"Seorang turis sedang mengemudi di jalan berpasir dan menemukan tanda larangan yang bertuliskan, JALAN DITUTUP. JANGAN MASUK!Ia melihat, dan menurutnya, bahwa jalan tersebut bisa dilewati, maka iapun tancap-gas dan mengabaikan tanda tersebut, lalu lanjut dengan mengemudikan kendaraannya.Satu mil kemudian, tibalah ia di sebuah jembatan yang jebol. Mau gak mau, ia harus putar-balik dan melaju kembali ke arah dimana ia datang. Saat ia mendekati tanda larangan tadi, ia mendapati sisi lainnya berbunyi: SELAMAT DATANG KEMBALI. UDAH DIBILANGIN KAAN!" Swara membuka dengan sebuah guyonan, usai, seperti biasa, mengucapkan Basmalah dan Salam.Swara lalu melanjurkan, "Suatu hari, Katak dan Kodok pergi bermain layang-layang. Mereka ke padang rumput luas yang anginnya kencang. 'Layang-layang kita akan terbang ke awang-awang,' kata Katak. 'Ia bakal terbang sampai ke puncak langit.''Kodok,' kata Katak, 'Ane yang megang bola benangnya. Ente yang narik layangannya 'n lari.' Kodok lalu berlari melintasi padang rumput. Ia berlari secepat kaki pendeknya bisa membawanya. Namun tiba-tiba, ia menginjak sesuatu, membuatnya tersandung.Melihat hal tersebut, Katak berlari mengejar Kodok, 'Ente gak apa-apa sobat?''Ya, ane baik-baik aja. Sesuatu menghalangi jalan ane, dan ane kepo, apa itu.' kata Kodok seraya matanya mencari-cari sesuatu.'Ketemu. Tuh, sebuah buku!' seru Kodok.'Mari kita lihat buku macam apa itu,' kata Katak sembari membersihkannya dari lumpur yang menempel. Kodok membacanya, 'Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda, oleh Multatuli.''Itu, buku novel sejarah,' jawab Katak. 'Trus, siapa Multatuli?' tanya kodok.'Yuk pulang, kita akan temukan jawabannya nanti!' ajak Katak.Di rumah Kodok, Katak berusaha mengingat sesuatu dan, 'Aku ingat sekarang!' seru Katak. 'Multatuli itu, nama pena Eduard Douwes Dekker, lahir tahun 1820 di Amsterdam. Selama 14 tahun, ia terus menerus tinggal di negeri Khatulistiwa. Pengalamannya saat di Natal dan di Padang, yang ia ceritakan dalam Max Havelaar, merupakan bukti betapa dalamnya semua itu membekas didalam jiwanya. Di sana, ia sungguh sangat menderita, seperti yang dikatakannya sendiri. Multatuli [bahasa Latin] bermakna 'Aku telah banyak menderita.'Buku tersebut, membeberkan dengan tajam dan tak kenal ampun, ketidakadilan dan penderitaan di Hindia Belanda kala itu. Multatuli bukanlah satu-satunya, dan bukan pula yang pertama, yang mensinyalir dan menggugat ketidakadilan yang menimpa para penduduk Bumiputera. Namun suara yang lain, tak kedengaran atau nyaris tak terdengar.Dengan ketelitian, ketepatan dan penuh penghayatan, yang menunjukkan rasa senasib-sepenanggungan dengan obyeknya, dalam hal ini, penderitaan, Multatuli menggambarkan keadaan sejarah sebuah negeri di Khatulistiwa, terutama kehidupan masyarakat didaerah kabupaten Banten Selatan, sebagaimana dijumpai pada pertengahan abad-19 dengan beragam aspeknya, antara lain: Kehidupan masyarakat petani yang penuh penderitaan pada jaman kekejian Cultuurstelsel dan acapkali mengalami bahaya kelaparan; Sifat-sifat Bumiputera yang pemurah dan setia, tetapi seringkali disalahgunakan oleh para bupati yang tak bertanggungjawab; Kehidupan rumah tangga seorang bupati dengan biaya yang mahal, dalam sistim masyarakat feodal dikala itu, dan demi memenuhi keperluannya, seringkali para petanilah yang menjadi korban pemerasan dan penindasan. Buku ini menyajikan aspek-aspek kemanusiaan dan pendidikan watak.Novelnya dimulai dengan kalimat satire, 'Ik ben makelaar in koffie ...''Sebaiknya kita membacanya!' saran Kodok. 'Ide bagus. Ente gak keberatan kan, bacain buat kita bedua?' pinta Katak. Kodok lalu mulai membaca: BAB PERTAMA'Aku seorang makelar kopi, tinggal di Lauriergracht No. 37 [nama sebuah jalan di Amsterdam—dikiri-kanan sebuah parit—dimana yang tinggal hanya warga yang sugih]. Bukanlah kebiasaanku menulis roman atau semacamnya, dan karenanya, cukup lama aku berpikir sebelum memutuskan membeli beberapa rim kertas ekstra, dan memulai karya yang barusan engkau pegang, pembaca yang budiman, karya yang hendaknya engkau baca, andai engkau makelar kopi, atau punya pekerjaan lain. Bukan saja aku belum pernah menulis sesuatu yang serupa dengan roman, aku malahan tak suka membaca bacaan semacam itu, lantaran aku seorang pedagang. Telah bertahun-tahun aku bertanya, apa gunanya semua itu, dan kuheran melihat betapa cerobohnya seorang penyair atau penutur roman memperdayaimu dengan cerita yang tak pernah terjadi, dan seringkali tak mungkin bisa terjadi. Jika dalam garis pekerjaanku—aku seorang makelar kopi, dan tinggal di Lauriergracht No. 37—memberikan keterangan kepada seorang prinsipal—seorang prinsipal ialah orang yang menjual kopi—dalam keterangan mana kedapatan sebagian kecil saja dari kebohongan-kebohongan yang engkau temukan dalam sajak-sajak dan roman-roman, sudah pasti ia segera pindah ke Busselinck & Waterman. Yang tersebut kemudian ini pun, makelar kopi, tapi alamatnya tak usah engkau tahu. Sebab, aku takkan menulis roman, atau memberikan keterangan palsu lainnya. Aku selalu melihat, bahwa orang-orang yang melakukan pekerjaan itu, biasanya berakhir buruk. Usiaku empat puluh tiga tahun; selama duapuluh tahun, aku mengunjungi bursa, dan bolehlah aku tampil kedepan, kalau ada orang yang meminta tenaga berpengalaman. Telah banyak kulihat firma dagang yang runtuh! Dan seringkali, bila kuselidiki sebab-sebabnya, maka aku beroleh kesan bahwa sebabnya ialah karena kebanyakan mereka, diberi arah yang keliru semenjak kecil.Aku berkata, Kebenaran dan Akal-sehat; kutetap berpegang padanya. Tentu kukecualikan Alkitab. Kesalahan telah dimulai pada Van Alphen [seorang pengarang Belanda ternama diabad ke-18 yang membuat sajak bagi anak-anak], yakni seketika pada baris pertama mengenai, 'anak-anak yang manis'. Genderuwo mana yang menggerakkan orang tua itu, bertindak sebagai pemuja adikku, Truitje, yang matanya sakit, atau saudaraku Gerrit, yang selalu bermain dengan hidungnya?—namun demikian, katanya, ia mendendangkan sajak-sajak itu, karena didorong oleh cinta'. Sebagai anak kecil, aku sering berpikir; 'bung, aku ingin bertemu denganmu,' dan apabila engkau tak mau memberikan gunduh marmar yang akan kupinta, atau nama lengkapku—namaku Batavus [berasal dari Batavir, moyang orang Belanda]—maka kuanggap engkau seorang pendusta. Namun aku belum pernah bertemu Van Alphen; aku kira, ia telah tiada, tatkala ia menceritakan kepada kami, bahwa ayahkulah temanku yang paling baik—aku lebih menyukai Pauweltje Winser, yang tinggal disebelah kami di Batavierstraat—dan bahwa anjingku yang kecil, sangat berterima kasih—kami tak memelihara anjing, karena kotor.Semuanya dusta. Dan demikianlah anak-anak terus dididik. Sang adik kecil datangnya dari pedagang sayur dalam sebuah kubis yang besar. Semua orang Belanda berani dan berhati mulia. Orang Romawi bersukacita, bahwa kaum Batavir tak mencabut nyawa rnereka. Bey di negeri Tunis mulas perutnya, bila ia mendengar bendera Belanda berkibar-kibar. Hertog Alva [seorang panglima besar Spanyol abad 16 yang ditakuti dan dibenci; ia mendapat perintah memadamkan pemberontakan yang timbul di negeri Belanda] itu, durjana. Air surut kukira tahun 1672 [tahun 1672 negeri Belanda diserang oleh Prancis dan Inggris, tapi serangan tersebut dipatahkan], agak lama dari biasanya, semata-mata untuk menyelamatkan negeri Belanda. Bohong. Negeri Belanda tetaplah negeri Belanda, lantaran tetua kami menjaga harta bendanya dengan baik dan karena mereka berkeyakinan yang benar, itulah soalnya.Lalu kemudian, datang lagi kebohongan-kebohongan lain! Seorang gadis adalah bidadari. Siapa yang menemukan pendapat itu pertama kali, tak pernah punya kakak perempuan. Cinta itu, suatu kebahagiaan, orang lari dengan sesuatu ke ujung dunia. Bumi tak berujung, dan cintapun suatu kegilaan. Tiada orang yang dapat mengatakan, bahwa aku tak hidup dengan baik dengan isteriku—ia seorang puteri Last & Co, makelar kopi—tiada seorangpun yang dapat menyalahkan sesuatu dalam perkawinan kami. Aku anggota sebuah perkumpulan Artis dan ia punya selembar syal panjang seharga sembilan puluh dua gulden, dan di antara kami, tak pernah ada cinta gila yang ingin hidup di ujung dunia. Setelah menikah, kami jalan-jalan ke Den Haag—disanalah ia membeli flanel—yang dibuat baju kaos dan sampai sekarang, masih kupakai—dan selanjutnya, cinta itu, tak pernah memburu kami ke dunia luas. Jadi, semua itu, kekonyolan dan dusta belaka.Dan kurang berbahagiakah sekarang perkawinanku dari perkawinan orang-orang yang, karena cinta, sampai sakit batuk kering, atau mencabut rambut dari kepalanya ? Atau berpikirkah engkau, bahwa rumahtanggaku bakal tak sesuai dengan aturan yang berlaku, jika saja tujuh belas tahun yang lalu mengatakan kepada pacarku dengan sajak, bahwa aku hendak menikahinya? Gile. Akupun bisa membuat sajak seperti orang lain, sebab pekerjaan itu mudah, pastilah tak sesukar membuat barang gading. Jika tidak, bagaimanakah olivela dengan semboyan-semboyan [permen yang dibungkus dengan kertas bertuliskan sajak-sajak] bisa begitu murah ? (Frits selalu menyebut 'Uhlefeldjes, aku tak tahu mengapa), dan cobalah tanyakan harga satu stel bola bilyar!Aku tak punya keberatan apa-apa terhadap sajak-sajak. Kalau orang hendak menjajarkan kata-kata, baiklah, tapi jangan katakan sesuatu yang tidak benar. 'Udara hitam pekat, dan sudah pukul empat.' Aku tak keberatan, kalau udara memang pekat, dan waktu pukul empat. Tapi kalau jam merujuk pukul tiga kurang lima belas, maka aku, yang tak menjejerkan kata-kata dalam barisan, dapat mengatakan: 'udara hitam pekat dan waktu pukul tiga kurang lima belas’. Tapi sang penyair, karena ada hitam pekat di baris pertama, terikat kepada pukul empat; sekiranya waktu pukul lima, dua, satu, maka udara tidaklah hitam pekat. Maka mulailah ia bertukang; atau udara harus dirubah, atau waktu semestinya diganti. Salah-satu dari keduanya, dusta.Dan tak semata sajak-sajak yang menggoda anak-anak muda agar berbohong; cobalah masuk Gedung Komedi, dan dengarkan segala macam dusta yang dijual ke publik. Pahlawan dalam cerita, diangkat dari air oleh seseorang yang hampir bangkrut. Lalu ia memberikan separuh kekayaannya; itu tak mungkin benar. Tatkala baru-baru ini di Pringsengracht, topiku jatuh kedalam air, dan orang yang terjun—Frits bilang: menyelam—untuk mengembalikan topi itu, kuberi sepicis, dan ia merasa senang. Aku tahu bahwa aku seyogyanya memberikan lebih banyak, jika saja yang diangkatnya dari dalam air, tapi pastilah tak separuh kekayaanku— sebab jelas, dengan cara itu, orang cuma dua kali bisa jatuh kedalam air, lalu menjadi miskin semiskin-miskinnya. Celakanya, bahwa pada pertunjukan diatas pentas demikian itu, publik telah sangat terbiasa dengan segala kebohongan itu, sehingga menganggapnya baik dan menyanjungnya. Terkadang, aku ingin melemparkan seluruh penonton yang duduk di bangku itu, kedalam air, guna melihat, siapa yang sesungguhnya memuja pertunjukan itu. Aku, yang cinta Kebenaran, menyampaikan kepada setiap orang, bahwa aku tak mau membayar upah teramat mahal untuk mengangkat tubuhku dari dalam air. Bila orang tak senang, biarkan saja didalam air. Hanya di hari Minggu, aku bersedia memberi persenan lebih banyak, sebab pada hari itu, aku memakai rantai kantilia [rantai dari benang emas yang dipilin] dan mantel yang berbeda.Ya, banyak yang rusak gegara sandiwara itu; lebih banyak dari orang yang rusak oleh roman-picisan. Sebab nampak kasat-mata. Dengan emas karajang [semacam lembaran-lembaran emas] dan renda dari kertas yang putih bersih, semua itu, nampak amat menarik. Maksudku, bagi anak-anak dan orang yang tak berdagang. Bahkan apabila hendak mempertontonkan kemiskinan, pertunjukan itu, kerap berdusta. Seorang gadis yang ayahnya jatuh bangkrut, bekerja untuk menolong keluarga; sangat bagus. Nampaklah ia disana, menjahit, merajut atau menyulam. Akan tetapi, cobalah hitung berapa kali tusukan-jarum selama seluruh babak. la berbicara, mengeluh, berjalan ke jendela, tapi tak bekerja. Keluarga yang bisa hidup dengan pekerjaannya itu, tak banyak keperluannya. Gadis semacam itu, tentu saja merupakan wanita perkasa. Beberapa orang penggoda, dilemparkannya dari atas tangga kebawah, selalu ia berseru: Oh ibu! Oh, ibu!', maka ia melambangkan kebaikan. Kebaikan apakah itu, yang memerlukan setahun untuk menyelesaikan sepasang kaus wol? Bukankah itu memberikan gambaran yang palsu tentang kebaikan dan 'bekerja mencari nafkah'? Semua itu, kekonyolan dan dusta.
Kutipan & Rujukan:Maka datanglah kekasih-sejati pertamanya, yang dulu bekerja sebagai klerk penyalin surat-surat—tapi sekarang kaya-raya—tiba-tiba kembali dan menikahinya. Ngibul lagi. Siapa yang punya uang, tak menikahi seorang gadis dari keluarga yang pailit. Dan jika engkau mengira, bahwa itu mungkin saja diatas pentas-sandiwara, sebagai perkecualian, aku tetap berpendapat bahwa orang merusak ukuran kebenaran pada rakyat, yang menerima perkecualian sebagai kelaziman, dan rasa kesusilaan rakyat, dirusak dengan membiasakannya memuja sesuatu diatas pentas, yang oleh setiap makelar atau pedagang yang baik, dianggap sebagai kekonyolan yang menggelikan ditengah masyarakat. Saat aku menikah, kami berada dikantor mertua—Last & Co—kami tiga belas orang, dan bisnis sedang booming!Dan banyak lagi kebohongan-kebohongan diatas panggung. Apabila sang pahlawan berangkat dengan langkah tonilnya yang kaku untuk membela tanah air, mengapa pintu belakang-kembar selalu terbuka dengan sendirinya? Dan selanjutnja, bagaimana mengetahui seseorang yang melantunkan sajak, apa jawaban lawan bicaranya, agar memudahkannya membuat rima? Jika panglima besar berkata kepada tuan puteri, 'Terlambat yang mulia, pintu gerbang telah ditutup,' bagaimana ia tahu lebih dulu, bahwa tuan puteri akan berkata, 'Kalau begitu, hunuslah pedangmu. Kemenangan menunggu!' Sebab, kalau tuan puteri, setelah mendengar bahwa gerbang tertutup, menjawab bahwa ia akan menunggu sampai terbuka, atau kembali di lain waktu, dimanakah letak rima dan iramanya? Maka, bukankah dusta semata, jika sang panglima memandang tuan puteri sembari menunggu jawaban apa yang akan diucapkannya usai gerbang tertutup ? Sekali lagi: sekiranya ia ingin tidur dan bukan hendak mencabut pedang? Semuanya bo'ong!Lalu, ada kebajikan yang dibayar! Alamaaak—aku sudah tujuh belas tahun jadi makelar kopi—Lauriergracht No. 37—jadi aku telah mengalami yang demikian itu—namun aku selalu kesal kalau melihat kebenaran yang begitu bajik, diputar-balik. Kebajikan, dibayar? Bukankah itu bermakna bahwa kebajikan dijadikan barang dagangan? Tak seperti itu jalannya dunia—dan untunglah tidak demikian adanya, sebab dimanakah jasa, jika kebajikan semata ditakar? Lantas, mengapa selalu berpura-pura dengan muslihat yang hina itu?Ambil contoh, si Lukas, kuli gudang, yang telah bekerja pada ayah Last & Co—nama firma dikala itu, Last & Meijer, tapi keluarga Meijer sudah keluar—ia seorang yang baik. Tak pernah ada sebutir kacangpun yang hilang, ia pergi ke gereja, tepat waktu, dan tak pernah minum-minum. Bila ayah mertuaku berada di Driebergen, ia mengurus rumah, kas, dan segalanya. Pernah, ia menerima dari bank, lebih dari tujuh belas gulden, uang itu dikembalikannya. Sekarang ia sudah tua, sendi-sendi tulangnya pada sakit dan ia tak bisa bekerja lagi. Sekarang ia tak punya apa-apa, sebab banyak sekali yang telah ia perbuat untuk kami, dan kami memerlukan orang muda. Nah, aku beranggapan bahwa Lukas itu, orang yang baik sekali, tapi adakah sekarang ia mendapat bayaran? Adakah datang seorang pangeran mempersembahkan intan untuknya, atau seorang peri yang melumuri rotinya dengan mentega? Sama sekali tidak, ia miskin dan tetap miskin—dan begitulah adanya. Aku tak mampu menolongnya—sebab kami memerlukan orang muda, lantaran di tempat kami, teramat sibuk—walau aku bisa, dimanakah jasanya jika ia, pada hari tuanya, dapat hidup enak? Tentu semua kuli gudang bakalan jadi orang baik, dan setiap orang, dan itu bukan sesuatu yang Tuhan kehendaki, sebab jika demikian, tiada pahala istimewa bagi orang-orang yang baik, kelak di hari kemudian. Tapi diatas panggung-sandiwara, semuanya diputar-balik; bo'ong semua.Akupun orang baik kok, tapi, adakah aku meminta bayaran? Andai perdaganganku baik jalannya—dan memang baik jalannya—jika isteri dan anak-anakku sehat, sehingga aku tak banyak cincong dengan dokter dan apoteker—dan jika aku, tahun demi tahun, dapat menyimpan sejumlah kecil untuk hari tua—jika Frits sekolah dan cukup pandai menggantikanku, lalu aku pergi ke Driebergen [sebuah dusun yang bagus lokasinya, dimana menetap para rentenir yang kaya]—maka aku merasa bahagia. Tapi itu semua, akibat yang wajar dari kedaaan, dan lantaran aku berhati-hati dalam perdagangan—semata demi kebajikan, aku tak menuntut apa-apa.Dan bahwa aku sungguh-sungguh orang baik, terbukti dari kecintaanku pada Kebenaran—maknanya, sesudah kecintaanku pada agama, itulah kecenderunganku yang utama; dan kuberharap, agar engkau percaya akan hal ini, pembaca, sebab itulah dalilku menulis buku ini.Ciri yang lain, yang kuanggap sederajat dengan kecintaanku pada kebenaran, ialah hasratku berdagang. Aku makelar kopi di Lauriergracht No. 37, ya kan? Nah, pembaca, karena kecintaanku yang tulus pada kebenaran, dan ketekunanku mengurus pekerjaan, maka terlahirlah tulisan yang engkau baca ini. Akan kuceritakan bagaimana asal mulanya. Lantaran sekarang aku harus berpisah denganmu—aku harus ke bursa—maka, aku mengundangmu nanti bertemu dalam bab kedua. Sampai ketemu!Eh bentar ... bentar, aku punya sesuatu untukmu ... takkan menyusahkan ... mungkin berguna ... ah, lihat, inilah: kartu namaku! 'Co,' itu aku, sejak keluarga Meijer [dalam plesetan yang sama, meier dalam bahasa Belanda, dapat bermakna juru-sita atau pengurus milik tuan-tanah] keluar ... Last [bahasa Belanda, dapat bermakna beban; timpaan] senior itu, ayah-mertuaku.''Sekarang, kita teruskan ke Bab Kedua,' kata Kodok.'Tunggu bentar, coba perhatikan di buku novel itu, dalam Bab Ketujuhbelas, ada cerita tentang SAIJAH DAN ADINDA!' Katak menyela.'Tapi ...!' seru Kodok, 'yang dapat terbaca cuman Bab Pertama, bab-bab selanjutnya, sudah terhapus, mungkin karena terendam lumpur.''Maka, kita harus mendapatkan copynya, mungkin kita bisa membelinya, atau nyari di Gedung Perpustakaan,' kata Frog.'Masalahnya, apa masih ada Gedung Perpustakaan di negeri ini? I'm afraid not, ' jawab Kodok. Namun Katak menampik, 'Masih ada!'... 'Tidak ada!' ... 'Maaseeh!' ... Kagak adaah!' ...'""Sementara Katak dan Kodok lanjut dengan perdebatan tentang Gedung Perpustakaan di negeri mereka," Swara hendak mengakhiri perbincangan, "waktuku pun habis dan aku hanya bisa menghela-nafas, lalu berucap, 'Wallahu a'lam.'"Swara mulai sirna dalam keheningan, namun lamat-lamat, ia berdendang,There she goes[Tuh doi muncul]There she goes again[Tuh doi muncul lagi]Racing through my brain[Berpacu dalam otakku]And I just can't contain[Dan aku tak sanggup menahan]This feeling that remains *)[Rasa yang tertinggal ini]
- Multatuli, Max Havelaar Or the Coffee Auctions of the Dutch Trading Company, translated from the Dutch by Ina Rilke and David McKay, New York Review Books
- Multatuli, Max Havelaar Atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda, terjemahan H.B. Jassin, Penerbit Djambatan.
*) "There She Goes" written by Roger Miller, Durwood Haddock & Stevenson