Kutipan & Rujukan:"Sang Rektor menyambung, 'Korupsi dapat berdampak negatif pada sistem politik—semisal demokrasi atau otokrasi—dan rezim—tim yang menjalankan sistem—dalam berbagai cara. Misalnya, korupsi dapat secara tak adil meningkatkan kekuasaan dan pengaruh masing-masing legislator yang bersedia memberikan hak istimewa kepada siapapun, yang bersedia membayar suap atau meningkatkan prospek mereka dalam pemilu mendatang. Yang terakhir ini, terlihat di seluruh dunia dalam bentuk Pork-Barrelling—pemanfaatan dana pemerintah untuk proyek-proyek yang dirancang menyenangkan pemilih atau legislator dan memenangkan suara, dimana legislator secara tak tepat mengalokasikan atau menjanjikan dana kepada konstituen tertentu, demi meningkatkan dukungan pemilih.Namun, poin tentang pilih-kasih yang tak pantas ini, membawa kita ke area abu-abu dalam masalah korupsi, masalah Lobi. Di negara-negara seperti Amerika Serikat, Lobi itu, legal dan terorganisir secara formal. Akan tetapi, ada orang yang memandang Lobi sebagai bentuk korupsi, dan berpendapat bahwa itu, pada dasarnya setara fungsional di negara-negara kaya dari upaya korupsi yang lebih jelas untuk mempengaruhi politisi di negara-negara miskin. Namun, dalam memutuskan apakah Lobi merupakan suatu bentuk korupsi atau tidak, perlu mencermati sifat yang tepat dari kasus-kasus tertentu; generalisasi bisa menyesatkan.Banyak organisasi melobi demi tujuan yang kebanyakan orang anggap sah, seperti World Wildlife Fund atau organisasi amal lainnya, dan Lobi semacam itu, hendaknya dibedakan dari yang berkaitan dengan kepentingan pribadi yang lebih jelas. Selain itu, jika pendanaan Lobi berasal dari lembaga yang terdaftar secara resmi dan bukan untuk membayar suap, dan jika—dan ini merupakan peringatan penting—rincian keuangan lembaga semacam itu, sepenuhnya transparan, maka tak pantas menyebutnya, korupsi. Melobi oleh beberapa jenis organisasi, mungkin tampak tidak fair, memberi mereka yang memiliki sumber daya yang cukup, peluang yang lebih baik daripada yang tersedia bagi kebanyakan orang untuk mencoba mempengaruhi pembuat keputusan politik, tetapi itu hanyalah aspek lain dari ketidaksetaraan politik yang ada, bahkan di negara yang paling demokratis sekalipun. Dengan demikian, masalah bagi para teoretisi demokrasi sama besarnya dengan para analis korupsi.Masalah rumit lainnya bagi para ahli teori dan praktisi demokrasi, ialah cara terbaik mendanai partai politik—khususnya, apakah ini dapat dilakukan dengan cara yang anti korupsi atau tidak. Pada tahun 1999, Jerman menyaksikan munculnya apa yang disebut skandal Kohlgate, dimana ketua kehormatan Christian Democratic Union (CDU) Helmut Kohl dituduh terlibat dalam korupsi penerimaan dan distribusi dana gelap bagi partainya selama masa jabatannya sebagai Kanselir (perdana menteri) Jerman (1982–98). CDU akhirnya dinyatakan bersalah melakukan korupsi, dan Presiden majelis rendah parlemen berusaha mendenda partai tersebut dengan total di bawah 50 juta mark (sekitar 25 juta Euro). Meskipun hukuman ini akhirnya dibatalkan, aturan pendanaan partai Jerman secara substansial diubah—diberikan lebih transparan dan tak terlalu bergantung pada kontribusi bisnis—sebagai akibat langsung dari perselingkuhan Kohlgate. Signifikansi khusus dari kasus ini, bukanlah fakta bahwa seorang politisi Barat terkemuka telah dituduh melakukan korupsi—Jacques Chirac dari Prancis dan Silvio Berlusconi dari Italia, juga menghadapi tuduhan korupsi dalam beberapa tahun terakhir—tetapi hal itu terjadi di negara yang terkenal memiliki salah satu sistem pembiayaan pesta terbaik di dunia.Korupsi dapat merusak persaingan elektoral, meningkatkan ketidaksetaraan antar partai politik, dan menurunkan daya saing partai. Kecurangan dan ketidakwajaran pemilu, punya banyak bentuk; dua dari yang paling umum ialah kecurangan surat suara dan pembelian suara. Ada banyak kasus yang keduanya diduga dan terbukti di sebagian besar dunia dalam beberapa tahun terakhir. Tetapi, seperti halnya banyak bentuk korupsi, keduanya bukanlah fenomena baru atau unik bagi negara berkembang dan transisi: contoh awal pembelian suara ialah 'pemilihan barang bekas' tahun 1768 di Northamptonshire (Inggris).Keputusasaan warga dapat meningkatkan daya-tarik pemilih politisi ekstremis, baik kiri maupun kanan, yang berjanji memberantas korupsi. Penelitian empiris menunjukkan bahwa para ekstremis tersebut, pada umumnya terbukti tak efektif dalam mengurangi korupsi jika terpilih; namun ada kepercayaan luas di beberapa negara, bahwa mereka punya peluru ajaib.Tuduhan korupsi oleh salah satu partai atau politisi dapat mengundang kontra-tuduhan. Hal ini, dapat mengakibatkan meningkatnya ketidakpuasan di kalangan pemilih, dengan berbagai hasil yang tak diinginkan. Salah satunya, bahwa warga menjadi sinis, dan karenanya, terasing dari sistem politik, meskipun secara pasif. Yang lain, bahwa mereka jadi naik-pitam, yang mengarah pada kerusuhan massa aktif yang mendelegitimasi dan mengacaukan sistem, dan dapat menyebabkan penggulingan rezim, atau bahkan sistem itu sendiri. Dalam analisis korupsi 2012, Frank Vogl berfokus pada apa yang disebut Musim Semi Arab 2011, dan melihat kemarahan publik pada korupsi sebagai faktor utama runtuhnya rezim dan sistem di Mesir dan Tunisia.Dengan demikian, korupsi dapat merusak legitimasi sistem—hak yang dirasakan para penguasa untuk memerintah. Terlalu banyak korupsi dan pemberitaannya, dapat mengakibatkan orang kehilangan kepercayaan pada pasar, demokrasi, dan supremasi hukum. Sementara hal ini cenderung lebih tak stabil di negara-negara transisi, poin ini, berlaku bahkan untuk negara-negara Barat yang maju. Pada Januari 2013, Sekretaris Jenderal Dewan Eropa berpendapat bahwa ‘Korupsi itu, satu-satunya ancaman terbesar bagi demokrasi di Eropa saat ini. Semakin banyak orang di benua kita, yang kehilangan kepercayaan pada supremasi hukum.’Jika orang kehilangan kepercayaan pada supremasi hukum di negara-negara yang sebelumnya telah ada, kemungkinan penyalahgunaan kebebasan sipil dan hak asasi manusia secara sewenang-wenang, meningkat. Sementara masalah ini pada awalnya mempengaruhi warga biasa, kesewenang-wenangan yang berlebihan, dapat berbahaya pula bagi elit politik, sebab kekuasaan mereka terancam oleh kerusuhan massa. Seperti banyak aspek korupsi lainnya, bahaya ini, bukanlah hal baru; dalam konsep tradisional Asia Timur tentang 'mandat langit', masyarakat berhak mencopot seorang kaisar yang tak kompeten, tiran, atau korup.Agar negara dapat menjalankan fungsi pertahanan, penegakan hukum, dan kesejahteraannya dengan baik, diperlukan pendanaan yang memadai; jika korupsi mengurangi pendapatan pemerintah, hal ini berefek merugikan pada keseluruhan kapasitas negara demi melindungi rakyat. Ada korelasi kuat antara negara yang lemah dan tingkat korupsi yang tinggi.Selama tahun 1990-an, tatkala keamanan di pangkalan militer di banyak negara penerus Soviet, sangat lemah, berbagai laporan pemerintah Barat dan analisis akademis mengklaim bahwa pejabat korup di Rusia dan Ukraina, secara ilegal menjual bahan nuklir kepada siapapun yang mau membayarnya. Sementara banyak bukti tak langsung tentang hal ini, ada bukti tak terbantahkan bahwa pejabat korup di negara-negara lemah, telah menjual berbagai jenis senjata kepada geng kejahatan terorganisir dan teroris.Namun poin ini, dapat pula diterapkan pada demokrasi yang matang. Pada bulan Maret 2014, sebagai akibat dari operasi penangkapan FBI, seorang senator negara bagian California, ditangkap dan didakwa berkolusi dengan kejahatan terorganisir China yang berbasis di AS dalam perdagangan senjata ke kelompok pemberontak Islam yang berbasis di Filipina: bayaran senator, menurut ke FBI, sumbangan untuk kampanye politiknya. Ia diduga berencana memperluas operasi perdagangannya ke Afrika, dan tak peduli dengan bahaya yang mungkin ditimbulkan oleh perdagangannya; kasus ini terus berlangsung.Poin terakhir tentang demokrasi yang matang dan perdagangan senjata, bahwa sejumlah perusahaan Barat telah dituduh membayar suap besar kepada pejabat pemerintah di luar negeri agar mengamankan kontrak pembelian peralatan militer; sehingga bukan hanya individu dan geng yang terlibat korupsi dalam bisnis yang berpotensi mematikan ini.Beberapa dampak korupsi di satu negara terhadap negara lain, lebih menjengkelkan ketimbang bahaya nyata. Misalnya, premi asuransi mobil di Jerman meningkat pada 1990-an sebagian karena begitu banyak mobil yang dicuri di sana dan diselundupkan ke negara-negara Eropa Tengah dan Timur; raket ini, sering melibatkan geng yang menyuap petugas bea cukai agar menoleh ke arah lain saat mobil sedang dalam perjalanan.Namun banyak konsekuensi internasional korupsi jauh lebih serius. Misalnya, organisasi kriminal yang terlibat dalam perdagangan internasional—termasuk narkoba, senjata, manusia, dan bagian tubuh manusia—akan jauh kurang efektif jika bukan karena fakta bahwa mereka sering kali dapat menyuap petugas bea cukai, petugas polisi, dan pejabat lain agar menutup mata terhadap kegiatan mereka, atau untuk memperingatkan mereka sebelum penggerebekan yang akan datang (misalnya rumah bordil ilegal dimana terdapat orang-orang yang diperdagangkan secara transnasional).Sayangnya, pragmatisme sering mendominasi prinsip dalam hubungan internasional, dan negara-negara yang tampaknya memiliki tingkat korupsi yang relatif rendah, mungkin secara de facto menoleransi tingkat korupsi yang tinggi di negara yang punya senjata nuklir atau komoditas (semisal minyak), dimana negara-negara yang tak terlalu korup, bergantung pada yang tingkat korupsinya, tinggi. Akan tetapi, kadang-kadang, korupsi di negara lain menjadi sangat tak dapat ditoleransi, sehingga negara lain memutuskan berbuat sesuatu. Contoh, Undang-Undang Magnitsky 2012 AS, yang dirancang untuk menghukum (melalui larangan visa dan pembekuan rekening bank) pejabat Rusia yang dianggap berperan dalam kematian auditor Sergei Magnitsky. Relevansinya dengan korupsi, bahwa Magnitsky telah menyelidiki penipuan di antara pejabat pajak dan petugas polisi Rusia, dan kemudian ditangkap karena dugaan kolusi dengan perusahaan penasihat investasi yang telah melaporkan dugaan korupsi kepada otoritas Rusia dan pada gilirannya, dituduh oleh otoritas penghindaran pajak. Kematian Magnitsky dalam tahanan, sangat mencurigakan. Tak disangka, tindakan itu, memperburuk hubungan antara Moskow dan Washington; Rusia segera membuat daftar orang Amerika yang takkan diberikan visa, dan melarang keluarga AS mengadopsi anak-anak Rusia.Banyak pembaca yang lebih menyukai definisi korupsi yang luas akan mengetahui tuduhan yang dibuat terhadap berbagai badan olahraga internasional, termasuk organisasi sepak bola terkemuka, FIFA. Pada awal 2014, contoh yang paling banyak diberitakan terkait proses tender Piala Dunia 2022. Terbukti atau tidak tuduhan tersebut, melemahkan legitimasi internasional dari badan-badan tersebut, serta negara-negara yang dituduh terlibat dalam praktik korupsi.Korupsi itu, apa yang oleh para ilmuwan sosial sebut sebagai masalah 'durjana', yang bermakna bahwa korupsi sangat kompleks, sehingga hanya dapat diselesaikan sebagian; ia dapat dikendalikan, namun tak pernah sepenuhnya diberantas. Negara hanyalah salah satu dari banyak aktor yang berperan dalam pengendalian korupsi.Aku akan menyimpulkan kuliah ini dengan satu kalimat saja, 'Bahwa salah satu penyebab Radikalisme—atau di-Radikal-kan—itu, KO-RUP-SI!"Para hadirin bertepuk-tangan, dan semuanya tarik-suara,Kisah usang tikus-tikus kantorYang suka berenang di sungai yang kotorKisah usang tikus-tikus berdasiYang suka ingkar janji lalu sembunyiDi balik meja teman sekerjaDi dalam lemari dari baja *)Sebelum pergi, Laluna berkata, “Banyak analis berpendapat bahwa keberhasilan akhir—atau sebaliknya—dari tindakan anti-korupsi, bergantung pada kemauan politik. Kepemimpinan politik, tak semata berkomitmen, yaitu berkemauan politik memerangi korupsi, melainkan pula, seyogyanya punya kapasitas melaksanakan kemauannya.Banyak budaya dan bahasa punya ungkapan 'IKAN MEMBUSUK DARI KEPALA', maknanya, korupsi akan lebih memburuk bilamana elit politik memberi teladan yang buruk. Dalam pengertian ini, mungkin tampak bahwa kemauan kepemimpinan itulah yang terpenting. Namun yang sangat penting, bukanlah semata kemauan. Sebuah kepemimpinan, mungkin benar-benar berkomitmen memerangi korupsi, namun tak punya kontrol yang memadai atas birokrasinya sendiri, guna mewujudkan komitmen ini, jadi kenyataan. Wallahu a'lam.”
- Leslie Holmes, Corruption: A Very Short Introduction, Oxford University Press
*) "Tikus-tikus Kantor" karya Iwan Fals