Rabu, 15 Maret 2023

Para Pemikir : Terkini (2)

"Empat orang dokter, bersama-sama pergi berburu bebek-liar. Setelah semuanya berada di dalam duck-blind [sebuah tempat persembunyian buat nembak bebek-liar dan tempat mengumpulkan hasil panen berburunya], mereka memutuskan bahwa mereka takkan menembak di saat bersamaan, melainkan bergiliran saat setiap bebek melintas. Giliran pertama diserahkan pada dokter umum, selanjutnya dokter penyakit-dalam atau internis, lalu dokter bedah, dan terakhir ahli patologi. Tatkala unggas pertama lewat, dokter umum mengangkat senapannya, tapi tak melepaskan tembakan, dan berkata, 'Gua gak yakin itu bebek.'
Unggas kedua menjadi giliran bagi sang internis. Ia membidik dan terus mengikuti sang unggas seraya berkata, 'Sepertinya sih bebek, terbang seperti bebek, kedengeran seperti bebek. ..,' taapii, hingga sang unggas berada di luar jangkauannya, sang internis gak nembak sama sekali, cuma ngeliatin doang.
Seketika, saat unggas ketiga muncul, terbang di atas air dan hanya beberapa meter dari duck-blind, sang dokter bedah langsung nembak dar-der-dor, memuntahkan seluruh isi senapannya, hingga sang unggas hancur berkeping-keping. Menoleh ke ahli patologi, sang dokter bedah berkata, 'Coba lihat, bener gak 'ntu bebek?!'

"Apakah Kebenaran itu, semata terletak pada mata yang melihatnya? Bermakna segalanyakah, Persepsi itu?" Swara meneruskan, "Orang bijak Yunani kuno, Xenophanes dari Colophon (ca. 575–ca. 490 SM), kata Rescher, diketahui oleh anak-cucunya, cuma melalui sejumput kutipan singkat. Berikut ini, yang cukup menonjol di antara kutipannya, 'Andaikan, lembu, kuda dan singa, punya tangan, dan ingin menggunakannya untuk menghasilkan karya seni seperti yang kita, manusia, lakukan, maka, kuda akan melukis wujud dewa, mirip kuda, dan lembu seperti lembu, dan menjadikan bentuk tubuh para dewa itu, menurut bentuk jenis mereka sendiri yang berbeda.'
Cerita pendek ini, punya banyak aspek instruktif. Ia menandai pengenalan perangkat konseptual baru—alat pemikiran baru—ke dalam ranah pertimbangan filosofis. Karena penalaran yang dipermasalahkan di sini, tak dilanjutkan dengan karakterisasi yang nyata dengan penjelasan deskriptifnya tentang fakta, melainkan dalam kaitannya dengan proyeksi spekulatif murni dari hipotesis yang sepenuhnya terkaan. Contoh utama inilah dari mode tantangan yang telah menjadi sangat menonjol dalam filsafat, 'Apa yang akan engkau katakan jika ...?
Terhadap masalah lain, pandangan Xenophanes merayakan doktrin relativisme: posisi kebenaran tentang segala sesuatu, terletak di mata yang melihatnya atau, lebih akuratnya, jenis yang melihat permasalahannya.
Gagasan pentingnya, bahwa siatuasi berbeda dari orang yang menyaksikannya, akan melihat sesuatu dari sudut pandang mereka sendiri. Ide tersebut dikembangkan lebih lanjut oleh rekan senegara, yang lebih muda dari Xenophanes, Protagoras (ca. 490–ca. 420 SM) yang mengajarkan bahwa 'manusia itu, ukuran dari segala sesuatu, dari apa adanya, dan dari apa yang bukan dari yang tiada. .' Hal ini kembali terjadi pada tingkat spesies, namun kemudian, lebih banyak pemikir dogmatis memperluas relativisme spesies ini, ke relativisme pribadi yang lebih khas, yang memandang setiap individu sebagai wasit dari 'kebenaran mereka sendiri'.
Dan tentu saja pada saat itu, konsep faktualitas impersonal lenyap begitu saja, dan kita ditinggalkan dengan apa yang sering digambarkan sebagai 'sophomore relativism' dari pernyataan bahwa 'itu cuma apa yang ada dalam pikiranmu.'

Ilmu dimulai dari keképoan, menurut Aristoteles, dan dalam semangat ini, sering dikatakan bahwa segala macam ilmu, berasal dari, mempertanyakan. Tesis kebalikannya, bahwa pertanyaan selalu muncul dari keyakinan—bahwa setiap pertanyaan punya praanggapan preposisional—juga berprospek.
Mengikuti jejak Aristoteles, sejarawan dan filsuf Inggris, R. G. Collingwood (1889–1943) menyatakan bahwa 'Setiap pernyataan yang dibuat oleh siapapun, dibuat untuk menjawab sebuah pertanyaan.'
Namun ia juga mempertahankan bahwa 'Setiap pertanyaan, melibatkan praduga,' melihat bahwa, bagaimanapun juga, hal tersebut, tak bisa tidak mengandaikan—antara lain—bahwa hal itu, memang punya jawaban yang bermakna dan benar.
Dialog Socrates oleh Plato, Theaetetus, menganggap teori bahwa mengetahui sesuatu, ditentukan oleh dua persyaratan: (1) pernyataan yang dipermasalahkan itu benar, dan (2) yang diduga mengetahuinya dapat memberikan penjelasan tentang bagaimana hal itu terjadi. Socrates lanjut menolak teori ini dengan memulai penalaran yang ditandai dengan percakapan berikut:
SOCRATES [kepada THEAETETUS]: [Engkau berpendapat bahwa punya] keyakinan sejati dengan penambahan sumber itu, ilmu?
THEAETETUS: Tepat sekali.
SOCRATES: Mungkinkah, Theaetetus, bahwa, dalam sekejap, kita telah menemukan sekarang ini, apa yang telah dicari oleh begitu banyak orang bijak dan belum ditemukan?
THEAETETUS: Aku, dalam tingkat apapun, cukup puas dengan pernyataan kita saat ini, Socrates.
SOCRATES: Ya, pernyataan itu sendiri, mungkin memuaskan; sebab bagaimana mungkin ada ilmu tanpa pertanggungjawaban dan konsepsi yang benar? Namun ada satu hal dalam teori yang dinyatakan, tak aku sukai.
THEAETETUS: Apa itu?
SOCRATES: Apa yang mungkin dianggap cirinya yang paling cerdik: disebuatkan bahwa elemen pamungkas [seperti aksioma geometri] tak dapat diketahui, sedangkan apapun yang kompleks [seperti teorema geometris] dapat diketahui.
THEAETETUS: Tak benarkah itu?
SOCRATES: Kita seyogyanya, mencari keterangannya.
Socrates sekarang mulai berargumen bahwa itu tak mungkin benar, sebab jika setiap contoh pengetahuan memerlukan sumber—yang tentu saja harus terdiri dari kebenaran yang diketahui—maka tiada apapun yang dapat diketahui lantaran kita akan terjebak dalam kemunduran yang tak terbatas.
Penalaran semacam ini—yang menyatakan bahwa hasil yang jelas tak dapat dipertahankan mengikuti tesis yang diproyeksikan—kemudian dikenal sebagai reductio ad absurdum, sebuah 'reduksi ke absurditas.' Sanggahan yang terampil inilah, cara penalaran umum di antara para filsuf dan matematikawan Yunani kuno.
Socrates selanjutnya mengeksploitasi sanggahan ini, untuk menyatakan tak mungkin semua pengetahuan 'diskursif' dengan didasarkan pada pengetahuan lebih lanjut. Sebaliknya, harus ada juga pengetahuan yang 'segera', yang didasarkan pada pengalaman daripada dimediasi oleh pengetahuan sebelumnya yang lain. Karena jika ilmu selalu harus berasal dari pengetahuan, dan selalu membutuhkan pembuktian pra-pengetahuan, perolehan aktualnya takkan pernah berjalan.
Keberatan lebih lanjut terhadap teori ilmu Theaetetus, yang menyatakan bahwa ilmu haruslah selalu didasarkan pada alasan yang memvalidasi, diberikan oleh filsuf dan ahli logika Inggris, Bertrand Russell (1872–1970). Teori Theaetetus. dengan demikian jelas cacat. Ilmu lebih dari kebenaran yang diyakini, ia kebenaran yang diyakini dengan tepat. Agar dipandang sebagai ilmu, suatu keyakinan tak semata harus benar, pemiliknya hendaknya punya dasar yang tepat mempercayainya.
Dalam perbincangan belakangan ini, poin ini didorong oleh proposal yang dikutip secara luas oleh filsuf Amerika Edward Gettie. Contoh tandingannya ialah, di sepanjang garis pelaut yang (dengan benar) percaya bahwa pulau jauh yang ia dekati dihuni, tetapi ia percaya demikian hanya karena ia salah mengira beberapa semak besar sebagai manusia. Ia benar-benar percaya dan benar-benar memiliki dasar bagi keyakinannya, tetapi keduanya terputus.
Poin yang muncul dari rangkaian pembahasan ini, pandangan bahwa ilmu itu benar dan keyakinan yang dibenarkan, tidaklah memadai. Karena jika pertimbangan-pertimbangan yang mendasari keyakinan yang dipersoalkan, tak selaras dengan fakta-fakta yang memastikan kebenaran keyakinan ini—tak masuk akal lagi membicarakan tentang ilmu. Mengetahui bukan hanya masalah punya beberapa alasan atau penalaran agar menerima kebenaran: ia membutuhkan alasan yang tepat, dan ilmu tak semata keyakinan yang benar dan diterima dengan benar, melainkan keyakinan yang benar, yang dengan demikian, diterima.
Dalam menerapkan gagasan menyamakan ilmu dengan keyakinan benar yang dibenarkan, seseorang tak dapat dan tak boleh memperlakukan pembenaran dan kebenaran sebagai faktor yang terpisah dan dapat dipisahkan. Sebab korelasi takkan bekerja jika ketentuan samar-samar ditafsirkan sebagai 'diyakini benar dengan beberapa pembenaran.' Hal ini malah harus ditafsirkan sebagai 'diyakini benar dengan pembenaran yang memadai.'
Karena pembenaran yang dipermasalahkan tak bisa semata terletak di mata orang yang mengetahui sebagai kesan subjektif; ia hendaknya diperoleh secara objektif dengan cara yang berlaku tak hanya bagi yang mengetahui, melainkan bagi semua orang. Perbedaan kritis antara 'ia cuma mengira ia tahu' dan 'ia benar-benar tahu' tak dapat dilewati. Jika engkau membolehkan pemisahan apapun antara pembenaran dan kebenaran dalam formula itu, paradoks Plato-Russell-Gettier menjadi tak terhindarkan. Ilmu bukanlah hanya masalah kepercayaan yang dibenarkan dan diterima sebagai kebenaran; ia merupakan masalah apa yang dapat dibenarkan dan diterima dengan benar sebagai yang benar.

Dan sekarang, mari kita lihat beberapa filsuf sebagai 'Filsuf Terkini' menurut para kontributor kita.

Julia Kristeva, lahir tahun 1941, dari keluarga kelas menengah di Bulgaria. Menantang dan provokatif, Kristeva telah menjadi suara terkemuka dalam filsafat, linguistik, sastra, seni, politik, feminisme, dan psikoanalisis sejak 1980-an, dan telah menerima pengakuan luas atas karyanya. Ia lulus dengan gelar di bidang linguistik dari Universitas Sofia, kemudian memenangkan beasiswa guna melanjutkan penelitian doktoral di Prancis tentang penerapan teori psikoanalitik pada bahasa dan sastra. Kristeva mungkin paling dikenal dengan konsep intertekstualitas, sebuah gagasan yang dibangun di atas karya ahli teori Ferdinand de Saussure dan, khususnya, Mikhail Bakhtin. Gagasan Abjeksi Kristeva, telah digunakan dalam analisis teks dan film, seperti Alien karya Ridley Scott (1979). Kebangkitannya menuju ketenaran, dimulai pada tahun 1980 dengan Séméiôtiké: recherches pour une sémanalyse, diterjemahkan dalam Hasrat dalam Bahasa : Sebuah Pendekatan Semiotik terhadap Literatur dan Seni, dimana ia menguraikan konsep 'intertekstualitas'.
Pada tahun 1980, Kristeva menerbitkan Pouvoirs de l'horreur. Essai sur l'abjection (Kekuatan dari Rasa-takut: Sebuah Esai terhadap Abjeksi), dimana ia mengeksplorasi apa yang menimbulkan perasaan keder dan jijik pada manusia. Selain banyak gelar kehormatan, ia telah menerima Hadiah Vaclav Havel, Hannah Arendt Prize, dan France’s Commander of the Legion of Honor bagi karyanya.

Martha Nussbaum, lahir pada tahun 1947 dari keluarga sejahtera di New York City. Filosofi Nussbaum berfokus khususnya pada emosi manusia. Ia juga seorang penganjur penuh semangat tentang peran positif yang dapat dimainkan oleh filsafat dalam kehidupan publik di dunia modern. Nussbaum telah menulis lebih dari dua lusin buku. Yang terakhir, Monarchy of Fear (2018), kritis terhadap tradisi filosofis yang meminimalkan peran emosi dalam respons kita terhadap dunia. Keterlibatan publik adalah inti dari praktik filosofi Nussbaum. Salah seorang pengaruh filosofis penting Nussbaum adalah filsuf Inggris Bernard Williams (1929–2003).
Nussbaum membayangkan manusia sebagai 'ibarat tumbuhan'—lunak dan rentan, namun pula mampu tumbuh luar biasa dan mampu bertahan dari kesulitan yang cukup besar. Nussbaum mengklaim bahwa kemarahan, bagaimanapun dibenarkan, tampaknya-hampir selalu merupakan tanggapan yang sepenuhnya tak memadai terhadap masalah kehidupan. Ia mengutip Nelson Mandela sebagai seseorang yang mampu mengatasi kemarahan. Bagi Nussbaum, Nelson Mandela (1918–2013) merupakan contoh figur publik yang berhasil mengatasi amarah untuk membangun masa depan yang lebih baik. Dipenjara di Pulau Robben selama 27 tahun di bawah rezim apartheid Afrika Selatan, Mandela menulis tentang perjuangannya melawan amarah. Saat berada di penjara, ia membaca filsuf Stoa Marcus Aurelius dan melatih dirinya agar melampaui amarah, melihat bahwa tak mungkin ada kemungkinan membangun bangsa ketika kebencian merajalela. Mengatasi kemarahan Mandela bukanlah upaya untuk mengabaikan kesalahan di masa lalu, melainkan upaya positif guna melangkah ke masa depan yang lebih cerah.
Pada 2017, Nussbaum diundang memberikan Jefferson Lecture oleh National Endowment for the Humanities, salah satu penghargaan tertinggi di akademisi AS.

Slavoj Zižek, lahir di ibu kota Slovenia, Ljubljana, pada tahun 1949, dan tumbuh dalam periode liberalisasi bertahap dan kemakmuran yang relatif tinggi. Usai Perang Dunia II, Slovenia bagian dari Yugoslavia komunis di bawah kepemimpinan Josip Broz, yang dikenal sebagai Tito, 'diktator yang jinak', yang mengizinkan kebebasan yang lebih besar dan sikap yang lebih santai terhadap budaya Barat dibandingkan yang diperbolehkan di negara komunis lainnya. Ayah Slavoj seorang ekonom dan pegawai negeri, dan ibunya seorang akuntan di sebuah perusahaan milik negara.
Disanjung sebagai salah seorang filsuf paling cemerlang di generasinya, Zižek telah menggunakan profil medianya yang ternama guna menyajikan perpaduan kompleks antara budaya tinggi dan populer, filsafat, psikologi, dan politik.

Gloria Jean Watkins, lahir di pedesaan, kota yang terpisah secara rasial di Kentucky pada tahun 1952. Ayahnya bekerja sebagai petugas kebersihan dan ibunya pembantu paruh waktu di rumah tangga kulit putih. Ia kemudian menggunakan nama nenek buyutnya, Bell Hooks, sebagai nama pena—tetapi menggunakan dalam huruf kecil [bell hooks] untuk memprioritaskan pesannya daripada kepribadiannya. Seorang feminis, cendekiawan, kritikus sosial, dan aktivis, hooks salah seorang intelektual terkemuka AS dan komentator yang kuat dan penting tentang ras, gender, dan kelas. Wanita kulit hitam Amerika berperan penting dalam mendirikan Black Lives Matter, sebuah gerakan yang mengkampanyekan rasisme dan ketidaksetaraan ras. bell hooks telah terlibat dengan isu bagaimana aktivisme sosial tersebut dapat disalurkan untuk menciptakan perubahan yang langgeng.

Judith Butler, kelahiran tahun 1956, di Cleveland, Ohio. Ia aktif dalam politik gender, hak asasi manusia, dan kampanye anti-perang dan saat ini bertugas di dewan Center for Constitutional Rights
di New York. Butler ahli teori budaya radikal yang telah berada di garis depan masalah feminis dan LGBTQ+ sejak 1990. Butler salah seorang ahli teori paling awal teori Queer, teori dan aktivisme Butler telah membawa pertanyaan tentang gender ke jantung debat nasional AS dan juga telah memicu kebangkitan Politik Identitas [tentang gender, bukan persoalan seperti yang diributkan para partai pendukung si Nganu] yang lebih luas.

Banyak nama yang bisa disebut,
Jürgen Habermas, salah seorang filsuf dan ahli teori sosial terkemuka di zaman modern;
Alasdair MacIntyre, salah seorang pemikir paling berpengaruh di dunia modern tentang komunitas, filosofi moral, dan 'etika kebajikan' (yang menempatkan karakter dan kebajikan di atas kewajiban).
Carol Gilligan, seorang feminis dan psikolog, terkenal dengan karyanya tentang perkembangan moral perempuan dan anak perempuan serta menawarkan perspektif baru tentang gender, pendidikan, dan kesehatan mental.
Judith Jarvis Thomson, yang karyanya berfokus terutama pada teori moral dan metafisika.
Alain Badiou, filsuf komunis, telah menulis tentang berbagai topik, mulai dari Marxisme, ontologi, psikoanalisis, dan matematika hingga sastra dan cinta.
Thomas Nagel, seorang filsuf terkemuka dan profesor hukum.
Robert Nozick, meluncurkan pembelaan libertarianisme yang kuat, mengadvokasi intervensi minimal oleh negara dalam hak warga negara untuk hidup, kebebasan, dan properti.
Saul Kripke, dianggap oleh banyak orang sebagai seorang jenius modern. Ia filsuf logika modal terkemuka di dunia dan bisa dibilang kondang karena mengembangkan semantik Kripke, semantik standar bagi logika modal. Ia berkontribusi luar biasa oula pada filsafat bahasa, teori kebenaran, dan karya Wittgenstein.
Gayatri Chakravorty Spivak, yang dikenal karena pembacaannya yang radikal dan 'intervensionis' terhadap sastra dan teks-teks lain, dimana ia menghadirkan tantangan-tantangan berat terhadap wacana kolonial dan patriarki.
Patricia Churchland, buku terbarunya, Touching a Nerve, mengkaji masalah identitas, kehendak bebas, dan kesadaran.
Susan Haack berkonribusi terhadap filsafat sangat luas dan mencakup filsafat hukum, filsafat logika dan bahasa, epistemologi, metafisika, filsafat sains, pragmatisme, feminisme, filsafat sosial, hukum bukti, dan filsafat sastra.
Michael Sandel, seorang filsuf moral dan politik.
Cornel West, salah satu suara paling kuat di AS dalam hak-hak sipil, ras, gender, dan kelas.

Kemajuan ilmiah menetapkan agenda filosofis baru, namun pula, meningkatkan ketidakpuasan dan kecemasan. Tatkala harapan mengikat orang bersama dalam kerjasama dan kepercayaan, ketakutan memisahkan mereka dalam kecurigaan dan ketidakpercayaan. Boleh jadi, kita telah memasuki zaman dimana orang lebih takut pada Akhirul-Hayat ketimbang mengharapkan Jannah. Namun masa-masa sulit, ramah terhadap filsafat. Setiap kali cetak biru lama bagi perilaku hidup mulai memudar dan kehilangan otoritasnya, tiada penemuan baru kecuali melalui kerja filosofis yang sulit menghadapi diri kita sendiri dan dunia kita dengan kebenaran dan nalar.
Lelaki dan perempuan yang telah kita sebutkan, punya pemahaman yang sangat berbeda tentang dunia, tentang diri kita, dan tentang cara paling bijak dalam menjalani hidup kita. Mereka telah membangun sistem pemikiran, ada yang di antaranya bertahan, dan ada yang di antaranya telah terlingsir oleh waktu, atau oleh pengalaman baru, atau penalaran yang lebih terdepan. Namun, mereka semua berbagi keyakinan tentang pentingnya tugas itu. Bahkan para skeptis yang meragukan kemungkinan pemahaman filosofis, merasa penting membujuk orang agar menjalani hidupnya dengan sadar akan kehampaan yang ditimbulkannya. Wallahu a'lam."

Saatnya pergi dan perlahan Swara menghilang dalam senandung,

Wise man said just walk this way
[Kata orang-bijak, jalan lewat sini saja]
To the dawn of the light
[menuju terbitnya cahaya]
Wind will blow into your face
[Angin kan menerpa wajahmu]
As the years pass you by
[Seiring tahun-tahun yang melaluimu]
Hear this voice from deep inside
[Dengarkan suara yang terdalam ini]
It's the call of your heart
[Itulah panggilan hatimu]
Close your eyes and you will find
[Tutup matamu dan engkau bakal temukan]
Passage out of the dark
[lintasan keluar dari kegelapan]

Here I am
[Disinilah aku]
Will you send me an angel?
[Maukah engkau mengutuskanku malaikat?]
Here I am
[Disinilah aku]
In the land of the morning star *)
[Di negeri bintang fajar (Venus)]
Kutipan & Rujukan:
- DK London, Philosophers - Their Lives and Works, Cobaltid
- Nicholas Rescher, A Journey through Philosophy in 101 Anecdotes, University of Pittsburgh Press
*) "Send Me an Angel" karya Rudolf Schenker & Klaus Meine.
[Bagian 1]