mencapainya. Maka, pemikiran filsuf terjadi dalam kemunduran masa-depan yang dicanangkan oleh praktik revolusioner, yang gagal. Inilah nasib pemikiran filosofis pada masa Plato.

Lantas, bagaimana dengan pandangan Hegel sendiri? Hegel menganggap serius sejarah. Berbeda dengan Kant, yang menganggap ia dapat mengatakan dengan dasar filosofis murni, apa itu sifat manusia, dan selalu, Hegel menerima saran Schiller bahwa dasar-dasar kondisi manusia, dapat berubah dari satu era sejarah ke era sejarah lainnya. Gagasan tentang perubahan ini, tentang perkembangan sepanjang sejarah, fundamental bagi pandangan Hegel tentang dunia.
Filsafat Sejarah Hegel berisi banyak informasi sejarah. Di dalamnya dapat ditemukan semacam garis besar sejarah dunia, dari peradaban awal Cina, India, dan Persia, melalui Yunani kuno ke zaman Romawi, dan kemudian menelusuri jalan sejarah Eropa dari feodalisme ke Reformasi dan ke Pencerahan, serta Revolusi Perancis.
Hegel menerima pandangan bahwa Revolusi Prancis itu, hasil dari kritik terhadap tatanan yang ada, yang dibuat oleh para filsuf Prancis. Prancis sebelum Revolusi, memiliki bangsawan tanpa kekuatan nyata, namun dengan hak-hak istimewa massa yang membingungkan, yang tak punya dasar rasional. Terhadap keadaan yang sama sekali tak rasional ini, konsepsi para filsuf tentang Hak Asasi Manusia, menegaskan dirinya sendiri, dan menang.
Namun, akibat langsung dari 'fajar mental yang mulia' ini, Teror Revolusioner, suatu bentuk tirani yang menjalankan kekuasaannya, tanpa formalitas hukum dan menjatuhkan hukuman mati cepat, dengan guillotine sebagai hukumannya. Apa yang keliru? Kekeliruannya, berusaha mempraktekkan prinsip-prinsip filosofis yang murni abstrak, tanpa memperhatikan watak orang. Upaya ini, didasarkan pada kesalahpahaman tentang peran akal, yang tak boleh diterapkan secara terpisah dari komunitas yang ada dan orang-orang yang membentuknya.
Revolusi Prancis sendiri, dengan demikian, gagal. Bagaimanapun, signifikansi sejarah dunianya, terletak pada prinsip-prinsip yang diteruskannya kepada orang lain dan khususnya terhadap Jerman. Kemenangan-kemenangan singkat Napoleon cukup untuk mewujudkan di Jerman suatu hak kode, membangun kemerdekaan seseorang dan kebebasan hak kepemilikan, membuka kantor-kantor negara bagi warga negara yang paling berbakat dan menghapus kewajiban feodal. Raja tetap sebagai puncak pemerintahan dan keputusan pribadinya bersifat final; namun karena hukum yang mapan dan organisasi negara yang mapan, apa yang tersisa pada keputusan pribadi raja, menurut Hegel, 'dalam hal substansi, bukanlah masalah besar'.
Namun Hegel jelas tak menganggap Filsafat Sejarahnya, semata sebagai garis besar sejarah. Hegel sendiri mengatakan bahwa 'filsafat sejarah tak bermakna apa-apa kecuali pertimbangan yang matang tentangnya'. Meskipun ini mungkin definisinya sendiri, bagaimanapun juga, hal tersebut menyampaikan gagasan yang kurang memadai tentang apa yang Hegel lakukan dalam Filsafat Sejarahnya. Apa yang ditinggalkan oleh definisi Hegel ialah, niatnya bahwa 'pertimbangan yang bijak' dari sejarah, seyogyanya berusaha menyajikan bahan mentahnya sebagai bagian dari proses perkembangan yang rasional, dengan demikian mengungkapkan makna dan signifikansi sejarah dunia.

Hegel mengatakan bahwa seluruh objek Filsafat Sejarah itu, berkenalan dengan Geist—semangat individu atau kelompok—dalam peran pemandunya dalam sejarah. Tanpa pengetahuan tentang ide ini, oleh karenanya, seseorang hanya dapat memahami sebagian tentang pandangan Hegel tentang sejarah. Juga, dalam Filsafat Hak, konsep Geist tak pernah jauh. Hegel mengacu pada negara, misalnya, sebagai 'Geist yang diobjektifikasi'.
Dalam bahasa Jerman kata 'Geist' cukup umum, namun punya dua makna yang berbeda, meskipun terkait. Kata standar inilah yang digunakan untuk mengartikan 'pikiran', dalam arti dimana pikiran kita berbeda dari tubuh kita. Misalnya, 'penyakit mental' adalah Geisteskrankheit secara harfiah, 'penyakit pikiran'. Geist dapat pula bermakna 'roh'. Jadi 'roh zaman' adalah der Zeitgeist.

Para filsuf ditantang untuk mengalami filsafat seperti yang terjadi pada Zeitgeist. Melalui kemunculannya, Zeitgeist telah secara eksplisit menjadi zaman konsep-konsep kunci Hegelian yang dipahami, bukan sebagai tema, melainkan sebagai kejadian pemikiran itu sendiri, baik tentang sejarah, masa depan, manifestasi, keterasingan, pengakuan, keberbedaan, rekonsiliasi atau filsafat. Zeitgeist adalah agen atau kekuatan tak terlihat yang mendominasi karakteristik zaman tertentu dalam sejarah dunia. Zeitgeist dapat dimaknai sebagai suasana yang ada atau muncul dalam setiap masyarakat, yang seolah-olah merupakan konsensus yang 'misterius', yang dicirikan mampu berubah secara relatif cepat atau dinamis, tak statis, yang menjadi ciri suatu kurun waktu historis tertentu, secara menyeluruh, dalam segala bidang kehidupan.

Lalu, apa implikasi Zeitgeist? Sejak tahun 2001, Google telah menerbitkan Google Zeitgeist tahunan. Google Zeitgeist adalah kumpulan pembicaraan oleh orang-orang yang mengubah dunia. Berdasarkan analisis statistik dari kueri penelusurannya, perusahaan menyediakan sejumlah grafik interaktif yang menggambarkan apa yang paling diminati orang selama setahun terakhir. Dalam catatan penjelasan, para pengembang menulis bagaimana dalam pandangan mereka, zeitgeist—menjadi 'iklim intelektual, moral, dan budaya umum suatu era—menjadi terlihat 'melalui kumpulan jutaan kueri penelusuran yang diterima Google setiap hari.

Hegel meyakini bahwa budaya dan seni mencerminkan zamannya. Fesyen telah menjadi apa yang diinginkan seni: Zeitgeist mengekspresikan dirinya dalam bentuk yang terlihat. Panggungnya bukan lagi salon aristokrat atau pertemuan masyarakat terpilih di teater, opera, atau arena pacuan kuda. Mode sekarang dibuat, dipakai dan ditampilkan, bukan oleh kaum borjuis atau aristokrat, melainkan di jalanan. Kota-kota besar–London, Berlin, New York, Paris, Tokyo, Roma–merupakan theatrum mundi yang menjadi pintu masuknya. Pejalan kaki Baudelaire yang sangat menarik, dibawakan oleh orang banyak, dengan kerutan dan jumbai, melewati para penonton, wanita pengemis yang berambut merah, yang mendambakan perhiasan imitasi murah, merupakan gejala awal dari perubahan suasana ini. Mereka menunjukkan hubungan baru antara keindahan dan ideal, yang terus memberikan efek laten hingga akhir abad berikutnya.

Pada Juni 2020, hampir enam bulan sejak pandemi dimulai, dunia berada di tempat yang berbeda. Dalam jangka waktu yang singkat ini, COVID-19 telah memicu perubahan penting dan memperbesar garis patahan yang telah menimpa ekonomi dan masyarakat kita. Meningkatnya ketidaksetaraan, rasa ketidakadilan yang meluas, kesenjangan geopolitik yang semakin dalam, polarisasi politik, meningkatnya defisit publik dan tingkat utang yang tinggi, tata kelola global yang tak efektif atau tak ada, finansialisasi yang berlebihan, degradasi lingkungan: semua ini, tantangan utama yang ada sebelum pandemi. Krisis korona telah memperburuk semuanya. Mungkinkah bencana COVID-19 menjadi petir sebelum guntur? Mungkinkah ia berkekuatan memicu serangkaian perubahan besar? Kita tak dapat mengetahui seperti apa dunia dalam waktu 10 bulan, apalagi 10 tahun dari sekarang, namun apa yang kita ketahui ialah, kita berbuat sesuatu, guna mengatur-ulang dunia."

Rembulan menutup pembahasannya dengan bersenandung, 
Roda jaman menggilas kita
Terseret tertatih-tatih
Sungguh hidup terus diburu
Berpacu dengan waktu

Tak ada yang dapat menolong
Selain Yang di sana
Tak ada yang dapat membantu
Selain Yang di sana *)
Kemudian ia berkata, "Zaman terus bergulir di luar kekuasaan manusia. Sungguh, setiap orang, seyogyanya mempergunakan qalbu dan pikirannya agar dapat membaca, minimal meraba, panggilan zaman—Zeitgeist, bila tidak, ia akan tergilas oleh roda zaman. Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Georg Wilhelm Friedrich Hegel, The Phenomenology of Spirit, Cambridge University Press
- Paul Ashton, Toula Nicolacopoulos and George Vassilacopoulos (Ed.), The Spirit of the Age, re.press
- Alexandre Kojeve, Introduction to the Reading of Hegel, Cornell University Press
- Peter Singer, Hegel - A Very Short Intoduction, Oxford University Press
- Barbara Vinken, Fashion Zeitgeist, Translated by Mark Hewson, Berg
*) "Menjaring Matahari" karya Ebiet G. Ade